• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

B. Kedudukan Hak Negara Dalam Kepailitan a. Menurut Undang-undang Pajak

Keberadaan negara dalam perusahaan pailit yakni melakukan penagihan pajak yang menjadi hak negara. Penagihan pajak pada perusahaan pailit di lakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ), yang pelaksanannya berdasarkan aturan hukum yakni pada Undang-undang 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan Undang-undang 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PSP).

Penagihan pajak dan hak mendahului negara di atur pada Pasal 21 UU KUP yang menyebutkan :

1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak

2. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

70 Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

71 Sutan Remy Sjahdeini, Op, Cit, hal 280

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

dan/atau

c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.72

Pada saat melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit maka kurator yang akan melaksanakan kewajiban dari debitor yang sudah dinyatakan pailit untuk melakukan pembayaran utang pajak debitor pailit.

Ketentuan penagihan pajak pada pasal 21 ayat 1 UU KUP yang secara tegas menekankan bahwa negara memiliki hak mendahulu untuk utang pajak.

Sehingga pasal ini memberi posisi atau status kepada negara sebagai kreditur prefren. Lebih lanjut jika ketentuan Pasal 21 ayat 1 UU KUP ini dikaitkan dengan Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata, yang juga melakukan penekanan adanya hak istimewa yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya karena adanya peraturan perundang-undangan. Kedudukan negara sebagai kreditur prefren ini dinyatakan mempunyai hak mendahului seperti yang diatur secara khusus pada UU KUP yang menyebabkan negara memiliki hak mendahulu atas barang-barang milik penanggun pajak dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kreditur separatis dan konkuren seperti yang telah diatur dalam UU kepailitan.

Kemudian Pasal 21 ayat 3(a) UU KUP, menyatakan wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikusidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut73. Pasal ini kembali menekankan agar badan atau orang yang melaksanakan tugas pada wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi dilarang membagikan harta wajib pajak tersebut sebelum melakukan pembayaran utang pajak kepada negara.

Kedudukan hak negara dalam kepailitan ini juga dipertegas pada Pasal 19 ayat 5, dan 6 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang menyebutkan Pengadilan Negeri atau instansi lain yang

72 Pasal 21 Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

73 Pasal 21 ayat 3(a) Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak.74

Lebih lanjut dalam penjelasannya kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak.

Kedudukan negara ini sebagai kreditur prefren bukan berarti penagihan pajaknya tidak ada batasan waktu dalam penagihannya. Pasal 21 ayat 4 UU KUP menyatakan Hak negara dalam perusahaan pailit dapat hilang setelah 5 tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Walaupun negara berstatus sebagai kreditur prefren, namun hak nya dapat hilang, jika negara dalam melakukan penagihan pajak terlambat melakukan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan pasal ini.

Berkaitan dengan kedudukan negara yang diistimewakan ini bukan tidak berdasarkan alasan yang mendasar mengapa negara harus mendapat pembayaran atau pelunasan utang pajak yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditur separatis dan konkuren dalam kepailitan. Pembayaran pajak ini didahulukan karena pemerintah dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan makmur, membutuhkan anggaran yang besar. Dana yang didapat pemerintah digunakan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, fasilitas pelayanan publik dan lainnya. Sehingga dengan dilakukannya

pembangunan yang merata pada seluruh daerah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Hal ini berdasarkan teori tujuan negara, dimana negara memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar 1945. Dimana berdasarkan kepentingan publik ini sehingga kedudukan negara harus didahulukan untuk melakukan penagihan pajak pada

74 Pasal 19 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

perusahaan pailit dibanding dengan kepentingan pribadi atau individu ataupun perusahaan yang menjadi kreditur.75

b. Menurut Undang-undang Kepailitan

Kedudukan hak negara yakni melakukan penagihan pajak para perusahaan yang sudah dinyatakan pailit. Dalam kepailitan, kedudukan negara berada pada status kreditur prefren. Seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwa, hak negara dalam melakukan penagihan pajak diistimewakan dan didahulukan

pembayarannya dibanding para kreditur lainnya dalam perusahaan yang dinyatakan pailit.

Menurut undang-undang kepailitan yakni pada Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kewajiban dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur tentang kedudukan hak negara. Dalam hal ini melakukan penagihan pajak pada debitor pailit atau kurator yang mewakili wajib pajak tersebut. Pasal 41 UUK menyebutkan:

a. Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

b. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

c. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

75 Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 187

Kemudian pada penjelasan pada Pasal 41 ayat 3 UUK disebutkan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya kewajiban membayar pajak. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam UUK mengakui tentang keberadaan negara pada perusahaan pailit untuk melakukan penagihan pajak pada wajib pajak yakni debitor pailit. Pasal ini menekankan bahwa kewajiban pajak merupakan perbuatan yang wajib dilakukan pada perusahaan pailit. Sehingga keberadaan negara berada pada posisi sebagai kreditur prefren. Hal ini juga

disampaikan Jun Cai yang berpendapat bahwa “ dalam kepailitan hak tagih negara masuk dalam kreditur prefren sehingga pembayaran utang tersebut wajib

dilakukan oleh kurator”76

Kemudian terkait pajak yang dimaksud lahir karena undang-undang seperti pada penjelasan Pasal 41 ayat 3 UUK memberi penegasan bahwa utang pajak hanya dapat timbul karena undang-undang dan tidak mungkin pajak timbul karena perjanjian. Jika undang-undang yang menjadi dasar untuk pemungutannya telah ada, maka selanjutnya harus dipenuhi syarat-syarat objektif yang ditentukan oleh undang-undang secara bersamaan (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila Tatbestand yang disebut oleh undang-undang dipenuhi. Tatbestand dapat berupa:

a. Perbuatan b. Keadaan atau c. Peristiwa.77

Selanjutnya terkait penjelasan Pasal 41 ayat 3 UUK diatas, pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata yakni pada Pasal 1352 KUH Perdata menyebutkan bahwa Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dan undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Berdasarkan pasal ini dapat diartikan secara ajaran materil bahwa utang pajak menurut dasar itu timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang (PPh pada ahkir tahun) sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. Artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh UU yang telah dipenuhi.

76 Hasil wawancara dengan Jun Cai, Kurator di Medan, pada tanggal 2 Juni 2016, Pukul 09.30 Wib.

77 Rachmat Soemitro, Asas Dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung : PT Refika Aditma, 1998), hal 2

Sedangkan menurut ajaran formil, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Direktorat Jendral Pajak. Jadi selama belum ada SKP maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.78 Kedua ajaran ini tetap digunakan di Indonesia, dimana dalam

melakukan penagihan Pajak Pertambahan Nilai menggunakan ajaran materil, sementara untuk Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan ajaran formil.79

Berkaitannya penjelasan kedudukan hak negara dalam kepailitan, baik menurut UUK dan sejalan dengan UUD 1945 begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, melihat bahwa aturan dalam hal melakukan penagihan pajak sudah jelas. Ini memperlihatkan bahwa Negara mendudukan Hukum sebagai panglima tertingggi dalam suatu negara. Sehingga utang pajak yang timbul dari wajib pajak mucul karena undang-undang yang telah ada mengatur.

Hal ini tentu saja memudahkan petugas untuk melaksanakan tugasnya dalam hal menagih pajak pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit.