PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA:
Kajian Tentang Kasus Ahmad Mushaddeq
OLEH : ALI ROHMAN NIM : 101045122218
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Riview Studi Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian ... 13
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Positif... A. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana... 18
A. 2. Rumusan Tindak Pidana ... 21
A. 3. Unsur-unsur Tindak Pidana... 23
A. 4. Jenis-jenis Tindak Pidana... 26
A. 5. Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama ... 28
B. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Islam ...
B. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ... 37
B. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana... 39
B. 3. Jenis-jenis Tindak Pidana ... 42
B. 4. Pengertian Riddah ... 45
B. 5. Macam-macam Bentuk Riddah ... 47
B. 6. Sanksi Pidana bagi Pelaku Riddah ... 50
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG AHMAD MUSHADDEQ DAN ALIRAN AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH A. Riwayat Hidup Ahmad Mushaddeq ... 56
B. Sejarah Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah... 58
B.1. Penyebaran Paham/Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah... 58
B.2. Ikrar Kenabian Ahmad Mushaddeq... 64
B.3. Fatwa MUI Tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ... 67
B.4. Penangkapan dan Pertobatan Ahmad Mushaddeq ... 69
C. Ajaran-ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ... 75
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI (PN) JAKARTA SELATAN A. Deskripsi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 91
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 113 B. Saran-saran ... 115
PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA: Kajian Tentang Kasus Ahmad
Mushaddeq
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
ALI ROHMAN NIM : 101045122218
Di Bawah Bimbingan
Dr. Euis Nurlaelawati, MA
NIP. 150 277 992
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
ﻢﻴﺣﺮﻟا
ﻦﻤﺣﺮﻟا
ﷲا
ﻢﺴﺑ
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan petunjuknya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam penulis haturkan dan semoga tercurah kepada Rasulullah, Muhammad SAW.
Dalam menulis skripsi ini, penulis mendapat banyak kesulitan baik menyangkut masalah waktu, pengumpulan bahan-bahan maupun pembiayaan dan sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan sebaik-baiknya sehingga tugas skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis dapat menyelesaikan skripsinya atas dukungan beberapa pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Euis Nurlaelawati, MA., selaku pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasannya telah menyempatkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini.
4. Para Dosen dan Guru Besar Fakulatas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan Ilmu Pengetahuannya dan memberikan kepada penulis untuk menimba dan memperkaya ilmu.
5. Kepala Perpustakaan Utama, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para karyawan Perpustakaan yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam menelusuri referensi dalam memberikan pelayanan dan kesempatan penulis untuk menelaah serta memberi pinjaman sumber literatur yang diperlukan.
6. Kepala Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah membantu penulis dalam kelancaran administarasi.
7. Kedua orang tua: ayahanda Syamsuri dan ibunda Kapsah yang tidak pernah putus asa, selalu sabar dan selalu melimpahkan kasih sayangnya serta memberikan banyak dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Kalian adalah semangat yang tidak pernah pupus dalam apa yang penulis cita-citakan. Mudah – mudahan beliau selalu dalam ridlo, bimbingan, lindungan serta ampunan Allah SWT.
8. Kakanda Ali Fatkhan ( Muzakki Hasan Barera ) dan adinda Ali Ridlo yang selalu memberikan motivasi demi terselesainya skripsi ini.
10.Dan teman-teman di Pidana Islam angkatan 2001, khususnya Nurhadi yang selalu memotivasi dan telah membantu dalam proses renyelesaian skripsi ini.
Semoga mereka selalu dalam ridlo dan bimbingan Allah S.W.T.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa apa yang dihasilkan ini jauh dari sempurna. Saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan.
Jakarta, 12 Juni 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama adalah bagian yang fundamental dalam hidup dan kehidupan dan dipercaya sejak ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat sebagai bagian pendekatan diri pada Sang Pencipta. Dalam hal keragaman agama dan keberagamaan, secara umum, masyarakat menyadari bahwa hal itu merupakan hak setiap individu untuk memilihnya, penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Keberagamaan tidak bisa dipaksakan apalagi dengan segala model ancaman dan tekanan. Inilah sebuah kebebasan yang – menurut sebagian teolog – merupakan anugrah Tuhan terbesar bagi manusia. Yang kadang menjadi persoalan, sejauh manakah makna kebebasan beragama maupun berkeyakinan tersebut? Apakah kebebasan beragama, diartikan sebagai kebebasan seseorang untuk pindah aliran, mendirikan aliran, bahkan berpindah-pindah agama?1 Seperti inilah kalau membicarakan, mendiskusikan dan membahas masalah agama adalah suatu hal yang tidak akan ada habisnya sampai kapanpun.
Apalagi yang bicarakan itu masalah agama Islam yang merupakan agama yang menerima kritik dan tafsir selama di luar masalah-masalah aqidah. Bahkan Islam sering diibaratkan seperti pohon yang mempunyai akar, batang, ranting dan buah. Bagaimana orang memahami pohon tersebut sangat menentukan pandangan
1
hidup dan kehidupan seseorang dalam berislam. Perbedaan pemahaman di wilayah ranting atau cabang yang disebut furu’iyah relatif dapat ditolerir. Perbedaan yang dapat menimbulkan konflik adalah soal aqidah sebagai pokok pohonnya.
