• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data pengamatan penyakit di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2003 dan SAS 9.2. Analisis dilakukan terhadap kemunculan pertama penyakit, kejadian penyakit, keparahan penyakit danArea Under Disease Progress Curve (AUDPC). Untuk mengetahui perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dilakukan uji t pada taraf alpha 5%. Kemunculan pertama penyakit ditentukan berdasarkan waktu mulai terlihatnya gejala penyakit secara fisik. Kejadian penyakit merupakan jumlah penyakit dari unit sampel yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah total unit sampel yang diamati. Sedangkan keparahan penyakit adalah proporsi antara area yang terinfeksi pada unit sampel dan total area unit sampel dan dinyatakan dalam persen (Narayanasamy 2002)

Kejadian penyakit dihitung menggunakan formula (Amadioha 2000):

% 100 x N n PKP Keterangan :

PKP : persen kejadian penyakit n : jumlah rumpun yang terinfeksi N : jumlah rumpun yang diamati

Analisis keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsend dan Heuberger (1943)dalamRekanovicet al. (2007):

% 100 ) ( x NxZ V x n I   Keterangan :

I : keparahan serangan penyakit (%)

n : jumlah rumpun yang terkena serangan pada skala tertentu V : nilai skala serangan

N : jumlah seluruh rumpun yang diamati Z : skala keparahan tertinggi

Tabel 2 Skala keparahan penyakit (IRRI, 1996)

Skala Gejala luas daun terinfeksi (%) Tingkat ketahanan Kelas ketahanan

1 1-5 Tahan T

3 6-12 Agak tahan AT

5 13-25 Agak rentan AR

7 26-50 Rentan R

9 51-100 Sangat rentan SR

Kurva perkembangan penyakit atau AUDPC merupakan luasan total area di bawah kurva perkembangan penyakit dihitung menurut formula (Narayanasamy 2002): d x s s AUDPC k i i i

        1 1 2 Keterangan : k : jumlah pengamatan

si: intensitas penyakit pada pengamatan ke-i d : interval waktu antara dua pengamatan

Hasil Dan Pembahasan Kemunculan Pertama Penyakit HDB

Kemunculan penyakit pada MK II pada genotipe tunggal di Majalengka pada umur 61 hari setelah semai (hss), demikian pula pada genotipe campuran. Pada MK II di Pacitan, rata-rata kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal lebih awal daripada genotipe campuran yaitu pada 61,57 hss dan genotipe campuran pada 60.7 hss. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada MH kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal di Majalengka berkisar 64 – 92 hss dan pada genotipe campuran berkisar 64 – 112 hss, sedangkan di Pacitan kisaran kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal adalah 77– 112 hss dan pada genotipe campuran 108– 112 hss.

Genotipe yang mempunyai kemunculan pertama paling lambat (67 hss) di Pacitan MK II adalah IPB 98-F-5-1-1 dan genotipe campuran IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1. Pada MH di Majalengka, genotipe campuran IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 terserang paling lambat dibanding genotipe

lain (112 hss), sedangkan di Pacitan terdapat lima genotipe yang tidak terserang HDB yaitu IPB 102-F-92-1-1, campuran Maros+Ciherang, Ciherang+Cigeulis, Inpari 6 Jete+Ciherang dan IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1.

Munculnya gejala awal penyakit HDB terjadi pada saat massa bakteri sudah cukup terakumulasi untuk menginfeksi tanaman (Mazolla et al. 1994). Perkembangan massa bakteri ditentukan oleh faktor lingkungan yang mendukung, salah satunya suhu yang hangat. Perbedaan waktu kemunculan pertama penyakit HDB pada MK II dan MH diduga lebih disebabkan faktor suhu. Suhu pada MK II yang bertepatan dengan MK II lebih tinggi daripada MH. Kondisi yang hangat memicu pertumbuhan bakteri sehingga penyakit muncul lebih awal. Pada MH suhu relatif lebih rendah daripada MK II karena ketersediaan air cukup sepanjang musim serta adanya curah hujan. Suhu yang relatif rendah membuat bakteri kurang berkembang sehingga gejala muncul lebih lambat.

