• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANLISIS YURIDIS HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT. (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 116 PK/Pdt.Sus - Pailit/2013) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANLISIS YURIDIS HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT. (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 116 PK/Pdt.Sus - Pailit/2013) TESIS"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ANLISIS YURIDIS HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 116 PK/Pdt.Sus - Pailit/2013)

TESIS

ANDAR ALATAS HT. GALUNG NIM : 147005028/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ANALISIS YURIDIS HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 116PK/Pdt.Sus – Pailit/2013

TESIS

Diajukan Sebagia Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

ANDAR ALATAS HT.GALUNG 147005028/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : ANALISIS YURIDIS HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor : 116 PK/Pdt.Sus.

Pailit/2013)

NAMA : ANDAR ALATAS HT.GALUNG

NIM : 147005028

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM Menyetujui :

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution.,SH.,MH) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi., SH.,M. Hum) (Prof. Dr.Suhaidi.,SH.,MH ) Anggota Anggota

Ketu8a Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Sunarmi., SH.,M. Hum) (Prof. Dr.Budiman Ginting.,SH., M. Hum)

(4)

Telah Lulus Diuji pada Tanggal 20 Agustus 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution., SH., MH Anggota : 2. Prof. Dr. Sunarmi., Sh., M. Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi., SH., MH

4. Prof. Dr. Hasim Purba., SH., M. Hum 5. Dr. Mahmul Siregar ., SH., M. Hum

(5)

ABSTRAK

Kasus kepailitan PT.BTI, DJP Banten kehilangan haknya untuk didahulukan dan hak tagih terhadap PT.BTI (debitur pailit) karena kurator menolak dan membantah tagihan utang pajak yang diajukan oleh DJP Banten.

Penolakan ini didasari karena penagihan dilakukan telah melewati batas ahkir pengajuan utang, yaitu 2 tahun setelah masa insolventie yang telah ditetapkan Hakim Pengawas berdasarkan Pasal 113 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK). Namun terlambatnya penagihan yang dilakukan oleh DJP Banten ini karena kurator PT.BTI memberikan laporan pajak tidak lengkap sesuai dengan UU Perpajakan.

Sehingga DJP melakukan pemeriksaan utang pajak PT.BTI dan melakukan penagihan pada tanggal 13 Agustus 2004 atau telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana hak dan kewajiban negara sebagai kreditur prefren pada perusahaan pailit, bagaimana penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo Tata Industri menurut UUK dan Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit menurut UU KUP dan UUK.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dan bersifat deskriftif. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan mengadakan wawancara terhadap informan yakni Kurator di Medan . Sumber data yang dipergunakan yakni data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hak dan kewajiban negara dalam melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit dilakukan berdasarkan UU KUP. Hak tagih pajak merupakan hak istimewa yang pembayaran wajib didahulukan atas harta dari wajib pajak. Hak penagihan ini akan daluwarsa setelah 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat 4 UU KUP. Penerapan aturan hukum yang dilakukan DJP Banten pada PT.BTI (debitur pailit) dengan melakukan tata cara pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan pada UU KUP sudah tepat. Namun kurator menolak dan membantah tersebut, dengan dasar penagihan yang dilakukan tanggal 13 Agustus 2004 telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Kemudian Majelis Hakim dalam putusan MA No. 116 PK/Pdt.Sus/2013 terkait permohonan DJP Banten, memutuskan DJP Banten terlambat melakukan penagihan utang pajak pada PT.BTI, yaitu 2 tahun setelah masa insoventie. Putusan ini bertentangan dengan Pasal 23(a) UUD 1945, dan UU KUP. Karena Pasal 113 UUK dapat diterapakan pada utang-utang lainnya kecuali utang pajak karena ketentuan ini bersifat mengatur dan merupakan kepentingan individu. Sedangkan utang pajak bersifat memaksa dan dilakukan demi kepentingan umum. Sehingga DJP Banten seharusnya masih memiliki hak untuk menagih utang pajak pada PT.BTI dan kurator wajib membayar utang pajak tersebut.

Kata Kunci: Hak Tagih Negara, Utang Pajak, Perusahaan Pailit.

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul: “ANALISIS YURIDIS HILANGNYA HAK NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013). Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H selaku ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum serta Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

(8)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayahnda Y.H. Hutagalung dan Ibunda E. Br. Situmorang, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik ananda dengan penuh kasih sayang dan segala doa serta semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Begitu juga penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Sahmiyanti Solin S.Pd atas dukungannya selama ini hingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Dan juga telah merawat serta membesarkan buah hati penulis ananda Alceo Darren Hutagalung.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan, khususnya rekan-rekan Reguler A dan Hukum Bisnis Tahun 2014 Magister Hukum Universitas Sumatera Utara yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Atas dukungan dan terus memberikan motifasi serta

(9)

semangat dan diskusi dari awal masuk Magister Hukum Universitas Sumatera Utara sampai saat penulis selesai menyusun tesis ini.

Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah.

Akhrinya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang hukum.

