• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandang

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Kandang C, Bagian Produksi Ternak Daging, Kerja dan Aneka Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium ini terdiri atas empat bangunan yang digunakan untuk pemeliharaan mencit dan tikus putih, pemeliharaan kelinci, pengembangan ulat sutera liar dan sebagai tempat beristirahat petugas kandang. Kondisi bangunan kandang cukup baik dengan ketersediaan air yang cukup memadai. Kandang yang digunakan selama penelitian dalam kondisi cukup baik, setelah sebelumnya diperbaiki karena terdapat beberapa bagian kawat kandang yang telah berlubang akibat rapuh. Perawatan kandang dilaksanakan dengan melakukan pembersihan kandang, bak penampungan air, botol minum, penggantian plastik kontainer (baki kandang mencit) dan pencucian plastik kontainer yang telah digunakan.

Pemeliharaan mencit dilakukan pada tiga rak yang masing-masing bertingkat tiga, dimana tidak semua bagian rak dapat digunakan karena terdapat lubang pada kawat yang tidak dapat ditutup. Rak pertama digunakan sebagai tempat kawin mencit, rak kedua digunakan sebagai tempat mencit dengan pemberian ransum perlakuan mulai hari ke-14 kebuntingan (H1) dan rak yang ketiga digunakan sebagai tempat mencit dengan pemberian ransum perlakuan pada saat induk mencit beranak (H2). Setiap plastik kontainer (kandang) yang digunakan diberi label sesuai dengan perlakuan taraf dan hari pemberian. Penempatan kandang kawin pada penelitian tersaji pada Gambar 5.

Mencit

Mencit yang digunakan untuk penelitian dalam kondisi sehat. Mencit jantan dan betina yang digunakan berumur ± 35 hari atau siap kawin. Saat mencit betina mencapai umur kebuntingan 14 hari, mencit tersebut dipisahkan dari pejantan, kemu-dian ditempatkan dalam kandang plastik kontainer agar mencit betina tidak ter-ganggu selama bunting hingga beranak. Induk mencit dapat melahirkan anak berkisar antara satu hingga 10 ekor anak per kelahiran.

23 Kematian anak terjadi beberapa hari setelah dilahirkan. Kematian anak mencit setelah dilahirkan disebabkan oleh timbulnya sifat kanibalisme induk, yaitu tingkah laku induk memakan anaknya. Sifat kanibalisme disebabkan terganggunya induk mencit setelah beranak, karena seringnya dilakukan penimbangan anak mencit setiap empat hari sekali. Sesuai dengan pernyataan Malole dan Pramono (1989) bahwa sifat kanibal pada mencit jarang terjadi kecuali apabila induk yang baru melahirkan diganggu.

Gambar 5. Rak Kandang Kawin Mencit

Suhu dan Kelembaban

Faktor lingkungan (suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi psikologis maupun fisiologis hewan dan ternak. Menurut Malole dan Pramono (1989) apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka produktivitas yang dicapai tidak akan optimal. Selain itu suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi sifat hewan yang berpengaruh pada konsumsi ransumnya (Parakkasi, 1999).

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama penelitian berlangsung, dengan menggunakan alat termohigrometer yang ditempatkan di dinding dalam kandang. Rataan suhu di dalam kandang berkisar antara 21-31oC dengan kelembaban berkisar antara 54-88%. Menurut Malole dan Purnomo (1989) suhu dan kelembaban yang ideal untuk pertumbuhan mencit masing-masing berkisar antara 21-29oC dan 30-70% dalam kandang. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kisaran suhu dan kelembaban yang sedikit lebih tinggi daripada kisaran suhu ideal untuk pertumbuhan mencit. Biasanya suhu panas tersebut terjadi pada siang hari, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada pagi hari. Menurut Vincent (1972) suhu lingkungan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas ternak. Hal tersebut terjadi karena rangsangan

24 panas yang diterima dapat mempengaruhi hipotalamus yang merupakan pusat pengaturan mekanisme homeostasis, kerja endokrin, jumlah makanan dan jumlah air yang dikonsumsi serta osmoregulator.

Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum komersial mencit dan ekstrak daun bangun-bangun (EDB). Daun bangun-bangun yang digunakan diperoleh dari pedagang sayuran di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Acuan yang digunakan dalam menentukan kualitas nutrisi bahan makanan dan untuk menghitung komponen zat makanan adalah hasil analisis proksimat. Hasil analisis proksimat ransum dan EDB yang digunakan pada penelitian tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian dan Ekstrak Daun Bangun-bangun

Ransum BK Abu PK SK LK Beta-N

---%--- 0,00% EDB (R0) 86,08 7,93 17,74 5,38 3,49 51,54 0,05% EDB (R1) 88,20 9,90 16,91 8,03 3,48 47,28 0,10% EDB (R2) 85,73 9,60 16,69 7,83 3,47 48,14 0,15% EDB (R3) 86,06 9,56 17,20 6,59 2,71 50,00 Serbuk EDB 92,21 1,53 5,05 0,10 0,07 85,46

Keterangan : BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; SK : Serat Kasar; LK = Lemak Kasar; Beta-N = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (INTP),Fakultas Peternakan, IPB (2009) Berdasarkan hasil analisis proksimat didapatkan bahwa penambahan berbagai taraf EDB dalam ransum mengakibatkan perubahan komposisi kandungan zat makanan ransum yang terjadi secara tidak teratur. Ketidakteraturan perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh ketidakhomogenan saat pencampuran EDB dengan ransum mencit komersial saat proses pembuatan pellet. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya (Herman, 2003).

Kebutuhan abu pada mencit berkisar antara 5-6% dari total ransum (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kadar abu dalam ransum yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu yang direkomendasikan oleh

25 Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yaitu R0 (7,93%); R1 (9,90%); R2 (9,60%) dan R3 (9,56%). Penambahan EDB dalam ransum dapat meningkatkan kadar abu ransum. Kadar abu yang terkandung di dalam ekstrak daun bangun-bangun adalah 1,53%. Kadar tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar abu pada tepung daun bangun-bangun yaitu 12,90% (Wardani, 2007). Proses ekstraksi dapat menurunkan kadar abu yang terdapat pada daun bangun-bangun.

Kebutuhan mencit akan protein kasar menurut Smith dan Mangkoewidjojo, (1988) adalah 20-25%. Kandungan protein kasar dalam ransum penelitian adalah R0

(17,74%); R1 (16,91%); R2 (16,69%) dan R3 (17,20%) atau jauh dibawah kebutuhan mencit akan protein kasar. Penggunaan EDB pada ransum perlakuan R1, R2 dan R3

terlihat cenderung menurunkan kadar protein kasar pada ransum akan tetapi penurunannya tidak teratur. Ransum R2 (16,69%) seharusnya lebih tinggi daripada (16,91%) R1. Kandungan protein kasar dalam EDB adalah 5,05%. Kadar tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar protein kasar yang terdapat pada tepung daun bangun-bangun yaitu 26,43% (Wardani, 2007).

Mencit dewasa membutuhkan lemak kasar sebanyak 5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Berdasarkan hasil analisis proksimat didapatkan kandungan lemak kasar pada ransum adalah R0 (3,49%); R1 (3,48%); R2 (3,47%) dan R3 (2,71%) yang terlihat cenderung menurun pada R1, R2 dan R3 dibandingkan dengan R0 tetapi penurunannya tidak teratur. Kandungan lemak kasar dalam ransum tersebut lebih rendah daripada kebutuhan mencit dewasa yang direkomendasikan. Rendahnya kandungan lemak kasar kemungkinan disebabkan bahan pakan yang digunakan dalam menyusun ransum memiliki kandungan lemak yang rendah. Tingkat kandungan lemak yang tinggi dapat mengakibatkan ransum mudah rusak karena lemak akan teroksidasi sehingga menyebabkan ransum menjadi berbau tengik. Ransum yang berbau tengik dapat menurunkan tingkat palatabilitas ransum tersebut.

