• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK Pdt.Sus.Pailit 2013) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK Pdt.Sus.Pailit 2013) Chapter III V"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI E.Prosedur Penagihan Pajak

Pajak pada dasarnya merupakan kewajiban dari wajib pajak pada negara yang memiliki aturan untuk melakukan penagihan pajak atau kewajiban tersebut sesuai dengan Undang-undang Perpajakan. Kewajiban pajak ini selanjutnya dapat disebut sebagai utang pajak yang wajib diselesaikan pembayarannya kepada negara. Utang pajak ini merupakan suatu perikatan, dan menurut 1233 Burgerlijk Wetbook Indonesia (IBW) perikatan timbul karena Undang-undang atau karena perjanjian.

Segala perikatan baik yang lahir karena Undang-undang maupun karena perjanjian maka kreditor wajib melakukan tindakan sesuai dengan perikatan tersebut. Begitu juga untuk kewajiban pajak, utang pajak timbul karena Undang-undang oleh karenanya dalam subjek pajak wajib membayar pajak sesuai dengan Undang-undang Perpajakan. Kewajiban pajak yang harus dilaksanakan

sebagaimana ditentukan, antara lain:

1. Wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor DJP yang wilayah kerjanya

meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya

diberikan nomor pokok wajib pajak. Fungsi nomor pokok wajib pajak

merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan

sebagai tanda pengenal wajib pajak.112

2. Wajib pajak wajib melaporkan usahanya pada Kantor DJP yang wilayah

kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan pengusaha dan kegiatan

usaha dilakukan sebagai pengusaha kena pajak, dan kepadanya diberikan

keputusan pengukuhan pengusaha kena pajak.

3. Wajib pajak wajib mengambil sendiri surat pemberitahuan di tempat-tempat

yang ditetapkan oleh pejabat pajak yang mudah dijangkau oleh wajib pajak.

112

(2)

4. Wajib pajak wajib mengisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta

ditandatangani sendiri surat pemberitahuan, kemudian mengembalikan ke

Kantor DJP dilengkapi dengan lampiran-lampiran.113

5. Membuat faktur merupakan kewajiban pengusaha kena pajak

6. Wajib pajak diwajibkan untuk membayar atau menyetor pajak di tempat yang

telah ditentukan oleh undang-undang.

7. Pajak yang terutang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak dengan tidak

menggantungkan dengan adanya surat ketetapan pajak.114

8. Wajib pajak berkewajiban untuk menyelenggarakan dan/atas memperlihatkan

pembukuan atau pencatatan-pencatatan maupun data yang diperlukan oleh

pemeriksaan pajak

9. Wajib pajak wajib memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk

melakukan pemeriksaan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap

perlu.

10. Wajib pajak berkewajiban untuk menunjuk wakil bagi wajib pajak badan

yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan kewajiban perpajakan.

11. Wajib pajak wajib menunjuk kuasa hukum untuk mewakili wajib pajak diluar

maupun di dalam lembaga peradilan pajak.115

Berkaitan dengan kewajiban wajib pajak diatas, tentu saja dalam

pelaksanaannya tidak semua wajib pajak yang melaksanakan kewajibannya yakni membayar pajak dengan patuh dan taat sesuai dengan aturan. Sehingga

kementerian keuangan melalui DJP harus melakukan beberapa cara penagihan pajak kepada wajib pajak agar melakukan pembayaran. Prosedur penagihan pajak pada wajib pajak yang tidak atau belum melakukan kewajibannya dilakukan

113

Ibid, hal 82

114

Ibid, hal 83

115

(3)

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku yakni UU KUP dan UU PSP, yakni :

1. Ketetapan Pajak

Berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang menjadi dasar dalam hal melakukan penagihan adalah ketetapan pajak, maka DJP akan melakukan beberapa tata cara untuk melakukan penagihan pajak pada penanggung pajak. Dalam pelaksanaanya DJP akan mengeluarkan beberapa surat ketetapan pajak yang akan diberikan kepada penanggung pajak, yakni:

a. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat tagihan pajak diatur dalam Pasal 14 UU KUP yang menyebutkan surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanski administrasi berupa bunga dan atau denda. STP diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar

2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran

pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung

3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga

4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tetapi tidak

melaporkan kegiatan usahanya dikukuhkan sebagai PKP

5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai

PKP tetapi tidak membuat atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap.116

Pada Pasal 14 ayat 2 UU KUP menegaskan bahwa STP mempunyai kekuatan hukum sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Kemudian lebih lanjut lagi pada Penjelasannya disebutkan bahwa Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan oleh DJP melalui pemeriksaan atau penelitian. Surat Tagihan

(4)

Pajak dapat diterbitkan pada jenis pajak, Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Pengertian SKPKB diatur dalam Pasal 1 ayat 16 UU KUP yang menyebutkan bahwa SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan

pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar117. SKPPKB ini diterbitkan berdasarkan dari hasil

pemeriksaan wajib pajak, dengan keadaan, seperti ini :

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau ketersangan lain pajak yang terutang tidak

atau kurang dibayar

2. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah

ditetapakan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti

ditentukan dalam surat teguran

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya

dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikompensasikan

selisih lebih atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%.

4. Tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan

dalam pemeriksaan Pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang

terutang.118

Penerbitan SKPKB ini akan juga diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda, maupun berupak kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda 2% sebulan (selama-lamanya 24 bulan=48%) akan dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajib pajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

117

Pasal 1 ayat 16 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan

118

(5)

Defenisi SKPKBT diatur pada Pasal 1 angka 17 UU KUP yang menyebutkan SKPKBT merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPKBT merupakan hasil koreksi atas SKPKB, SKPLB, dan SKPN. Penerbitan surat ini juga harus berdasarkan adanya data baru (novum), dan atau data yang semula belum

terungkap yang menyebebakan penambahan pajak terutang dalam ketetapan pajak sebelumnya. Data baru yang dimaksud adalah data yang belum dilaporkan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan. Sedangkan data yang semula belum terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh wajib pajak namun tidak diungkapkan secara jelas.119

Penerbitan SKPKBT tersebut terdapat juga sanksi administrasi, jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak tidak dikenakan apabila SKPKBT itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.

Seperti halnya SKPKB, penerbitan SKPKBT juga dapat dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru yang

mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Berdasarkan Pasal 1 ayat 19 UU KUP, SKPLB merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Penerbitan SKPLB ini diterbitkan jika ada permohonan secara terutulis dari wajib pajak dan selanjutnya atas permohonan tersebut DJP yang dalam hal ini dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus sudah menerbitkan SKPLB selambat-lambatnya 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.120

Kemudian pada Pasal 17 UU KUP disebutkan bahwa:

119

Op,Cit¸hal 28.