Medan, Agustus 2016

Penulis,

ANDAR ALATAS HUTAGALUNG

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Andar Alatas Hutagalung

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Samosir, 20 Juli 1989 3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Status : Menikah

5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat : Jl. Pasar VII Jamin Ginting, Medan II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Y.H.Hutagalung

2. Nama Ibu : E.Br. Situmorang

3. Nama Istri : Sahmiyanti Solin S.Pd 4. Nama Anak : Alceo Darren Hutagalung III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri 164319 Kota Tebing Tinggi

Tahun: 1995-2001

2. SMP : SMP Negeri 5 Kota Tebing Tinggi

Tahun : 2001-2004

3. SMA : SMA Negeri 4 Kota Tebing Tinggi Tahun 2004-2007

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Fakultas Hukum

Tahun 2009-2013

5. Perguruan Tinggi (S2) : Universitas Sumatera Utara Magister Hukum

Tahun 2014-2016

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR RIWAYAT ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Kerangka Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 27

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27

2. Sumber Bahan Hukum ... 28

3. Tehknik Pengumpulan Data ... 29

4. Analisa Data ... 30

BAB II : HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN ... 32

A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan ... 32

B. Kedudukan Negara Dalam Kepailitan ... 41

1. Menurut Undang-undang Pajak ... 41

2. Menurut Undang-undang Kepailitan ... 45

C. Hak dan Kewajiban Negara Menagih Pajak Pada Perusahaan Pailit ... 48

BAB III: PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI ... 66

A. Prosedur Penagihan Pajak ... 66

B. Dasar Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit ... 82

1. Dasar Hukum Penagihan Pajak ... 82

(12)

2. Penagihan Pajak Terhadap Perusahaan Pailit ... 89

C. Status Utang Pajak Pada Perusahaan Pailit ... 94

D. Penerapan Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit PT. Bestindo Tata Industri ... 98

BAB IV: HILANGNYA HAK TAGIH NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN PAILIT (Studi Putusan MA Nomor: 116 PK/PDT.SUS-PAILIT/2013 ... 109

A. Deskripsi Kasus ... 109

1. Duduk Perkara ... 109

2. Pertimbangan Hakim ... 114

3. Putusan Hakim ... 114

B. Analisis Putusan Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 dikaitkan dengan UU No 37 Tahun 2004 dan UU No.19 Tahun 2009 ... 115

BAB V : PENUTUP ... 126

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 134

(13)

ABSTRAK

Kasus kepailitan PT.BTI, DJP Banten kehilangan haknya untuk didahulukan dan hak tagih terhadap PT.BTI (debitur pailit) karena kurator menolak dan membantah tagihan utang pajak yang diajukan oleh DJP Banten.

Penolakan ini didasari karena penagihan dilakukan telah melewati batas ahkir pengajuan utang, yaitu 2 tahun setelah masa insolventie yang telah ditetapkan Hakim Pengawas berdasarkan Pasal 113 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK). Namun terlambatnya penagihan yang dilakukan oleh DJP Banten ini karena kurator PT.BTI memberikan laporan pajak tidak lengkap sesuai dengan UU Perpajakan.

Sehingga DJP melakukan pemeriksaan utang pajak PT.BTI dan melakukan penagihan pada tanggal 13 Agustus 2004 atau telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana hak dan kewajiban negara sebagai kreditur prefren pada perusahaan pailit, bagaimana penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo Tata Industri menurut UUK dan Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit menurut UU KUP dan UUK.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dan bersifat deskriftif. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan mengadakan wawancara terhadap informan yakni Kurator di Medan . Sumber data yang dipergunakan yakni data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hak dan kewajiban negara dalam melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit dilakukan berdasarkan UU KUP. Hak tagih pajak merupakan hak istimewa yang pembayaran wajib didahulukan atas harta dari wajib pajak. Hak penagihan ini akan daluwarsa setelah 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat 4 UU KUP. Penerapan aturan hukum yang dilakukan DJP Banten pada PT.BTI (debitur pailit) dengan melakukan tata cara pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan pada UU KUP sudah tepat. Namun kurator menolak dan membantah tersebut, dengan dasar penagihan yang dilakukan tanggal 13 Agustus 2004 telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Kemudian Majelis Hakim dalam putusan MA No. 116 PK/Pdt.Sus/2013 terkait permohonan DJP Banten, memutuskan DJP Banten terlambat melakukan penagihan utang pajak pada PT.BTI, yaitu 2 tahun setelah masa insoventie. Putusan ini bertentangan dengan Pasal 23(a) UUD 1945, dan UU KUP. Karena Pasal 113 UUK dapat diterapakan pada utang-utang lainnya kecuali utang pajak karena ketentuan ini bersifat mengatur dan merupakan kepentingan individu. Sedangkan utang pajak bersifat memaksa dan dilakukan demi kepentingan umum. Sehingga DJP Banten seharusnya masih memiliki hak untuk menagih utang pajak pada PT.BTI dan kurator wajib membayar utang pajak tersebut.

Kata Kunci: Hak Tagih Negara, Utang Pajak, Perusahaan Pailit.

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, hingga kini masih terus melakukan perbaikan di berbagai bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Di bidang ekonomi, pemerintah memberi perhatian khusus pada sektor pembangunan mulai dari sisi infrastruktur, pertanian, industri, dan lainnya

sehingga pembangunan ini dapat mendorong peningkatan sektor ekonomi. Hal ini perlu dilakukan agar perbaikan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan rencana pembangunan pemerintah. Untuk mendukung pembangunan ini salah satu upaya pemerintah adalah dengan mencari investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Berbagai rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebelumnya harus disetuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam rapat Paripurna. Dalam hal ini pemerintah harus memiliki anggaran yang disimpan pada kas negara yang dihimpun dari berbagai sumber yang salah satunya, berasal dari sektor pajak. Pengertian pajak ini memilik beberapa defenisi, yakni Menurut P.J.A. Andriani

Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang tertuang oleh wajib pajak membayaranya menurut peraturan-

peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk

menyelenggarakan pemerintah.1

Sementara R. Santoso Brotoddiharjo, memberikan defenisi pajak yang berbeda ditinjau dari sudut pandang peralihan aset dari sektor privat ke sektor publik :

