• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

C. Hak dan Kewajiban Negara Menagih Pajak Perusahaan Pailit

Pada perusahaan pailit, terdapat beberapa kreditur yang selanjutnya dalam Undang-undang Kepailitan diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yakni kreditur separatis, konkuren, dan preferen. Para kreditur ini selanjutnya memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan penagihan utang pada kurator. Hak dan kewajiban ini mulai ada saat para kreditor mengetahui bahwa debitor sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Sebelum sampai pada pembahasan hak dan kewajiban kreditur, terlebih dahulu diuraikan mengenai klasifikasi hukum. Dilihat dari segi kepentingannya maka diatur ada dua macam hukum yaitu hukum publik dan privat. Ada dua alasan dilakukan pembedaan tersebut, alasan pertama, negara berfungsi untuk melaksanakan kehendak rakyatnya. Negara dibentuk untuk menjaga

terpeliharanya kehidupan berbangsa, melindungi warga negaranya dari serangan musuh dari luar, meningkatkan kesejahteraan sosial dan memperdayakan

warganya.80

Alasan kedua adalah mengenai hubungan yang diaturnya. Kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum dapat dibedakan antara Kepentingan-kepentingan umum dan kepentingan khusus. Kepentingan umum berkaitan dengan kebersamaan

78Ibid, hal 3

79Ibid, hal 4

80 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), hal 181.

dalam hidup bermasyarakat. Sebaliknya dalam suatu kehidupan bermasyarakat, warga masyarakat mempunyai kebebasan untuk mengadakan hubungan diantara sesamanya. Dalam hubungan tersebut, yang terlibat adalah kepentingan mereka yang mengadakan hubungan dalam hal ini disebut kepentingan khusus.

Kepentingan ini selanjutnya diatur oleh hukum privat.81

Pertama kali melakukan pembagian tersebut adalah Ulpianus, “Huius studii duae sunt positiones, publicum et privatum. Publicum ius est quod ad statum rei romane spectat, privatum quod ad singulorum utilitatem: sunt enim quaedam publice utilia, quaedam privatum.82 Dari ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa ius publicum atau hukum publik berkaitan dengan fungsi negara,

sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu.

Hukum publik lazimnnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya.

Hukum publik ini adalah keseluruhan peraturan yang merupakan dasar negara dan mengatur pula bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya, jadi merupakan perlindungan kepentingan negara. Oleh karena memperlihatkan kepentingan umum, maka selanjutnya pelaksanaan hukum publik dilakukan oleh penguasa.83

Adapun hukum perdata atau privat adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan satu dengan yang lainnya dalam hubungan keluarga dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanannya diserahkan masing-masing pihak.84 Jadi hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan.85

Kemudian lebih lanjut terkait hukum privat, maka hukum bisnis

merupakan perkembangan hukum perdata, jika titik berat hukum perdata adalah masalah-masalah bersifat pribadi. Pada hukum bisnis yang menjadi fokus pengaturan adalah hubungan individu dengan individu lainnya dalam rangka sama-sama mencari keuntungan. Adapun yang menjadi cakupan hukum bisnis adalah hukum kontrak, hukum perseroaan, hukum pasar modal, hukum

81 Ibid, hal 182

82 Ibid, hal 181, Terjemahan bebasnya adalah studi hukum meliputi dua bidang, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang berkaitan dengan pengaturan negara Romawi, hukum privat berkaitan dengan kepentingan orang secara individual: sebenarnya, yang satu melayani kepentingan masyarakat dan yang lain melayani kepentingan individu.

83 Abdul Manif, Studi Mengenai Perikatan Dengan Syarat Batal Karena Wanprestasi Yang Diikuti Dengan Pengesampingan Pasal 1126 dan Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2016, hal. 100.

84 Ibid,

85 L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1973), hal.

186.

ketenagakerjaan, hukum perbankan, dan lainnya.86 Hal ini mengandung

pengertian bahwa kepentingan bisnis dipandang sebagai kepentingan khusus dan bukan kepentingan umum.