Tabel 3 Kemunculan pertama penyakit di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH (hss)

Genotipe MK II MH

Majalengka Pacitan Majalengka Pacitan

G1 Inpari 6 Jete 61 60 64 101 G2 Inpari 13 61 60 78 96 G3 Ciherang 61 60 64 96 G4 IPB 98-F-5-1-1 61 67 92 112 G5 IPB 97-F-13-1-1 61 64 64 112 G6 IPB 102-F-92-1-1 61 60 78 -G7 IPB 107- F-60-1-1 61 60 69 77 G8 Maros+Ciherang 61 60 64 -G9 Maros+Cigeulis 61 60 64 112 G10 Ciherang+Cigeulis 61 60 64 -G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 61 60 73 112 G12 Inpari 6 Jete+Ciherang 61 60 69 -G13 Maros+Ciherang+Cigeulis 61 60 64 112 G14 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 61 60 78 -G15 IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 61 67 64 101 G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 61 60 112 112 G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 61 60 64 108

Kejadian, keparahan dan AUDPC Penyakit HDB Majalengka MK II

Uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Pengamatan kejadian penyakit pertama dan kedua tidak ada perbedaan berdasarkan uji t dengan nilai p masing-masing 0.4937 dan 0.8008. Seluruh

genotipe mengalami kejadian penyakit 100% pada pengamatan ketiga dan keempat.

Analisis terhadap keparahan penyakit pada pengamatan pertama sampai pengamatan keempat tidak terlihat adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, demikian pula untuk nilai AUDPC (p>0.05).

0 20 40 60 80 100 120 61 80 94 106 64 78 92 112 MK II (hss) MH (hss) P e rs e n ta s e K e ja d ia n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 2 Kejadian penyakit di Majalengka

Majalengka MH

Pengamatan kejadian penyakit pertama menunjukkan terdapatnya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, dimana genotipe campuran terlihat lebih tinggi serangannya (p=0.018). Pada pengamatan selanjutnya, tidak terlihat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Keparahan penyakit pada pengamatan pertama memperlihatkan bahwa genotipe campuran lebih parah daripada genotipe tunggal (p=0.0075). Pada pengamatan kedua keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan, namun pada pengamatan ketiga genotipe campuran menunjukkan keparahan yang lebih tinggi daripada genotipe tunggal (p=0.0395).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 61 80 94 106 64 78 92 112 MK II (hss) MH (hss) P e rs e n ta s e K e p a ra h a n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 3 Keparahan penyakit di Majalengka

Keparahan genotipe tunggal dan campuran tidak berbeda lagi pada pengamatan keempat. Analisis terhadap nilai AUDPC memperlihatkan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Pacitan MK II

Berdasarkan ujit, kejadian penyakit antara genotipe tunggal dan campuran terlihat pada pengamatan kedua, dimana genotipe campuran mempunyai kejadian penyakit lebih tinggi (p=0.0035). Pengamatan pertama terhadap kejadian penyakit tidak terlihat adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, demikian juga pada pengamatan ketiga, keempat dan kelima (p>0.05).

Keparahan penyakit pada pengamatan pertama belum ada perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Pada pengamatan kedua, genotipe campuran lebih parah daripada genotipe tunggal (p=0.0032), namun pada pengamatan ketiga keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan. Perbedaan terlihat kembali pada pengamatan keempat, namun pada pengamatan keempat genotipe tunggal lebih parah daripada genotipe campuran (p=0.0147). Pada pengamatan kelima, antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan.

0 20 40 60 80 100 120 60 73 87 101 115 63 77 87 101 112 MK II (hss) MH (hss) P e rs e n ta s e K e ja d ia n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 4 Kejadian penyakit di Pacitan

Pengamatan pertama ke pengamatan kedua menunjukkan bahwa genotipe campuran mempunyai nilai AUDPC lebih tinggi (p=0.0119). Nilai AUDPC pada pengamatan-pengamatan selanjutnya tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Pacitan MH

Pengamatan pertama belum menunjukkan adanya gejala penyakit sehingga skor seluruh genotipe adalah nol. Gejala mulai tampak pada pengamatan kedua dan pada pengamatan kedua ini tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran terlihat pada pengamatan ketiga, keempat dan kelima dimana kejadian penyakit pada genotipe tunggal lebih tinggi daripada genotipe campuran. Nilai p untuk pengamatan ketiga, keempat dan kelima berturut-turut 0.0306, 0.0037 dan 0.0047.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60 73 87 101 115 63 77 87 101 112 MK II (hss) MH (hss) P e rs e n ta s K e p a ra h a n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 5 Keparahan penyakit di Pacitan

Belum terlihat adanya perbedaan keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran pada pengamatan pertama dan kedua. Pada pengamatan ketiga sampai pengamatan kelima, genotipe tunggal terserang lebih parah dibandingkan genotipe campuran (nilai p berturut-turut 0.0306, 0.0037 dan 0.007).