120

(6)

1. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak

yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

2. Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah

meneliti apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,

yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan.

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila

berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih

dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah

ditetapkan.

Kemudian pada penjelasannya ditegaskan bahwa ketentuan pasal 17 UU KUP diterbitkan untuk :

a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah

pajak yang terutang;

b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada

jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara

jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau

c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih

besar daripada jumlah pajak yang terutang.

(7)

permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki

pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU KUP.

e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Ketentuan mengenai SKPN diatur pada Pasal 1 ayat 18 UU KUP, yang menyebutkan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Penerbitan SKPN dilakukan baik untuk jenis Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Untuk pajak penghasilan diterbitkan apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

SKLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak kepada DJP. Kemudian selanjutnya DJP akan diwakili Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu akan ditetapkan lain oleh DJP. Apabila jangka waktu 12 telah lewat, maka permohonan wajib pajak dianggap diterima dan wajib pajak berhak memperoleh pengembalian atas

kelebihan pajaknya. Kemudian jika berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan maka SKPLB masih dapat diterbitkan lagi.121

f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ( SPPT )

SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak. Ketentuan SKPN diatur pada Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang menyebutkan SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi oleh wajib pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat

Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh wajib pajak atau berdasarkan data objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB.122

SPPT yang telah diterbitkan oleh Kantor Pelayanan PBB, pelunasanya harus diselesaikan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya

(8)

SPPT oleh wajib pajak. Bila SPPT tidak dilunasi maka akan dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari pembayaran untuk jangka waktu selama-lamanya 24 bulan.123

2. Tindakan Penagihan Pajak

Pada dasarnya yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam penerimaan pajak pada suatu negara adalah dengan melihat sejauhmana kepatuhan rakyatnya dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai dengan peraturan perpajakan. Karena pajak merupakan salah satu sumber serapan dana cukup besar dari negara, maka untuk memenuhi target penerimaan pajak tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memungut pajak dari wajib pajak yang tidak taat atau belum membayar pajak sesuai dengan ketetapan aturan perpajakan.

Adapun tindakan penagihan pajak yang akan dilakukan petugas DJP sesuai dengan UU KUP dan UU PSP adalah :

1. Surat Teguran

Surat teguran dapat disebut juga sebagai surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur ataupun memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 UU PSP124. Surat ini merupakan prosedur penagihan pada tahap awal, bagi wajib pajak yang sudah memiliki utang pajak yang harus dibayar.

Surat teguran ini memberi waktu kepada penanggung pajak untuk menyelesaikan kewajibanya selama 14 hari, sebelum diterbitkannya surat paksa yang merupakan tahapan selanjutnya jika wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya. Apa bila dalam hingga waktu yang diberikan, wajib pajak tidak melakukan pembayaran maka akan dilakukan tindakan sebagai berikut :

a. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh

tempo pengajuan keberatan, apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian

atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir

hasil pemeriksaan dan wajib pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat

123

Jhon L Hutagaol dkk, Op,Cit, hal 29.

124

(9)

Ketetapan Pajak Kurang Bayar(SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar Tambahan (SKPKBT).

b. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh

tempo pengajuan banding, apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau

seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil

pemeriksaan dan wajib pajak tidak mengajukan permohonan banding atas

keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT.

c. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh

tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan putusan banding,

apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang

masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan wajib

pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan

dengan SKPKB atau SKPKBT.

d. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh

tempo pelunasan (1 bulan sejak tanggal diterbikan) apabila wajib pajak

menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan

akhir hasil pemeriksaan.

e. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak tanggal

pencabutan pengajuan keberatan apabila wajib pajak mencabut pengajuan

keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan

tetapi sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh wajib

pajak.

(10)

melakukan tindakan yang lebih lanjut. Namun apabila sampai pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan ketetapan pajak tersebut tidak dilunasi oleh wajib pajak maka akan menjadi utang pajak yang dapat dilakukan penagihan berdasakan UU PSP.

Sesuai dengan fungsinya surat teguran pajak adalah untuk

memperingatkan penanggung pajak untuk segera melunasi utang pajaknya maka kondisi diatas telah menunjukan bahwa sebenarnya wajib pajak atau penanggun pajak secara sadar telah mengetahui bahwa dirinya memiliki utang pajak.

Sehingga dengan demikian upaya memperingatkan wajib pajak atau penanggung pajak dengan surat teguran tidak diperlukan jika penanggung pajak menyelesaikan kewajibannya.125

2. Surat Paksa

Surat paksa merupakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.126Hal ini didasarkan pada kepala surat paksa tercantum “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.127

Surat paksa dilaksanakan oleh juru sita Pajak Negara, yaitu karyawan Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk dan diangkat serta disumpah berdasarkan keputusan Kepala KPP/KPPBB atas nama Menteri Keuangan. Selanjutnya surat paksa ini memerintahkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajak, denda bunga, dan biaya penagihan dalam waktu 2x 24 jam. Jika tidak dilunasi akan dilakukan penyitaan baik penyitaan atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak.128 Surat paksa diterbitkan dalam hal :

a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan jatuh tempo

pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat

peringatan atau surat lain yang sejenis.

125

Ibid, hal 68

126

Mardiasmi, Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2002), hal 47.

127

Ida Zurida dan L.Y Hari Sih Advianto, Op, Cit, hal 71

128

(11)

b. Terhadap penanggung pajak yang telah dilaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus, atau

c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana tercantum dalam

keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.129

Terkait penanggung pajak yang belum melakukan kewajibanya membayar utang pajak sesuai dengan ketetentuan yang ada, maka dalam hal ini juru sita akan menyampaikan Surat Paksa kepada :

1. Penanggung pajak

2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha

Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat

dijumpai

3. Salah satu ahli waris atau pelaksanan wasiat atau yang mengurus harta

peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan

belum meninggal dunia.

4. Para ahli waris apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan

telah dibagi.

Surat paksa terhadap badan diberitahukan jurusita kepada:

a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik

modal

b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita

tidak menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud seperti diatas.

Berkaitan dengan wajib pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau

129

(12)

likuidator.130 Surat pemberitahuan ini berlaku selama 2x24 jam dan jika dalam waktu tersebut penanggung pajak atau wajib pajak tidak membayar utang pajak, maka petugas selanjutnya akan melakakukan penyitaan terhadap barang bergerak mapun tidak bergerak dari milik penanggung pajak.

