• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat hemolisis butir darah merah (Kiron et al., 1994) OD terhitung

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

3. Tingkat hemolisis butir darah merah (Kiron et al., 1994) OD terhitung

Tingkat hemolisis =

OD tertinggi x 100%

Keterangan :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil percobaan pemberian pakan dengan perlakuan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan batak. Perubahan bobot biomassa ikan batak disajikan pada Gambar 1, sedangkan perubahan bobot biomasa rata-rata ikan setiap perlakuan dan ulangan selama pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 5.

0 25 50 75 100 A (1.3;0,2) B (0.9;0,6) C (1,2;0,6) D (1,4;1,0) E (0,6;1,0) Perlakuan R a ta -r a ta bob ot b iom a s a ( g ) Aw al Akhir

Gambar 1. Rata-rata bobot biomasa ikan batak pada awal dan akhir percobaan.

Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa pada setiap perlakuan terjadi peningkatan rata-rata bobot biomasa ikan. Peningkatan rata-rata bobot biomasa ikan selama pemeliharaan adalah : A = 90,30g; B = 89,15g; C = 92,30g; D = 88,50g dan E = 83,35g.

Pemberian pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dalam pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan relatif, konsumsi pakan dan efisiensi pakan, data disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pertumbuhan relatif (PR), konsumsi pakan (KP) dan efisiensi pakan (EP)

Perlakuan

Kadar asam lemak n-6 dan n-3 (%) Parameter A (1,3;0,2) B (0,9;0,6) C (1,2;0,6) D (1,4;1,0) E (0,6;1,0) PR (%) 74,47 +5,01b 69,52 + 2,00b 73,87 + 3,97b 66,52 + 0,57b 55,61 + 4,36a KP (g) 241,85 + 4,65c 209,60+ 7,22b 190,81+ 2,11a 184,15+ 7,62a 190,96+ 1,92a EP (%) 16,45 + 0,27ab 17,45 + 0,57b 20,55 + 0,89c 19,21 + 0,68c 15,58 + 0,64a

Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standard deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05).

Tabel 5 menunjukkan pertumbuhan relatif tertinggi diperoleh pada perlakuan A, B, C dan D. Sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan E (p<0,05; Lampiran 6). Perlakuan A memiliki konsumsi pakan paling tinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan B sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan C, D dan E (p<0,05; Lampiran 7). Efisiensi pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan C dan D, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan yang terendah terdapat pada perlakuan A dan E (p<0,05; Lampiran 8).

Hasil analisa proksimat tubuh ikan pada awal dan akhir penelitian menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan kandungan protein dan lemak tubuh selama pemberian pakan perlakuan. Pengaruh pakan percobaan terhadap komposisi proksimat tubuh ikan pada setiap perlakuan dan tingkat hemolisis butir darah merah disajikan pada Tabel 6. Data proksimat dan tingkat hemolisis butir darah merah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

Secara umum penambahan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 yang berbeda dalam pakan tidak mempengaruhi kandungan protein tubuh (Lampiran 10). Namun memberikan pengaruh terhadap kandungan lemak, kandungan air tubuh, dan tingkat hemolisis butir darah merah. Kandungan lemak tubuh tertinggi terdapat pada perlakuan A, B, dan C dan terendah pada perlakuan D dan E (p<0,05; Lampiran 11). Kandungan air tubuh tertinggi terdapat pada perlakuan D, dan yang terendah pada perlakuan A, B, C, dan E (p<0,05; Lampiran 12). Dari analisa proksimat hati diperoleh nilai kandungan protein tertinggi terdapat pada kelompok ikan yang mengkonsumsi pakan E dan berturut-turut diikuti oleh kelompok ikan yang mengkonsumsi pakan D, A, B dan C. Sedangkan kandungan lemak tertinggi terdapat pada kelompok ikan yang mengkonsumsi pakan C dan

diikuti kelompok ikan yang mengkonsumsi pakan B, D, A dan E. Sementara tingkat hemolisis butir darah merah tertinggi terdapat pada perlakuan A dan E, dan yang terendah terdapat pada perlakuan B, C dan D (Lampiran 13 ).