Tabel 4 Total nilai AUDPC di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH

Genotipe Majalengka Pacitan

MK II MH MK II MH G1 Inpari 6 Jete 5.48 6.04 6.90 0.53 G2 Inpari 13 8.01 6.49 14.46 2.48 G3 Ciherang 8.91 2.51 4.52 1.58 G4 IPB 98-F-5-1-1 9.01 0.62 10.53 0.14 G5 IPB 97-F-13-1-1 10.46 3.49 9.72 0.38 G6 IPB 102-F-92-1-1 6.55 6.36 2.53 0.00 G7 IPB 107- F-60-1-1 7.51 18.55 9.73 5.48 G8 Maros+Ciherang 6.26 6.18 7.40 0.00 G9 Maros+Cigeulis 10.04 5.23 5.51 0.11 G10 Ciherang+Cigeulis 6.55 17.29 5.71 0.00 G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 7.19 9.46 10.25 0.34 G12 Inpari 6 Jete+Ciherang 7.43 9.05 6.33 0.00 G13 Maros+Ciherang+Cigeulis 6.93 9.95 6.76 0.12 G14 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 7.58 4.16 6.13 0.00 G15 IPB 107-F-60+IPB 102-F-90-2-1 7.51 19.63 9.79 1.29 G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13 +IPB 98-F-5-1-1-1 8.89 0.00 8.37 0.05

G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1 +IPB

Analisis nilai AUDPC pada pengamatan pertama ke pengamatan kedua serta pengamatan kedua ke pengamatan ketiga tidak menunjukkan perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05). Perbedaan AUDPC terlihat pada pengamatan ketiga ke pengamatan keempat dan pengamatan keempat ke pengamatan kelima dengan nilai p berturut-turut 0.0128 dan 0.0069.

Perkembangan penyakit HDB di lapangan sangat ditentukan oleh faktor patogen, lingkungan serta tanaman inang. Benih padi yang ditanam dapat berfungsi sebagai agen pembawa Xoo sebagai penyebab HDB. Perbedaan yang terjadi pada keempat lingkungan pengujian diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah inokulum awalXoo yang terbawa benih. Menurut Walcott (2003), patogen yang terbawa benih tidak terlihat gejalanya sehingga tidak mungkin dapat dideteksi secara visual. Populasi patogen terbawa benih umumnya tidak terlalu besar dan tidak merata jumlahnya pada setiap benih. Keadaan yang demikian menyebabkan bervariasinya kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC penyakit HDB pada genotipe yang diuji.

Secara umum, tidak adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran di Majalengka dan di Pacitan pada MK II diduga karena patogen yang terbawa benih mempunyai kemampuan untuk menyerang tanaman inangnya didukung oleh faktor lingkungan terutama suhu. Suhu yang hangat pada MK II sangat mendukung perkembangan bakteri Xoo, sehingga tersedia inokulum yang cukup untuk menyerang tanaman. Seluruh genotipe baik tunggal maupun campuran dengan berbagai latar belakang ketahanan terhadap Xoo terserang seluruhnya dengan tingkat serangan yang bervariasi. Gejala serangan yang terlihat pada genotipe tunggal dan campuran tidak memperlihatkan pola yang spesifik.

Pada MH Xoo lebih lambat berkembang karena suhu lebih rendah. Pada MH di Majalengka, tidak ada perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dalam hal kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC pada akhir pengamatan. Perbedaan kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC antara genotipe tunggal dan campuran terlihat di Pacitan, dimana genotipe tunggal mempunyai nilai yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa di Pacitan pada MH, pencampuran genotipe dapat menekan perkembangan kejadian, keparahan dan AUDPC penyakit HDB.