Orang berbeda pandangan terhadap persoalan mendasar karena masing-masing mempunyai pemahaman atau “kebenaran” sendiri-sendiri. Bahkan jika ditelisik lebih dalam ternyata sebagian meyakini bahwa kebenaran mutlak yang sesuai dengan Allah itu tunggal sementara bagi yang lain kebenaran bagi Allah sendiri bersifat relatif. Pro dan kontra adalah hal yang biasa namun perlu dibatasi bahwa kebenaran hakiki adalah dari Allah semata dan hanya satu.2
Pro dan kontra tersebut dapat menyebabkan munculnya aliran-aliran keagamaan yang beragam baik yang dianggap benar maupun sesat. Jika kemunculan satu aliran sesat dirasa cukup mampu menghadirkan kehebohan di kalangan masyarakat, kini Indonesia justru harus menghadapi kemunculan aliran-aliran baru dalam jumlah yang banyak, yang kemudian dianggap menyimpang oleh sebagian besar pemuka agama seperti aliran Salamullah yang dipimpin Lia Eden. Efek yang ditimbulkannya pun lebih dari sekedar kehebohan belaka. Bahkan keresahan merebak di mana-mana dan hal ini memicu munculnya aksi main hakim sendiri dari masyarakat terhadap orang-orang yang dianggap menjadi pengikut aliran-aliran sesat. Salah satunya adalah serbuan massa yang dilakukan
2
gabungan ormas Islam terhadap pusat Al-Qiyadah Al-Islamiyah di kota Padang. Serbuan tersebut dilakukan karena masyarakat menilai bahwa polisi seakan mengabaikannya. Mereka mengatatakan bahwa jika polisi tidak mau memperosesnya dan menangkapnya (pengikut Al-Qiyadah), mereka akan melakukan tindakan sendiri dan hal itu ternyata mereka lakukan.3
Terkait kasus penodaan agama PBNU mencatat, sejak tahun 2001 hingga 2007, sedikitnya ada sekitar 250 aliran agama yang menyimpang berkembang di Indonesia. Dan dari jumlah tersebut, 50 di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat. Fenomena kemunculan aliran-aliran “sesat” ini sungguh mengherankan. Bagaimana dalam waktu yang relatif nyaris bersamaan, aliran-aliran agama baru yang menyimpang tadi bermunculan, seperti saling mengikuti satu sama lain?4
Salah satu aliran yang dianggap sesat tersebut adalah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mengejutkan masyarakat muslim Indonesia menjelang akhir tahun 2007 dengan segala kontroversinya. Pemahamannya terhadap Islam sangat berbeda dengan mainstream yang bukan wilayah furu’iyah, tetapi pokok-pokok ajaran yang sudah baku yang mereka kutak-katik, padahal konsep ajaran Islam yang pokok-pokok itu sudah sempurna dan tidak bisa dikutak-katik lagi.5
Aksi-aksi penentangan muncul di berbagai wilayah tanah air mulai dengan cara yang paling halus hingga kekerasan fisik dan psikis. Aparat ditekan untuk
3
A. Yogaswara dan Mualana Ahmad Jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu, Riwayat Aliran Sesat dan Para Nabi Palsu di Indonesia, (Yogyakarta: Narasi, 2008), Cet. ke-1, h. 8.
4
Ibid.
5
melakukan tindakan tegas berdasarkan pasal Penodaan atau Penistaan Agama, jika tidak mereka menyatakan akan bertindak dengan cara sendiri. Suatu ancaman yang mengerikan mengingat bahasa massa adalah bahasa tanpa konsep hukum dan keadilan yang jelas.6
Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dinilai melenceng dari Islam karena beberapa hal, yaitu:7 Pertama, adanya pengakuan si ‘pendiri’ aliran, bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul; Kedua, tidak mengakui Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir (dalam syahadat mereka, tidak mengikutsertakan nama Rasulullah SAW); Ketiga, tidak perlu menjalankan rukun Islam; dan Keempat,
tidak perlu sholat 5 waktu.
Penilaian sesat terhadap aliran tersebut memang mempunyai dasar. Salah satu dasar yang dijadikan pedoman dalam menganalisis apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak yaitu ketetapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang telah mengeluarkan 10 (sepuluh) kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriteria itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:8Pertama, pengingkaran terhadap rukun iman dan rukun Islam. Kedua, keyakinan dan pengikutan terhadap akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Al-Qu’ran dan as-Sunah). Ketiga, keyakinan bahwa wahyu turun setelah
6
Ibid.
7
“ Aliran Al-Qiyadah Jelas Sesat” artikel ini diakses pada 10 Juni 2008 dari http://.tausyiah.blogsome.com.
8
Al-Qu’ran. Keempat, pengingkaran otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qu’ran
Kelima, penafsiran Al-Qu’ran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir. Keenam,
pengingkaran terhadap kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
Ketujuh, pelecehan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. Kedelapan,
pengingkaran terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Kesembilan, pengubahan pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.
Kesepuluh, pengkafiran sesama muslim tanpa dalil syar'i.
Kesepuluh kriteria versi MUI ini sebenarnya bukan hal yang asing lagi, sebab sejak dahulu para ulama sudah berijma' tentang kafirnya orang yang melakukan atau meyakini suatu paham, seperti yang terdapat dalan kesepuluh prinsip ini.
Penodaan agama yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq, pada akhirnya telah membuat dia dijerat oleh pasal 156a KUHP, diajukan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan penodaan agama Islam.
Dengan memperhatikan fenomena yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dalam sebuah penelitian yang diajukan sebagai skripsi dengan judul “PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA: Kajian Tentang Kasus Ahmad Mushaddeq”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dan untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis memberikan pembatasan dan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Pembatasan Masalah
a. Mendeskripsikan secara umum tindak pidana penodaan agama dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.
b. Menjelaskan gambaran umum tentang Ahmad Mushaddeq dan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
2. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, pokok masalah yang akan diteliti adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq. Berdasarkan batasan masalah di atas, untuk menghindari ketidakjelasan arah pembahasan, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah muncul di Indonesia dan apakah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan sekedar ekspresi agama saja atau hanya sekedar eksperimen Ahmad Mushaddeq saja?
b. Bagaimana pandangan hukum positif Indonesia dan hukum pidana Islam terhadap kasus penodaan agama dan apa sanksinya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa dan bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai penodaan agama Islam oleh aliran Qiyadah Al-Islamiyah. Sedangkan secara rincinya sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini :
b. Mengetahui siapa dan bagaimana Ahmad Mushaddeq mendirikan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan apa motifnya.
c. Mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq dan apa sanksinya.
2. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dalam penelitian ini, di antaranya:
1. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna untuk memperluas dan menambah wawasan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq.
2. Bagi kalangan civitas akademika, penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq.
3. Bagi masyarakat umum, penulisan ini dapat menjadi informasi untuk memperluas wawasan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq dan cara menanganinya.
