• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 dikaitkan dengan UU No 37 Tahun 2004 dan UU No.16 Tahun

HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT (Studi Putusan MA Nomor: 116 PK/PDT.SUS-PAILIT/2013)

D. Analisis Putusan Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 dikaitkan dengan UU No 37 Tahun 2004 dan UU No.16 Tahun

Pengurusan dan pemberesan harta pailit PT.BTI yang dilakukan kurator sebelum masuk tagihan yang dari DJP Banten KPP Pratama Serang, berjalan sesuai dengan ketentuan UUK. Pencocokan dan pendaftaran utang dari para kreditur tidak ada terjadi bantahan dari para kreditur, kurator maupun debitur hingga memasuki masa insolventie.

Kemudian pada saat DJP Banten KPP Pratama Serang mengajukan tagihan utang pajak tahun pajak 2000, kurator menolak dan membantah tagihan tersebut. Negara yang dalam hal ini diwakili oleh DJP Banten KPP Pratama Serang, melakukan penagihan utang pajak dengan surat paksa dan surat pemberitahuan surat paksa tersebut diterima kurator pada tanggal 13 Agustus 2004. Penagihan ini sudah melewati 2 tahun setelah masa insolventie yakni 14 Juni 2001, sehingga berdasarkan hal tersebut kurator menolak dan membantah tagihan yang dilakukan DJP Banten KPP Pratama Serang.

Pada awal kepailitan, kurator bertugas sejak tanggal 17 Oktober 2000 dan pada tanggal 31 Oktober 2000, kurator mengadakan rapat kreditor pertama untuk

melaksanakan pencocokan utang atas kreditor PT.BTI, dan rapat ini baru selesai melaksanakan verifikasi utang terahkir pada tanggal 14 juni 2001. Sebelum rapat verifikasi utang terahkir ini, kurator melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000, pada tanggal 31 Maret 2001 atau 2 bulan sebelum memasuki masa insolventie.

Kemudian laporan SPT yang dilaporkan oleh kurator PT.BTI tersebut dianggap tidak sah oleh DJP Banten KPP Pratama Serang, karena dalam SPT ini tidak melampirkan neraca dan/atau laporan rugi laba PT.BTI tahun 2000 sebelum dinyatakan pailit, dan surat pernyataan tidak aktif sebagai satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan SPT. Hal ini berdasarkan dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat (1), ayat (3), dan ayat (7) berserta penjelasan UU KUP yang

mengatur tentang mekanisme dan aturan pemeberian SPT. Sehingga DJP Banten mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak pada PT.BTI tanggal 21 Juni 2001. Pemeriksaan pajak ini sudah memasuki masa insolventie PT.BTI yakni 14 Juni 2001.

Tindakan yang dilakukan oleh DJP Banten KPP Pratama Serang ini berdasarkan ketentuan pada Pasal 29 UU KUP yang menyatakan bahwa, DJP berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan161. Kemudian hasil pemeriksaan tersebut, DJP menemukan utang pajak PT.BTI Tahun pajak 2000 dengan jumlah Rp. 2.264.694.817, yang kemudian dikeluarkan daftar rincian tunggakan pajak tanggal 12 Desember 2003, dan surat Paksa yang diterima

kurator tanggal 13Agustus 2004.

Surat paksa dan daftar tunggakan pajak yang diberikan DJP Banten KPP Pratama Serang sebagai bukti utang pajak PT.BTI ini sudah melewati 2 tahun sejak masa insolventie. Kemudian kurator melakukan upaya keberatan dengan pengajuan keberatan ke DJP pada tanggal 17 Januari 2006, namun upaya tersebut ditolak dan DJP menerbitkan Surat Keputusan DJP. Surat Keputusan DJP ini menjadi kekuatan hukum tetap, karena Pengajuan keberatan kurator ditolak dan kurator tidak melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 27 UU KUP.

Kurator tidak melakukan upaya banding ke pengadilan pajak, namun melakukan permohonan keberatan kepada DJP RI qq Kanwil DJP Banten 11 KPP Serang melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selaku

161

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan

pengadilan yang memeriksa semua sengketa yang menyangkut kepailitan. Kemudian Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi putusan mengabulkan permohonan pemohon yakni kurator, dan bantahan yang diberikan kurator PT.BTI adalah sah dan dilaksanakan seusai dengan UUK, serta menolak surat paksa yang dikeluarkan DJP Banten tanggal 10 November 2003.