3. Surat Sita atau Penyitaan

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 ayat 2 PP No.135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa diatur bahwa penyitaan adalah tindakan juru sita pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku131. Tujuan dilakukannya dari tindakan penyitaan ini sesungguhnya tidak untuk melakukan penjualan barang milik penanggung pajak, melainkan hanya untuk menguasi barang penanggung pajak sebagai jaminan pelunasan utang pajak.132

Penyitaan ini hanya dilakukan sebagai bentuk jaminan juru sita pajak dari barang milik penanggung pajak yang tidak taat membayar pajak, dan juga tidak telah menerima surat teguran dan surat paksa dari petugas juru sita. Penanggung pajak diberi kesempatan untuk melunasi utang pajaknya oleh Undang-undang selama waktu 14 hari sejak surat penyitaan diberikan oleh juru sita kepada penanggung pajak atau wakil wajib pajak. Jika wajib pajak melunasi maka

penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dikembalikan atau pencabutan sita. Namun jika wajib tidak melunasi maka, DJP akan melakukan pelelangan terhadap objek barang yang disita oleh juru sita pajak.

4. Pengumuman Lelang

Pengertian Lelang menurut Pasal 1 angka 17 UU PSP adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Sementara pelaksanaan penjualan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang. Pengumuman lelang dilakukan oleh pejabat DJP apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Pengumuman lelang dilakukan dan untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali selama 10 (sepuluh) hari.

5. Penjualan Barang Sitaan

130

Mardiasmo, Ibid¸hal 48

131

Pasal 1 ayat 12 PP No.13 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan

132

(13)

Penjualan Barang Sitaan penanggung pajak dilakukan oleh pejabat melalui kantor lelang negara apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang, penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penawaran lelang dilaksanakan secara langsung, semua peserta lelang yang sah atau kuasanya pada saat mengajukan penawaran.

Jika hasil penjualan barang sitaan telah mencukup untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan, maka penjualan barang lelang dihentikan. Kemudian apabila terdapat sisa dari hasil penjualan maka uang tersebut dikembalik kepada penanggung pajak.

F. Dasar Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit 3. Dasar Hukum Penagihan Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia, baik pajak pusat maupun pajak daerah mengenal dua sistem pemungutan, yaitu self assessment dan official assessment. Dasar penagihan pajak dalam kedua sistem tersebut tidak ada berbeda, keduanya memerlukan penetapan pajak terlebih dahulu sebelum tindakan penagihan pajak. Dalam sistem self assessment, pelakasanaan kewajiban perpajakan tidak

menggantunggkan adanya ketetapan pajak dari pihak otoritas perpajakan, penetapan otoritas perpajakan yaitu DJP untuk pajak pusat atau Pemerintah Daerah untuk pajak daerah.

Sistem self assessment penagihan pajak diperulkan jika terdapat utang pajak yang berasal dari penetapan dari pihak otoritas perpajakan (pusat/daerah) dan atas penetapan tersebut tidak dilunasi oleh wajib pajak sehingga menimbulkan utang pajak. Dalam sistem official assessment hasil penetapan pajak yang tidak dilunasi oleh wajib pajak akan menjadi utang pajak yang merupakan dasar penetapan pajak.

Kemudian dalam penagihan pada wajib pajak, petugas perpajakan

melakukan penerapan aturan hukum yang sama. Sesuai dengan dengan pengertian wajib pajak pada pasal 1 ayat 2 UU KUP melakukan klasifikasi wajib pajak, yakni:

1. Orang pribadi

(14)

sesorang akan menjadi tanggungan dalam rangka memenuhi kewajibannya133. Pada UU KUP mengenal istilah wajib pajak orang pribadi yang menjalankan pekerjaan bebas, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang

mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat pada suatu hubungan kerja, misalnya dokter, notaris, pengacara, atau agen asuransi. UU KUP mengatur bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif maka wajib bagi mereka memperoleh NPWP.

Ketentuan lain terkait orang pribadi juga diatur pada Pasal 1 ayat 4 UU KUP, yang menyebutkan pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

2. Badan

Ketentuan mengenai badan yang merupakan wajib pajak diatur pada Pasal 1 ayat 3 UU KUP yang menyebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Kedua golongan wajib pajak tersebut dalam penerapan aturan hukum pada saat dilakukan penagihan pajak, petugas DJP melakukan tindakan berdasarkan dasar hukum :

a. Dasar hukum formal

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terahkir kali

dengan Undang-undang 16 Tahun 2009

133

(15)

2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19

Tahun 2000

3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak, dan

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengadilan Pajak134.

b. Dasar hukum material

1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir dengan Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2008

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan

Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa

kali diubah terahkir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009

3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir dengan Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1984

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000

134

(16)

6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang sebagaimana telah beberapa

kali diubah terahkir dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang

Pajak Daerah dan Restribusi, serta

7. Berbagai peraturan Daerah Provinsi, baik Peraturan Daerah Provinsi

maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang

pemberlakukan suatu jenis pajak aderah disuatu provinsi atau

kabupaten/kota.135

Ketentuan di atas merupakan aturan hukum yang diterapkan bagi wajib pajak pada umumnya sehingga dalam penagihan pajak terdapat kepastian hukum dan adanya perlakuan hukum yang sama bagi seluruh wajib pajak di Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang memberi ketegasan bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan pemerintah termasuk dalam melakukan penagihan pajak pada masyarakat harus ada aturan hukum yang mendasari tindakan tersebut. Sehingga penagihan pajak yang dilakukan DJP kepada wajib pajak adil dan tidak melakukan perbedaan atau tindakan khusus.

Kemudian untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat terkait penagihan utang pajak. Undang-undang Perpajakan juga mengatur tentang hapusnya utang pajak, sehingga debitur tidak harus melakukan pembayaran. Hapusnya perikatan pajak, meliputi :

1. Pembayaran,

2. Kompensasi utang,

3. Pembebasan utang,

4. Pembatalan

5. Daluwarsa136

Hapusnya utang karena pembayaran apabila suatu utang pajak dibayar lunas maka akan menjadi hapuslah utang pajak tersebut. Mereka yang diwajibkan membayar pajak adalah wajib pajak, yakni subjek pajak yang mempunyai

135

Ibid, hal 88

136

(17)

kewajiban untuk membayar pajak. Pembayaran pajak yang diwakilkan oleh pihak ketigajuga dimungkinkan137 Dalam hal ini jika pada perusahaan pailit maka yang menjadi pihak ketiga ada kurator sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat 3(a) UU KUP.