Pajak adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk mengambil kekeayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-

1 Ida Zurida dan L.Y Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 ) hal 4

(15)

badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak)”

Dari dua pengertian para sarjana tersebut dapat diketahui pentingnya pendapatan pajak untuk kelangsungan negara serta untuk pembangunan

pemerintahan sesuai dengan rencana pembangunan yang disusun pada Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara dan juga memperlihatkan hubungan masyarakat sebagai wajib pajak dengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara sangat jelas pentingnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja negara untuk rencana pembangunan negara. Ini memperlihatkan bahwa pentingnya hubungan antara masyarakat dan pemerintah dalam hal pembangunan negara. Penetapan pajak tentang Objek dan siapa Subjek dalam penagihan pajak juga sudah jelas diatur oleh undang-undang perpajakan, yakni tentang wajib pajak. Pengertian wajib pajak menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.2

Subjek atau siapa saja yang terkena wajib pajak telah diatur secara khusus oleh undang-undang adalah orang pribadi atau badan. Pasal 1 angka 3 Undang- undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.3

Pemungutan pajak pada subjek atau yang terkena wajib pajak ini jumlah kewajiban pajaknya dilihat dari kegiatan, keadaan, ataupun hasil yang diterima wajib pajak tersebut. Objek pajak pada wajib pajak yakni :

2 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

3 Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(16)

a. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah

Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau import barang kena pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, dan dapat dikenakan berkali-kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan.4

Pajak penjualan atas barang mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan impor barang-barang mewah yang tergolong mewah.

b. Pajak Bumi dan Bangunan

Yakni pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/ tanah dan/ atau bangunan. Keadaan subjek tidak ikut menentukan besar pajak.5

c. Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan d. Bea Materai6

Pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak baik perorangan maupun badan di Indonesia menganut sistem Self Assessment System.

System ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak boleh menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya.7

Khususnya pada kasus perusahaan yang sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan maka untuk melakukan pemberesan kewajiban pajak diwakilkan oleh kurator, yang didasari pada Pasal 69 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Secara umum tugas utama kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan utang pailit. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak tanggal

putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, dan dalam sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.8

4 Erly Suandy, Hukum Pajak, ( Jakarta: Salemba Empat, 2009 ), hal 57

5Ibid, hal 59

6 Ibid, hal 60

7 Rimsky K.Judisseno Pajak & Strategi Bisnis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum 2005)hal 27

8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaj, Kepailitan, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004 ), hal 64.

(17)

Pengurusan dan pemberesan utang-utang debitor yang telah pailit ini selanjutnya akan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.

Proses pembayaran harta debitur pailit pada kreditur pailit dimulai dari proses pendaftaran kreditur, pencocokan hutang, hingga saat pembayaran bagi para kreditur dan untuk menyatakan seseorang atau badan pailit harus memenuhi syarat -syarat sebagai berikut:

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak dapat membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih9 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran hutang, pada Pasal 2 ayat 1 UUK juga menerangkan untuk syarat pengajuan pailit “ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”10. Ini menegaskan bahwa didalam perusahaan yang akan diajukan pailit, harus memiliki dua atau lebih kreditur dimana salah satunya telah jatuh tempo dan kreditur memiliki hak untuk menagih.

Utang-utang debitor pailit pada para kreditor, termasuk seluruh

kewajibannya akan diselesaikan pengurusannya oleh kurator. Kurator bertugas sejak kepailitan diputuskan oleh pengadilan, karena debitor tidak berhak lagi untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Kurator merupakan satu- satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kreditor maupun debitor.11 Dalam melakukan pengurusan harta pailit, kurator akan melakukan rapat dengan para kreditor untuk menentukan utang-utang dari debitor pailit dan penggolongan kreditur. Namun sebelum dilakukan pemberesan harta pailit maka, wajib pajak yang dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likudasi kepada pemegang saham

9 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008) hal 27

10 Pasal 2 angka 1 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

11 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009) hal 117.

(18)

atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak dari wajib pajak bersangkutan.12

Keberadaan negara dalam perusahaan pailit yakni melakukakan penagihan utang pajak, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP). Hak tagih negara pada perusahaan pailit masuk dalam status kreditur preferen dan haknya di istimewakan dibanding dengan para kreditur lainnya karena hak tagihnya harus didahulukan. Hal ini berdasakan Undang-undang Pasal 41 ayat 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-

undang.13 Dalam penjelasannya dikatakan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena Undang-undang, misalnya kewajiban membayar pajak14.

Pada prinsipnya dalam pelaksanaan penagihan pajak terhadap perusahaan pailit, pemerintah telah membuat aturan khusus sejak awal-awal kemerdekaan.

Aturan ini dimulai sejak tahun 1944, dimana pemerintah dengan menerbitkan Ordonantie Pajak Pendapatan, yang diatur dalam Pasal 19 ayat 2 dinyatakan bahwa untuk pajak, negara mempunyai hak utama terhadap barang gerak dan barang tak gerak (yang dimaksud pada ayat 1)15. Kini dalam pelaksanaanya pemerintah membuat aturan yang lebih khusus untuk melakukan penagihan pajak baik pada perorang ataupun badan yang melakukan penunggakan maupun

perusahaan yang dinyatakan pailit. Aturan tersebut tertuang pada Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pelunasan utang pajak pada perusahaan pailit juga diatur pada Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

12 Billiy Ivan Tansuria, Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan, ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010 ),hal 303.