Ketahanan yang muncul di Pacitan pada MH adalah ketahanan horizontal. Genotipe campuran yang mempunyai lebih banyak gen ketahanan dalam populasinya memperlihatkan gejala yang lebih sedikit. Strain Xoo yang menyerang pun tidak spesifik. Genotipe IPB 107-F-60-1-1 mempunyai sifat tahan terhadap Xoo strain III, agak tahan strain IV namun agak rentan terhadap strain VIII. Genotipe campuran Ciherang+Cigeulis mempunyai sifat tahan terhadap strain III dan IV, sedangkan genotipe IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 mempunyai sifat tahan dan agak rentan terhadap strain III. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa strain Xoo yang menyerang adalah strain VIII, karena terdapat genotipe lain dengan AUDPC jauh lebih rendah padahal bersifat agak rentan atau tidak mempunyai ketahanan terhadap strain VIII. Dengan demikian pola AUDPC tidak berkaitan dengan sifat ketahanan genotipe terhadap strain tertentu.

Kesimpulan

Hasil analisis uji t untuk membandingkan genotipe tunggal dan campuran pada setiap lokasi pada MK II dan MH diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC di Majalengka MK II, Majalengka MH dan Pacitan MK II. Perbedaan hanya terlihat di Pacitan pada MH dimana genotipe tunggal mempunyai kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC lebih tinggi daripada genotipe campuran. Dapat dikatakan bahwa pencampuran dapat mengurangi perkembangan penyakit HDB di Pacitan pada MH.

Daftar Pustaka

Adhikari TB et al. 1995. Genetic diversity ofXanthomonas oryzae pv. oryzae in Asia.Appl. Environ. Microbiol. 61 : 966– 971.

Amadioha AC. 2000. Controlling rice blast in vitro and in vivo with extracts of

Azadirachtaindica.Crop Protection 19:287–290.

Djatmiko AH, Fatichin. 2009. Ketahanan dua puluh satu varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. J. HPT Tropika 9: 168-173

Elings Aet al. 1997. Rice bacterial leaf blight : field experiments, system analysis dan damage coefficients.Field Crop Research 51 : 113– 131.

Finckh MR, Mundt CC. 1992. Stripe rust, yield, and plant competition in wheat cultivar mixtures. Phytopathol 82 : 905– 913.

Garret KA, Mundt CC. 1999. Epidemiology in mixed host population.

Phytopathol 89 : 984– 990.

Horino O, Kaku H. 1989. Defense mechanism of rice againts bacterial blight caused by Xanthomonas campestris pv. oryzae di dalam: Banta S.J, Cervantes E, Mew T.W (Editor), Bacterial Blight of Rice, Proc. Of the Int. Workshop on Bacterial Blight of Rice, IRRI, Los Banos, 135– 152.

Horino O, Mew TW, Yamada T. 1982. The effect of temperature on the development of bacterial leaf blight on rice.Ann. Phytopathol. Soc. Jpn 48 : 72– 75

Huanget al. 1997. Pyramiding of bacterial blight resistance genes in rice : marker assisted selection using RFLP and PCR.Theor. Appl. Genet. 95 : 313– 320. [IRRI] International Rice Research Institute.1996.Standard Evaluation System for

Rice. Ed ke-4. INGER Genetic Resources Center.

Ji GH, Wei LF, He YQ, Wu YP, Bai XH. 2008. Biological control of rice bacterial blight byLysobacter antibioticus strain 13-1.Biological Control 45 : 288– 296.

Josi RK, Nayak S. 2010. Gene pyramiding-A broad spectrum technique for developing durable stress resistance in crops.Biotechnol. Mol. Biol. Rev. 5 : 51-60.

Kadir TS, Suryadi Y, Sudir, Machmud M. 2009. Penyakit bakteri padi dan cara pengendaliannya. Inovasi Teknologi Padi, BB Padi.

Lopez CG, Mundt CC. 2000. Using mixing ability analysis from two way cultivar mixtures to predict the performance of cultivar in complex mixtures. Field Crop Research 68 : 121-132

Mahmood T, Marshall D, McDaniel ME. 1991. Effects of winter wheat cultivar mixtures on leaf severity and grain yield. Phytopathol 81 : 471– 474.

Mazzola M, Leach JE, Nelson R, White FF. 1994. Analysis of the interaction between Xanthomonas oryzae pv. oryzae and the rice cultivars IR24 and IRBB21. Phytopathology 84 : 392– 397.