Penelitian atau kajian terkait isu penodaam agama sudah relatif banyak dilakukan. Beberapa penelitian melihatnya dalam perspektif hukum positif, dan beberapa yang lain dalam tinjauan hukum Islam.
Salah satu kajian yang menilik masalah penodaan agama ini dilakukan oleh Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, dalam buku mereka, Delik Agama
dalam Hukum Pidana di Indonesia. Menurut mereka, suatu perbuatan atau
tindakan dapat disebut sebagai kejahatan, jika perbuatan itu bertentangan dengan asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum kalangan rakyat adalah suatu delik, terlepas dari apakah asas-asas tersebut tercantum di dalam undang-undang pidana ataupun tidak. Sedangkan penciptaan “Delik Agama” dapat dibenarkan berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Mereka mengungkapkan bahwa penyusunan tindak pidana agama dapat didasarkan atas suatu alternatif atau penggabungan antara beberapa teori, tergantung dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Mereka mengutip apa yang dijelaskan oleh Tim Peneliti LPHN (sekarang BPHN) dalam buku,
Pengaruh agama terhadap hukum pidana, yang menyebutkan tiga macam teori
yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik tersebut:10
a. Friedensschutz-theori, yang memandang ketertiban umum sebagai
kepentingan hukum yang harus dilindungi.
b. Geffulsschutz-theori, yang hendak melindungi rasa keagamaan.
9
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1993), Cet. ke-10, h. 56.
10
c. Religionsschutz-theori, yang melihat agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi.
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin menilai bahwa perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai delik agama, apabila pemidanaannya pada agama dan kehidupan agama (Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Lembaga-lembaga Agama, dan pemuka agama), dengan kata lain bahwa dalam melakukannya itu secara nyata memang ada opzet untuk menghina perasaan orang beragama.11 Lebih jauh mereka mengungkapkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut, baru dapat dipidanakan, apabila dilakukan di muka orang-orang yang beragama dan dapat mengganggu ketentraman mereka yang beragama itu dan karenanya sukar dapat membahayakan atau melanggar ketertiban umum.
Maka yang dimaksud penodaan agama dalam pasal 156a adalah tindak pidana agama dengan maksud, bukan melindungi agama dari penodaan. Namun demikian secara esensial perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap Nabi, Kitab Suci dan lain-lainnya dipandang ditujukan pula terhadap agama, seperti dimaksudkan oleh pasal 156a KUHP.12
Tulisan lain terkait masalah penodaan agama dilakukan oleh Abdullah Ubaid Matraji dalam artikelnya berjudul, “Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah”. Menurut Matradji, pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet karena bisa modot dan molor ke
11
Ibid., h. 59.
12
mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban atas nama agama. Sebelum kasus penodaan agama yang dilakukan Ahmad Mushaddeq, pada tahun 2005 pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut dianggap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan Besuki, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa. Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.13
Senada dengan Martadji, penulis lain, Ahmad Suaedy dan Rumadi, menilai bahwa pasal 156a KUHP dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila
13
digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam praktiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas. Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh polisi maupun hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.14
Kajian lain terkait masalah ini ditulis oleh sebuah tim yang mengungkapkan bahwa sebenarnya, pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda. Melainkan dari Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
14
Pasal 4 langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu". Dan patut dicatat, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa agama-agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.15
Namun demikian, dari sekian tulisan-tulisan ini, belum ada kajian yang secara spesifik meneliti tentang kasus al-qiyadah yang sangat menghebohkan. Dengan demikian untuk mengisi kekosongan kajian dalam hal terkait pendoaan agama, saya tertarik untuk menelitinya dalam sebuah skripsi ini.
E. Metode Penelitian
Karena studi ini penelitian lapangan (field research), maka metode yang digunakan adalah metode yang sesuai dengan penelitian lapangan. Untuk
15
mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, di bawah ini akan dijelaskan metode tersebut:
E. 1. Jenis Data
Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiah dan kualitatif mengenai bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq. Dalam penggalian data ini, penulis terjun langsung ke PN dan Kejari Jakarta Selatan yang bertujuan untuk memperoleh data yang valid dan akurat.
Penelitian ini juga termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode pengkupasan dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. E. 2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari wawancara atau interview secara mendalam dengan Ahmad Mushaddeq, Majlis hakim dan JPU yang menanganinya.
Al-Qur’an, As-Sunnah, buku-buku umum, buku-buku Islam, dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
E. 3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pengkajian bahan dokumen, KUHP, KUHAP, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965, keputusan Bakor Pakem, Fatwa MUI, dan bahan-bahan yang didapat dari sumber data primer dan sekunder.
b. Wawancara atau Interview, dilakukan untuk melengkapi data-data yang obyektif mengenai prakteknya di lapangan, maka penulis mengadakan wawancara dengan Ahmad Mushaddeq, Majlis hakim dan JPU yang menanganinya, dan wawancara dengan beberapa pengikutnya untuk dijadikan responden sebagai modal dasar untuk memperoleh data-data yang kongkrit dan obyektif.
E. 4. Teknik Analisis Data
Karena jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, maka pengolahan datanya melalui beberapa tahapan. Pertama,
E. 5. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini maka buku penentuan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan ke-1, 2007.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi hasil penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab dalam sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan laporan.
Bab kedua mendeskripsikan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Di dalamnya terdapat pembahasan istilah dan dan pengertian tindak pidana, rumusan tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian tindak pidana penodaan agama dan terakhir ditutup dengan unsur-unsur tindak pidana penodaan agama.
bagaimana riwayat hidup Ahmad Mushaddeq, sejarah berdirinya Aliran Qiyadah Islamiyah, dan terakhir apa saja ajaran-ajaran aliran Qiyadah Al-Islamiyah.