13 Pasal 41 angka 3 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

14 Penjelasan Pasal 41 angka 3 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

15 Pasal 19 ayat (2) Ordonansi Padjak Pendapatan 1944, Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 41.

(19)

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/

atau

c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.16

Hal ini menunjukan bahwa utang pajak pada perusahaan pailit tetap sama kedudukannnya dengan utang pajak lainnya pada subjek pajak. Hal ini disebabkan karena terdapat kepentingan negara yang harus didahulukan dibanding dengan para kreditur lainnya.

Meskipun Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sudah mengatur secara jelas tentang status utang pajak pada perusahaan pailit yang harus didahulukan.

Namun dalam prakteknya DJP, yang dalam hal ini mewakili pemerintah untuk melakukan penagihan pajak tidak jarang mendapat beberapa kendala dalam melakukan penagihan bahkan hingga kehillangan haknya untuk menagih pajak yang melakukan perlawanan dengan maksud tidak melakukan kewajiban membayar pajak. Beberapa kendala dan perlawanan terhadap pajak.

1. Perlawanan Pasif

Perlawanan pajak secara pasif ini berkaitan erat dengan keadaan sosial

ekonomi masyarakat dinegara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.17

2. Perlawanan Aktif

Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi pajak yang

seharusnya dibayar. Perlawanan ini dibagi dua menjadi:

a. Penghindaran Pajak ( Tax Avodiance )

Suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal.

b. Penggelapan pajak (Tax Avasion)

16 Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

17 Erly Suandy, Op,Cit. hal 21

(20)

Pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan, seperti memberikan data-data palsu atau menyembunyikan data.18

Perlawanan aktif ini meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.

Diantaranya dapat dibedakan cara-cara sebagai berikut:

1. Penghindaran dari pajak

2. Pengelakan/penyeludupan pajak 3. Melalaikan pajak19

Penagihan pajak dan cara penagihan yang di lakukan DJP pada wajib pajak sudah memiliki aturan tersendiri yakni melalui Undang-undang No.16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun hal ini masih saja dapat menyebabkan hak tagih negara mengalami kendala bahkan hingga kehilangan haknya untuk melakukan penagihan pajak. Seperti yang di jelaskan di atas tentang adanya perlawanan aktif dari wajib pajak untuk

melakukan kewajibannya membayar pajak pada negara. Dalam aturan penagihan pajak, kewajiban wajib pajak dapat berahkir atau hapus, yakni dengan beberapa cara, yaitu :

1. pembayaran 2. kompensasi 3. daluwarsa dan 4. penghapusan20

Seperti pada kasus kepailitan PT. Bestindo Tata Industri yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada Putusan Nomor:

69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST pada tanggal 17 Oktober 2000. DJP menggugat Kurator karena diduga melakukan kelalaian dalam melakukan pengurusan harta debitor pailit. Pasal 67(C) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalainnya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan

18 Erly Suandy, Op, Cit hal 22

19 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ( Jakarta : PT Refika Aditama, 2003 ), hal 14

20 Wirawan B. Iliyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), hal.54

(21)

kerugian terhadap harta pailit. Dari ketentuan diatas, kurator bukan saja bertanggung jawab karena perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi karena kelalainnya.21

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta, PT Bestindo Tata Industri yang dinyatakan pailit memiliki total aset perusahaan Rp. 11.718.784.593 dan total kewajiban atau utang pada para kreditur sebanyak Rp. 31.892.246.648, dengan memiliki 5 kreditur yang terdaftar pada saat persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Akan tetapi setelah putusan Pengadilan Niaga Pusat tersebut, Kementerian Keuangan RI Dirjen Pajak Wilayah DJP Banten KPP Pratama Serang pada

tanggal 21 Juni 2001 mengeluarkan Surat Pemeriksaan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak pada tanggal 23 Agustus 2003. Pihak DJP KPP Serang menemukan utang pajak sebesar Rp. 2.264.694.817. Namun utang pajak ini tidak termasuk utang debitur PT.BTI yang terdaftar pada putusan Pengadilan Jakarta Pusat.

Kementerian Keuangan RI, yang dalam hal ini diwakili oleh DJP KPP Serang Banten melakukan gugatan, dan menutut kurator untuk bertanggung jawab dan membayar utang pajak PT. Bestindo Tata Industri. Namun upaya hukum tersebut kandas, dan negara kehilangan haknya untuk didahulukan bahkan kehilangan hak tagih pajak pada perusahaan pailit tersebut.

Hak tagih negara pada perusahaan pailit ini hilang, sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 Tahun 2013. Dimana posisi negara dalam melakukan penagihan pajak diwakili Kementerian Keuangan RI Direktorat Jendral Pajak KPP Serang Banten melawan kurator PT. Bestindo Tata Industri. Dalam pertimbangan putusan Hakim Agung, menyatakan bahwa Dirjen Pajak Serang Banten terlambat melakukan penagihan atau pemberitahuan kepada kurator, yakni telah melewati 2 tahun setelah verifikasi.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009, dimana terhadap wajib pajak dapat dilakukan penagihan kurang dari 5 tahun sejak dikeluarkannya surat ketetapan pajak pada wajib pajak. Artinya hak tagih negara terhadap wajib pajak dapat dilakukan DJP, apabila tidak melewati kurun waktu selama 5 tahun, terhitung sejak penerbitan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan

21 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, ( Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004 ), hal 223.

(22)

peninjauan kembali, sesuai dengan Pasal 22 Undang-undang No. 19 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan22.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini akan menganalisis permasalahan penagihan pajak terhadap perusahaan pailit dalam perkara PT. Bestindo Tata Industri dengan Kementerian Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak Banten KPP Pratama Serang dengan judul “Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana hak dan kewajiban negara sebagai kreditur prefren pada perusahaan pailit?