Mew TW, Alvarez AM, Leach JE, Swings J. 1993. Focus on bacterial blight of rice.Plant dis 77 : 5– 12

Mundt CC, Leonard KJ. 1986 Analysis of factors affecting disease increase and spread in mixtures of immune and susceptible plants in computer simulated epidemics.Phytopathol 76:832– 840

Mundt CC. 2002. Performance of wheat cultivars and cultivar mixtures in the presence of Chepalosporium stripe.Crop Protection 21 : 93– 99

Narayanasamy P. 2002. Microbial Plant Pathogens and Crop Disease Management. Tamil Nadu Agricultural University Coimbatore, India. Science Publishers, Inc.

Ning I, et al. 2012. The effect of wheat mixtures on the powdery mildew disease and some yield components. Journal of Integratif Agriculture 11 : 611 – 620.

Ohtsuki A, Sasaki A. 2006. Epidemiology and disease control under gene-for-gene plant-pathogen interaction.Journal of Theoritical Biology 238 : 780 – 794.

Ou SH. 1985.Rice Disease. Ed ke-2. Commonwealth Mycological Institute. Philip R, Devadath S. 1981. Studies on the physiology of bacterial leaf blight

infected tolerant and susceptible rice cultivar.Phytopathol 101 : 65– 71. Qi Z. 2009. Genetics and improvement of bacterial blight resistance of hybrid rice

in China.Rice Science 16 : 83– 92.

Rajarajeswari NVL, Muralidharan K. 2006. Assesment of farm yield and district production loss from bacterial leaf blight epidemics in rice.Crop Protection

25 : 244– 252.

Rekanovic E, S Milijasevic, B Todorovic, I Potocnik. 2007. Possibilities of biological and chemical control of verticillium wilt in pepper.

Phytoparasitica 35:436–441.

Samonte O. 2008. Rice Multilines and Mixtures. Texas Rice. Agrilife Research Texas A&M System VIII : 7.

Sharma RC, Dubin HJ . 1996. Effect of wheat cultivar mixtures on spot blotch (Bipolaris sorokiniana) and grain yield.Field Crop Research 48 : 95 -101. Singh S, et al. 2001. Pyramiding three bacterial blight resistance genes (xa5, xa12

and Xa21) using marker assisted selection into indica rice cultivar PR 106.

Theor. Appl. Genet. 102 : 1011– 1015.

Suryadi Y, Kadir TS, Machmud M. 2006. Deteksi Xanthomonas oryzae pv

oryzae, penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25

Wahyudi AT, Meliah S, Nawangsih AA. 2011. Xanthomonas oryzae pv oryzae bakteri penyebab hawar daun pada padi: isolasi, karakterisasi, dan telaah mutagenesis dengan transposon.Makara Sains 15 : 89– 96.

Walcott R.R. 2003. Detection of seedborne pathogens. Horttechnology 13 : 40 -47

Yang CM. 2010. Assesment of the severity of bacterial leaf blight in rice using canopy hypercpestral reflectance.Precision Agric 11 : 61-81

Zhou et al. 2011. Improvement of bacterial blight resistance of hybrid rice in China using the Xa23 gene derived from wild rice (Oryza rufipogon). Crop Protection 30 : 637-644.

Abstrak

Tujuan percobaan adalah mengetahui pengaruh pencampuran genotipe terhadap beberapa karakter agronomi padi sawah antar musim, yaitu dari musim kemarau ke musim hujan. Materi genetik yang digunakan terdiri dari 7 genotipe tunggal dan 10 genotipe campuran padi sawah. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan genotipe sebagai perlakuan yang diulang tiga kali. Percobaan dilakukan di lahan petani di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Pacitan masing-masing selama dua musim tanam berturut-turut yaitu pada musim kemarau II 2011 dan musim hujan 2011/2012. Benih dari musim kemarau II ditanam pada musim hujan. Budidaya dan pemupukan dilakukan sesuai rekomendasi setempat. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomi dan komponen hasil yaitu tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh genotipe, musim dan interaksi keduanya terhadap karakter tinggi tanaman pada genotipe tunggal maupun campuran. Uji t menunjukkan terdapatnya perbedaan pada nilai pengamatan antara musim kemarau II dan musim hujan. Perbedaan tidak terjadi antara genotipe tunggal dan campuran, kecuali pada jumlah malai per rumpun di Majalengka dan bobot 1000 butir di Majalengka dan Pacitan.