Tabel 6. Komposisi proksimat tubuh dan hati (% bobot basah) dan tingkat hemolisis butir darah merah ikan batak

Perlakuan

Kadar asam lemak n-6 dan n-3 (%) Parameter Awal A (1,3;0,2) B (0,9;0,6) C (1,2;0,6) D (1,4;1,0) E (0,6;1,0) Tubuh : Protein 13,23 14,44±0,42a 13,99±0,23a 14,19±1,12a 14,95±0,04a 14,86±0,26a Lemak 12,13 16,24±0,90b 16,41±0,64b 16,28±0,63b 14,32±0,69a 15,84±0,40ab Air 67,28 66,00±0,08 ab 65,84±0,06 a 65,60±1,33 ab 66,88±0,79b 66,08±0,99 ab Hati : Protein * 14,19 13,20 13,44 14,00 14,43 Lemak * 12,35 13,99 14,97 13,45 10,74 Air * 66,94 68,15 67,11 67,60 69,96

Tingkat hemolisis butir darah merah

* 83,57±7,87 b 69,29±5,05 a 79,11±6,89 ab 79,82±6,98 ab 86,79±9,63 b Keterangan : Huruf superskrip dibelakang nilai standard deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan

adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05). * = Tidak dianalisa.

Komposisi asam lemak tubuh pada awal dan akhir penelitian dari ikan batak ditampilkan pada Tabel 7. Terlihat adanya peningkatan total kadar asam lemak jenuh dan kadar asam lemak monoenoat pada setiap perlakuan pada akhir percobaan dibandingkan dengan awal percobaan. Sementara kadar asam lemak n-6 pada akhir percobaan terdapat penurunan pada semua perlakuan dibanding dengan awal percobaan. Sedangkan kadar asam lemak n-3 terjadi peningkatan pada perlakuan C dan E, sama pada perlakuan D dan menurun pada perlakuan A dibandingkan awal penelitian seiring dengan rendahnya kadar asam lemak n-3 dalam pakan.

Peningkatan total asam lemak jenuh dan asam lemak monoenoat tertinggi terdapat pada perlakuan A, dimana komposisi asam lemak jenuh didominasi oleh asam lemak palmitat (16:0) dan monoenoat adalah asam lemak oleat (19:1n-9).

Tabel 7. Komposisi asam lemak ikan pada awal dan akhir penelitian (% area)

Perlakuan

Kadar asam lemak n-6 dan n-3 (%) Asam lemak Awal A (1,3;0,2) B (0,9;0,6) C (1,2;0,6) D (1,4;1,0) E (0,6;1,0) 12:0 0,1 5,0 2,3 0,2 3,2 2,0 14:0 3,4 6,5 4,9 3,3 5,8 4,9 16:0 25,2 24,6 24,7 24,1 25,0 25,0 18:0 5,3 6,5 6,2 5,6 6,0 5,9 20:0 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 16:1 4,7 3,7 4,3 4,6 4,4 4,9 18:1n-9 30,0 34,6 31,9 31,1 31,0 31,3 18:2n-6 14,6 12,0 12,2 13,6 11,0 10,1 20:2n-6 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 20:3n-6 0,5 0,7 0,5 0,5 0,5 0,4 20:4n-6 0,8 0,7 0,5 0,5 0,5 0,5 22:4n-6 0,1 * 0,1 0,1 0,1 0,1 22:5n-6 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 18:3n-3 2,4 0,6 2,3 2,6 2,2 2,5 20:4n-3 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 20:5n-3 1,1 0,5 0,8 1,2 0,8 1,3 22:5n-3 0,5 0,3 0,5 0,6 0,5 0,7 22:6n-3 3,4 1,6 2,5 3,0 2,8 3,3 ∑ Al** Jenuh 34,2 42,7 38,2 33,3 40,1 37,9 ∑Monoenoat 34,7 38,3 36,2 35,7 35,4 36,2 ∑ Al** n-6 16,2 13,6 13,5 14,9 12,3 11,3 ∑ Al** n-3 7,5 3,1 6,3 7,6 6,5 8,1 Rasio Al**. n-6/Al. n-3 2,2 4,4 2,1 2,0 1,9 1,4

Keterangan: * = tidak terdeteksi. ** Al = asam lemak.

Pembahasan

Kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dalam pakan percobaan dapat mempengaruhi kadar asam lemak tubuh ikan batak. Secara umum profil asam lemak tubuh ikan didominasi oleh asam lemak jenuh (16:0) dan asam lemak monoenoat (18:1n-9) (Tabel 6). Asam lemak n-9 cenderung rendah dengan adanya penambahan kadar asam lemak n-3 dalam pakan yang tinggi, sebaliknya akan naik apabila kadar asam lemak n-3 dalam pakan rendah. Ini terlihat pada perlakuan A, dimana pada perlakuan A yang pakan asam lemak n-3-nya paling rendah mengakibatkan peningkatan asam lemak n-9 tubuh yang paling tinggi bila dibanding perlakuan lain yang sedikit lebih tinggi asam lemak n-3 pakannya. Sebaliknya pada perlakuan E yang kadar n-3 dalam pakannya tinggi,

mengakibatkan asam lemak n-9 dalam tubuh menjadi rendah. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Furuichi(1988); Greene dan Selivonchick (1990) yang menjelaskan bahwa ikan yang pakannya defisiensi akan asam lemak n-3 akan mengalami peningkatan asam lemak n-9 dalam tubuhnya, tetapi sebaliknya bila asam lemak n-3 tinggi dalam pakannya maka asam lemak n-9 dalam tubuh menjadi rendah. Keberadaan asam lemak n-6 dan n-3 dalam tubuh akan menekan asam lemak n-9 (Bautista dan de la Cruz, 1988), karena setiap seri asam lemak tersebut bersaing menggunakan sistem enzim yang sama untuk bergabung membentuk trigliserida dan fosfolipid, dan afinitasnya berkurang dari seri asam lemak n-3 ke n-9 (Martin et al., 1990).

Dari Tabel 7 terlihat bahwa ikan yang diberi pakan asam lemak 18:2n-6, kandungan asam lemak 18:2n-6 tubuh juga tinggi pada semua perlakuan dan adanya perpanjangan rantai karbon asam lemak C18 menjadi C20 dan C22. Hal ini menunjukkan bahwa ikan batak mampu memperpanjang rantai karbon asam lemak. Pada umumnya ikan air tawar dapat memperpanjang rantai karbon asam lemak karena dalam tubuh ikan air tawar tersedia enzim elongase dan desaturase yang dapat memperpanjang dan mendesaturasikan rantai karbon asam lemak (Sargent et al., 1999). Selanjutnya pada Tabel 7 juga terlihat bahwa asam lemak n-6 tubuh pada akhir penelitian cenderung turun di semua perlakuan tetapi tetap lebih tinggi dari asam lemak n-3. Jadi terlihat bahwa ikan batak membutuhkan asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakannya. Takeuchi (1996) menyatakan bahwa pada umumnya ikan air tawar membutuhkan asam lemak n-6 atau kombinasinya dengan n-3, namun untuk setiap spesies ikan membutuhkan kadar asam lemak yang berbeda. Pada ikan batak proporsi kadar asam lemak n-6 mungkin lebih besar dibanding asam lemak n-3. Ini terlihat pada semua perlakuan, dimana kadar asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3 pada tubuh ikan di akhir penelitian. Namun demikian apabila kadar asam lemak n-3 tinggi dalam pakan sampai 1% pada perlakuan D dan E, maka kadar asam lemak n-6 sedikit lebih rendah dari perlakuan A, B dan C. Hal ini disebabkan karena adanya afinitas yang berbeda antara asam lemak n-3 dan asam lemak n-6.

Kadar asam lemak esensial dalam pakan optimal, maka fungsi membran sel juga optimal. Peranan asam lemak esensial tersebut dalam tubuh ikan batak

dibuktikan dari tingkat hemolisis butir darah merah ikan (Tabel 5). Dimana pakan B, C dan D memiliki sel darah merah yang lisis paling rendah. Kiron et al (1994) menyatakan bahwa jumlah sel darah merah yang lisis dapat dijadikan indikator tingkat permeabilitas membran sel. Tingkat hemolisis butir darah merah yang rendah pada perlakuan B, C dan D dibandingkan perlakuan A dan E menunjukkan bahwa pada saat butir darah merah berada pada lingkungan cairan yang hipotonik, membran sel dari perlakuan B, C dan D dapat berfungsi lebih baik.

Asam lemak esensial yang merupakan bagian dari fospolipid terdapat pada membran sel. Keberadaan asam lemak esensial pada membran sel akan mempengaruhi sifat fluiditas membran dan memperbaiki fungsi membran (Bell et al., 1986). Selanjutnya fluiditas membran akan berpengaruh terhadap aktivitas enzim yang terdapat pada membran, antara lain Na+/K+ ATP-ase (Hepher, 1990). Adanya peranan asam lemak esensial tersebut di atas secara keseluruhan dapat meningkatkan metabolisme dalam sel, yang secara tidak langsung akan menghasilkan penyimpanan protein tubuh yang lebih tinggi. Keadaan ini terlihat dari kandungan protein tubuh pada akhir penelitian yang cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein tubuh pada awal penelitian. Dalam penelitian ini semua perlakuan A sampai E terjadi peningkatan kandungan protein tubuh sehingga terjadi pertumbuhan. Namun kalau dilihat dari pertumbuhan relatif pada akhir penelitian, walaupun pada semua perlakuan terdapat peningkatan kadar protein tubuh, ternyata perlakuan A, B dan C memiliki pertumbuhan relatif lebih tinggi dibanding perlakuan D dan E (Tabel 5). Dan dari ke tiga perlakuan A, B dan C tersebut, perlakuan C memiliki efisiensi pakan yang terbaik yang berarti bahwa pakan dengan kadar asam lemak n-6 1,2% dan asam lemak n-3 0,6% ; serta rasio asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 ( 2 : 1) adalah yang terbaik bagi ikan batak.

DAFTAR PUSTAKA

Arai, S., T. Nose, and Y. Hashimoto. 1971. A purified test diet for the eel, Anguila javonica. Bull. Freshwater Fish. Res. Lab. Tokyo, 22(12): 161 -178.

Bautista, M. N. and M. C. De la Cruz. 1988. Linoleic (ω6) and ((ω3) acids in the diets of fingerling milkfish (Chanos chanos Forsskal). Aquaculture, 71: 347-358.

Bell, M. V., R. J. Henderson, and J. R. Sargent. 1986. The role of poly unsaturated fatty acids in fish. Mini review. Comp. Biochemical Physiologi, 8B: 711-719.

Bhagavan, N.V. 1992. Medical biochemistry. Jones and Bartlett publisher, London. 980 pp.

Castell, J. D., J. G. Bell, D. R. Tocher, and J. R. Sargent. 1994. Effect of purified diets containing different combination of arachidonic and docosahexaenoic acid on survival, growth and fatty acid composition of juvenile turbot (Scopthalmos maximus). Aquaculture, 128: 315-333.

Furuichi, M. 1988. Fish nutrition, p. 1-78. In Fish nutrition and mariculture. Watanabe T. (ed) JICA textbook, the General Aquaculture Cource. T. Watanabe (Ed). Departement of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries.

Greene, D. H. S. and D. P. Selivonchick. 1990. Effect of dietary vegetable and marine lipid on muscle lipid and hematology of rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Aquaculture 89: 165-182.

Hasting. W.H. 1976. Nutritional requirement and feeding technology; fish nutrition and fish feed manufacture, p. 568-574. In Advances aquaculture, T.V.R Pillay and W.A Dill (Eds). Fishing News Book Ltd., Farnham.

Hepher, B. 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press, Cambridge, New York. 388 pp.

Hendry, Y. 2000. Pengaruh kombinasi kadar minyak ikan, minyak kelapa dan minyak jagung dalam pakan terhadap komposisi asam lemak tubuh dan pertumbuhan ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr). [Tesis], Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 45 hal.

Kiron, V. Takeuchi T, and T. Watanabe. 1994. The osmotic fragility of erythrocytes in rainbow trout under different dietary fatty acid status. Fisheries Science, 60 (1):93-95.

Klinger, R.E., V.S. Blazer, and C. Echavarria. 1996. Effect of dietary lipid on the hematology of channel catfish Ictalurus punctatus. Aquaculture 147: 225-233.

Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes of Westrn Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition. Ltd. Jakarta. 293pp. Lovell, T. 1989. Nutrition and feeding of fish. Auburn University. An A VI Book.

Publised by Van Nostrand Reinhold. New York. 258pp.

Martin, D. W., P. A. Mayes, V. W. Rodwell, dan D. K. Granner. 1990. Biokimia (Harpers review of biochemistry). Alih bahasa oleh Iyan Darmawan. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 772 hal.

Mayes, P.A., D.W. Martin, V.W. Rodwell, dan D.K Granner. 1999. Biokimia Harpers review of biochemistry. Alih bahasa: Iyan Darmawan. EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 722 hal.

Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi and M.A. Suprayudi. 2000. The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the eggs quality of catfish (Pangasius hypophthalamus). JSPS-DGHE. International Symposium, Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium. p. 252 -256.

Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaya dan D. Fardiaz. 1995. Kebutuhan asam lemak esenssial untuk perkembangan induk ikan lele, (Clarias batrachus Lin). J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. III (2) : 41-50.

National Research Council (NRC). 1993. Nutrient requirements of fish. National Academy of Science, Washinton D.C. 114 pp.

Phromkunthong, W., M. Midkhadee, 2001. Effect of linoleic acid and linolenic acid on growth, fatty acid composition and histological changes in green chatfish, Mystus nemurus Cuv. & Val. Songklanakarin. J. Sci. Technol. 23:37-54.

Piliang W.G, dan S. Djojosoebagio. 1996. Fisiologi nutrisi volume I. Universitas Indonesia, 291 hal.

Sargent, J.R, Douglas R, Tocher and J. Gordon Bell. 2002. The lipid, p. 181-257. In Halver, J.E and Hardy, R.W (Eds). Fish nutrition. Third Edition. Academic Press.

Sargent, J.R, L.A. McEvoy, D. Tocher, and A. Estevez. 1999. Recent developments in the essential fatty acid nutrition of fish. Aquaculture, 177 : 191-199.

Sulhi, M. J. Subagja, S. Asih dan E. Nugroho. 2004. Perubahan musim serta induksi pematangan gonada ikan tor soro( Teleostei) melalui implantasi pellet hormon gonadotropin mamalia (HCG). Laporan hasil riset BRPBAT Bogor. 217-225.

Supriatna. 1998. Pengaruh kadar asam lemak n-3 yang berbeda pada kadar asam lemak n-6 tetap dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan bawal air tawar (Colossoma macropamum Cuvier). [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 53 hal.

Shikata, T. and S. Shimeno. 1994. Metabolic response to dietary stearic acid, linoleic acid and highly unsaturated fatty acid in carp. Biological Sciences and Living Resources (1991-Current Query:/HUFA). Abstract ASFA 1.

Smith, R.R. 1989. Nutritional energetics, p. 1-29. In J. E. Halver (Ed). Fish nutrition. Academic Press, Inc., San Diego.

Takeuchi, T. and T. Watanabe. 1977. Requirements of carp for essential fatty acid. Bull. Japan. Soc. Sci. Fish., 43 (5) : 541-551.

Takeuchi, T. 1996. Essential fatty acids requirements in carp. Animal Nutrition, 49: 23-32.

Takeuchi T. 1988. Laboratory work, chemical evaluation of dietary nutrition, p.179 – 229. In Watanabe T (ed). Fish nutrition and mariculture, JICA textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.

Lampiran 1. Metoda ekstraksi lemak dari tepung ikan.

Ekstraksi lemak dari tepung ikan menggunakan alkohol 90% dengan perbandingan 8 : 1, yaitu untuk satu kilo bagian tepung ikan ditambahkan 8 liter alkohol sebagai berikut :

1. Timbang tepung ikan sebanyak 1 kg dan dimasukkan kedalam labu ukur 2. Tambahkan alkohol sebanyak 4 liter.

3. panaskan diatas tanur pada suhu 70 ºC selama 3 jam.

4. Pisahkan tepung ikan dari larutan alkohol-minyak ikan dengan menggunakan saringan halus.

5. Ulang kegiatan no. 1 dan 2

6. Kering anginkan tepung ikan agar alkohol yang tersisa bisa menguap dan hilang dari tepung ikan.

7. Setelah semua alkohol menguap, tepung ikan dapat digunakan untuk bahan baku pembuat pellet.

Lampiran 2. Prosedur analisa proksimat bahan pakan dan tubuh ikan

A. Prosedur analisa kadar air

1. Cawan porselen dioven pada suhu 110 °C selama 1 jam dan kemudian ditimbang (X1)

2. Bahan diambil sebanyak 1 g (A) dan dimasukkan pada cawan tadi dan kemudian dipanaskan/dioven pada suhu 110 °C selama 2 jam.

3. Setelah dioven, cawan tersebut dipindahkan ke desikator selama 30 menit 4. Setelah dingin, cawan tersebut ditimbang dan beratnya dicatat (X2). 5. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )

100% x A X ) A X (%) Air Kadar = 1+ − 2

B. Prosedur analisa kadar abu .

1. Cawan porselen dioven pada suhu 110 °C selama 1 jam lalu didinginkan dalam eksikator selama 15 sampai 30 menit dan kemudian ditimbang (X1). 2. Bahan diambil 1 g (A) dan dimasukkan dalam cawan porselen tersebut. 3. Cawan yang berisi bahan tadi dipanaskan dalam tanur pada suhu 600 °C

sampai bahan menjadi putih semua atau menjadi abu, kemudian dimasukkan ke oven (suhu 100 sampai 110 °C) selama 15 menit untuk menurunkan suhunya.

4. Cawan porselin dikeluarkan lalu didinginkan dalam eksikator selama 30 menit lalu ditimbang (X2).

5. Persentase kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus :

100% x A ) X (X Abu Kadar = 12

C. Prosedur analisa protein (Metode Kjeldahl) Tahap oksidasi

1. Bahan ditimbang 1 g (A) dengan menggunakan alumunium foil. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan kedalam labu Kjedahl.

2. Kedalam labu no. 1 ditambahkan 3 gram katalis (K2 SO4 + CuSO45H2O) dengan rasio 9:1, dan 10 ml H2SO4 pekat untuk mempercepat penguraian 3. Labu Kjedahl dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion selama 3 – 4 jam,

sampai cairan dalam labu bewarna hijau.

4. Larutan didinginkan dan kemudian diencerkan dalam erlenmeyer sampai volume larutan mencapai 100 ml.

Tahap destilasi

1. Larutan hasil oksidasi diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu destilasi dan kemudian ditambah dengan beberapa tetes H2SO4. 2. Erlenmeyer diisi dengan 10 ml H2SO4 0.05 N dan 2 tetes larutan indicator

yang disimpan di bawah pipa pembuangan kondesor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

3. Larutan sample diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong dan kemudian dibilas dengan aquades lalu 10 ml NaOH 30% dimasukkan melalui corong tersebut dan kemudian ditutup. 4. Campuran alkalin dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10

menit setelah terjadi pengembunan pada kondesor. Tahap titrasi

1. Hasil destruksi dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N hingga berubah warna.

2. Hasil volume titrasi dicatat.

3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blangko.

4. Prosentase protein dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

100% x A x20 titran) ml blanko (ml 25 , 6 0007 , 0 (%) protein Kadar = × x

D. Prosedur analisa kadar lemak Metode ekstraksi dengan Soxhlet

1. Labu ekrtaksi dipanasklan pada suhu 110 °C selama satu jam. Kemudian didinginkan selama 30 menit dalam eksikator dan ditimbang (X1

2. Bahan ditimbang sebanyak 3 g (A) dan dimasukkan dalam selongsong, setelah itu dimasukkan ke dalam soxhlet yang ditekan dengan pemberat pada bagian atasnya.

3. N-hexsan sebanyak 100 sampai 150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa hexsan dimasukkan ke dalam labu. 4. Labu yang sudah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water

bath sampai cairan dalam soxhlet bewarna bening.

5. Labu dilepaskan dari soxhlet dan tetap dipanaskan hingga N-hexsan menguap semua.

6. Labu dan lemak yang tersisa dipanaskan dalam oven selama 15 hingga 30 menit dan ditimbang (X2).

7. Persentase lemak dihitung dengan menggunakan rumus : 100% x A ) X (X Lemak Kadar = 12

Metode Folch et. Al. (analisis lemak untuk hati)

1. Labu silinder dioven pada suhu 110°C selama satu jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang (X1). 2. Bahan ditimbang 2 g (A) dan kemudian dimasukkan dalam gelas

homogenizer, kemudian ditambahkan dengan larutan kloroform/methanol C (20xA) dan disisakan sebagian untuk membilas pada saat penyaringan. 3. Sample yang telah diberikan larutan kemudian dihomogenizer selama 5

menit, setelah itu disaring dengan bantuan vacuum pump.

4. Sample yang telah disaring dimasukkan kedalam labu pemisah yang telah diberikan larutan MgCl2 0,03 M sebanyak (0,2 x C), kemudian dikocok dengan kuat selam 1menit lalu ditup dengan aluminium foil dan didiamkan semalam.

5. Lapisan bawah yang terdapat pada labu pemisah disaring kledalam labu silinder , kemudian di-evavorator sampai kering. Sisa kloroform /methanol

yang terdapat pada labu ditiup dengan bantuan pompa kemudian ditimbang (X2)

6. Persentase lemak kasar dihitung dengan menggunakan rumus :

100% x A ) X (X Lemak Kadar = 12

E. Prosedur analisa serat kasar

1. Kertas saring dipanaskan dalam oven selama satu jam pada suhu 110 °C kemudian didinginkan selama 30 menit dalam esikator lalu ditimbang (X1). Kertas saring tersebut kemudian dipasang pada corong dan dihubungkan pada vacum pump untuk mempercepat penyaringan.

2. Bahan ditimbang sebanyak 0,5 g (A) dan dimasukkan kedalam Erlimeyer 250 ml, kemudian ditambah dengan 50 ml H2SO4 0,3 N, lalu dipanaskan diatas pembakar bunsen 30 menit.

3. NaOH 1,5 N sebanyak 25 ml ditambahkan kelarutan tadi dan kemudian dipanaskan kembali selama 30 menit.

4. Larutan dan bahan yang sudah dipanaskan disaring dan dituangkan kedalam corong buchner , kemudian dibilas berturut turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N dan 50 ml air panas lagi lalu 25 ml aseton. 5. Cawan porselen disiapkan setelah sebelumnya dipanaskan dalam oven

bersuhu 105 sampai110°C selam 1 jam.

6. Kertas saring dimasukkan kedalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 sampai 110°C selam 1 jam lalu didinginkan dalam esikator selam 15 – 30 menit dan ditimbang X2.

7. Cawan kemaudian dipanaskan dalam tanur yang bersuhu 600 °C hingga berwarna putih atau menjadi abu (kurang lebih 4 jam), lalu dimasukkan dalam oven suhu 105 sampai 110 °C selama 15 menit kemudian

Lanjutan Lampiran 2...

didinginkan dalam desikator selama 15 sampai 30 menit dan kemudian ditimbang (X3).

Kandungan serat kasar dihitung dengan menggunakan rumus :

100% x A ) X X (X (%) Kasar Serat = 123

Lampiran 3. Prosedur pengukuran asam lemak (Takeuchi 1988)

Proses penyiapan analisis asam lemak Gas Liguid Chromatography (GLC) adalah sebagai berikut :

a. Ekstraksi lemak (metode Folch)

Sample dihancurkan dengan blender. Selanjutnya diambil sebanyak 15 g sample dan ditambah dengan 100 ml campuran kloroform-metanol (2:1) dan dihomogenisasi selama 5 menit. Homogenat yang telah dipisahkan dengan cara penyaringan, dan hasil saringannya dipindahkan ke dalam labu pemisah (200 – 300 ml) dan ditambahkan 10 ml MgCl2 0,03 M, dikocok kuat-kuat selama 1 menit. Setelah tercampur merata, pada labu tadi diisikan gas nitrogen dan ditutup rapat. Campuran tersebut dibiarkan selama satu malam pada temperature kamar sampai terjadi dua lapisan cairan. Lapisan atas dibuang dan lapisan bawah dipisahkan kedalam labu didih yang sudah diketahui bobotnya. Larutan tersebut dikeringkan dalam keadaan vacum. Lemak yang terkumpul ditimbang.

b. Saponifikasi

Lemak hasil ekstraksi (50 mg – 5 g) tersebut diatas dimasukkan kedalam labu didih 100 ml dan ditambahkan 1-2 ml KOH 50%, etanol 15 ml dan 2-3 butir batu didih, serta hidroquinon 5% dari lemak kasar. Refluks campuran tersebut pada suhu 80° C selama 30-60 menit untuk saponifikasi. Setelah dingin pindahkan kedalam corong pemisah (200 – 300 ml) dan ditambahkan 40 ml aquades dan 30 ml heksan. Selanjutnya dikocok selama satu menit sampai terjadi dua lapisan cairan. Lapisan atas yang terjadi dibuang dan lapisan bawah dipindahkan ke dalam corong pemisah lainnya lalu diekstraksi dengan heksan 40 ml. Larutan dikocok selama satu menit sampai terjadi dua lapisan cairan. Lapisan atas dibuang dan lapisan bawah dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan kemudian ditambahkan heksan 50 ml, 2-3 tetes metal jingga dan 10 ml HCL 2 N dan dikocok lagi selam satu menit sampai terjadi dua lapisan cairan. Lapisan bawah dibuang dan lapisan atas dicuci dengan aquades 3-5 kali (20, 30, 40 dan 50 ml) dan dikocok kembali selama 1 menit. Lapisan bawah dibuang dan lapisan atas dicek pH-nya sampai netral, lalu diuapkan dalam vacum evaporator. Asam lemak yang terbentuk ditimbang.

c. Preparasi metal ester asam lemak

Tujuan preparasi metal ester asam lemak ini adalah untuk mendapatkan kandungan asam lemak dalam bahan yang dianalaisi dalam bentuk metal ester asam lemaknya. Hasil saponifikasi dimasukkan kedalam labu didih (100 ml) dan

Lanjutan Lampiran 3...

ditambahkan 5 ml campuran BF3-metanol 20%. Labu ditutup, kemudian dipanaskan pada suhu 45 °C selama 30 menit dan ditambahkan 0,4-0,8 ml NaCl jenuh. Campuran tersebut diekstrak dengan 0,4 ml petroleum eter. Hasil ekstraksi tersebut ditambahkan 1 ml heksan dan siap untuk disuntikkan pada GLC.

Lampiran 4. Prosedur pengukuran tingkat hemolisis darah merah ikan

Dokumen terkait