2. Bagaimana penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo Tata Industri menurut Undang -undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang- undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ?

3. Bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit menurut UU 16 Tahun 2009 dan UU 37 Tahun 2004?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Mengetahui status dan menganalisis hak negara sebagai kreditur dalam hal melakukan penagihan pada perusahaan pailit.

22Pasal 22 Undang-undang No. 19 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajak an

(23)

2. Mengetahui dan menganalisis penerapan aturan hukum penagihan utang pajak pada perusahaan pailit menurut Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

3. Mengetahui dan menganalisis penyelesaian utang pajak pada PT.

Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis dan praktis.

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar pemikiran dalam mengembangkan substansi ilmu hukum, khususnya pada ilmu hukum pajak dan kepailitan. Sehingga penelitian ini membawa pemikiran baru bagi kalangan akademis dalam mempelajari ilmu di bidang Hukum.

2. Secara Praktis, hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi informasi yang baik bagi kalangan praktisi hukum maupun ekonomi bahkan untuk Legislatif dan Eksekutif dalam membuat Undang-undang. Begitu juga untuk para penegak hukum, yang sedang mengikuti proses hukum dibidang kepailitan dan pajak, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi hakim, petugas pajak, maupun kurator.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, dilingkungan perpustakaan Univeristas Sumatera Utara, maupun perpustakaan

(24)

cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh bagian Biro Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian yang berjudul : “Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit 2013) baik dalam judul maupun rumusan masalah belum pernah dilakukan. Dari hasil

pemeriksaan ditemukan penelitian yang mengkaji tentang hak mendahului dan kreditur preferen, yaitu dengan judul dan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Albert Richi Aruan, tesis pada tahun 2010 dengan judul “ Kedudukan Negara

Atas utang Pajak PT. Artika Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan, dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana penerapan hak mendahulu (preferen) yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak atas penagihan utang pajak perusahaan pailit dalam perkara kepailitan PT. AOI?

b. Bagaimana pengaturan Perundangan Perpajakan terhadap penagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit?

c. Sejauh mana Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 t entang UUK dan PKPU mengatur pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit?

2. Paulus Herdianto Manurung, tesis pada tahun 2015, dengan judul Hak Mendahului Tagihan Utang Pajak Untuk Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit, dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana penetapan hak mendahului pada fiskus dalam pelaunasan utang pajak, atas wajib pajak yang dinyatakan pailit ?

b. Bagaimana tata cara penagihan utang pajak atas wajib yang dinyatakan pailit?

(25)

c. Bagaimana hambatan-hambatan dalam hak mendahului pada fiskus terhadap pelunasan utang pajak atas wajib pajak yang dinyatakan pailit?

3. Dian Puspita Sari Siregar, tesis pada tahun 2010 dengan judul Hak Eksekutorial Kreditur Prefren Dalam Kepailitan Debitor, dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kedudukan kreditur prefren dalam kepailitan ?

b. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek Hak Tanggungan?

c. Bagaimana kreditur prefren dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit?

Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis dan tidak ada kesamaan atau plagiat dengan penelitian yang sudah ada.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Penelitan hukum membutuhkan kerangka teori dan kerangka konsep untuk menentukan arah penelitan. Penyusunan kerangka teori menjadi kewajiban, guna rumusan permasalahan yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang

menunjukan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.23 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni teori :

a. Teori negara hukum.

Negara hukum adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat)24. Teori ini mendudukan hukum sebagai panglima pada suatu negara untuk menjalankan roda pemerintahan, agar terciptanya tujuan negara tersebut.

Penggagas negara hukum ini pertama kalinya dikemukankan oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahaan yang baik ialah

23 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010) hal 93.

24 Nukthoh Arfawie Kurde, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal 13.

(26)

yang diatur oleh hukum. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konsitusi dan berkedaulatan hukum. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik-buruknya suatu hukum25. Dalam melakukan penagihan pajak pemerintah yang dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Jendral Pajak, harus melakukan penagihan berdasarkan undang-undang atau hukum yang berlaku, sehingga terjadi keadilan bagi seluruh rakyat.

A.V. Dicey salah seorang pemikir inggris, mengemukakan tiga unsur pemerintah yang kekekuasaanya dibawah hukum (the rule of law) yaitu : a. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum)

b. Equality Before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara.

c. Constitution Based on Individual Rights, artinya konstitusi itu bukan

merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.26

Negara hukum mempertegas bahwa kedudukan seluruh warga negara sama dihadapan hukum sehingga tidak ada perbedaan penerapan hukum yang dilakukan para penegak hukum. Indonesia merupakan negara hukum yang dituangkan dengan jelas pada Undang-undang Dasar 1945 yakni dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum.

Kemudian hal ini juga dipertegas kembali dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada perkecualiannya. Sehingga pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan hukum yang belaku.

Frans Magnis Suseno, menjelaskan alasan utama agar negara diselanggarakan berdasarkan hukum :

1. Kepastian hukum

2. Tuntuan perlakukan yang sama 3. Legitimasi demokratis

25Ibid, hal 14

26Ibid, hal 19.

(27)

4. Tuntutan akan budi27

Alasan digunakannya teori ini dalam penelitian ini adalah terjadinya perbedaan penerapan hukum yang digunakan para penegak hukum saat menentukan batas ahkir pengajuan utang pajak pada PT.BTI. DJP Banten melakukan penagihan utang pajak pada PT.BTI, berdasarkan UU KUP yang menyatakan bahwa hak mendahului daluwarsa terhadap penagihan pajak merupakan 5 tahun sejak diterbitkannya SPT sesuai dengan Pasal 21 UU KUP.