Berdasarkan penjelasan kasus di atas antara kurator PT. BTI dan DJP Banten, terlihat bahwa terlambatnya penagihan yang dilakukan oleh DJP ini disebabkan oleh laporan SPT Tahun pajak 2000 PT.BTI yang diberikan kurator pada tanggal 31 Maret 2001 dianggap tidak lengkap dan tidak sah sesuai dengan ketentuan pada Undang-undang perpajakan. Hal ini memperlihatkan bahwa sebenarnya Kurator PT.BTI mengakui ada utang pajak tersebut, namun karena DJP terlambat melakukan penagihan dengan alasan sudah lewat 2 tahun sejak masa insolventie sehingga kurator menolak dan membantah utang pajak tersebut.

Utang pajak diakui kedudukannya dan diatur pada UUK diatur pada Pasal 41 ayat 3 UUK yang menyatakan bahwa, dikecualikan dari ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. Lebih lanjut pada penjelasan Pasal 41 ayat 3 UUK ini menyebutkan bahwa perbuatan yang wajib misalnya membayar pajak. Ini mengarahkan bahwa utang pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh debitur pailit, yang kemudian diwakilkan pemberesan dan pengurusan harta pailit oleh kurator.

Mengenai utang pajak yang merupakan tindakan wajib, Jun Cai berpandangan bahwa “utang pajak memiliki kedudukan paling tinggi dalam kreditur kepailitan sehingga pembayarannya wajib dilakukan oleh kurator, jika utang pajak tersebut disertai dengan bukti yang konkrit”162

. Sehingga utang pajak ini pada saat pemberesan harta pailit, pembayarannya wajib didahulukan

dibanding dengan kreditur lainnya. Hal ini juga berdasarkan ketentuan pada 21 ayat (3) UU KUP yang menyatakan bahwa Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan/ atau

162

Hasil wawancara dengan Jun Cai, Kurator, Pada Tanggal 3 Juni 2016, Pukul 09.30 Wib.

c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Ketentuan utang pajak ini juga berlaku pada wajib pajak (debitor) pailit. Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21 ayat 3 (a) UU KUP, yang menyatakan bahwa dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum

menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut. Jelas bahwa ketentuan hak mendahului ini berlaku pada wajib pajak pailit,

sehingga untuk pembayaran utang pajak wajib dilaksanakan sebelum membagikan atau membayar utang debitur kepada kreditur lainnya.

Lebih lanjut untuk jangka utang pajak pada wajib pajak (debitur) pailit, diatur pada Pasal 21 ayat 4 UU KUP yang menyebutkan bahwa, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:

a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);

d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau

e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4(a) UU KUP.

Wewenang yang diberikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun. Hal ini ditetapkan agar dalam melakukan penagihan utang pajak tetap berdasarkan keadilan dan kepastian hukum. Sehingga sebelum jangka waktu ini seharusnya DJP masih memiliki hak untuk menagih dan hak nya juga harus diistimewakan.

Jika dikaitkan ketentuan diatas dengan kasus antara kurator PT.BTI dan DJP Banten, terlihat bahwa tindakan kurator dengan menolak dan membantah utang pajak yang ditemukan oleh DJP Banten tanggal 12 Desember 2013 dan juga untuk surat paksa yang diterima kurator 13 Agustus 2004 jelas bertolak belakang pada ketentuan UUD 1945 dan UU KUP.

Dari segi UUD 1945 yang menjadi dasar hukum Negara Republik Indonesia, sudah jelas bahwa undang-undang yang mengatur tentang pajak merupakan bersifat memaksa, dan untuk undang-undang terkait pajak diatur berdasarkan UU KUP. Pajak yang merupakan tindakan wajib ini diterapkan dengan dasar bahwa pungutan pajak ini akan dipergunakan untuk keperluan negara, yaitu untuk kepentingan umum.

Dari segi UU KUP secara tegas menerapakan aturan terkait daluwarsa atau hapusnya utang pajak telah diatur secara tegas. Pasal 22 ayat 4 UU KUP

menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan daluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak dihitung sejak STP, dan SKP diterbitkan. Sehingga ketentuan pada Pasal 113 ayat 1 UUK yang menjadi dasar hukum kurator tidak dapat diterapkan dalam penagihan utang pajak.

Hal ini disebabkan oleh, bahwa utang pajak bersifat memaksa, sehingga wajib pajak harus untuk memberikan hak negara yakni dengan membayar pajak pada negara. Sehingga ketentuan Pasal 113 ayat 1 UUK yang mengatur tentang

batas waktu penagihan utang pajak hanya dapat diterapkan pada utang-utang pada kreditur lainnya selain utang pajak pada negara.

Kemudian jika dikaitkan pada kasus kepailitan PT.BTI, Hakim Pengawas yang menetapkan batas ahkir pengajuan utang yaitu 2 tahun setelah masa

insolventie yakni 2 tahun dari 14 Juni 2001. Aturan ini sudah benar dan sesuai dengan ketentuan UUK, sehingga kreditur jika haknya ingin dipenuhi oleh kurator maka harus melakukan penagihan sebelum 14 Juni 2003. Namun batas waktu ini hanya berlaku untuk kreditur pada umumnya kecuali utang pajak. Karena aturan ini merupakan hukum privat yang bersifat mengatur atau melengkapi. Ketentuan hukum privat mengatur kepentingan individu dengan kepentingan individu lainnya.

Pada kasus PT.BTI, maka kepentingan individu dengan kepentingan individu dapat terlihat pada kepentingan debitur yang merupakan Perusahaan dengan kepentingan kreditur separatis yang dapat merupakan Bank atau lembaga keuangan lainnya yang memegang hak gadai, hipotek, tanggungan dan jaminan fidusia, atau lainnya serta kreditur konkuren.

Ketentuan mengenai aturan batas ahkir pengajuan utang yakni 2 tahun setelah masa insolventie merupakan hukum yang bersifat mengatur atau melengkapi. Hal ini dapat dilihat dari cara bekerjanya pasal ini yakni untuk mengatur antara kepentingan individu, begitu juga untuk melengkapi ketentuan pada Pasal 113 ayat 1(a) UUK terkait batas ahkir pengajuan utang, yakni yang ditetapakan oleh hakim pengawas.

Sehingga tidak tepat jika aturan yang bersifat mengatur atau melengkapi ini diterapkan pada ketentuan yang sudah ditentukan oleh Undang-undang Dasar sebagai peraturan yang bersifat memaksa, seperti utang pajak. Karena ketentuan yang bersifat memaksa merupakan tindakan wajib yang harus dilaksanakan oleh subjek hukum. Sedangkan ketentuan yang bersifat mengatur atau melengkapi, fungsinya hanya melengkapi aturan atau mengisi kekosongan hukum antara kepentingan individu dengan kepentingan individu lainnya dan ketentuan seperti ini tidak dapat diterapkan pada kepentingan umum.

Hal ini menegaskan bahwa hak untuk menagih utang pajak tetap diatur oleh UU Perpajakan. Bahwa secara tegas disebutkan, negara memiliki hak istimewa terkait pajak, yang pembayarannya wajib didahulukan dari harta debitur pailit. Kemudian hak tersebut dapat hilang atau daluwarsa sesuai dengan

Kemudian pada kasus kepailitan PT.BTI sebenarnya kurator menyadari kewajiban membayar pajak sesuai peraturan Undang-undang Perpajakan. Hal ini dapat dilihat pada tanggal 31 Maret 2001 kurator memberikan laporan SPT Pajak Penghasilan PPN Badan Tahun Pajak 2000 kepada DJP Banten. Namun karena SPT ini dianggap tidak sah, karena tidak melampirkan neraca atau laba/rugi sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 UU KUP tentang laporan SPT.

Sehingga seharusnya kurator bukan melakukan bantahan atas tagihan tersebut, namun mencocokan jumlah perhitungan tagihan pajak tersebut. Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 116 UUK, yang menyebutkan bahwa :

1. Kurator wajib:

a. mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor Pailit; atau b. berunding dengan kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang

diterima.

2. Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak meminta kepada kreditor agar memasukkan suratyang belum diserahkan, termasuk memperlihatkan catatan dan surat bukti asli.163

Kemudian tindakan kurator dengan menolak dan membantah tagihan tersebut, juga bertentangan pada Pasal 113 ayat 1(b) UUK yang menyebutkan bahwa untuk menentukan besarnya kewajiban sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dibidang perpajakan. Sehingga kurator PT.BTI seharusnya mengakui utang tersebut, dengan alasan bahwa untuk menentukan besaran kewajiban pajak harus berdasarkan perundang-undangan pajak, bukan hanya dari laporan SPT yang diberikan oleh kurator tersebut.

Jika kurator menolak dengan alasan bahwa penagihan utang pajak tersebut dilakukan telah melewati batas ahkir pengajuan utang yakni 2 tahun setelah masa insolventie yaitu 14 Juni 2003, maka kurator salah menerapkan ketentuan tersebut pada utang pajak. Sehingga kurator dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kepentingan individu telah mengabaikan kepentingan umum. Kurator PT.BTI juga

163

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

telah melanggar ketentuan pada UUD 1945 yang merupakan dasar negara Republik Indonesia.