Akan tetapi tidak sama halnya dengan kepentingan ekonomi masih dipandang sebagai kepentingan umum, oleh karena itu maka hukum ekonomi masuk dalam wilayah kepentingan publik.87 Seorang ekonom Inggris, Keynes melegitimasi peranan pemerintah dalam aktifitas ekonomi, maksud Keynes adalah untuk menyelamatkan sistem ekonomi pasar. Oleh karena itu kegiatan ekonomi selain yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan pencegahan

pengangguran masih dipandang sebagai kepentingan khusus.88

Selanjutnya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat juga terletak pada hubungan hukum. Seperti hubungan hukum antara negara dengan individu yang berkaitan dengan kenegaraan seperti kewarganegaraan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan hubungan bersifat politis. Hubungan berifat sosial adalah hubungan antara negara dengan individu dalam rangka mempertahankan ketertiban umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemudian yang terahkir hubungan yang bersifat adminstratif adalah hubungan antara negara dengan individu dalam rangka individu melakukan tindakan yang memerlukan persetujuan dari negara karena apa yang dilakukan itu berkaitan dengan permeliharaan kepentingan umum.

Hubungan administratif dapat juga berarti sebaliknya, yaitu negara menetapkan kewajiban kepada individu untuk melakukan sesuatu demi pemeliharaan kepentingan umum, seperti pembayaran pajak. Hukum yang mengatur hubungan-hubungan tersebut masuk ke dalam hukum publik.

Berdasarkan pandangan ini, hukum tata negara, hukum pidana, hukum acara pidana, hukum administrasi, dan hukum tata usaha negara merupakan hukum publik. Adapun di luar itu merupakan hukum privat.89

Kemudian jika dilihat dari segi bekerjanya aturan hukum, hukum dapat dibedakan antara hukum yang bersifat pemaksa (dwingerecthts, obligatory Law) dan hukum yang bersifat pelengkap atau mengatur (aanvullenrecht, optical Law).90 Kata memaksa dalam ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan atau tidak menerapkan aturan itu. Dengan perkataan lain, aturan ini tidak boleh disampingi

86 Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal.188.

87 Ibid, hal. 189.

88 Ibid, hal .191.

89 Ibid, hal. 198.

90 Abdul Munif,Op,Cit. hal.101

oleh mereka yang melakukan hubungan hukum. Ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim itu harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka.91

Hukum yang memaksa juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak dimana maksud peraturan-peraturan untuk mana orang-orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dengan jalan perjanjiannya. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tak peduli adakah para pihak yang berkepentingan menghendakinya atau tidak.92

Sedangkan maksud dari hukum yang bersifat mengatur adalah hukum itu akan dijadikan acuan bagi para pihak manakala para pihak tidak membuat sendiri aturan yang berlaku bagi hubungan mereka. Hal ini memberikan disposisi kepada para pihak dan mengisi kekosongan aturan untuk hal-hal yang tidak diatur oleh para pihak, akan tetapi para pihak tersebut dapat menetapkan sendiri bahwa mereka ingin menyimpangi aturan itu, dan menetapkan sendiri aturan-aturan yang berlaku bagi hubungan mereka.93

Menurut Pitlo, dasar kriteria apa yang membuat ketentuan bersifat

memaksa atau melengkapi (mengatur). Pertama kali ditentukan suatu aturan yang menyangkut kepentingan umum, bersifat memaksa. Dengan hal lain dapat

digolongkan ke dalam golongan hukum publik yang hampir selalu memaksa. Ini juga berlaku untuk aturan-aturan yang sifatnya campuran antara hukum perdata dan hukum publik.94 Pembedaan ketentuan yang bersifat memaksa dan ketentuan yang bersifat mengatur hanya terjadi pada hukum privat. Pada hukum publik tidak terdapat pembedaan semacam itu. Dengan perkataan lain bahwa dalam hukum publik besifat memaksa.

Kemudian jika untuk ketentuan hukum perdata tidak dapat semua aturan digolongkan pada hukum yang bersifat mengatur atau melengkapi. Pada hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hukum perikatan sebagaimana diatur pada buku III KUHPerdata, tidak lalu berarti semua pada ketentuan ini bersifat mengatur atau melengkapi, namun ada sebagian yang bersifat memaksa. 95

Maka perbedaan antara hukum publik dan hukum privat tidak lain pada hukum publik itu telah a proiri memaksa sedangkan hukum privat tidak a priori memaksa. Tetapi apabila para pihak tidak mampu menggunakan kemerdekaan

mereka supaya menyelesaikan soal mereka berdasarkan suatu peraturan sendiri, maka hukum privat pun memaksa.96

Terkait uraian tentang klasifikasi hukum dari segi kepentingan yakni antara hukum publik dan privat, dan begitu juga dari segi sifatnya antara hukum yang bersifat memaksa dan mengatur atau pelengkap, maka selanjutnya hak dan kewajiban para kreditur pada perusahaan pailit dapat ditentukan.

Hak dan kewajiban kreditur pada perusahaan pailit telah diatur dalam UUK. Kreditur dalam perusahaan pailit di klasifikasikan menjadi 3 bagian yakni kreditur konkuren, separatis, dan preferen. Adapun yang menjadi hak dan

kewajiban kreditur adalah : Hak kreditur berdasarkan UUK :

1. Menerima surat tentang adanya daftar sebagimana dimaksud Pasal 119 UUK, kepada kreditor yang dikenal, disertai panggilan untuk menghadiri rapat pencocokan utang (Pasal 120 UUK)

2. Meminta agar kurator memberikan keterangan mengenai tiap piutang dan penempatannya dalam daftar, atau dapat membantah kebenaran piutang, adanya hak untuk didahulukan, hak untuk menahan suatu benda, atau dapat menyetujui bantahan kurator. (Pasal 124 ayat 2 UUK)

3. Menerima surat keterangan mengenai sumpah yang telah diucapkannya, kecuali apabila sumpah tersebut diucapkan dalam rapat kreditur oleh hakim pengawas. ( Pasal 125 ayat 3 UUK)

4. Menerima laporan mengenai keadaan harta pailit dan selanjutnya kepada kreditor wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh kurator. (Pasal 143 ayat 1 UUK)

96 E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar,1966) hal 56.

5. Menerima pembayaran atau pelunasan utang debitur pailit dari kurator . (Pasal 189 ayat 4 UUK).

Kewajiban kreditur berdasarkan UUK adalah :

1. Semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukan sifat dan jumlah piutangnya , disertai dengan surat bukti atau salinannya dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditur mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk menahan benda (Pasal 115 ayat 1 UUK)

2. Melakukan penagihan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada rapat kreditur (Pasal 113 ayat 1 UUK).

Kemudian jika dihubungkan dengan klasifikasi hukum seperti penjelasan di atas dengan hak dan kewajiban kreditur perusahaan pailit, maka hal ini

memperlihatkan bahwa dalam UUK terdapat kepentingan khusus atau hukum privat antara kreditur dengan debitur pailit. Begitu juga dari sifat bekerjanya bahwa undang-undang kepailitan merupakan aturan hukum bersifat mengatur.

Dimana hubungan hukum antara debitur dengan kreditur merupakan hubungan berdasarkan kepentingan antara individu debitur dengan individu kreditur.

Seperti ketentuan kewajiban kreditur melakukan penagihan harus

mengikuti pengaturan batas ahkir pengajuan utang. Sehingga ini memperlihatkan adanya hubungan hukum bisnis antara kreditur dengan debitur. Namun UUK melakukan klasifikasi kreditur dalam perusahaan pailit, seperti dengan hadirnya negara sebagai kreditur preferen yang melakukan penagihan utang pajak pada debitur atau wajib pajak pailit.

Sebelum membahas tentang keberadaan utang pajak pada perusahaan pailit, pertama akan diuraikan tentang ketentuan membayar pajak sesuai dengan UU Perpajakan. Tindakan membayar pajak, pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP disebutkan bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.97

Ketentuan pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP mengarahkan kewajiban Warga Negara Indonesia kepada negara sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23(a) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang. Kata untuk keperluan negara pada UUD 1945 diartikan pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP bahwa pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang merupakan tujuan negara.

Di lihat dari tujuannya jelas bahwa pungutan pajak yang dilakukan negara merupakan untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum. Kemudian jika dilihat dari segi bekerjanya, dengan tegas UUD 1945 dan UU KUP menyatakan bahwa pungutan pajak bersifat memaksa dan tindakan wajib. Sehingga hukum pajak pada umumnya dimasukan sebagai bagian dari hukum publik, yakni yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Hal tersebut dapat

dimengerti karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan pemerintah dalam fungsinya selaku fiskus dengan rakyat dalam kapasitasnya sebagai wajib pajak/subjek pajak.98

Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia sebagai negara hukum ingin

menciptakan tertib hukum yang mendudukan hukum sebagai panglima tertinggi di negara. Kemudian berdasarkan teori negara hukum yang diungkapkan Frans Magnis Susesno, yang menjelaskan alasan utama negara diselenggarakan berdasarkan hukum :

1. Kepastian hukum

2. Tuntuan perlakuan yang sama 3. Legitimasi demokratis

4. Tuntutan akan budi99

Sehingga terkait kewajiban membayar pajak yang dilakukan masyarakat kepada negara merupakan tindakan yang memaksa bagi orang ataupun badan. Hal ini jelas mengarahkan adanya persamaan hukum dan tidak ada pengecualian

97 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Perpajakan.

98 Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogjakarta: Andi Yogjakarta, 2009), hal.60.

99 Nukthoh Arfawie Kurde, Loc, Cit. hal. 27.

terhadap kewajiban membayar pajak kepada negara. Pada Undang-undang perpajakan juga memberikan hak istimewa kepada negara yakni hak untuk mendahulu utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak.

Terkait hak istimewa yang dimiliki negara untuk melakukan penagihan pajak pada wajib pajak, maka sebelumnya akan diuraikan penjelasan tentang hak terlebih dahulu. Menurut Paton, hak berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum.100 Kemudian hal senada juga dikemukakan oleh Sarah Worthington yang menyatakan bahwa legal rights sering dilawakan oleh moral rights.

Hal ini dapat dilihat dengan contoh, bahwa seorang dapat mengharapkan di bayar oleh majikannya, dan diberi hadiah pada hari ulang tahunnya. Bahwa selanjutnya diantara harapan itu terdapat hak berdasarkan hukum yaitu hak seorang karyawan mendapatkan bayaran dari majikannya, apabila tidak dibayar, maka karyawan tersebut dapat menggunakan lembaga formal untuk membantu karyawan tersebut. Tidak sama halnya dengan harapan hadiah ulang tahun, apabila harapan itu tidak dipenuhi maka tidak ada satu lembaga pun yang dapat memaksa terpenuhinya harapan tersebut.

Selanjutnya terkait hak, menurut Bentham, hak tidak dapat mempunyai arti apa-apa jika tidak ditunjang oleh Undang-undang.101 Kemudian penjelasannya menyebutkan bahwa hak adalah anak dari hukum. Bentham juga berpendapat bahwa hukum yang nyata bukanlah hukum alam, melainkan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga hak untuk dapat dilaksanakan harus dituangkan ke dalam Undang-undang.102

Suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum tetapi juga karena adanya pengakuan terhadapnya. Hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak103. Pengertian hak dapat dijumpai dalam teori mengenai hakikat hak. Menurut Lord Lloyd of Hamsted dan M.D.A Freeman terdapat dua teori mengenai hakikat hak, yaitu teori kehendak yang menitiberatkan kepada kehendak atau pilhan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Kedua teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum.104

Pada teori kehendak memandang bahwa pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya, ia dapat saja tidak menggunakan hak itu, melepaskannya,

100 Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal. 141.

101 Ibid, hal. 142

102 Ibid, hal.143

103 Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 54

104 Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal. 150

melaksanakan atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Kemudian teori kemanfaatan pertama kali dijumpai dalam karya Bentham yang selanjutnya diadopsi oleh Rudolf Von Ihering. Menurut Ihering, tujuan hukum bukanlah melindungi kepentingan individu melainkan melindungi kepentingan-kepentingan tertentu, oleh karena itu Ihering mendefenisikan hak sebagai

kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum.105 Kepentingan-kepentingan ini telah ada dalam kehidupan bermasyarakat dan negara hanya memilihnya mana yang harus di lindungi.

Sehingga jika dikaitkan dengan hak melakukan pungutan pajak yang dilakukan negara, maka hak tersebut merupakan kepentingan negara yang dilindungi hukum. Sesuai dengan tujuan hukum negara yang ingin menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ketentuan pemungutan pajak yang dilakukan negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan berfungsi sebagai fungsi anggaran dan fungsi mengatur yang tujuannya untuk bukan untuk kepentingan individu melainkan kepentingan bersama atau kepentingan umum. Sehingga hak ini tidak boleh disampingkan dan wajib dilaksanakan.

Terkait hal tersebut, hak dapat ditinjau dari segi eksistensi hak itu sendiri, dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bernegara dan dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bermasyarakat. Dari segi eksitensi hak itu sendiri.

Terdapat dua macam hak, yaitu hak orisinal dan hak derivatif. Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat hak dasar dan hak politik.

Dilihat dari segi keterkaitan antara hak itu dan kehidupan bermasyarakat terdapat hak privat yang terdiri dari hak absolute dan relatif.106

Kemudian hak menagih pajak digolongkan pada hak privat, dimana hak menurut Hohfeld, apabila sesorang berbicara mengenai hak, hal itu akan

mengarahkan kepada right atau claim, yaitu suatu hak untuk menuntut sesuatu. 107 Hak privat dibedakan antara hak absolut dan hak relatif. Pembedaan hak ini ada tiga hal yakni :

1. Hak absolut dapat diberlakukan kepada setiap orang, sedangkan hak relatif hanya berlaku untuk seseorang tertentu.

2. Hak absolut memungkinkan pemegangnya untuk melaksanakan apa yang menjadi substansi haknya melalui hubungan dengan orang lain. Hak relatif

105 Ibid, hal. 151

106 Ibid, hal.159

107 Ibid, hal.173

menciptakan tuntutan kepada orang lain untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.108

3. Objek hak absolut pada umumnya benda, sedangkan hak relatif objeknya ada prestasi yaitu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.109

Dengan demikian bahwa sisi balik dari hak relatif adalah kewajiban orang lain untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

Hal ini sejalan dengan hak negara dalam melakukan pemungutan pajak pada masyarakat. Dimana kebalikan dari hak negara menagih pajak, merupakan kewajiban orang atau badan memberikan pembayaran atas pajak kepada negara sesuai dengan ketentuan UU Perpajakan.

Sehingga hak yang di miliki negara dalam melakukan penagihan pajak merupakan hak yang relatif dan bersifat memaksa berdasarkan undang-undang.

Kemudian ketentuan ini merupakan digolongkan sebagai hukum publik karena tujuan dilakukan pemungutan pajak oleh negara merupakan untuk mewujudkan tujuan negara.

Hak istimewa yang dimiliki oleh negara ini juga harus seimbang dengan keadilan dan kepastian hukum terkait waktu penagihan. Sehingga walaupun hak istimewa ini melekat kepada negara namun hak tersebut juga dapat hilang, jika negara tidak melakukan kehendak tersebut. Pasal 21 ayat 4 UU KUP, menyatakan bahwa hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.110

Sehingga hal ini memberikan waktu daluwarsa untuk hak menagih utang pajak yang dilakukan oleh DJP kepada wajib pajak. Ketentuan seperti ini

memberikan kepastian hukum bahwa, kewajiban wajib pajak untuk membayar utang pajaknya baik orang maupun badan memiliki batas waktu. Hak istimewa yang dimiliki oleh negara tersebut juga dapat hilang jika DJP terlambat

melakukan penagihan sesuai dengan ketentuan ini.

108 Ibid, hal. 172

109 Ibid, hal. 173

110 Pasal 21 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009.

Terkait hak dan kewajiban negara dalam menagih pajak pada perusahaan pailit, ketentuan tentang hak istimewa dan kewajiban wajib pajak juga berlaku sesuai dengan ketentuan Undang-undang perpajakan. Pada Undang-undang

Kepailitan yakni Pasal 41 ayat 3 UUK dan pada penjelasannya menyatakan bahwa perbuatan hukum yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian atau undang-undang adalah misalnya membayar pajak.

Kalimat pada Pasal 41 ayat 3 UUK mengarahkan bahwa Undang-undang kepailitan sejalan dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan dan UUD 1945 tentang pajak merupakan kontribusi wajib bagi negara. Sehingga dalam Undang-undang kepailitan terkait dengan batas ahkir waktu pengajuan utang seperti pada pasal 113 ayat 1(a) UUK tidak dapat diterapkan pada penagihan utang pajak.

Karena pemungutan pajak merupakan kepentingan publik yang bersifat memaksa sehingga tindakan membayar pajak harus berdasarkan ketentuan UU Perpajakan.

Hal ini merupakan sejalan dengan teori negara hukum, dimana pada kasus pemungutan pajak pada perusahaan pailit, maka hukum yang berperan sebagai panglima tertinggi adalah Undang-undang Perpajakan bukan Undang-undang Kepailitan. Sehingga memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama hukum bagi seluruh wajib pajak dan menciptakan rasa keadilan bagi seluruh wajib pajak.

Kedudukan negara sebagai kreditur prefren memiliki hak untuk mendapat pelunasan atau pembayaran utang yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditur separatis dan kreditur konkuren. Diletakannya kedudukan kreditur preferen pada kepailitan dengan tujuan agar kepentingan umum lebih diistimewakan dari pada kepentingan individu atau pribadi.

Kreditur preferen dalam perusahaan pailit dapat dibagi menjadi beberapa kreditur menurut jenis utang ataupun kewajibannya, yakni:

a. Pajak b. Pekerja

c. Pemegang saham111

Ketentuan terkait hak istimewa yang dimiliki negara dalam melakukan tindakan penagihan pajak ini diatur pada beberapa pasal, yakni :

Ketentuan terkait hak istimewa yang dimiliki negara dalam melakukan tindakan penagihan pajak ini diatur pada beberapa pasal, yakni :