Selanjutnya hilangnya utang akibat kompensasi utang, apabila terjadi kelebihan pembayaran pajak, misalnya yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti perubahan peraturan, adanya pemberian pengurangan, kekeliruan

pembayaran dan lain sebagainya, maka kelebihan pembayaran pajak itu menjadi hak wajib pajak. Dalam hal ini pajak dapat direstitusikan (dikembalikan) kepada wajib pajak, dikompensasikan (diperhitungkan) dengan utang pajak untuk tahun pajak berikutnya ataupun disumbangkan kepada negara. Hal ini berdasarkan ketentuan pada Pasal 11 ayat 1 UU KUP.138

Hilangnya atau hapusnya utang pajak dapat disebabkan karena adanya pembebasan utang. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan adanya keputusan administrasi dibidang pajak.139 Pembebasan merupakan sarana hukum pajak untuk melepaskan tanggung jawab wajib pajak berupa membayar pajak. Pembebasan hanya diperuntukkan terhadap wajib pajak yang secara nyata dikenakan pajak, tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang Pajak untuk diberikan pembebasan. Sekalipun demikian, wajib pajak tetap wajib

menaati Undang-undang Pajak yang memberikan pembebasan sehingga tidak terjadi pelanggaran hukum yang berakibat dapat dikenakan sanksi hukum pajak.140

Hapusnya utang pajak juga dapat disebabkan karena pembatalan. Dalam hukum pajak, pajak yang terutang hanya dapat dihapuskan atau dibatalkan karena adanya surat keputusan dari DJP. Peniadaan utang pajak hanya dapat terjadi karena berdasarkan permohonan wajib pajak yang dikabulkan oIeh pejabat pajak dapat berupa sebagai berikut:

a. Peniadaan sebagian utang pajak adalah perbuatan hukum oleh pejabat pajak

untuk melakukan pengurangan atas sejumlah utang pajak yang seyogianya

dibayar.

(18)

b. Peniadaan secara keseluruhan utang pajak adalah perbuatan hukum oleh

pejabat pajak untuk meniadakan seluruh utang pajak yang seharusnya

dibayar.141

Perikatan pajak yang juga dapat terhapus karena adanya daluwarsa. Daluwarsa yang mengakibatkan hilangnya kewenangan dari DJP untuk

mengenakan Surat Ketetapan Pajak meupun hak untuk penagihan dengan surat paksa.142 Mengenai daluwarsa ini di atur pada Pasal 22 ayat 1 UU KUP , yang menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.143

Sehingga dengan adanya ketentuan mengenai hapusnya utang pajak ini memberi penegasaan bahwa didalam pemungutan pajak terdapat kepastian hukum. Hal ini diberikan agar wajib pajak diberikan rasa keadilan dan kepastian terkait utang pajak.

4. Penagihan Pajak Terhadap Perusahaan Pailit

Keadaan debitor (wajib pajak) yang dinyatakan pailit, maka dasar hukum dalam melakukan penagihan utang pajak petugas menerapkan aturan hukum UU KUP dan UU PSP serta mempertimbangkan UUK untuk proses penagihannya kepada wajib pajak yang dinyatakan pailit. Hal disebabkan terkait hak yang dimiliki wajib pajak yang dinyatakan pailit dalam melakukan pengurusan harta kekayaannya hilang, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 24 UUK yang

menyebutkan bahwa “debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasi dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu diucapkan”144

.

Hal ini menyebabkan dalam melaksanakan kewajibannya, akan

dilaksanakan oleh kurator, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 16 dan 69 UUK yang menenetukan tugas dan kewenangan kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan

141

Ibid,

142

Y.Sri.Pudyatmoto, Loc,Cit hal 71.

143

Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

144

(19)

meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.145 Sehingga setelah ada pernyataan pailit maka kurator yang akan melaksanakan kewajiban debitor pailit untuk melakukan pelunasan utang-utang pajak.

Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 21 ayat 3(a) UU KUP, yang

menyatakan dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum

menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Sehingga UU KUP dan UUK menyatakan untuk pemberesan utang pajak debitor pailit, pelunasannya dilaksanakan oleh kurator yang ditunjuk oleh Hakim.

Utang pajak pada debitor (wajib pajak) pailit pada dasarnya tetap sama dengan keadaan wajib pajak pada umumnya, yaitu negara tetap memiliki hak istimewa yang mana pembayaran utang-utang harus didahulukan dibanding dengan kreditor lainnya. Terkait dengan kreditur, dalam Hukum kepailitan, kedudukan kreditor diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam yaitu

a. kreditor separatis (secured creditors),

b. kreditor preferen (preferred creditors), dan

c. kreditor konkuren (unsecured creditors).

Utang pajak merupakan kreditor preferen yang mana harus didahulukan terlebih dahulu pembayarannya daripada utang-utang lainnya.146

Status utang pajak yang masuk dalam kreditur prefren dan dipertegas pada ketentuan Pasal 41 ayat 3 UUK dan juga pada penjelasannya yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. Lebih lanjut lagi pada penjelasannya disebutkan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya

kewajiban membayar pajak. Hal ini jelas mengarahkan bahwa utang pajak pada perusahaan pailit menduduk hak istimewa dibanding dengan para kreditur lainnya seperti separatis dan konkuren.

Penagihan pajak pada perusahaan pailit yang mendapat kedudukan istimewa ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21 ayat 3 UU KUP yang

menegaskan bahwa negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak atas

145

Sunarmi, Op, Cit, hal. 118.

146

(20)

barang-barang milik penanggung pajak. Ketentuan ini meliputi pokok pajak, bunga denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan.147

Sesuai dengan UUK, UU KUP dan UU PSP maka yang menjadi dasar hukum penagihan pajak dan hak mendahului pada perusahaan pailit adalah sebagai berikut :

a. Pasal 21 UU KUP menyatakan bahwa :

1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang

milik Penanggung Pajak.

2. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan,

dan biaya penagihan pajak.

3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya,

kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk

melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

dan/ atau

c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan

penyelesaian suatu warisan.

Pada penjelasan Pasal 21 ayat 3 UU KUP secara tegas disebut negara memiliki hak mendahului diatas kreditur lainnya. Kecuali untuk biaya perkara dan biaya lainnya seperti yang telah ditentukan pada ketentuan UU Perpajakan.

b. Pasal 19 ayat 6 UU PSP yang menyatakan bahwa

Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

147

(21)

1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk

melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;

2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian

suatu warisan.

c. Pasal 21 ayat 3 UUK, yang menyatakan bahwa :

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian

dan/atau karena undang-undang. Kemudian pada penjelasannya disebutkan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena Undang-undang misalnya kewajiban membayar pajak.

d. Pasal 60 ayat 2 UUK, yang menyebutkan bahwa :

Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) maka kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan. Kemudian dalam penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "kreditor yang diistimewakan" adalah kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Negara yang telah memiliki dasar hukum dan hak yang didahulukan maka selanjutnya untuk proses pembayaran DJP harus mengikuti tata cara pemberesan pada debitor pailit. Salah satu proses untuk menentukan pemberesan tagihan pajak pada debitor pailit yakni pada rapat verifikasi utang. Dalam rapat verifikasi ini diadakan pemeriksaan, pencocokan dan pengujian atas tagihan-tagihan kreditor dengan pembukuan-pembukuan yang dimiliki debitor pailit. Untuk menentukan apakah tagihan-tagihan yang diajukan oleh kreditor akan diterima atau ditolak oleh kurator tergantung pada alat-alat bukti yang diajukan oleh kreditor. Untuk itu kreditor harus menyertakan perhitungan-perhitungan serta keterangan yang dimilikinya pada saat ia memasukkan tagihannya ke kurator.148

Ketentuan ini menegaskan bahwa semua kreditor wajib menyerahkan piutang masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan

148

(22)

tertulis lainnya yang menunjukan sifat dan jumlah piutang disertai dengan surat bukti atau salinannya dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk menahan benda. Atas penyerahan piutang tersebut, kreditor berhak meminta tanda149.

Hal ini juga memberi kewajiban bagi DJP untuk melakukan penagihan pajak juga harus mengikuti aturan verfikasi utang pada rapat verifikasi kreditor untuk menetukan kedudukan utang. Utang pajak masuk sebagai kreditur prefren seperti yang ditegaskan dalam UUK dan UU KUP, sehingga negara mempunyai hak mendahului dari kreditor lainnya.

Selanjutnya hak mendahului ini dapat hilang sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21 ayat 4 UU KUP yang menyatakan hak mendahulu hilang setelah

melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Sehingga berdasarkan ketentuan ini negara tetap

menerapkan asas keadilan dalam penagihan pajak pada wajib pajak.

G.Status Utang Pajak Pada Perusahaan Pailit

Pada dasarnya pajak merupakan suatu perikatan antara subjek hukum. Namun perikatan pada pajak tidak sama dengan perikatan yang dimaksud dalam perdata. Dalam perikatan perdata, perikatan dapat terjadi karena adanya perjanjian dan dapat pula karena undang–undang. Sedangkan perikatan pajak adalah

perikatan yang timbul karena undang-undang. Perikatan perdata dilingkupi oleh suasana hukum privat yang mengatur hubungan-hubungan hukum dari subjek-subjek yang sederajat. Sementara perikatan pajak dilingkupi oleh hukum publik di mana salah satu pihaknya adalah negara yang mempunyai kewenangan untuk memaksa.150

Kemudian lebih lanjut untuk defenisi utang pajak diatur pada Pasal 1 ayat

(8) UU PPSP yang menyebutkan bahwa Utang Pajak merupakan pajak yang

masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau

kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya

(23)

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut

kemudian ditegaskan pada Pasal 12 ayat (1) UU KUP setiap wajib pajak wajib

membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan

pajak. Utang pajak timbul apabila terdapat adanya sebab-sebab taatbestand yang

terdiri dari (keadaan, peristiwa ataupun perbuatan tertentu) yang menyebabkan

orang tersebut dikenakan pajak menurut undang-undang perpajakan.

Timbulnya utang pajak karena undang-undang yakni taatbestand yang

dalam hukum pajak disebut ajaran materil tentang timbulnya utang pajak.

Sedangkan ada pendirian lain yang dikenal dengan ajaran formil, di mana para

penganut ajaran ini berpendirian bahwa utang pajak itu timbul karena adanya surat

ketetapan pajak oleh fiskus. Dengan demikian meskipun sudah dipenuhi adanya

taatbestand, namun belum ada SKP, maka ini berarti belum ada utang pajak.151

Secara umum utang pajak digolongkan ke dalam 2 ajaran yakni material

dan formal. Menurut ajaran material utang pajak timbul karena keadaan adanya

undang-undang pajak dan peristiwa/keadaan perbuatan tertentu, serta tidak

menunggu dari tindakan pihak fiskus/pemerintah. Utang pajak yang timbul karena

keadaan tertentu misalnya pengenaan pajak kendaraan bermotor. Pajak yang

timbul karena perbuatan misalnya : BPHTB, BBNKB, Bea Meterai, PPh, PPn,

dan PPn BM (taatbestand). Timbulnya utang pajak karena peristiwa tertentu

151

(24)

misalnya pengenaan BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena

warisan, BBNKB atas penyerahan kendaraan karena warisan, dan sebagainya.152

Sedangkan menurut ajaran formal utang pajak timbul yang tidak melihat

tentang adanya taatbestand sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak tetapi

menggantungkan pada adanya suatu SKP. Tanpa adanya SKP yang dikeluarkan

oleh fiskus maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, atau

dengan kata lain walaupun taatbestand telah dipenuhi akan tetapi apabila belum

dikeluarkan SKP maka belum ada suatu utang pajak.153 Menurut ajaran formal

apabila seorang wajib pajak meninggal dunia sebelum dikeluarkannya SKP maka

orang tersebut luput dari pengenaan pajak, dan kewajiban pembayaran pajak

dengan sendirinya tidak dapat berpindah kepada ahli warisnya. Hal ini didasari

pada pendapat yang menyatakan bahwa utang pajak belum pernah timbul karena

belum pernah dikeluarkan SKP.

Berkaitan dengan hal tersebut, ajaran formil pada dasarnya menyatakan

bahwa utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang

dikenakan pajak karena adanya suatu keadaan dan perbuatan (taatbestand).

Ajaran ini diterapkan pada self assessment system sebagaimana yang berlaku di

Indonesia termasuk pada penagihan pajak.

Kemudian jika dilihat dari timbulnya utang pajak tersebut maka yang

mendasari pertama ajaran materil dan selanjutnya ajaran formil. Hal disebabkan,

walaupun saat ajaran materil sudah terpenuhi yaitu utang pajak telah ditetapkan

oleh undang-undang, melainkan pada ajaran formil belum terpenuhi dimana

152

Marihat Pahala Siahaan, Op Cit, hal. 129.

153

(25)

belum diterbitkan SKP oleh DJP, maka saat ini utang pajak belum dapat dianggap

timbul atau ada. Hal tersebut yang menjadi dasar pada proses penagihan pajak

yang dilakukan, DJP sebagi penagih pajak yang akan melaksanakan

kewenangannya apabila telah dikeluarkannya SKP.