Bab keempat merupakan hasil penelitian di lapangan bangaimana penanganan Kasus Tindak Pidana Penodaan Agama yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq. Di dalamnya terdapat pembahasan deskripsi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus penodaan agama yang dilakukan Ahmad Mushaddeq dan analisis hukum pidana Islam terhadap putusan tersebut.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Positif
A. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit (Bahasa Belanda),
yang terdiri dari tiga kata, yaitu kata straf yang artinya pidana, baar yang artinya
dapat atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata Strafbaarfeit sering
diartikan berbeda-beda oleh para pakar hukum pidana, sehingga belum ada
univikasi yang pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Strafbaarfeit sering
diartikan sebagai berikut:1
Tindak Pidana, istilah tindak pidana dapat dikatakan istilah yang resmi
digunakan dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan Indonesia. Ahli
hukum yang menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH.
Perbuatan Pidana, istilah ini adalah istilah yang digunakan ahli hukum Prof. Mr.
Moeljatno, SH. menurutnya istilah ini lebih tepat daripada istilah-istilah yang lain.
Istilah lain adalah Peristiwa Pidana, istilah ini digunakan oleh beberapa ahli
hukum, antara lain Mr. R. Tresna dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana”,
H.J.Van Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana
Indonesia”, Prof. A. Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk
1
Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950. Istilah Pelanggaran
Pidana, istilah ini digunakan pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang
No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. Dan terakhir adalah
istilah Perbuatan yang Boleh Dipidana, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni
dalam bukunya “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”, selain itu H.J.Van
Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”
juga menggunakan istilah perbuatan yang boleh dihukum.
Pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan istilah Strafbaarfeit, maka
timbullah dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan istilah tersebut. Seperti halnya untuk memberikan definisi
terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah untuk memberikan perumusan atau
definisi terhadap istilah Strafbaarfeit.
Masalah tindak pidana dalam ilmu hukum pidana merupakan bagian yang
paling pokok dan sangat penting. Telah banyak diciptakan oleh para pakar hukum
pidana perumusan atau definisi tentang istilah tersebut, namun tidak ada kesatuan
pendapat di antara mereka.
Berikut ini beberapa definisi atau pengertian dari istilah Strafbaarfeit,
yaitu :2 Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handoling) yang
2
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab; J. Baumman, berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan; sedangkan menurut Karni, tindak pidana adalah perbuatan yang
mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang
sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan;
demikian juga menurut Wiryono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Bahkan Moeljatno,
berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut; dan terakhir menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.
Dengan demikian istilah Strafbaarfeit secara garis besar dapat disamakan
dengan istilah “Tindak Pidana” dengan mengeyampingkan berbagai pendapat
para pakar hukum pidana dan dengan pertimbangan hampir semua peraturan
A. 2. Rumusan Tindak Pidana
Sumber Hukum Pidana ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis
(hukum pidana adat). Agar orang dapat mengetahui bagaimana hukumnya tentang
sesuatu persoalan, maka aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula
keadaannya dalam hukum pidana. Perumusan aturan pidana yang tertulis terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam peraturan
perundang-undangan lainnya.
Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah
adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam
undang-undang. Ini merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan tindak
pidana ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana
sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang
dilarang atau apa yang diperintahkan.
Rumusan dalam undang-undang menggambarkan perbuatan yang
dimaksud secara abstrak/skematis. Di situ disebutkan syarat-syarat/unsur-unsur
apa yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana. Rumusan dalam
undang-undang ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, sedangkan perbuatan
yang kongkrit adalah berlangsung di suatu tempat dan pada suatu waktu serta
dapat ditangkap dengan panca indera.
Apabila semua unsur dalam rumusan itu terdapat di dalam perbuatan
tersebut, berarti perbuatan tersebut telah memenuhi atau mencocoki rumusan
demikian peraturan undang-undang itu dapat diterapkan kepada perbuatan
tersebut.3
Untuk perumusan norma dalam peraturan pidana itu ada 3 (tiga) cara,
yaitu:4
1. Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan,
misalnya:
a. Pasal 154-157 KUHP tentang haatzai delicten (menabur kebencian); b. Pasal 281 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan;
c. Pasal 305 KUHP tentang meninggalkan anak di bawah umur 7 tahun.
Cara perumusan seperti ini yang paling banyak digunakan.
2. Hanya disebutkan kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan
unsur-unsurnya, misalnya:5
a. Pasal 184 KUHP tentang duel (perkelahian tanding); b. Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita; c. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Oleh karena untuk tindak pidana-tindak pidana itu tidak ada penyebutan
secara tegas unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang dimaksud
perlu ada penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal
tersebut. Cara penyebutan seperti ini kurang dapat dibenarkan karena ia
memberi kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum.
3
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hokum UNDIP, 1990), Cet. ke-1, h. 52.
4
Ibid., h. 52.
5
3. Penggabungan cara ke-1 dan ke-2, yaitu di samping menyebutkan
unsur-unsurnya (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan) juga
menyebutkan kwalifikasi dari tindak pidana tersebut, misalnya :6
a. Pasal 124 KUHP tentang membantu musuh; b. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan; c. Pasal 362 KUHP tentang pencurian; d. Pasal 378 tentang penipuan.
Dalam hubungannya dengan hal ini dapat ditambahkan bahwa para hakim
dalam diktum putusannya seringkali hanya menyebutkan unsur-unsur dari
tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa saja.
A. 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Penjabaran rumusan pidana ke dalam unsur-unsurnya, maka yang
mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia dan dengan
tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh
undang-undang. Menurut ilmu hukum pidana sesuatu tindakan itu dapat
merupakan hal melakukan sesuatu (een doen) atau dapat merupakan hal tidak
melakukan sesuatu (een nalaten) yang juga berarti mengalpakan sesuatu yang
diwajibkan oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu pada umumnya dapat dijabarkan ke
dalam unsur-unsurnya.
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :7
6
1. Unsur Subyektif
Unsur subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada
keadaan batin orangnya. Unsur subyektif dari tindak pidana terdiri dari :8
a. Kesengajaan atau kelalaian (dolus atau culpa); b. Maksud dari suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk; d. Merencanakan terlebih dahulu
e. Perasaan takut
2. Unsur Obyektif
Unsur obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia
atau si pembuat, yaitu semua unsur mengenai pembuatannya dan
keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan obyek pidana. Unsur
obyektif terdiri dari :
a. Sifat melawan hukum; b. Kualitas dari pelaku;
c. Kausalitas, yatu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Adapun unsur-unsur yang sangat penting untuk diklasifikasikan ke dalam
tindak pidana sebagai berikut :9
1. Perbuatan
Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan
seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk
pemberian pidana.
7
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : CV. Armico, 1984), Cet. ke-1, h. 184.
8
Ibid.
9
2. Hubungan sebab akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas merupakan unsur yang ada dalam
perbuatan atau dapat diklasifikasikan suatu tindak pidana. Karena untuk
menentukan akibat yang diatur dalam hukum pidana harus merupakan
akibat yang dilakukan sesorang.
3. Sifat Melawan Hukum10
Unsur selanjutnya dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum.
Unsur ini merupakan penilaian obyektif terhadap perbuatan dan bukan
terhadap si pembuat. Perbuatan dikatakan melawan hukum apabila kita
berbuat itu masuk rumusan tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Mengenai sifat melawan hukum ini, menurut Sudarto
dibedakan menjadi dua, yaitu :11
a. Sifat melawan hukum yang formil, yaitu apabila perbuatan diancam
pidana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam
undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya dapat hapus berdasarkan
ketentuan undang-undang. Jadi sifat melawan hukum sama dengan
melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
b. Sifat melawan hukum materiil, yaitu perbuatan disebut melawan
hukum tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (hukum
tertulis) saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang
10
Ibid., h. 76.
11
tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan juga dapat dihapus
berdasarkan ketentuan tidak tertulis tersebut.
4. Kesalahan
Untuk dipidananya seseorang tidak cukup hanya dipenuhinya syarat
bahwa telah adanya perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga harus ada
unsur kesalahan. Hal ini berkaitan dengan asas Geen straf zonder schuld
yang artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau istilah lainnya
Keine Straf ohne Schuld. Roeslan Saleh menyatakan bahwa asas tindak
pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan dasar dari dipidananya
si pembuat. Dapat pula dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan
perbuatan pidana, tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana tidak
selalu ia dipidana apabila ia mempunyai kesalahan.12
A. 4. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Secara umum pembagian jenis tindak pidana dapat dikemukakan sebagai
berikut :13
1. Kejahatan dan Pelanggaran
a. Kejahatan “rechtdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah
12
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Bandung: PT Aksara Baru, 1987), Cet. ke-2, h. 76.
13
dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
b. Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian.
2. Delik Formil dan Materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik
dengan perumusan secara materiil).14
a. Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang.
b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak diketahui (dilarang).
3. Delik commisssionis, delik ommisionis dan delik commisionis perpmmisionis
commissa.15
a. Delik commisionis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang;
b. Delik ommisonis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang.
c. Delik commisionis per ommisionis commissa, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik commissionis), tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.
4. Delik dolus dan delik culpa.16
a. Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan.
b. Deli culpa, yaitu delik yang memuat kealpan sebagai salah satu unsurnya.
5. Delik tunggal dan delik berganda17
a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindak pidana yang dilarang undang-undang.
14
Sudarto, op.cit., h. 57.
15
A. Fuad Usfa, Moh. Najib dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM, 2004), Cet. ke-1, 44.
16
Sudarto, op.cit., h. 58.
17
b. Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, atau delik-delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulang kali melakukan tindakan (yang sama) yang dilarang oleh undang-undang.
6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus.18
a. Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus.
b. Delik yang tidak berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu tidak berlangsung terus.
7. Delik Aduan dan delik biasa19
a. Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
b. Delik biasa adalah delik yang tanpa adanya pengaduan dapat dituntut dengan sendirinya.
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya.20
a. Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam Undang-Undang.
b. Delik dengan pemberatan adalah delik-delk dalam bentuk yang pokok, yang karena didalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat.
A. 5. Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem, prinsip
kepercayaan kepada Tuhan (Dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.21 Sedangkan
Muhammad Abdullah Wazaar sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja, agama
18
Ibid.
19
A. Fuad Usfa, Moh. Najib dan Tongat, op.cit. h. 45.
20
Ibid.
21
adalah suatu perundang-undangan Tuhan yang memberi petunjuk kepada
kebenaran dalam keyakinan-keyakinan, dan memberi petunjuk dalam tingkah
laku dan pergaulan-pergaulan.22
Menurut pengertian dalam Pasal 156a KUHP yang dimaksud dengan
tindak pidana penodaan agama adalah barangsiapa dengan sengaja dimuka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 7 menyebutkan “Lakum dinukum
wa liya diin” yaitu untuk kalian agama kalian, dan untuku agamaku. Dan juga
dalam Surat Al-Hujurat ayat 11 menyebutkan “Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang) diolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)”.
Maka dari kedua ayat tersebut terkandung pengertian, bahwa antar pemeluk
agama yang berbeda-beda satu sama lain harus saling hormat menghormati dan
saling menghargai. Maka apabila ada suatu pemeluk agama lain yang dengan
sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia, maka hal tersebut merupakan suatu tindak pidana terhadap
penodaan agama.
22
Tindak pidana agama di dalam hukum negara kita, bila yang dimaksud
adalah penodaan terhadap agama, kemudian kita tinjau dari segi hukum Islam,
terutama tinjauan dari tujuan hukum atau dengan kata lain Spirit of law, maka
merupakan suatu kepentingan primer yang harus dijadikan kepentingan hukum
yang harus dilindungi. Dan dalam spirit of law dari ajaran Islam kita melihat
bahwa agama tidak dapat tegak tanpa terpeliharanya jiwa, harta, akal, keturunan
dan kehormatan. Semuanya dijelaskan berdasarkan sumber-sumber hukum yang
jelas (nashiyyah), yang kesemuanya itu merupakan kepentingan-kepentingan
utama yang diistilahkan dengan “dharuriy”. Oleh sebab itu “delik agama” dalam
pengertian Islam lebih luas daripada pengertian “delik agama” dalam hukum
positif.23
A. 6. Unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama
Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, diatur dalam pasal 156a
KUHP yang rumusannya sebagai berikut :
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
23
Menurut pasal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penodaan agama
adalah sebagai berikut :24
a. Barangsiapa; b. Di muka umum;
c. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;
d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP
adalah sebagai berikut :25
1. Unsur Subjektif
a. Barangsiapa
Menurut Sudarto, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
perbuatan orang dan pada dasarnya yang melakukan tidak pidana adalah
manusia. Rumusan tindak pidana dalam undang-undang lazim dimulai
dengan kata-kata “Barangsiapa…., kata “barangsiapa” tidak diartikan lain
lebih daripada orang.26
Yang dimaksud “barangsiapa” oleh pembuat Undang-Undang adalah
orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung jawabkan atas
tindak pidana yang dilakukan.
b. Dengan Sengaja
24
Ibid., h. 92.
25
Sudarto, op.cit., h. 50.
26
Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya
adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang
dicelakan kepada si pembuat (pertanggung jawaban pidana).
Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan
dengan sengaja, KUHP tidak memberikan definisi. Pentunjuk untuk dapat
mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki
dan mengetahui (willan en wettens). Jadi dapat diartikan bahwa sengaja
berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan
disamping itu ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan
itu.27 Dalam hal sesesorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat
dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau
bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan adalah sebagai
berikut :28
1) Kesengajaan sebagai maksud
Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (Dolus directus). Corak
kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan
sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat
27
Sudarto, Ibid., h. 19.
28
yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan
berbuat demikian.
2) Kesengajaan dengan sadar kepastian
Dalam hal ini mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu :29
a. Akibat yang memang dituju si pembuat (merupakan tindak pidana tersendiri atau tidak);
b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam nomor 1 di atas.
3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Dolus Eventualis atau
Voorwaardelijk opzet)
Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku seseorang pelaku
melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang
oleh undang-undang, ia mungkin mempunyai kesadaran tentang
kemungkinan timbulnya suatu akibat lain daripada akibat yang
timbulnya memang ia kehendaki.
Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain
itu tidak membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian
ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat
terhadap seperti itu si pelaku dikatakan telah mempunyai suatu
kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dengan kata lain, pada waktu
si pelaku melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang
dilarang oleh undang-undang, ia telah menyadari kemungkinan akan
29
timbulnya suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia
kehendaki.30
Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam
pasal 156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai
kesengajaan sebagai maksud saja, namun diartikan pula sebagai
kesengajaan dengan sadar kepastian dan sebagai kesengajaan dengan
sadar kemungkinan, karena unsur “dengan sengaja” itu, oleh
pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan didepan unsur-unsur
yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP.
Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara
tersebut, pelaku harus dapat dibuktikan :
a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaaan atau
melakukan perbuatan;
b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang
telah ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Jika kehedak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang
dimaksudkan diatas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan
putusan bebas bagi pelaku.
Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari
segala tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan
sengaja atau opzet oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara
30
tegas sebagai salah satu unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a
KUHP.31
2. Unsur-Unsur Objektif
a. Di depan umum
Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang
dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “Wet Boek van
Strafrech” cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu
penghinaan dilakukan di muka umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat
terbuka untuk dikunjungi umum dan semua orang dapat mendengarnya.32
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lamintang bahwa
dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan tindak
pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa
perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku
itu harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan
yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik/masyarakat umum
atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku itu dapat dilihat oleh publik.33
b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
31
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), h. 464.
32
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syaihabudin, op.cit., h. 71.
33
Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu
dapat dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan.34
c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu
agama yang ada di Indonesia.
Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU
No. 1 (Pnps) Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.35
Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai
perasaan atau perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, Undang-undang ternyata tidak
memberikan penjelasan dan agaknya pembentuk undang-undang telah
menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan penafsiran dengan bebas
tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.36
Menurut pendapat Juhaya dan Syihabudin bahwa kalimat “penodaan
terhadap suatu agama” ditafsirkan sebagai penodaaan langsung terhadap
agama baik lisan ataupun tulisan, terlepas apakah hal itu akan membahayakan
ketertiban umum atau tidak. 37
34
Ibid., h. 465.
35
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 69.
36
Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465.
37
B. Tindak Pidana Penodaan Agama (Riddah) dalam Perspektif Hukum Islam
B. 1. Pengertian Tindak Pidana
Secara etimologi kata
ْﻪ
َﺎ
َﻨ
ِﺟ
bentuk masdar dari kata jana (َﻨَﺟ
)
padabentuk madhi yang artinya perbuatan dosa atau perbuatan jahat atau lazimnya
disebut tindak pidana. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan kata jaani yang
artinya pelaku kejahatan.38 Abdul Qadir Audah mendefinisikan jinayah atau
tindak pidana sebagai berikut :
ﺎ ْﻟا
ﻢْ اﺔ ﻟﺔ
ﺎﻤﻟ
ْﻴ ْ
ءْﺮﻤﻟْا
ْﻦ
ﺮ
ﺎ
ﺴ ْآا
ﺎﺣ ﻄْ او
ﻢْ ا
ْ ﻟ
مﺮ
ﺎ ْﺮ
ءاﻮ
و
ْ ﻟْا
ﻰ
ْ
ْوا
لﺎ
ْوا
ﺮْﻴ
ﻚﻟذ
39”Jinayah menurut bahasa merupakan suatu nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jwa, harta, benda, maupun selain jiwa dan harta benda.”
Kemudian pengertian lain dari jinayah atau tindak pidana adalah berbagai
ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan
orang-orang mukallaf.40
Adapun menurut istilah syara’, sebagian fuqaha mendefinisikan jinayah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut syara’. Meskipun demikian,
pada umumnya, fuquha menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan,
38
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PT. Multi Karya Grafika, 1998), Cet. ke-4, h. 696.
39
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Darul Fikr Al-Maktab, 1992), Cet. ke-11, Jilid 2, h. 4.
40
dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah pada
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishas saja.
Istilah lain yang sepadan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan
syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.41 Sayyid Sabiq
memberikan definisi jinayat sebagai berikut :42
”Yang dimaksud dengan jinayat menurut istilah syara’ adalah perbuatan yang diharamkan dan yang diharamkan itu adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh syara’ karena perbuatan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan atau kerusakan pada agama, jiwa, kehormatan, dan harta”
Di samping istilah jinayah dalam hukum pidana Islam juga terdapat istilah
jarimah, yang pengartiannya tidak dapat dipisahkan dari makna jinayah.
Pengertian jarimah itu sendiri adalah perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi
secara harfiah sama halnya dengan jinayah. Kata jarimah biasa dipakai untuk
penyebutan bentuk atau jenis, sifat perbuatan dosa tertentu saja. Misalnya,
pembunuhan, pencurian, perkosaan. Semua itu dapat disebut dengan istilah
jarimah yakni jarimah pembunuhan, jarimah pencurian, dan sebagainya, yang
dalam istilah hukum positifnya adalah tindak pidana. Sedangkan istilah jinayah
digunakan untuk penyebutan kejahatan atau perbuatan jahat secara umum.
Menurut Abdul Qadir Audah jarimah adalah :43
ﺮْﺰْ
ْوا
ﺪ ﺑ
ﺎﻬْ
ﻰﻟﺎ
ﷲا
ﺮ ز
ﺔﻴ ْﺮ
تارْﻮﻈْ
ﻢﺋاﺮ ْﻟا
41
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. ke-1, h. 117.
42
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah M. Nabhan Husaen, dari judul asli Fiqh As-Sunnah,, (Bandung: PT. Darul Ma’arif, 2002), Cet. ke-20, Jilid 9, h. 168.
43
"Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Kedua istilah tersebut (jinayah dan jarimah) digunakan para fuqaha (para
pakar fikih) dalam pengertian yang sama yakni sebagai larangan-larangan hukum
yang diberikan Allah yang apabila dilanggar diancam dengan hukuman yang telah
ditentukan bentuk hukumnannya.44
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua istilah tersebut
mempunyai perbedaan secara etimologis, akan tetapi mempunya kesamaan arti,
yang ditunjukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif atau dosa, perbedaannya
terletak pada pemakaian dalam arah pembicaraan yakni kalau jinayah untuk
menyebutkan kejahatan secara umum sedangkan jarimah untuk menyebutkan
tindak pidana tertentu, misalnya jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan
lain-lain. Jadi dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana sering diistilahkan
dengan kata jarimah sedangkan mengenai hukum pidananya lazim disebut dengan
fiqh jinayah.
B. 2. Unsur-Unsur Jarimah/Tindak Pidana
Perbuatan dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana
dalam syari’at Islam, perbuatan tersebut harus memiliki beberapa persyaratan atau
beberapa unsur yaitu :45
a. Unsur Syar’i/Formil
44
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. ke-5, h. 2.
45
Yang dimaksud dengan unsur syar’i adalah adanya ketentuan syara’ atau
nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan
yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya
nash yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.
Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan di lakukan
dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan
terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini berlakulah
kaidah-kaidah berikut :46
ﺔﻤْﺮ
ﺔﺑْﻮ
و
ا
ﺑ
”Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash”
ﻢْﻜﺣ
لﺎ ْ
ء ﻟْا
ْ
ﻟادْورو
”Tidak ada hukuman bagi perbuata orang-orang yang berakal sebelum
adanya nash”
b. Unsur Maddi/Materiel
Yang dimaksud dengan unsur Maddi adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam hukum positif, perilaku
tersebut disebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan
hukum.
c. Unsur Adabi/Moril
Unsur ini juga disebut juga dengan al-mas’uliyah al-jinayah atau
pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau
46
pembuat tindak pidana haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah haruslah orang yang dapat
memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut.
Orang yang diasumsikan yang memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang
mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab (panggilan)
pembebanan/taklif.
Menurut Abdul Qadir Audah, unsur-unsur yang telah disebutkan di atas
merupakan unsur-unsur yang bersifat umum atau dasar. Artinya unsur-unsur
tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah. Jadi
pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus dipenuhi.47
Di samping ada unsur yang bersifat umum atau dasar ada pula unsur yang
bersifat khusus. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah berbeda-beda dengan
berbedanya sifat jarimah suatu tindak pidana dapat memiliki unsur khusus yang
tidak ada pada tindak pidanya lainnya.48 Sebagai contoh, memindahkan
(mengambil) harta benda orang lain secara diam-diam hanya ada pada jarimah
pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain hanya dalam kasus
pembunuhan.49
Jadi, hukum pidana Islam dalam menentukan suatu tindak pidana ada tiga
unsur yang harus dipenuhi yaitu :50
47
Ibid., h. 117.
48
Ibid., h. 126.
49
Ahmad Hanafi, op.cit., h. 6.
50
1. Ada nash yang melarang perbuatan dan mengancam dengan hukuman
terhadapnya. Unsur ini biasa disebut dalam hukum positif dengan istilah unsur
formil (rukun syar’i).
2. Melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan
perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Unsur ini biasa disebut dengan
unsur materiel (rukun maddi).
3. Pelaku tindak pidana itu sudah mukallaf yang dapat bertanggung jawab atas
tindak pidananya itu. Unsur ini biasa disebut dengan unsur moril (rukun
abadi).
B. 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Dalam hukum pidana Islam, secara umum jenis-jenis tindak pidana adalah
sebagai berikut :51
1. Dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, jarimah (tindak pidana) dibagi
menjadi tiga, yaitu hudud, qisas-diyat dan ta’zir.52
a. Jarimah hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan macam dan
jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT. Dengan demikian, hukuman
tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Hak Allah
artinya hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan
(korban) ataupun oleh masyarakat (pemerintah). Jarimah hudud ini ada
51
Ahmad Hanafi, op.cit., h. 6-7.
52
tujuh macam, yaitu : jarimah zina, jarimah qadzat, jarimah minum khamr,
jarimah pencurian, jarimah hirabah (pembegalan), jarimah murtad dan
jarimah pemberontakan.
b. Jarimah qisas dan diyat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman
qishas atau diyat. Hukuman qisas dan diyat adalah hukuman yang telah
ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau batas
tertinggi, tetapi menjadi hak manusia. Hak manusia artinya si pelaku dapat
dimaafkan di korban, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut
menjadi hapus. Jarimah qisas dan diyat ada lima macam, yaitu :
pembunuhan yang disengaja; pembunuhan mirip/semi sengaja;
pembunuhan karena kesalahan; kejahatan pada selain jiwa secara
disengaja (penganiayaan disengaja); dan kejahatan pada selain jiwa karena
kesalahan (penganiayaan tidak sengaja).
c. Jarimah ta’zir yaitu jarimah yang dihukum dengan hukuman ta’zir.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan batasnya hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai
yang seberat-beratnya dan bertujuan memberikan pelajaran. Tindak pidana
yang diancam dengan hukumannya ta’zir seperti perbuatan ribba,
menggelapkan titipan, memaki orang melakukan suap dan lain
2. Dilihat dari segi niat pelakunya, jarimah dibagi dua, yaitu : jarimah sengaja
dan jarimah tidak sengaja.53
a. Jarimah sengaja yaitu si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya,
padahal ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang.
b. Jarimah semi sengaja yaitu si pelaku tidak sengaja mengerjakan perbuatan
yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat
kesalahannya.
3. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif
(delicta commissionis) dan jarimah negatif (delicta ommissionis).54
a. Jarimah Positif (jarimah ijabiyah) yaitu mengerjakan perbuatan yang
dilarang seperti berbuat zina, mencuri dan lain sebagainya.
b. Jarimah Negatif (jarimah salabiyah) yaitu tidak mengerjakan suatu
perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat.
4. Dilihat dari segi orang yang terkena jarimah (korbannya), jarimah dibagi
menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.55
a. Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan
untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa
yang meninggung perorangan juga berarti menyinggung masyarakat.
53
Ibid., h. 13.
54
Ahmad Hanafi, Ibid., h. 14.
55
b. Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan
untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai
perseorangan atau mengenai ketentraman dan keamanan masyarakat.
5. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa
dan jarimah politik.56
Pembagian ini didasarkan pada kemaslahatan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Oleh karena itu tidak setiap jarimah yang dilakukan untuk
tujuan-tujuan politik dapat disebut jarimah politik, meskipun terkadang ada jarimah
biasa yang dilakukan dalam suasana politik tertentu bisa digolongkan pada
jarimah politik. Sebenarnya corak keduanya tidak berbeda hanya berbeda
pada motifnya saja.
C. 4. Pengertian Riddah
Riddah berasal dari perkataan bahasa Arab dari kata asal
در
–
دﺮ
–
اًدر
(Radda Yaruddu-Raddan) yang berarti kembali. Istilah murtad dari perkataan
yang sama dalam bahasa Arab. Dalam penggunaan biasa, dalam bahasa tersebut
berarti orang yang kembali kepada sesuatu.57 Seperti firman Allah :
….
Artinya:”... Dan janganlah kamu kembali kebelakang (karena takut kepad musuh) maka kamu menjadi orang yang rugi. (Al-Maidah 5: 21).
56
Ibid., h. 18.
57
Dalam mazhab Syafi’i murtad berarti kembali atau berbalik. apabila
dilihat dari segi etimologis dalam Kamus Dewan (bahasa Malaysia) mempunyai
beberapa pengertian yang sama. Murtad ialah orang yang keluar dari agama islam
sama ada melalui perbuatan, perkataan, atau niat : orang yang semaam ini adalah
orang yang kufur dan durhaka mau menyamai Tuhan (Allah) dengan yang lain.
Manakala perkataan riddah dalam bahasa Arab perbuatan keluar dari agama Islam
sama melalui perkataan, perbuatan dan niat.58
Dengan demikian murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam bisa
dikatakan sebagai orang kafir atau orang syirik kepada Allah SWT. Kafir berarti
orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasulnya. Perbuatan menyekutukan
Allah dengan yang lain adalah seperti beribadah kepada selain Allah dan
menyembah patung atau yang lainnya.
Sedangkan riddah secara terminologis adalah menolak atau keluar dari
Islam dan menjadi kafir. Riddah bisa terjadi karena ucapan, perbuatan dan
keyaikinan (itikad). Riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam
yang berakal dan dewasa kepada kekafiran kerana kehendaknya sendiri tanpa ada
paksaan dari orang lain, baik yang kembali itu lelaki ataupun perempuan. Bila
seseorang menolak prisip-prinsip dasar kepercayaan (iman) seperti keyakinan
adanya Allah serta Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Sebagaimana
tercakup dalam kalimah syahadat. Mengingkari hari kebangkitan, ganjaran atau
58
hukuman dari Allah termasuk perbuatan murtad. Menolak ibadah-ibadah khusus
seperti sholat, zakat, puasa dan haji juga termasuk tindakan murtad. Demikian
juga bila seseorang meniru tindakan orang yang bukan muslim dalam beribadah
dan semacamnya yang dianggap sebagai perbuatan murtad. Dalam pendangan
Imam Syafi’i riddah (murtad) adalah orang yang keluar dari agama Islam.
Berbalik menjadi kafir. Orang-orang yang tidak mengakui salah satu dari hukum
Islam dihukumi sebagai murtad atau kafir. Terhapuslah segala amalnya di dunia
dan akhirat apabila ia mati dalam keadaan murtad. Murtad tergolong kafir yang
paling keji dari segala kekafiran.59 Sebagaimana firman Allah :
☺
⌦
☺
Artinya: ” ... Dan barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamannya lalu mati, sedang ia dalam keadaan kafir maka telah habis amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah yang menjadi penghuni neraka dan mereka kekal didalamnya”. (Al-Baqoroh 2 : 217)
Dengan demikian riddah adalah keluar dari agama Islam dengan niat kafir
baik murtad dengan melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan, dengan
perkataan atau ucapan dan terakhir dengan keyakinan.
B. 5. Macam-macam Murtad
59
Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya yang berarti telah
murtad kecuali jika ia melapangkan dadanya menjadi tenang dan tentram terhadap
kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan itu. Contoh-contoh yang
menunjukkan kekafiran:60
1. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Seperti mengingkari keesaan Allah, mengingkari ciptaan Allah terhadap alam,