Jika kurator menerima tagihan tersebut maka kurator masih dapat melakukan pembayaran atau pelunasan terhadap utang pajak tersebut. Karena kurator baru mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Juni 2004 mengenai aset tetap PT.BTI. Kemudian kurator baru melakukan

penjualan atas aset tetap tersebut tanggal 2 Agustus 2010. Sehingga pada saat DJP Banten melakukan penagihan dengan surat paksa yang diterima kurator 13

Agustus 2004, harta dari debitur pailit masih ada. Sehingga kurator masih memiliki banyak waktu untuk melakukan verifikasi atas utang pajak tersebut untuk selanjutnya dibayar.

Lebih lanjut apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013, Majelis Hakim keliru dan tidak tepat dalam

menerapkan aturan hukum. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim tidak melakukan pertimbangan hukum terkait fungsi atau manfaat penagihan utang pajak yang dilakukan negara pada wajib Pajak. Karena sesuai dengan ketentuan pada UUD 1945 dan UU KUP, pungutan pajak dilakukan pada dasarnya untuk mencapai tujuan negara yakni digunkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari fungsi pajak ini seharusnya Majelis Hakim melihat bahwa UU Perpajakan merupakan kepentingan umum yang bersifat memaksa. Sehingga tindakan membayar pajak merupakan perbuatan yang wajib dilakukan, termasuk dalam kasus kepailitan. Majelis Hakim lebih tepat jika mendudukan UU

Perpajakan yang harus didahulukan jika dibanding dengan UU Kepailitan,

khusunya terkait mengenai batas waktu pengajuan utang terahkir pada perusahaan pailit yakni 5 tahun sesuai ketentuan pada Pasal 21 ayat 4 UU KUP. Sehingga ketentuan terkait batas waktu pengajuan hanya dapat dilakukan pada utang-utang lainnya seperti pada kreditur separatis dan konkuren, namun tidak pada dapat diterapkan pada utang pajak.

Kemudian Majelis Hakim juga selayaknya melihat bahwa ada unsur kelalaian yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memberikan laporan SPT Pajak PPN Tahun Pajak Badan tahun 2000, seperti yang dilakukan kurator PT.BTI. Sehingga kemudian berdasarkan kesalahan tersebut, tindakan DJP Banten dalam melakukan pemeriksaan yang berujung pada diberikannya surat paksa yang diterima kurator 13 Agsutus 2004 sudah sesuai dengan tugas dan kewenangan DJP dalam menjalankan tugasnya berdasarkan UU KUP.

Tindakan DJP dengan melakukan pemeriksaan jika melihat pada UUK juga sudah tepat, karena pada Pasal 113 ayat 1(b) UUK memberikan kewenangan pada DJP untuk menentukan besarnya kewajiab pajak sesuai dengan UU KUP. Sehingga Majelis Hakim seharusnya mempertimbangankan kesalahan dan kelalaian serta tindakan yang dilakukan oleh DJP sudah berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Jika Majelis Hakim yang memutus perkara ini mempertimbangkan adanya hak istimewa yang negara yang meruapakan hak bersifat relatif, maka majelis hakim akan menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh DJP Banten adalah tepat. Hak ini merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh negara untuk menagih utang pajak. Kemudian selanjunya kebalikan dari hak relatif tersebut adalah kewajiban dari debitur pailit atau kurator untuk memberikan sesuatu atau dalam hal ini membayar utang pajak tersebut sesuai dengan ketentuan.

Hakim yang menangani kasus kepailitan khususnya untuk menyelesaikan sengketa terkait utang pajak, diharapkan dalam menerapkan aturan hukum tidak hanya berdasarkan UUK saja. Terutama jika pada kasus yang didalamnya terdapat kreditur atau utang yang digolongkan sebagai kepentingan umum. Begitu juga pembayarannya yang merupakan suatu tindakan kewajiban yang bersifat memaksa, dengan tujuan bahwa pembayaran utang tersebut dilakukan sebesar- besarnya untuk keperluan umum.

Seperti pada Undang-undang perpajakan yang mengatur tentang ketentuan perpajakan bagi seluruh wajib pajak. Sehingga kedudukan utang pajak yang menjadi kreditur prefren pada perusahaan pailit dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan begitu Majelis Hakim akan memberikan kepastian hukum, keadilan dan perlakuan yang sama terhadap masyarakat.

Begitu juga diharapkan ada perbaikan agar pada Undang-undang

perpajakan dan UUK agar dapat disinkronisasikan, sehingga pada saat melakukan penagihan utang pajak DJP mendapat kepastian hukum dan aturan penagihan ini juga didukung oleh UUK. Kemudian untuk kedepannya tidak terjadinya

penerapan dan penafsiran aturan hukum tentang penagihan pajak pada perusahaan pailit yang tumpang tindih antara aturan hukum. Hal ini diharapkan agar dalam proses pemberesan harta debitur pailit tercipta rasa keadilan, dan kepastian hukum bagi para kreditur, debitur maupun kurator.

BAB V PENUTUP

C.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya di dalam penulisan tesis ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Keberadaan negara pada perusahaan pailit melakukan penagihan utang pajak. Utang pajak pada perusahaan digolongkan sebagai kreditur preferen dimana utang pajak diberikan hak istimewa yang pembayarannya wajib didahulukan dibanding dengan kreditur lainnya. Kewajiban kreditur agar utang mereka dibayar adalah dengan memberikan bukti-bukti konkrit saat penagihan, dan tidak melewati batas ahkir pengajuan utang seperti yang diatur pada Pasal 113 ayat 1(a) UUK. Namun ketentuan ini tidak dapat diterapakan pada utang pajak. Karena utang pajak merupakan tindakan wajib yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara, dan aturan ini bersifat memaksa. Hal ini disebabkan karena pajak merupakan kepentingan umum, sedangkan ketentuan pada Pasal 113 ayat 1(a) UUK merupakan kepentingan antara individu dengan individu. Sehingga tidak mungkin hak yang bersifat memaksa dan berdasarkan kepentingan umum tersebut, dapat dikesampingkan oleh kepentingan individu. Hak negara pada dalam menagih utang pajak merupakan hak relatif, sehingga wajib pajak diwajibkan memberikan sesuatu yaitu membayar utang pajak tersebut. Sehingga ketentuan terkait hak dan kewajiban negara dalam hal melakukan penagihan pajak semestinya berdasarkan UU KUP.

2. Penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT. BTI, pada dasarnya pelaksanaannya sama dengan penagihan utang pajak pada perusahaan pailit pada umumnya. Kurator PT.BTI menjalankan tugasnya dengan melakukan pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit sesuai dengan ketentuan pada Pasal 16 Ayat 1 UUK. Terkait dengan utang pajak PT.BTI, kurator memberikan laporan neraca laba/rugi PT.BTI tahun pajak tahun 2000 tanggal 30 Maret 2001. Namun karena laporan tersebut dianggap tidak lengkap dan tidak sah dan melanggar ketentuan pada Pasal 3 ayat 6 dan 7 UU KUP, sehingga DJP Banten KPP Pratama Serang mengeluarkan Surat Pemeriksaan Pajak hal ini berdasarkan ketentuan pada Pasal 29 UU KUP yang mengatur tentang “wewenang DJP untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan.” Kemudian berdasarkan pemeriksaan tersebut pada tanggal 26 Agustus 2003 DJP Banten menemukan utang pajak PT.BTI sebelum dinyatakan pailit tanggal 17 Oktober 2000. Berdasarkan hasil temuan utang pajak tersebut, DJP mengeluarkan Surat Paksa pada tanggal 10 November 2003 yang kemudian diterima kurator tanggal 13 Agustus 2004. Surat paksa yang diterima kurator ini sudah lewat 2 tahun sejak batas pengajuan utang terahkir insolventie. Kemudian kurator melakukan keberatan dengan membuat surat keberatan pada DJP namun keberatan atas penerbitan Surat Keputusan DJP ditolak oleh DJP. Tindakan yang dilakukan sudah tepat sesuai dengan UU Perpajakan. Karena semestinya penagihan pajak dilakukan berdasarkan UU KUP, sehingga tindakan yang dilakukan kurator PT.BTI yang menolak dan membantah tagihan utang pajak yang dilakukan oleh DJP Banten tidak tepat. Semestinya

daluwarsa penagihan pajak dan hak mendahului atas utang pajak PT.BTI merupakan 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat 4 UU KUP, yaitu tanggal 16 Agustus 2008 jika dihitungan dari dikeluarkannya STP, bukan seperti yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas yakni 2 tahun setelah insolventie yaitu 14 Juni 2003.

3. Putusan Majelis Hakim pada putusan MA Nomor: Nomor 116 PK/Pdt.Sus- Pailit/2013 menolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari Pemohon. Putusan ini tentu saja menyebabkan negara kehilangan hak nya untuk menagih utang pajak pada PT.BTI (debitur pailit). Sehingga ketentuan yang menyatakan tentang kewajiban membayar pajak merupakan perbuatan

Dokumen terkait