Selanjutnya penagihan pajak pada wajib pajak pailit atau perusahaan pailit

maka dalam hal ini diatur oleh hukum kepailitan melakukan penggolongan

kreditur. Hal ini didasari oleh, pada syarat pengajuan permohonan pailit harus

memiliki 2 atau lebih kreditur. Sehingga dalam UUK untuk pembagian kreditur

dilakukan klasifikasi, sebagai berikut :

1. Kreditor konkuren (Unsecured Creditor), kreditor yang harus berbagai dengan

kreditor lainnya secara proposional, atau disebut juga harus secara pari passu,

yaitu menurut perbandingan besarnya masinng-masing tagihan mereka

2. Kreditor Prefren (secured creditor), kreditor yang didahulukan dari

kreditor-kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan tagihannya dari hasil penjualan

harta kekayaan debitor dan kreditor ini mendapat hak istimewa karena

diberikan oleh undang-undang.

3. Kreditor separatis, yaitu kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan

seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Tergolong sebagai kreditur separatis adalah

kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan

atas kebendaan lainnya.154

Berdasarkan pembagian golongan kreditur diatas, maka utang pajak masuk

dalam kreditur prefren, dimana memiliki hak istimewa. Status utang pajak pada

154

(26)

perusahaan pailit yang sudah tegas diatur pada hukum kepailitan, melalui

ketentuan pada Pasal 41 ayat 3 UUK dan penjelasnnya. Kemudian kedudukan

negara yang pembayarannya wajib didahulukan ini lahir atau timbul karena

adanya Undang-undang yang mengatur status penagihan tersebut.

H.Penerapan Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit PT. Bestindo Tata Industri

Pada dasarnya pelaksanaan penagihan pajak pada perusahaan pailit tidak

ada penerapan hukum yang berbeda jika wajib pajak taat dan seusai aturan dalam

hal melakukan proses pembayaran kewajibannya membayar pajak. Karena dalam

penagihan utang pajak, DJP memperlakukan wajib pajak sesuai dengan ketentuan

Undang-undang Perpajakan dan tidak ada perlakukan yang beda.

Pada kasus penagihan pajak perusahaan pailit PT. Bestindo Tata Industri

(PT.BTI), negara kehilangan hak untuk menagih dan kehilangan hak didahulukan

atas utang pajak debitor (wajib pajak) pailit. Hilangnya hak tagih negara ini

berawal dari penolakan dan bantahan dari kurator atas tagihan utang pajak pada

DJP Banten KPP Pratama Serang.

Sebelumnya kasus ini berawal dari PT. BTI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 17 Oktober 2000 dengan Nomor Putusan: 69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST. Selanjutnya kurator Amalia Santoso ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan pada Pasal 69 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

(27)

pajak melaporkan utang pajaknya dan selanjutnya melakukan pembayaran, jika data yang diberikan sudah benar dan diterima oleh DJP atau KPP.

Pada kasus PT.BTI yang dinyatakan pailit, kurator dianggap tidak memberikan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan PPh badan tahun pajak 2000 yang diserahkan kurator pada tanggal 31 Maret 2000. Hal ini disebabkan karena kurator dianggap tidak melampirkan neraca dan/atau laporan rugi laba dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatuan yang merupakan unsut keabsahan Surat Pemberitahuan.

Ketentuan terkait SPT ini diatur pada Pasal 3 ayat 1 UUK, yang menyebutkan bahwa, Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.155

Kemudian pada penjelasnnya disebutkan bahwa, fungsi Surat

Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau

melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak

atau Bagian Tahun Pajak;

b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak

c. harta dan kewajiban dan/atau

d. pembayaran dari pemotong atau pemungutan tentang pemotongan atau

pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah

155

(28)

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap pajak keluaran dan

2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh

Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotong atau pemungutan pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Hal yang dimaksud dengan mengisi surat pemberitahuan adalah mengisi formulir surat pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:

a. benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan

yang sebenarnya,

b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak

dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan dan

c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan

unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan.

Surat pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewajiban penyampaian surat pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap masa pajak.156

156

(29)

Selanjutnya untuk ketentuan batas waktu penyampaian SPT ini diatur pada Pasal 3 ayat 3 UU KUP, yang menyebutkan, batas waktu penyampaian surat pemberitahuan adalah:

1. Untuk surat pemberitahuan masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir

masa pajak,

2. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang

pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak atau

3. untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan,

paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.

Penjelasan pada Pasal 3 ayat 3 UU KUP mengatur tentang batas waktu penyampaian surat pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi wajib pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.

Kemudian untuk keabsahan SPT ini sesuai dengan ketentuan Perpajakan, diatur pada Pasal 3 ayat 7 UU KUP menyebutkan, bahwa surat pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:

a. Surat pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

b. Surat pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

c. Surat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga)

tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak,

dan wajib pajak telah ditegur secara tertulis atau,

d. Surat pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan

pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

(30)

dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai surat pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, surat pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan. Demikian juga apabila penyampaian aurat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila surat pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau

menerbitkan surat ketetapan pajak, surat pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 3 ayat 1, ayat 3, dan ayat 7 UU KUP, maka kurator dianggap tidak memberikan laporan SPT kepada DJP, dengan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Undang-undang perpajakan. Kurator PT.BTI tidak melampirkan neraca dan atau laporan laba rugi dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan SPT.

SPT yang disampaikan Kurator kepada DJP pada tanggal 31 Maret 2001, dan kemudian karena SPT ini dianggap tidak lengkap sehingga DJP

mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Nomor

PRINT-0162/WPJ.06/RP.02/2001 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Juni 2001. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak ini merupakan tindakan penagihan yang harus dilakukan karena DJP menganggap SPT yang disampaikan Kurator PT.BTI (debitur pailit) tidak lengkap dan dianggap tidak sah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat 7 UU KUP.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP kepada PT.BTI berdasarkan ketentuan pada Pasal 29 UU KUP yang menyebutkan bahwa, Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan157. Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, DJP pada tanggal 12 Desember 2003 mengeluarkan Daftar Rincian Tunggakan Pajak dan diikut dengan Surat Paksa tanggal 10 November 2003, yang diterima pengurus PT.BTI tanggal 14 Agustus 2004.

Penagihan pajak dengan surat paksa yang dilakukan oleh DJP ditolak oleh kurator. Kurator PT. BTI, menganggap penagihan utang pajak tersebut sudah melewati waktu lebih dari 2 tahun sejak dari verifikasi utang terahkir/insolventie

157

(31)

yakni pada tanggal 14 Juni 2003. Sehingga walaupun hak tagih pajak tetap ada, namun hak mendahului pajaknya sudah hilang terlambat melakukan penagihan sesuai dengan ketetapan pada rapat kreditur yang ditetapkan oleh hakim pengawas.

Tindakan penolakan tagihan yang dilakukan kurator berdasarkan berdasarkan ketentuan pada pada Pasal 113 juncto Pasal 133 UUK. Pasal 113 UUK menyebutkan bahwa:

1. Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit

diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:

a. batas akhir pengajuan tagihan

b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

c. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan

pencocokan piutang.

2. Tenggang waktu antara tanggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

dan huruf b paling singkat14 (empat belas) hari.158

Kemudian Pasal 133 UUK menyebutkan,

1. Piutang yang dimasukkan pada Kurator setelah lewat jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), dengan syarat dimasukkan

paling lambat 2 (dua) hari sebelum hari diadakannya rapat pencocokan piutang,

wajib dicocokkan apabila ada permintaan yang diajukan dalam rapat dan tidak

ada keberatan, baik yang diajukan oleh Kurator maupun oleh salah seorang

kreditor yang hadir dalam rapat.

158

(32)

2. Piutang yang diajukan setelah lewat jangka waktu yang ditentukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dicocokkan.

3. Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak berlaku, apabila kreditor berdomisili di luar wilayah Negara Republik

Indonesia yang merupakan halangan untuk melaporkan diri lebih dahulu.

4. Dalam hal diajukannya keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau

dalam hal timbulnya perselisihan mengenai ada atau tidak adanya halangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hakim Pengawas wajib mengambil

keputusan setelah meminta nasihat dari rapat.159

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 113 UUK, kurator membantah dan menolak melakukan pembayaran kepada negara yang dalam hal ini membayar utang pajak debitur pailit, karena menurut kurator batas waktu pengajuan tagihan utang telah melewati masa insolventie masa pengajuan utang terahkir. Sehingga penerapan hukum yang dilakukan DJP untuk melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit yakni PT.BTI, dengan mengeluarkan surat paksa tidak berhasil dan negara kehilangan haknya untuk melakukan penagihan pajak pada PT.BTI (debitur pailit).

Tindakan yang dilakukan oleh kurator dengan melakukan penolakan dan bantahan atas penagihan utang pajak tersebut bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Namun jika kurator menerapkan aturan pada Pasal 113 ayat 1 UUK tentang batas ahkir pengajuan utang pada kreditur lainnya selain pada DJP yang melakukan penagihan pajak maka tindakan tersebut tepat.

Selanjutnya karena tindakan melakukan pembayaran pajak, merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23(a) UUD 1945 yang merupakan dasar negara. Pasal ini menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang. Kemudian yang dimaksud pada kalimat diatur dengan Undang-undang adalah UU KUP yang merupakan UU yang mengatur tentang Pepajakan.

159

(33)

Kemudian lebih lanjut pada UU Perpajakan, yakni pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada yang terutang oleh orang pribadi atau badan. Sehingga ketentuan yang dilakukan berdasarkan kepentingan umum ini dan bersifat memaksa, tidak boleh dikesampingkan, dan harus dilaksankan bagi wajib pajak yang terutang.

Hak negara dalam memungut pajak, dari wajib pajak juga diatur secara tegas pada UU KUP, yang memberikan hak mendahului kepada negara, atas harta penanggung pajak. Hak istimewa yang dimiliki negara ini dalam melakukan penagihan pajak ini merupakan hak relatif, yang mewajibkan orang atau badan harus melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang ada.

Kemudian terkait daluwarsa pajak, dalam hukum pajak mengatur tentang cara hapusnya utang pajak dari penanggung pajak, yakni :

1. Pembayaran,

2. Kompensasi utang,

3. Pembebasan utang,

4. Pembatalan

5. Daluwarsa160

Terkait daluwarsa pajak, pada ketentuan UU KUP memberikan ketentuan bahwa daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun sesuai dengan ketentuan pada Pasal 22 ayat 1 UU KUP. Sehingga antara negara dan wajib pajak diberikan kepastian hukum terkait waktu atau batas penagihan pajak.

Sehingga tindakan yang dilakukan DJP Banten dengan melakukan penagihan utang pajak pada Kurator PT.BTI dengan mengikuti proses atau cara yang ditentukan oleh UU KUP sudah tepat. Kemudian terkait hak mendahului seharusnya masih berlaku karena penagihan utang pajak belum dapat digolongkan daluwarsa. Karena Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan oleh DJP Banten tanggal 26 Agustus 2003 dan kemudian DJP Banten melakukan penagihan dengan surat paksa yang diterima oleh kurator PT.BTI tanggal 13 Agustus 2004. Sehingga berdasarkan hal tersebut belum digolongkan daluwarsa, dan penanggung pajak masih memiliki kewajiban untuk membayar utang pajak tersebut.

160

(34)

BAB IV

HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT (Studi Putusan MA Nomor: 116 PK/PDT.SUS-PAILIT/2013) C. Deskripsi Kasus

1. Duduk Perkara

Kementerian Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah DJP Banten KPP Pratama Serang, sebagai pemohon mengajukan permohonan Prosedur Renvoi pada Peninjauan Kembali terhadap putusan Kasasi Nomor: 116

K/PDT.SUS/2012. DJP Banten menggugat Amalia Santoso sebagai Kurator PT.BTI (debitur pailit) untuk membayar tagihan atau utang pajak perusahaan pailit PT.BTI, yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tanggal 17 Oktober 2000.

Permohonan yang dilakukan oleh DJP Banten ini didasari karena DJP Banten yang melakukan penagihan utang pajak tahun pajak 2000 pada kurator PT.BTI (debitur pailit) ditolak dan dibantah oleh kurator. Sehingga hak negara sebagai kreditur prefren dalam perusahaan pailit hilang, hal ini disebabkan karena DJP Banten KPP Pratama Serang dianggap lalai dalam melakukan penagihan yang telah melewati 2 tahun sejak masa insolventie pada tanggal 14 Juni 2001.

Perusahaan pailit PT. Bestindo Tata Industri (yang selanjutnya disebut PT. BTI) mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tertanggal 20 September 2000. Alasan diajukannya permohonan pailit oleh debitur ini karena keuangan perusahaan ini sudah dalam keadaan defisit dan tidak mampu

membayar utang-utangnya kepada para kreditur. Pada saat diajukan permohoan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, PT.BTI memiliki total aset yang sesuai dengan laporan keuangan pertanggal 31 Desember 1999 berjumlah Rp.

11.718.784.593 (Sebelas miliyar tujuh ratus delapan belas juta tujuh ratus delapan puluh empat lima ratus sembilan puluh tiga rupiah), sedangkan total kewajiban atau utang pada para kreditur berjumlah Rp. 31.892.246.648 (Tiga puluh satu miliyar delapan ratus sembilan puluh dua juta dua ratus empat puluh enam enam ratus empat puluh rupiah).

(35)

Selanjutnya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan PT. BTI sebagai debitur pailit pada tanggal 17 Oktober 2000 dengan Putusan Nomor:69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST. Kemudian pada putusan ini Hakim menunjuk Putu Supadmiyakni Hakim

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas, serta mengangkat R.A. Amalia Santoso sebagai Kurator. Sehingga sejak putusan ini dinyatakan maka Kurator Amalia Santoso mulai bertugas sebagai kurator PT.BTI (debitor pailit).