Sementara kurator menerapakan aturan terkait batas ahkir pengajuan utang pajak, berdasarkan Pasal 113 UUK. Pada kasus kepailitan PT.BTI, sudah

ditetapakan batas ahkir pengajuan tagihan utang pajak yakni 2 tahun sejak memasuki masa insolventie yaitu 14 Juni 2003. Sementara DJP melakukan penagihan pajak dengan mengeluarkan Surat Paksa diterima kurator 13 Agustus 2004.

b. Teori tujuan negara.

Para sarjana memiliki beberapa pengertian tentang teori tujuan negara ini Menurut Machiavelli Tujuan negara adalah untuk memupuk kekuasaan guna mencapai kemakmuran rakyat. Pemerintah atau raja sebagai tehknik memupuk dan menggunakan kekuasaan.28

Menurut Mac Iver

Fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya dilihat menurut kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat dari kepentingan intern, mencakup :

1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara yang merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas negara secara positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan warga negaranya, sedangkan tugas negara yang negatif artinya negara mempunyai wewenang menindak, menghukum setiap orang yang melanggara aturan hukum.

2). Perlindungan fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan (development) dan konservasi (conservation). Melalui fungsi perlindungan yang mencakup pengembangan dan konservasi atau pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya menjalankan fungsi ini dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti pemeliharaan hutan- hutan, pemeliharaan sumber mineral, pemeliharaan kekayaan laut,

27Ibid, hal 21.

28 I Dewa Gede Atmadja SH, MS, Ilmu Negara, (Jatim : Setara Press, 2012), hal 52.

(28)

sehingga generasi yang akan datang dapat memanfaatkan warisan berupa kekayaan alam.29

Indonesia juga mempunyai tujuan bernegara, yakni berdasarkan Pancasila dengan mencipatakan masyarakat adil dan makmur. Didalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 dirumuskan unsur-unsur masyarakat adil dan makmur, berdasarkan Pancasila tersebut secara dinamis dan tidak terminal utopistis. Unsur- unsur tersebut ialah :

a. Melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah (wilayah) b. Memajukan kesejahteraan umum

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan,

d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan dan keadilan sosial.30

Teori tujuan negara ini berkaitan dengan penagihan pajak, karena hasil pemungutan pajak yang dilakukan petugas Direktorat Jendral Pajak akan seluruhnya dipergunakan untuk mencapai tujuan negara, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam hal melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit, negara yang berkedudukan sebagai kreditur preferen ini, haknya harus didahulukan.

Kedudukan pajak, pada dasarnya merupakan utang wajib pajak pada negara. Menurut hukum perdata, seseorang dapat dikatakan mempunyai utang bila telah terjadi perikatan di antara para pihak. Perikatan tersebut bisa terjadi karena UU atau karena perjanjian. Perikatan yang timbul karena UU dapat timbul karena UU saja atau karena UU dengan perbuatan manusia. Sementara itu, menurut hukum pajak, utang pajak yang timbul karena UU saja, berarti haruslah terlebih dahulu ada UU yang menjadi dasar hukum pemungutan pajak. Dengan lahirnya Undang-undang. No 9 Tahun 1994 (tentang PPh), Undang-undang No.11 Tahun 1994 (tentang PPN dan PPnBM), Undang-undang No.12 Tahun 1994 (tentang PBB), dan Undang-undang No. 21 Tahun 1997 (tentang Bea Perolehan Hak atas

29Ibid. hal 56.

30 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara, ( Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003) hal.74

(29)

Tanah dan Bangunan-BPHTB), maka sejak saat itu timbul utang pajak dari subjek hukum pajak yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak.31

Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh DJP, yang menjadi petugas melakukan pemungutan pajak banyak mengalami kendala saat melakukan

penagihan sesuai yang diamanahkan undang-undang. Seperti hilangnya hak tagih negara pada perusahaan pailit, dengan alasan bahwa ini merupakan kelalaian petugas dalam melakukan pemungutan pajak. Selain mengabaikan aturan hukum yang berlaku, dan tidak mempertimbangkan jika hasil pemungutan pajak

dilakukan untuk mengisi kas negara. Dimana kas negara ini akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan dan rencana pemerintah, seperti pembangunan pelayanan umum, infrastruktur dan yang terpenting tujuannya menciptakan kesejahteraan rakyat.

c. Teori bakti atau kewajiban pajak mutlak

Menurut W.H.Van de Berge sebagai penganut teori ini mengutarakan, bahwa negara sebagai groepsverband (organisasi dari golongan) dengan

memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak32. Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang

mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak33. Negara yang melakukan pemungutan pajak memiliki hak mutlak untuk

melakukan penagihan pajak terhadap rakyat, maupun subjek hukum lainnya yang berada di Indonesia, sesuai dengan asas tempat tinggal atau asas domisili. Ini merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili dinegara bersangkutan atau seluruh

penghasilan dimana pun diperoleh , tanpa memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tesebut warganya atau warga negara asing.34

Pajak yang merupakan salah satu sumber keuangan negara, menjadi salah satu penyumbang anggaran terbesar untuk pembangunan suatu negara. Peranan yang sangat penting, sehingga negara memiiki hak mendahului untuk pembayaran

31 Wirawan B.Iliyas dan Richard Burton, Op.Cit, hal 86

32 R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu HukumPajak, (Bandung, PT Refika, 2003), hal 35.

33 Wirawan B.Iliyas dan Richard Burton, Op.Cit, hal 23.

34Ibid, hal 24.

(30)

pajak seperti pada perusahaan pailit. Alasan inilah sehingga penelitan ini menggunakan teori ini, agar pada permasalahan saat penagihan pajak terhadap perusahaan pailit dapat dilakukan berdasarkan aturan dan asas yang tepat.

Ketiga teori yang digunakan saling berkaitan, dimana teori negara hukum mendudukan hukum sebagai panglima tertinggi pada suatu negara hukum seperti Indonesia. Dalam hal melakukan penagihan utang pajak seperti pada kasus PT.BTI, aturan hukum terkait ini sudah jelas dan secara tegas menyebutkan bahwa pajak bersifat memaksa yang dilakukan untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang (Pasal 23 (a) UUD 1945). Sehingga berdasarkan UUD 1945 yang menjadi dasar hukum negara, maka semestinya kita taat dan tunduk terhadap aturan tersebut.

Undang-undang yang dimaksud pada Pasal 23(a) UUD 1945 tersebut adalah undang-undang perpajakan, yaitu UU KUP. Sehingga penerapan hukum mengenai pajak harus berdasarkan UU ini. Seperti halnya pada kasus kepailitan PT.BTI, tindakan DJP Banten dengan melakukan tugasnya dan melakukan penagihan utang pajak berdasarkan UU KUP sudah tepat. Penagihan utang pajak tidak dapat diterapkan ketentuan yang mengatur batas waktu pengajuan utang terahkir, seperti pada Pasal 113 UUK.

Ketentuan ini dapat diterapkan pada kreditur atau utang lainnya kecuali utang pajak. Karena penagihan utang pajak harus berdasarkan UU KUP yang menyebutkan bahwa hak mendahului dan penagihan pajak daluwarsa setelah 5 tahun sejak diterbitkan STP (Pasal 21 ayat 4 UU KUP). Hak istimewa yang diberikan dalam melakukan penagihan pajak ini, merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan umum yaitu keperluan negara yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal ini sesuai dengan teori tujuan negara dimana tujuan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Sehingga kewajiban dalam membayar pajak merupakan kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh wajib pajak berdasarkan ketentuan pada UUD 1945 dan UU Perpajakan.

3. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep- konsep tersebut adalah dengan membuat defenisi. Defenisi merupakan suatu pengertian yang lengkap tentang suatu istilah bertitik tolak pada referensi.

(31)

Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikan semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, tetapi demi juga menuntun peneliti sendiri dalam menangani proses penelitian. Konsep ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang – undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.35

b. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang – undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.36

c. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. 37

d. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan Undang–undang ini.38

e. Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.39

f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena

35 Pasal 1 angka 2 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

36 Pasal 1 angka 3 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

37 Pasal 1 angka 4 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

38 Pasal 1angka 5 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

39 Pasal 1 angka Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(32)

perjanjian atau undang – undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.40

g. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung”.41

h. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang- undangan perpajakan.42

i. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba bersih, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia43

j. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pengurusannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang ini.44

40 Pasal 1 angka 6 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

41 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

42 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

43 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan

44 Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang .

(33)

k. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.45

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.46 Penelitian hukum normatif menggunakan teori- teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.47 Selain mengacu pada teori-teori hukum, penelitian normatif juga mengacu pada doktrin-doktrin, norma- norma, asas-asas, serta kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan.48

Pada penelitian ini meneliti apa yang berdasarkan pada putusan pengadilan yaitu berkaitan dengan hilangnya hak tagih negara pada perusahaan pailit studi putusan Mahkamah Agung Nomor 116 pada tingkat Peninjauan Kembali/

Pdt.Sus-Pailit/2013, dan telah memilki kekuatan hukum tetap.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah suatu cara yang digunakan bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan jawaban terhadap suatu obyek penelitian yang diteliti melalui data yang telah terkumpul dan membuat suatu kesimpulan terhadap suatu obyek penelitian.49 Objek dalam penelitian ini adalah hak tagih negara pada perusahaan pailit dengan sifat penelitian dapat memberikan kesimpulan mengenai aturan hukum hak tagih negara pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

45 Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

46 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2005) hal.6

47 Ibid, hal 51,

48 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:

Bayumedia, 2008) hal. 282.

49 Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005), hal 30.

(34)

2. Sumber Bahan Hukum

Sebagai penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan hukumnya yang terdiri atas :

a. Bahan hukum primer, adalah suatu bahan hukum yang bersifat otoritas atau bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian.50 Suatu bahan hukum primer yaitu terdiri dari aturan – aturan atau hukum yang terdapat berbagai perangkat hukum baik itu undang – undang peraturan pemerintah , putusan pengadilan.

Bahan hukum primer yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang berupa buku – buku hukum, majalah hukum, jurnal – jurnal hukum yang memiliki kaitannya dengan

pembayaran hutang pada negara atau hak tagih negara pada perusahaan pailit dan memberikan pendapat – pendapat ataupun masukan – masukan dalam hal

melakukan penelitian. Bahan hukum sekunder juga merupakan bahan – bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer misalnya hasil – hasil penelitian, pendapat ahli hukum.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan, bahan hukum tersier misalnya kamus hukum, kamus umum, majalah, internet yang menjadi bahan tambahan dalam melakukan penelitian.51

3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Tehnik pengumpulan terhadap bahan hukum didalam penelitian ini adalah:

a. Studi kepustakaan (Library research)

50 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal 91.

51 Abdurahman, Sosiologi dan Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal 71.

(35)

Studi kepustakaan adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.52 Informasi itu dapat diperoleh peraturan perundang–

undangan, putusan pengadilan, mengumpulkan bahan–bahan hukum sekunder yaitu hasil penelitian hukum, pendapat ahli hukum serta mengumpulkan bahan–

bahan hukum tersier yaitu dokumen–dokumen hukum, buku–buku hukum, majalah hukum, internet.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data.53 Tujuannya untuk menjawab rumusan permasalahan didalam penelitian ini. Metode ini menggunakan

pendekatan pencarian data secara kualitatif.