Kandungan serat kasar dalam ransum yang digunakan pada penelitian R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 5,38; 8,03; 7,83; dan 6,59%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) mencit dewasa membutuhkan serat kasar maksimal 5%. Berdasarkan hal tersebut, maka kandungan serat kasar pada ransum penelitian lebih tinggi daripada kebutuhan maksimal mencit dewasa. Pemberian EDB dalam ransum cenderung meningkatkan kandungan serat kasar. Semakin tinggi taraf penggunaan

26 EDB, semakin rendah kandungan serat kasar dalam ransum. Kadar serat kasar dalam ransum penelitian jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang terdapat pada tepung daun bangun-bangun yaitu 22,43% (Wardani, 2007).

Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum induk mencit, litter size lahir, bobot lahir, produksi air susu induk, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot badan anak dan mortalitas selama menyusu.

Konsumsi Ransum Induk Mencit

Konsumsi ransum induk adalah jumlah ransum yang dimakan oleh seekor induk mencit setiap hari. Jumlah ransum tersebut didapatkan dari hasil pengurangan antara jumlah ransum yang diberikan dengan ransum yang tersisa pada tempat pakan dan sekam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum induk mencit selama penelitian adalah 8,54±1,00 g/e/h (Tabel 6). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyebutkan bahwa mencit dewasa memerlukan ransum 3-5 g tiap harinya sedangkan mencit bunting dan laktasi mengkonsumsi lebih banyak ransum. Ransum yang dikonsumsi akan digunakan dalam proses produksi air susu dan untuk pertumbuhan induk itu sendiri. Rataan hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan penelitian Wardani (2007) yang menggunakan tepung daun bangun-bangun yaitu 9,13±1,05 g/e/h. Rataan konsumsi ransum induk mencit menurut perlakuan selama penelitian selengkapnya tersaji dalam Tabel 6.

Berdasarkan hasil analisis ragam didapatkan bahwa taraf pemberian EDB dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum induk mencit. Uji Tukey menunjukkan taraf EDB dalam ransum R1, R2 dan R3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan ransum R0, namun antara ketiganya tidak berbeda nyata. Pemberian EDB pada taraf 0,10% (R2) memiliki rataan konsumsi ransum tertinggi (8,18±0,36 g/e/h) dibandingkan dengan taraf perlakuan lainnya selain perlakuan kontrol. Pemberian EDB dalam ransum dapat menurunkan konsumsi ransum mencit. Penurunan konsumsi ini disebabkan EDB dapat menurunkan palatabilitas. Sesuai dengan pernyataan Sutardi (1981) bahwa faktor umum yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas ternak terhadap ransum

27 yang diberikan. Penurunan palatabilitas terjadi akibat EDB memiliki sifat aromatik (Depkes, 1989), sehingga konsumsi ransum yang mengandung EDB tidak setinggi ransum kontrol. Menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988), mencit yang mengkonsumsi pakan dengan kualitas yang berubah dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga.

Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Mencit

Ransum Waktu Pemberian Rataan

H1 H2 ---g/e/h--- 0,00% EDB (R0) 9,58±0,86 9,95±0,66 9,76±0,74A 0,05% EDB (R1) 8,17±0,87 8,02±0,75 8,09±0,75B 0,10% EDB (R2) 8,38±0,43 7,97±0,08 8,18±0,36B 0,15% EDB (R3) 8,50±1,25 7,77±0,37 8,13±1,00B Rataan 8,66±0,98 8,42±1,03 8,54±1,00

Keterangan : Superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01).

H1= kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 8,68%

Waktu pemberian ransum yang mengandung EDB pada mencit tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, meskipun rataan konsumsi ransum mencit yang diberi pada H1 lebih tinggi dibandingkan dengan H2 masing-masing 8,66±0,98 dan 8,42±1,03 g/e/h, namun tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini dikarenakan mencit yang diberi perlakuan pada H1 telah beradaptasi dengan ransum perlakuan, sedangkan pada H2 terjadi perubahan pemberian ransum yang tiba-tiba sehingga mengakibatkan tingkat kesukaan mencit terhadap ransum lebih rendah. Tidak terjadi interaksi antara taraf dan waktu pemberian ransum dengan EDB terhadap konsumsi ransum induk. Konsumsi ransum induk mencit tertinggi dan terendah masing-masing terjadi pada perlakuan R0H2 (9,95±0,66 g/e/h) dan R3H2

(7,77±0,37 g/e/h).

Kebutuhan energi hewan pada saat laktasi lebih banyak maka induk laktasi perlu meningkatkan konsumsi pakan demi terpenuhinya kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan peningkatan bobot badan anak. Silitonga (1993) menjelaskan bahwa pada awal kelahiran, anak memerlukan energi sekitar 10% dari konsumsi

28 energi netto induk melalui sintesis air susu, namun saat puncak laktasi anak memerlukan energi sekitar 80% dari konsumsi energi netto induk. Selain itu induk juga membutuhkan cukup nutrisi untuk pertumbuhannya.

Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada hewan ternak, salah satunya adalah suhu lingkungan penelitian. Suhu yang tinggi selama penelitian (21-31oC) menyebabkan mencit mengalami stress sehingga konsumsi ransum menurun. Menurut NRC (1995), penurunan konsumsi ransum merupakan upaya mencit untuk mempertahankan kondisi tubuhnya agar berada dalam keadaan normal karena konsumsi ransum yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh akibat proses pencernaan, sehingga dalam kondisi tersebut mencit akan lebih banyak mengkonsumsi air minum daripada mengkonsumsi ransum.

Koefisien keragaman (KK) yang rendah pada konsumsi ransum induk (8,68%) menandakan bahwa rataan konsumsi ransum induk seragam atau dengan kata lain respon induk mencit terhadap ransum perlakuan yang diberikan pada setiap individu sama.

Litter Size Lahir

Litter size lahir adalah jumlah anak yang hidup dan mati saat dilahirkan. Rataan litter size lahir yang didapatkan pada penelitian adalah 6,03±2,21 ekor dengan koefisien keragaman (KK) = 36,41%. Rataan litter size lahir selama penelitian diperlihatkan dalam Tabel 7.

Rataan litter size lahir (6,03±2,21 ekor) yang diperoleh masih dalam kisaran rataan litter size lahir mencit menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 6-15 ekor per kelahiran. Banyak faktor yang mempengaruhi litter size lahir diantaranya umur induk, kualitas dan kuantitas pakan, kondisi induk saat dikawinkan, pejantan yang diigunakan, sistem perkawinan (Eissen, 1980) kematian fetus maupun kehilangan sel telur yang telah dibuahi, kemampuan uterus menampung fetus, sifat genetik, pengaruh silang dalam dan jumlah sel telur yang dihasilkan (Warwick et al., 1991). Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007), yaitu 8,57±2,16 ekor yang menggunakan tepung daun bangun-bangun.

29 Tabel 7. Rataan Litter Size Lahir Mencit

Ransum Waktu Pemberian Rataan

H1 H2 ---ekor--- 0,00% EDB (R0) 7,00±1,83 3,75±2,06 5,38 ± 2,50 0,05% EDB (R1) 6,00±2,16 5,25±1,89 5,63 ± 1,92 0,10% EDB (R2) 6,75±1,71 5,75±2,22 6,25 ± 1,91 0,15% EDB (R3) 7,00±2,71 6,75±2,75 6,88 ± 2,53 Rataan 6,69±1,96 5,38±2,30 6,03±2,21

Keterangan : H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 36,41%

Pemberian EDB dalam ransum dengan taraf dan waktu yang berbeda serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir. Ransum perlakuan yang mengandung EDB yang diberikan pada kebuntingan 14 hari dan setelah lahir dimana ovulasi sel telur telah terjadi, sehingga ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir anak. Rataan litter size lahir berdasarkan perlakuan selama penelitian diperjelas pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa taraf penggunaan EDB yang semakin tinggi dalam ransum menghasilkan

litter size lahir yang semakin tinggi pula kecuali pada perlakuan R0H1. Hafez (1969) menyatakan bahwa litter size tikus dan mencit akan meningkat setelah paritas pertama atau pada paritas ke 2-8, namun setelah paritas ke-8 akan berangsur-angsur menurun. Litter size lahir bergantung pada umur dan ukuran tubuh induk, sedangkan nutrisi induk akan menentukan ukuran tubuh atau rataan bobot lahir anak. Umur yang terlalu tua atau muda menyebabkan penurunan jumlah anak per kelahiran sedangkan ukuran tubuh yang terlalu kecil mempengaruhi jumlah anak per kelahiran (Kon dan Cowie, 1961).

30 Gambar 6. Rataan Litter Size Lahir Anak Mencit

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan yang diperoleh dengan menimbang kelompok anak dari tiap induk per kelahiran kemudian dibagi dengan jumlah anak yang dilahirkan. Rataan bobot lahir yang didapatkan pada penelitian adalah 1,56 ± 0,35 g/ekor dengan koefisien keragaman (KK) 39,09%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007) yaitu 1,45 ± 0,17 g/ekor dengan litter size lahir 8,57±2,16 ekor menggunakan tepung daun bangun-bangun. Bobot lahir anak mencit menurut Malole dan Pramono (1989) berkisar antara 0,5-1,5 g/ekor. Rataan hasil penelitian yang didapatkan termasuk tinggi, mungkin disebabkan oleh litter size lahir yang rendah (6,03±2,21 ekor). Semakin tinggi bobot lahir anak mencit menandakan bahwa kemampuan fetus dalam menggunakan makanan yang diberikan oleh induknya selama dalam uterus semakin baik. Selain itu juga, nutrisi yang terkandung dalam ransum selama masa bunting mampu memenuhi kebutuhan induk dan pertumbuhan janin.

Hasil penelitian Wardani (2007) yang menggunakan tepung daun bangun menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf penggunaan tepung daun bangun-bangun menghasilkan bobot lahir anak mencit semakin rendah. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka penggunaan EDB mampu mempengaruhi bobot lahir anak mencit dibandingkan dengan tepung daun bangun-bangun. Rataan bobot lahir selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

7 7 6 6,75 3,75 5,35 5,75 6,75 0 1 2 3 4 5 6 7 8 R0 R1 R2 R3

Ransum dengan Taraf EDB Berbeda

Litt er Si z e L a hi r An a k (eko r) H1 H2

31 Berdasarkan analisis ragam didapatkan hasil bahwa taraf dan waktu pemberian ransum dengan EDB serta interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap bobot lahir anak mencit. Konsumsi daun bangun-bangun dapat meningkatkan berat badan bayi secara signifikan dibanding dengan kelompok lancar ASI, kontrol maupun Moloco+B12 (Santosa, 2001). Rataan bobot lahir anak mencit tertinggi diperoleh pada pemberian 0,15% EDB dalam ransum (R3) yaitu 1,66 ± 0,43 g/ekor. Dapat dikatakan, semakin tinggi taraf pemberian EDB dalam ransum cenderung menghasilkan bobot lahir mencit yang semakin tinggi kecuali pada taraf pemberian 0,10% EDB dengan bobot lahir 1,49±0,27 g/e, kemungkinan hal tersebut terkait dengan litter size lahir yang tinggi (6,25±1,91 ekor). Pemberian EDB pada H1

(kebuntingan ke-14 hari) memiliki rataan bobot lahir yang lebih tinggi (1,61±0,33 g/e) dibandingkan pada H2 (setelah beranak) (1,51±0,38 g/e). Hal tersebut berarti bahwa ransum perlakuan yang diberikan kepada induk mencit saat bunting (H1) lebih mampu memenuhi kebutuhan nutrisi induk dan anak sehingga bobot lahir anak yang didapatkan tinggi.

Tabel 8. Rataan Bobot Lahir Anak Mencit

Ransum Waktu Pemberian Rataan

H1 H2 ---g/e--- 0,00% EDB (R0) 1,52±0,21 1,52±0,45 1,52 ± 0,33 0,05% EDB (R1) 1,44±0,26 1,70±0,54 1,57 ± 0,42 0,10% EDB (R2) 1,63±0,08 1,35±0,34 1,49 ± 0,27 0,15% EDB (R3) 1,84±0,55 1,48±0,18 1,66 ± 0,43 Rataan 1,61±0,33 1,51±0,38 1,56±0,35

Keterangan : H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 39,09%

Tingginya bobot lahir sangat dipengaruhi oleh jumlah litter size lahir anak mencit. Semakin tinggi litter size lahir anak, maka bobot anak yang dilahirkan pun akan rendah. Penyebabnya adalah terjadinya persaingan dalam mendapatkan nutrisi selama dalam uterus induknya.

32 Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit

Sintesis maupun pengeluaran air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi temperatur lingkungan, konsumsi pakan dan sebagainya, sedangkan faktor internal meliputi absorbsi zat-zat makanan oleh kelenjar mammae dari darah dan pengaruh hormon (Mepham, 1987). Produksi air susu mencit dapat diukur secara tidak langsung berdasarkan pertumbuhan anak mencit. Induk mempunyai pengaruh besar terhadap bobot badan kelompok anak, maka pengukuran produksi susu induk mencit dapat didekati berdasarkan bobot kelompok anak (Silitonga, 1993). Pengukuran produksi air susu induk mencit menurut Sari (2004), dimulai pada hari keempat setelah beranak, dilanjutkan dengan pengukuran setiap empat hari hingga hari ke-20. Umur empat hari dimaksudkan untuk menghindari kematian anak mencit pada saat penanganan serta tidak dimakan oleh induk. Karena induk mencit yang menyusui akan mempertahankan sarangnya dan jika anaknya dipegang dengan tangan kotor maka anak tersebut akan dimakan oleh induknya (Malole dan Pramono, 1989).

Hasil penelitian mendapatkan rataan produksi air susu induk setiap menyusui anak adalah 0,45±0,12 g/e/menyusui dengan koefisien keragaman (KK) 27,16%. Tabel 9 selengkapnya menyajikan rataan produksi air susu induk mencit selama penelitian. Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibadingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007) (0,10±0,05 g/e/menyusui) dan Silitonga (2008) (0,270±0,145 g/e/menyusui) dimana masing-masing menggunakan tepung daun bangun-bangun dan sup daun bangun-bangun.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun (EDB) dalam ransum pada taraf dan waktu yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk (PASI). Pemberian 0,10% EDB dalam ransum memiliki rataan PASI yang lebih tinggi (0,50±0,09 g/induk/menyusui) dibandingkan dengan induk mencit yang diberi ransum perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa 0,10% EDB dalam ransum dapat meningkatkan PASI mencit dibandingkan dengan taraf lain yang digunakan.

Rataan produksi air susu induk dengan taraf EDB dalam ransum yang diberikan pada hari kebuntingan ke-14 (H1) lebih tinggi dibandingkan dengan saat beranak (H2) masing-masing 0,51±0,13 dan 0,40±0,11 g/induk/menyusui.

33 Tingginya PASI pada H1 dikarenakan konsumsi ransum oleh induk mencit juga lebih tinggi dibandingkan pada H2 masing-masing 8,66±0,98 dan 8,42±1,03 g/ekor/hari. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap PASI mencit. Salah satu faktor yang mempengaruhi PASI mencit adalah konsumsi ransum induk. Semakin tinggi konsumsi ransum oleh induk maka akan semakin tinggi produksi air susu induk.

Tabel 9. Rataan Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit

Ransum Waktu Pemberian Rataan

H1 H2 ---g/induk/menyusui--- 0,00% EDB (R0) 0,55±0,20 0,38±0,19 0,47 ± 0,20 0,05% EDB (R1) 0,39±0,13 0,42±0,04 0,40 ± 0,09 0,10% EDB (R2) 0,52±0,07 0,48±0,12 0,50 ± 0,09 0,15% EDB (R3) 0,46±0,09 0,42±0,01 0,44 ± 0,06 Rataan 0,51±0,13 0,40±0,11 0,45±0,12

Keterangan: H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 27,16%

Faktor lain yang mempengaruhi PASI mencit adalah litter size anak yang hidup hingga disapih. Stimulus isapan anak pada puting akan menimbulkan signyal yang akan merangsang sekresi hormon oksitosin. Oksitosin yang dilepaskan akan diangkut oleh darah ke ambing untuk merangsang kontraksi sel-sel mioepitel yang mengelilingi dinding luar alveoli sehingga sekresi air susu terjadi (Santosa, 2001). Menurut Neville (2007) anak yang menyusu akan mengaktifkan neurohormonal secara refleks sehingga hypothalamus (posterior pituitary) akan melepas oksitosin. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Wright dan Branner (1994), bahwa hormon oksitosin akan meningkat karena perangsangan puting secara manual, penyusuan dan pada manusia dapat disebabkan oleh tangisan atau suara bayi. Litter size anak yang menyusu hingga disapih pada induk mencit yang diberi ransum R2 (5,36±1,60 ekor) lebih tinggi dibandingkan dengan mencit yang diberi ransum R0 (3,50±2,07 ekor) dan R1 (3,21±1,67 ekor). Semakin tinggi litter size anak menyusu, maka akan semakin banyak stimulus yang diberikan pada puting yang mengakibatkan sekresi air susu meningkat. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa semakin banyak anak

34 menyusu cenderung meningkatkan produksi air susu induk walaupun tidak menjamin kebutuhan optimum dari anak-anak tersebut.

Faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap PASI adalah temperatur lingkungan. Temperatur yang tinggi akan mengakibatkan mencit mengalami gangguan psikologis berupa stress. Faktor psikologis induk yang sedang laktasi sangat berpengaruh terhadap produksi air susu induk. Menurut Mephan (1987), sapi yang mengalami stress akan membutuhkan tambahan sebanyak 1% kalium untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Oleh sebab itu, lingkungan pemeliharaan harus dikondisikan dengan baik agar terhindar dari stress. Temperatur lingkungan tempat penelitian berlangsung relatif tinggi yaitu 21-31oC dengan kelembaban berkisar antara 54-88% dibandingkan dengan suhu yang ideal bagi pertumbuhan mencit menurut Malole dan Purnomo (1989) yaitu berkisar antara 21-29oC dengan kelembaban 30-70% dalam kandang, sehingga didapatkan pertumbuhan anak mencit dan PASI yang kurang optimal. Gambar 7 menunjukkan rataan PASI mencit setiap waktu pengukuran selama penelitian.

Gambar 7. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Mencit

Berdasarkan grafik pada Gambar 7 dapat diketahui bahwa produksi air susu induk dengan perlakuan R2H1, R0H2, R1H2, R2H2 dan R3H2 mengalami peningkatan hingga hari ke-12 menyusui yang merupakan puncak PASI dan selanjutnya akan menurun, namun pada R0H1 mencapai puncak PASI lebih awal yaitu pada hari ke-8 dan menurun pada hari selanjutnya. Perlakuan R1H1 mengalami produksi yang relatif

0,2 0,4 0,6 0,8

4 8 12 16 20

Pengukuran PASI hari ke- Menyusui

R0H1 R1H1 R2H1 R3H1 R0H2 R1H2 R2H2 R3H2

35 stabil pada hari ke-8 hingga ke-12 dan mengalami peningkatan pada hari ke-16.

Dokumen terkait