Setelah pernyataan pailit tersebut, kurator mulai bertugas yakni dengan mengadakan rapat kreditor pertama untuk melakukan pencocokan utang atas para kreditor PT.BTI atau verifikasi utang pada tanggal 31 Oktober 2000. Kurator baru selesai melaksanakan verifikasi utang terahkir (insolventie) pada tanggal 14 Juni 2001, dengan daftar utang yang diakui berasal dari :

a. Departemen Keuangan RI Dirjen Bea Cukai Kanwil V Bandung,

b. Bank Dagang Nasional yang kemudian diambil alih oleh Badan Penyehatan

Perbankan Nasional/BPPN dan kemudian di cessie-kan kepada PT. Putra

Mandiri Finance/PT.PMF (20 Februari 2004),

c. PT. Pardie Jaya Chemical,

d. PT. Indo Summit Logistic (PT. Bekasi Container Terminal) sekarang PT.

Sumisho Global Logistic Indonesia/PT. SGLI,

e. PT. Telkom Serang.

Pada saat verifikasi terahkir ini belum ada ditemukan ataupun pengajuan utang pajak PT.BTI (wajib pajak) pailit oleh DJP Banten. Sebelum selesai melakukan verifikasi utang terahkir ini, Kurator PT.BTI melakukan tindakan wajib pajak yakni dengan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan tahun pajak 2000, yang diterima tanggal 30 Maret 2001 oleh DJP Banten KPP Pratama Serang. Namun laporan yang diberikan oleh kurator PT.BTI ini dianggap tidak sah, karena laporan pajak ini tidak dilampirkan dengan neraca dan/atau laporan rugi laba dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatu yang merupakan unsur keabsahan SPT.

Laporan yang dianggap tidak sah oleh DJP Banten KPP Pratama Serang ini berdasarkan ketentuan pada Pasal 3 ayat 1, ayat 3, dan ayat 7 beserta

(36)

mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak pada tanggal 21 Juni 2001 dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Tentang Pemeriksaan Pajak. Tindakan

pemeriksaan dan pemberitahuan pajak yang dilakukan DJP Banten KPP Pratama Serang berdasarkan ketentuan pada Pasal 29 UU KUP.

Kemudian pada tanggal 26 Agustus 2003, DJP Banten KPP Pratama Serang, menemukan utang pajak yang diikuti dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Hasil pemeriksaan tersebut menemukan utang Pajak PPn tahun 2000 dengan total utang pajak Rp. 2.264.694.817 (dua miliyar dua ratus enam puluh empat enam ratus sembilan puluh empat delapan ratus tujuh belas rupiah). Kemudian DJP Banten KPP Pratama Serang melakukan penagihan dengan mengeluarkan Surat Paksa tanggal 10 November 2003 dan daftar rincian tunggakan pajak tanggal 12 Desember 2003, yang diterima kurator PT.BTI tanggal 13 Agustus 2004. Penagihan pajak ini sudah melewati 2 tahun setelah masa insolventie atau verifikasi utang terahkir tanggal 14 juni 2001.

DJP Banten KPP Pratama Serang menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan pada tanggal 26 Agustus 2003, PT.BTI memiliki tunggakan atau utang pajak tahun 2000. Utang pajak ini ada sebelum dinyatakan pailit pada tanggal 17 Oktober Tahun 2000 oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atau pada saat memasuki masa insolvensi pada tanggal 14 Juni 2001. Namun pengihan yang telah melewati masa insolvensi ini kemudian ditolak oleh kurator karena sudah berlawanan dengan ketentuan UUK dan batas waktu penentuan verifikasi utang. Sehingga kurator PT.BTI mengajukan keberatan dan bantahan atas utang tersebut kepada DJP Banten KPP Pratama Serang namun keberatan tersebut ditolak dan diikuti dengan Surat Keputusan Jendral Pajak.

Berdasarkan hal tersebut, kurator juga mengajukan permohonan keberatan kepada Direjn Pajak RI, Kanwil DJP Banten KPP Serang melalui pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selaku pengadilan yang memeriksa semua sengketa menyangkut kepailitan. Kemudian berdasarkan permohonan prosedur renvoi tersebut, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan, tanggal 27 Maret 2012 yang amar putusannya sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya

2. Menyatakan bahwa bantahan yang dibuat Kurator PT. Bestindo Tata Industri

(Dalam Pailit) adalah sah dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang

(37)

3. Menolak :

a. Keputusan Dirjen Pajak RI-Kantor KPP Serang Surat PaksaNo.

0000979/WPJ.08/KP.0108/2003 tertanggal 10November 2003

b. Dirjen Pajak-Kakanwil DJP Banten KEP-40/WPJ.08/BD06/2007 tertanggal

26 Desember 2006

c. KEP-42/WPJ.08/BD06/2007 tertanggal 9 Maret 2007

d. KEP-24/WPJ.08/BD06/2007 tertanggal 5 Februari 2007

Berdasarkan keputusan Prosedur Renvoi pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat di atas sehingga menyebabkan Negara yang dalam hal diwakilkan oleh DJP Banten KPP Pratama Serang kehilangan haknya untuk menagih pajak pada

PT.BTI (debitur pailit) karena penagihan dilakukan setelah melewati 2 tahun sejak masa insolventie.

2. Pertimbangan Hakim

Pada putusan pemohonan Prosedur Renvoi pada pemeriksaan Peninjauan Kembali dengan putusan Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013, Majelis Hakim yang diketuai oleh Valerine J.L Kreikhoff dan Abdurrahman serta Soltoni Mohdally sebagai Hakim anggota memberikan beberapa pertimbangan pada putusan ini, sebagai berikut :

1. Bahwa Judex Facti (Pengadilan Negeri) dan Judec Juris tidak salah

menerapakan hukum, karena “penagihan/pemberitahuan kepada kurator

terlambat dimintakan yaitu telah lewat 2 tahun verifikasi.

2. Bahwa dengan sendirinya tagihan tersebut tidak dapat lagi dimasukan sebagai

tagihan yang harus dibayarkan dari harta pailit.

3. Bahwa novum yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat

diterima sebagai bukti baru karena tidak bersifat menentukan.

Referensi

Dokumen terkait

Gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar- benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap

Sumber Urip Sejati Utama terhadap aset milik Sugiarto Hadi, tidaklah berdasarkan atas permintaan pertanggungjawaban pribadi kepada pihak pemegang saham maupun

8 Sedangkan Djohansyah berpendapat bahwa kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit