• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada dasarnya pelaksanaan penagihan pajak pada perusahaan pailit tidak ada penerapan hukum yang berbeda jika wajib pajak taat dan seusai aturan dalam hal melakukan proses pembayaran kewajibannya membayar pajak. Karena dalam penagihan utang pajak, DJP memperlakukan wajib pajak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan dan tidak ada perlakukan yang beda.

Pada kasus penagihan pajak perusahaan pailit PT. Bestindo Tata Industri (PT.BTI), negara kehilangan hak untuk menagih dan kehilangan hak didahulukan atas utang pajak debitor (wajib pajak) pailit. Hilangnya hak tagih negara ini berawal dari penolakan dan bantahan dari kurator atas tagihan utang pajak pada DJP Banten KPP Pratama Serang.

Sebelumnya kasus ini berawal dari PT. BTI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 17 Oktober 2000 dengan Nomor Putusan: 69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST. Selanjutnya kurator Amalia Santoso ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan pada Pasal 69 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Selanjutnya kurator menjalankan tugasnya sesuai dengan amanah Undang-undang, termasuk untuk melakukan pembayaran atau pelunasan utang pajak PT.BTI (debitur pailit). Proses penagihan pajak pada dasarnya sama dan tidak ada yang berbeda dengan penagihan pada wajib pajak yang dinyatakan pailit. Wajib

pajak melaporkan utang pajaknya dan selanjutnya melakukan pembayaran, jika data yang diberikan sudah benar dan diterima oleh DJP atau KPP.

Pada kasus PT.BTI yang dinyatakan pailit, kurator dianggap tidak memberikan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan PPh badan tahun pajak 2000 yang diserahkan kurator pada tanggal 31 Maret 2000. Hal ini disebabkan karena kurator dianggap tidak melampirkan neraca dan/atau laporan rugi laba dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatuan yang merupakan unsut keabsahan Surat Pemberitahuan.

Ketentuan terkait SPT ini diatur pada Pasal 3 ayat 1 UUK, yang menyebutkan bahwa, Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.155

Kemudian pada penjelasnnya disebutkan bahwa, fungsi Surat

Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;

b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak c. harta dan kewajiban dan/atau

d. pembayaran dari pemotong atau pemungutan tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah

155

Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap pajak keluaran dan

2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotong atau pemungutan pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Hal yang dimaksud dengan mengisi surat pemberitahuan adalah mengisi formulir surat pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:

a. benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,

b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan dan c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan

unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan.

Surat pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewajiban penyampaian surat pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap masa pajak.156

156

Penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

Selanjutnya untuk ketentuan batas waktu penyampaian SPT ini diatur pada Pasal 3 ayat 3 UU KUP, yang menyebutkan, batas waktu penyampaian surat pemberitahuan adalah:

1. Untuk surat pemberitahuan masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak,

2. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak atau

3. untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.

Penjelasan pada Pasal 3 ayat 3 UU KUP mengatur tentang batas waktu penyampaian surat pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi wajib pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.

Kemudian untuk keabsahan SPT ini sesuai dengan ketentuan Perpajakan, diatur pada Pasal 3 ayat 7 UU KUP menyebutkan, bahwa surat pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:

a. Surat pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. Surat pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

c. Surat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, dan wajib pajak telah ditegur secara tertulis atau,

d. Surat pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

Selanjutnya pada penjelasannya disebutkan bahwa, surat pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan surat pemberitahuan. Oleh karena itu, surat pemberitahuan dari wajib pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang

dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai surat pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, surat pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan. Demikian juga apabila penyampaian aurat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila surat pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau

menerbitkan surat ketetapan pajak, surat pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 3 ayat 1, ayat 3, dan ayat 7 UU KUP, maka kurator dianggap tidak memberikan laporan SPT kepada DJP, dengan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Undang-undang perpajakan. Kurator PT.BTI tidak melampirkan neraca dan atau laporan laba rugi dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan SPT.

SPT yang disampaikan Kurator kepada DJP pada tanggal 31 Maret 2001, dan kemudian karena SPT ini dianggap tidak lengkap sehingga DJP

mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Nomor

PRINT-0162/WPJ.06/RP.02/2001 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Juni 2001. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak ini merupakan tindakan penagihan yang harus dilakukan karena DJP menganggap SPT yang disampaikan Kurator PT.BTI (debitur pailit) tidak lengkap dan dianggap tidak sah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat 7 UU KUP.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP kepada PT.BTI berdasarkan ketentuan pada Pasal 29 UU KUP yang menyebutkan bahwa, Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan157. Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, DJP pada tanggal 12 Desember 2003 mengeluarkan Daftar Rincian Tunggakan Pajak dan diikut dengan Surat Paksa tanggal 10 November 2003, yang diterima pengurus PT.BTI tanggal 14 Agustus 2004.

Penagihan pajak dengan surat paksa yang dilakukan oleh DJP ditolak oleh kurator. Kurator PT. BTI, menganggap penagihan utang pajak tersebut sudah melewati waktu lebih dari 2 tahun sejak dari verifikasi utang terahkir/insolventie

157

Pasal 29 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

yakni pada tanggal 14 Juni 2003. Sehingga walaupun hak tagih pajak tetap ada, namun hak mendahului pajaknya sudah hilang terlambat melakukan penagihan sesuai dengan ketetapan pada rapat kreditur yang ditetapkan oleh hakim pengawas.

Tindakan penolakan tagihan yang dilakukan kurator berdasarkan berdasarkan ketentuan pada pada Pasal 113 juncto Pasal 133 UUK. Pasal 113 UUK menyebutkan bahwa:

1. Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:

a. batas akhir pengajuan tagihan

b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

c. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang.

2. Tenggang waktu antara tanggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b paling singkat14 (empat belas) hari.158

Kemudian Pasal 133 UUK menyebutkan,

1. Piutang yang dimasukkan pada Kurator setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), dengan syarat dimasukkan paling lambat 2 (dua) hari sebelum hari diadakannya rapat pencocokan piutang, wajib dicocokkan apabila ada permintaan yang diajukan dalam rapat dan tidak ada keberatan, baik yang diajukan oleh Kurator maupun oleh salah seorang kreditor yang hadir dalam rapat.

158

Pasal 113 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Piutang yang diajukan setelah lewat jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dicocokkan.

3. Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku, apabila kreditor berdomisili di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang merupakan halangan untuk melaporkan diri lebih dahulu. 4. Dalam hal diajukannya keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau

dalam hal timbulnya perselisihan mengenai ada atau tidak adanya halangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hakim Pengawas wajib mengambil keputusan setelah meminta nasihat dari rapat.159

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 113 UUK, kurator membantah dan menolak melakukan pembayaran kepada negara yang dalam hal ini membayar utang pajak debitur pailit, karena menurut kurator batas waktu pengajuan tagihan utang telah melewati masa insolventie masa pengajuan utang terahkir. Sehingga penerapan hukum yang dilakukan DJP untuk melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit yakni PT.BTI, dengan mengeluarkan surat paksa tidak berhasil dan negara kehilangan haknya untuk melakukan penagihan pajak pada PT.BTI (debitur pailit).

Tindakan yang dilakukan oleh kurator dengan melakukan penolakan dan bantahan atas penagihan utang pajak tersebut bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Namun jika kurator menerapkan aturan pada Pasal 113 ayat 1 UUK tentang batas ahkir pengajuan utang pada kreditur lainnya selain pada DJP yang melakukan penagihan pajak maka tindakan tersebut tepat.

Selanjutnya karena tindakan melakukan pembayaran pajak, merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23(a) UUD 1945 yang merupakan dasar negara. Pasal ini menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang. Kemudian yang dimaksud pada kalimat diatur dengan Undang-undang adalah UU KUP yang merupakan UU yang mengatur tentang Pepajakan.

159

Pasal 133 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kemudian lebih lanjut pada UU Perpajakan, yakni pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada yang terutang oleh orang pribadi atau badan. Sehingga ketentuan yang dilakukan berdasarkan kepentingan umum ini dan bersifat memaksa, tidak boleh dikesampingkan, dan harus dilaksankan bagi wajib pajak yang terutang.

Hak negara dalam memungut pajak, dari wajib pajak juga diatur secara tegas pada UU KUP, yang memberikan hak mendahului kepada negara, atas harta penanggung pajak. Hak istimewa yang dimiliki negara ini dalam melakukan penagihan pajak ini merupakan hak relatif, yang mewajibkan orang atau badan harus melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang ada.

Kemudian terkait daluwarsa pajak, dalam hukum pajak mengatur tentang cara hapusnya utang pajak dari penanggung pajak, yakni :

1. Pembayaran, 2. Kompensasi utang, 3. Pembebasan utang, 4. Pembatalan

5. Daluwarsa160

Terkait daluwarsa pajak, pada ketentuan UU KUP memberikan ketentuan bahwa daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun sesuai dengan ketentuan pada Pasal 22 ayat 1 UU KUP. Sehingga antara negara dan wajib pajak diberikan kepastian hukum terkait waktu atau batas penagihan pajak.

Sehingga tindakan yang dilakukan DJP Banten dengan melakukan penagihan utang pajak pada Kurator PT.BTI dengan mengikuti proses atau cara yang ditentukan oleh UU KUP sudah tepat. Kemudian terkait hak mendahului seharusnya masih berlaku karena penagihan utang pajak belum dapat digolongkan daluwarsa. Karena Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan oleh DJP Banten tanggal 26 Agustus 2003 dan kemudian DJP Banten melakukan penagihan dengan surat paksa yang diterima oleh kurator PT.BTI tanggal 13 Agustus 2004. Sehingga berdasarkan hal tersebut belum digolongkan daluwarsa, dan penanggung pajak masih memiliki kewajiban untuk membayar utang pajak tersebut.

160

BAB IV

HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN

Dokumen terkait