• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI (PN)

B. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Perlu dikemukan bahwa dalam Wetboek van Strafrecht (WvS/KUHP) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji, seperti dikutip Barda Nawawi Arief, menyebutkan bahwa delik agama

hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan

agama.2 Meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).

Sedangkan pasal 156a KUHP yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175 KUHP); mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176 KUHP); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.

Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi,

2

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 331.

Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.3

Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk

men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.4

Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van

Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang

3

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981), Cet. 3, h. 79-80.

4

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud di sini ialah semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari negara secara total, karena itu sudah sepantasnya kalau perbuatan itu dipidana.

tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.5

Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".

Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum, juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.

Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam

5

Lebih jauh penjelasan mengenai hal ini baca Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, h. 71.

UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain:

pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat,

cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.

Kalau dicermati secara teliti dari segi materi Pasal 156a KUHP ini menghendaki adanya delik agama yang langsung memidana seseorang yang menodai agama secara langsung, yaitu yang menodai ajaran agama dan sarana keagamaan. Kalimat di muka umum dalam pasal ini mengurangi nilai tujuan tadi, karena penodaan itu tidak dipidana selama tidak dilakukan di muka umum dan, bila

perbuatan tersebut tidak dimaksudkan agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, dapat dikatakan bahwa penodaan itu tidak dipidana asal punya maksud agar orang berpindah agama, tetapi masih bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu pasal ini tidak jelas, apakah yang hendak dilindungi, ajaran agama atau orang yang beragama, agara terjamin ketenteramanannya atau kedua-duanya. Inilah yang menyebabkan timbulnya persoalana.

Dalam bab 4 poin b ini penulis memfokuskan analisis pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., tentang Tindak Pidana Penodaan Agama, maka dapat dilakukan analisis sebagai berikut :

Dalam memutuskan perkara pidana No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjabarkannya serta merumuskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada 2006 sampai dengan 2007.

Dalam analisis hukum yang dilakukan Majelis Hakim, maka kita akan menemui unsur-unsur Pasal 156a KUHP dan bukti-bukti apa saja yang dianggap masuk ke dalam unsur tersebut.

Rumusan Pasal 156a adalah sebagai beriukut :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 156a KUHP tersebut adalah : Unsur barang siapa, Unsur dengan sengaja dimuka umum, dan Unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama. Dan unsur - unsur ini yang akan saya perimbangkan dalam-dalam.

Jika kita lihat susunan unsur-unsur tersebut di atas, unsur dengan sengaja di muka umum diletakan di atas unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama, maka hal ini menunjukkan unsur kesengajaan pelaku itu harus ditujukan terhadap kedua unsur yang lain tersebut. Unsur kesengajaan tersebut telah ditempatkan di atas kedua unsur yang lain tersebut berarti di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat dibuktikan :

1. bahwa pelaku telah menghendaki mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

2. bahwa pelaku mengetahui perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu terjadi di depan umum;

3. bahwa pelaku mengetahui perasaan permusuhan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu sifatnya permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan serta mengetahui perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama.

1. Unsur Barangsiapa.

Kata barangsiapa itu dapat diartikan lain daripada orang. Tetapi orang tersebut adalah harus mampu bertanggung jawab dalam arti keadaan jiwa orang atau perbuatan harus normal.

Majelis Hakim dalam perkara ini berusaha menafsirkan unsur barang siapa dengan menunjukkan kepada subyek hukum yang berfungsi sebagai pelaku siapa saja yang telah melakukan perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangannya, yaitu : “Bahwa tentang unsur kesatu, yaitu barangsiapa, dimaksudkan adalah setiap orang atau siapapun yang memenuhi syarat sebagai subyek hukum yang diajukan ke persidangan karena telah didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum. Bahwa ternyata dalam persidangan ini yang didakwa dan diajukan ke persidangan sebagai terdakwa adalah Drs. Abdussalam al. Ahmad Mushaddeq al. Al-Masih Al-Maw’ud, terdakwa selama dalam pemeriksaan dipersidangan ternyata adalah orang dewasa yang sehat jasmani dan rohani, oleh karena itu maka terdakwa sebagai subyek hukum dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.”

Berdasarkan rumusan inilah, maka terdakwa Drs. Abdussalam al. Ahmad Mushaddeq al. Al-Masih Al-Maw’ud, dapat dimasukan ke dalam kategori subyek hukum sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang.

Dengan demikian sudah jelas bahwa pengertian barang siapa menunjuk ke arah subyek hukum, sehingga barang siapa dalam perkara pidana No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., tidak lain adalah Drs. Abdussalam al. Ahmad Mushaddeq al. Al-Masih Al-Maw’ud yang berdasarkan fakta yang diperoleh dipersidangan telah terbukti melakukan perbuatan yang menodai agama.

Sebagai analisis fakta, dalam putusannya Majelis Hakim telah mendasarkan pada beberapa saksi dan saksi ahli yang telah memberikan keterangannya, bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan penodaan terhadap agama dengan ajaran-ajaran dan pengakuannya sebagai Al-Masih Al-Maw’ud dan sebagai nabi baru, baik dalam bentuk buku, rekaman CD maupun ceramah umum.

Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur kesatu “barang siapa” dari dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi.

2. Unsur Dengan Sengaja di muka umum.

Mengenai pengertian kesengajaan dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditemukan suatu penafsiran resmi atau interpretasi otentik namun demikian dalam praktek peradilan dan doktrin kesengajaan adalah meliputi pengertian sebagai berikut :6

a. Sengaja dengan maksud (oogmerk) berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau

6

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 172.

tujuan dan pengetahuan dari pelaku artinya pelaku benar-benar menghendaki peristiwa itu terjadi.

b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zakerheids of noodzakelijkheids bewustzjin). Di sini yang menjadi kesadaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur daripada suatu delik yang telah terjadi. Pelaku dalam hal ini dipandang telah melaukan tindakan kesengajaan apabila dari perbuatannya itu menimbulkan akibat tertentu yang sebelumnya dapat diperkirakan dengan pasti akan terjadi.

c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Di sini pelaku dianggap melakukan pebuatan atau akibat tertentu apabila dari perbuatannya tersebut dapat diperkirakan kemungkinan akibat yang akan ditimbulkannya.

Menurut Lamintang, unsur dengan sengaja masuk dalam unsur subyektif dan merupakan unsur pertama, dimana unsur subyektif dengan sengaja harus diartikan bukan semata-mata sebagai opzet als oogmerk saja, melainkan juga dapat diartikan sebagai opzet bij zakerheids bewustzjinj dan sebagai opzet bij mogelijkheidsbewustzjinj.

Unsur dengan sengaja yang dimaksud dalam pasal 156a KUHP jika dihubungkan dengan perkara No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., meliputi ketiga corak kesengajaan atau kesengajaan dalam arti luas, yaitu kesengajaan sebagai

maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.

Pada pokoknya keterangan para saksi adalah bahwa terdakwa pada tanggal 23 Juli 2006 sekitar pukul 20.00 WIB di lokasi lapangan terbuka kawasan gunung Bunder Bogor Jawa Barat, setelah selesai bertahanuts di tempat tersebut, selama 40 (empat puluh) hari dan 40 (empat puluh) malam terdakwa Ahmad Mushaddeq telah bertemu dengan sahabat-sahabatnya berjumlah 54 (lima puluh empat) orang yang sengaja datang ke tempat tersebut karena diminta oleh terdakwa, dan ketika itulah terdakwa mengumumkan bahwa dirinya adalah rasulullah. Selain kegiatan tersebut terdakwa juga mengajarkan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah dengan talwiyah atau dakwah kepada orang-orang atau pengikut-pengikutnya secara perorangan dan dari rumah ke rumah atau dari gedung ke gedung lainnya.

Keberhasilan terdakwa dan pengikut-pengikutnya dalam penyebaran ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah adalah tidak dapat dilepaskan dari kegigihan terdakwa dan pengikut-pengikutnya dalam berargumentasi dan meyakinkan orang yang ditemuinya, sehingga orang-orang tersebut menjadi tertarik dan mengikuti ajaran terdakwa. Maka, berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan di atas menurut Majelis telah jelas bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut adalah dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.

Dengan demikian bedasarkan fakta tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdakwa telah dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut dan memenuhi ketiga corak kesengajaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Lamintang, karena ajaran

yang disampaikan dan disebarkan oleh terdakwa tersebut jauh menyimpang dari ajaran agama Islam dan merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Di samping apa yang diperbuat dan atau diucapkan oleh terdakwa telah dikehendaki dan diinsyafi semuanya oleh terdakwa, ia menginsyafi perbuatan dan ucapan itu merupakan penodaan terhadap agama Islam dan terdakwapun mengetahui akibat dan ucapan itu akan menimbulkan permusuhan.

Bedasarkan hal-hal tersebut di atas, maka unsur dengan sengaja telah terbukti secara sah.

Sedangkan kata “di muka umum” dalam ketentuan hukum pidana merupakan suatu keadaan yang membuat pelaku menjadi dapat dipidana, karena jika pernyataan perasaan, permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama tersebut tidak dilakukan di muka umum, maka pelaku tersebut tidak dapat dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP.

Dapat dipakainya kata-kata “di muka umum” tidak berarti bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu harus terjadi di tempat-tempat umum melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan itu dapat dilihat oleh publik.7

Lamintang menjelaskan perasaan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia itu

7

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), h. 464.

dapat saja dikeluarkan oleh pelaku si suatu tempat umum, artinya suatu tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang, akan tetapi jika perasaan yang dikeluarkan itu ternyata tidak dapat didengar oleh publik, maka tindakannya itu bukan merupakan tindak pidana seperti yang dimaksud dalam Pasal 156a huruf a KUHP.”