Abstract

The experiment to find out the effect of mixture in several agronomic characters from dry season 2011 to wet season 2011/2012 was conducted on 7 cultivars and 10 cultivar mixtures of rice. The experiment was laid out in a Randomized Complete Block Design in which genotypes were used as a treatment and each treatment was repeated three times. The study was conducted at two location of farmer’s fieldincluding Majalengka and Pacitan during two successive growing seasons. Rice cultivation and fertilizer application were performed according to a local recommendation. Several important agronomic traits and yield components, such as plant height, number of panicle per hill, number of well-filled grain per panicle, number of unfilled grain per panicle, number of total grain per panicle, 1000-grain weight, well-filled grain percentage, yield per ha and sink size were evaluated. Based on analysis of variance, both genotype and season factors had significantly different effect to the plant height as well as those the genotype and season interaction in both cultivar and cultivar mixtures genotypes. Additionally, further analysis by using

t-test showed that the value of observed traits between dry season and wet season was different. However, the difference was not observed between cultivar and cultivar mixtures genotypes, except for the number of panicle per hill in Majalengka and 1000-grain weight in Majalengka and Pacitan. Therefore, the effect of the mixture genotypes to the difference in observed value of traits collected from the two seasons has remained unknown.

Pendahuluan

Meskipun pertumbuhan tanaman merupakan resultan dari banyak proses mulai dari proses penangkapan cahaya matahari sesuai bentuk kanopi, fotosintesis dan konversi fotosintat menjadi biomasa (Shimono et al 2002), namun faktor genetik tanaman serta lingkungan juga berperan dalam menentukan pertumbuhan akhir tanaman. Sadras & Slafer (2012) berpendapat bahwa komponen hasil sangat dipengaruhi oleh gabungan dari pengaruh lingkungan, kendali genetik dan fisiologi. Faktor lingkungan yang berperan dalam menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman adalah tanah dan iklim serta perlakuan budidaya (Casanova et al

2002). Hiraiet al (2012) menyimpulkan bahwa hasil padi sangat dipengaruhi oleh cuaca, iklim mikro, kondisi tanah serta perlakuan budidaya. Alexandrov & Hoogenboom (2000) melaporkan bahwa keadaan tanah dan iklim sangat berpengaruh terhadap hasil jagung dan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman.

Faktor genetik juga berperan dalam menentukan produktivitas. Apabila suatu genotipe ditanam terus menerus dalam area yang luas maka akan mengalami kerapuhan genetik terutama akan mudah terserang hama dan penyakit (Harahap & Silitonga 1988; Suprapto & Widyantoro 2005). Kerapuhan genetik berdampak terhadap semakin menurunnya ketahanan tanaman terhadap hama penyakit dan semakin menurunnya hasil dan kualitas hasil.

Beberapa genotipe Salix viminalis yang ditanam secara tunggal dan campuran selama dua musim tanam menunjukkan pola yang tidak sama antar genotipe pada karakter hasil panen. Genotipe 77082 menunjukkan adanya penurunan hasil pada MH pada penanaman tunggal maupun campuran dengan genotipe lain, sedangkan genotipe 870148 menunjukkan kenaikan hasil pada MH pada penanaman tunggal maupun campuran dengan genotipe lain (Begley et al

2009). Tanaman gandum memperlihatkan penurunan pada karakter hasil (kg ha-1) maupun jumlah biji per m2 pada semua genotipe yang diuji (Jackson & Wennig 1997).

Krakter-karakter yang mendukung hasil pda tanaman padi antara lain tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah gabah per malai, ukuran gabah, rasio gabah isi, persen gabah hampa, bobot 1000 butir (Cooper et al 1999; Sakamoto &

Matsuoka 2008; Makarim & Ikhwani 2008; Hirai et al 2012). Bobot biji sangat ditentukan oleh faktor genetik, namun rasio gabah isi sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Sakamoto & Matsuoka 2008). Kemudian Jeng et al (2006) melaporkan bahwa pengaruh waktu tanam terhadap hasil dan komponen hasil tergantung genotipe.

Sampai saat ini praktek budidaya padi sawah melalui pencampuran varietas belum pernah dilaporkan. Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencampuran terhadap beberapa karakter agronomi padi sawah pada genotipe tunggal dan campuran dan perubahannya dari MK II ke MH.

Bahan Dan Metode 1. Materi percobaan

Materi genetik yang digunakan dalam percobaan adalah 17 genotipe padi sawah berupa varietas dan galur tunggal, campuran dua dan campuran tiga galur/varietas yang mempunyai ketahanan terhadap HDB berbeda-beda (Tabel 5). Materi percobaan berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dan

Dokumen terkait