Pengumpulan data dari lapangan berupa wawancara terhadap informan dalam hal ini Kurator di Medan, guna mendapatkan data tambahan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Melakukan suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang memiliki manfaat untuk memberikan suatu jawaban terhadap permasalahan- permasalahan yang sedang diteliti. Analisis data adalah suatu proses mengatur urutan data, membuatnya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar.54 Analisis data dalam penelitian menggunakan metode kualitatif yang memiliki arti prosedur penelitian yang menghasilkan suatu data deskriptif dalam bentuk kata – kata tertulis atau lisan dari orang – .orang yang perilakunya diamati.55

Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif yang berdasarkan asumsi mengenai realitas atau fenomena hukum yang memiliki sifat untuk dan komplek bahwa terdapat regulasi atau pola tertentu namun penuh keragaman atau variasi.56 Suatu data sekunder yang sudah diperoleh melalui penelitian

kepustakaan (Library Research) dan sudah diperoleh juga data lapangan (field research) yang kemudian disusun berurutan dan sistematis serta selanjutnya dianalisis menggunakan suatu metode kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran mengenai pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian menggunakan metode deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu

52 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta : Sinar Grafika , 1996 ), hal 50.

53Ibid hal 18.

54 Lexy J .Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2004), hal 103.

55Ibid, hal 3.

56 Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT. Grafindo Persada.2003), hal 53.

(36)

permasalahan yang bersifat umum ke khusus sehinga menjadi acuan menjawab permasalahan dalam penelitian. Tahapan analisis data dilakukan :

a. Mengumpulkan data sekunder yang sesuai dengan permasalahan penelitian b. Menemukan asas, norma dan hukum serta teori yang sesuai dengan

permasalahan penelitian.

c. Menguraikan dan menyusun secara sistematis hasil – hasil analisis data sekunder.

d. Menarik kesimpulan secara deduktif untuk menjawab masalah dalam penelitian.

(37)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan baik oleh debitur maupun kreditur dengan maksud untuk menyelesaikan permasalah utang- piutang antara kreditor dengan debitor. Permohonan pailit ini selanjutnya diajukan ke Pengadilan Niaga dimana perusahaan tersebut berada. Permohonan ini harus memenuhi syarat seperti pada ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK).

Sehingga dengan adanya lembaga kepailitan ini diharapakan dapat

berfungsi untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang memaksa dengan berbagai cara agar debitur membayar utangnya. Dengan adanya upaya hukum kepailitan memungkinkan debitur membayar utang-utangnya itu secara tertib dan adil yaitu:

1. Dengan dilakukannya penjualan atas harta pailit yang ada yakni seluruh harta kekayaan yang tersisa dari debitur

2. Membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada sekalian kreditur yang telah diperiksa sebagai kreditur yang sah masing-masing sesuai dengan:

a. Hak prefrensinya dan

b. Proporsional dengan hak tagihnya dibandingkan dengan besarnya tagihan kreditur konkuren lainnya.57

Terdapatnya jumlah kreditur lebih dari satu tersebut sehingga pada saat akan dilakukan pembagian dari harta debitor tersebut, kurator akan melakukan rapat kreditor yang salah satu tujuan rapat ini untuk menentukan kedudukan para kreditor. Debitor pailit yang memiliki lebih dari seorang kreditor dan diantara kreditor tersebut terdapat satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor prefren, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan aset debitor diantara para kreditor tersebut. Cara pembagian itu diatur dalam hukum kepailitan

57 Rahayu Hartini, Op,Cit, hal 22

(38)

(Bankruptcy law atau Insolvency law)58. Sehingga para kreditur tidak ada yang merasa dicurangi dan hak mereka untuk mendapat pembayaran utang dari si debitor dapat dilaksanakan.

Terkait dengan adanya beberapa kreditur dalam perusahaan pailit, KUH Perdata mengatur tentang hak dan kedudukan masing-masing kreditur. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa “harta kekayaan debitor menjadi agunan

bersama-sama bagi semua kreditornya hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi- bagi menurut kesimbangan, yaitu menurut perbandingan besar-kecilnya tagihan masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya59. Pasal ini mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya.

Pembagian hasil penjualan harta pailit dilakukan berdasarkan urutan prioritas, dimana kreditor yang kedudukannya lebih tinggi mendapatkan

pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah , dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).60 Berkaitan dengan kedudukan kreditor, dasar hukum kedudukan dalam kepailitan diatur dalam KUH Perdata dan UUK, yaitu sebagai berikut:

a. Kreditor Separatis

Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan

berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Dalam UUK kreditor separatis ini diatur pada Pasal 55 ayat 1 UUK yang menyebutkan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 61 Meskipun ketentuan Pasal 55 ayat 1 UUK memberikan kedudukan istimewa namun Pasal 56 UUK menentukan hak eksekusi tersebut dan hak pihak ke-tiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan.62

58 Sutan Remy Sjahdeini, Op, Cit, hal 9

59Op, Cit, hal 8.

60 Yuoky Surinda, Otoritas Semu, http://otoritas-semu.blogspot.com/2016/01/bagaimana- kedudukan-kreditor-preferen.html, diakses tanggal 13 Mei 2016 Pukul 20.11 Wib.

61 Pasal 51 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

62 Suarmi, Op, Cit, hal 174.

Referensi

Dokumen terkait