Dalam perkara No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., menurut Majelis Hakim bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian atau interpretasi secara otentik tentang maksud “di muka umum”, namun menurut doktrin, bahwa yang dimaksud “di muka umum” itu tidak berarti hanya di tempat-tempat yang dapat didatangi oleh umum misalnya pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar dan lain sebagainya tetapi juga termasuk di tempat-tempat terbuka yang dapat dilihat atau terlihat oleh umum.8

Bahwa sebagaimana terurai di atas terdakwa menyampaikan ajarannya tesebut di antaranya di lokasi Gunung Bunder Bogor, tempat tersebut adalah tempat terbuka yang sangat dapat dilewati oleh umum, demikian pula talwiyah atau dakwah yang dilakukan terdakwa dan para pengikutnya dari rumah ke rumah dan dari gedung ke gedung adalah merupakan tempat yang tidak terlarang untuk umum sehingga ajaran tersebut tersebar dan diketahui oleh umum. Maka, berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas maka dengan demikian unsur kedua dari surat dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi.

8

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Penerbit Politea, 1985), h. 205.

3. Unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama.

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 1/Pnps/1965, yang dalam KUHP dimasukan dalam pasal 156a, dijelaskan bahwa cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain, yang dimaksud tindak pidana yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama adalah semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina atau dengan kata lain dikeluarkan ucapan-ucapan permusuhan terhadap suatu agama.

Yang dimaksud agama di dalam pasal 156a huruf a KUHP adalah salah satu agama yang diakui di Indonesia, yakni agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan dan Khong Hu Cu (Confusius).

Dalam perkara No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., bahwa mengenai unsur ketiga yaitu mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dihubungkan dengan fakta yang terungkap dipersidangan sebagaimana keterangan para saksi yang diakui pula oleh terdakwa bahwa terdakwa pada tanggal 23 Juli 2006 sekitar antara pukul 22.00 sampai dengan pukul 22.00 WIB. Di kawasan Gunung Bunder Bogor, setelah melalui tahanuts selama 40 (empat puluh) hari dan 40 (empat puluh) malam terdakwa mengumumkan dirinya sebagai Rasulullah atau al-Masih al-Mawud di hadapan 54 (lima puluh empat) orang sahabat-sahabatnya.

Bahwa pada pokoknya menurut keterangan para saksi tersebut dan terdakwa sendiri mengakuinya bahwa ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah yang telah diajarkan terdakwa adalah sebagai berikut : 1. Masih terbuka adanya rasul setelah Nabi Muhammad SAW bahkan masih akan ada rasul lagi setelah terdakwa; 2. Masih mengimani al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW akan tetapi karena kondisi pada saat ini masih dalam tahap pembinaan aqidah, maka ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah hanya menerapkan/menggunakan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah saja, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah belum diterapkan atau diwajibkan; 3. Belum mewajibkan shalat 5 (lima) waktu dalam sehari semalam, namun mewajibkan umatnya untuk melaksanakan shalat qiyamullail sebanyak 11 (sebelas) rakaat; 4. Belum mewajibkan umatnya puasa di bulan Ramadhan; 5. Belum mewajibkan umatnya membayar zakat tetapi kepada pengikutnya dianjurkan berinfak bersedekah; 6. Belum mewajibkan umatnya berhaji ke Baitullah; dan 7. Menerapkan enam program keutamaan yaitu : melakukan shalat qiyamullail; melakukan tahfizh al-Qur’an atau menghafal al-Qur’an; melakukan talwiyah atau dakwah; melakukan penataan shaff; melakukan taklim; dan melakukan shodaqoh.

Bahwa menurut keterangan ahli dan saksi-saksi tersebut bahwa bilamana sekarang ini ada orang yang mengaku sebagai rasul setelah nabi Muhammad SAW, atau tidak mewajibkan shalat 5 (lima) waktu, tidak mewajibkan puasa di bulan Ramadhan atau bila ada orang yang tidak mewajibkan zakat atau tidak

mewajibkan haji bagi orang yang mampu melaksanakannya, maka ajaran tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar dan hal tersebut merupakan tindakan menyinggung perasaan umat Islam dan sekaligus pelecehan atau penodaan terhadap agama Islam terutama di negara Indonesia ini.

Bahwa dengan menunjuk pada pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur ketiga dari surat dakwaan Penuntut Umum. Majelis Hakim dalam perkara No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., menerapkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan baik dari keterangan ahli, para saksi, dan buku-buku yang ditulis terdakwa sendiri bahwa ajaran dan paham yang diajarakan dan disebarkan terdakwa tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam yang telah menimbulkan permusuhan dan penodaan terhadap agama Islam. Paham dan ajaran terdakwa merupakan hasil rekayasa dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun hadits, sehingga menimbulkan protes atau ketidaksenangan dan unjuk rasa di kalangan umat Islam, sehingga menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Dengan demikian tindakan terdakwa tersebut telah memenuhi unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama.

Dalam perkara No. 277/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel., di samping mendasarkan pada hal-hal yang telah disebutkan di atas, Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa terdakwa mampu bertanggung jawab akan

perbuatannya. Pertanggunganjawab ini sangat erat hubungannya dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Di samping itu pada waktu terdakwa melakukan perbuatan tidak ada unsur yang dapat menghapus kemampuan pertanggunganjawab pidana atas perbuatannya, juga tidak ada alasan

Dokumen terkait