• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan

1. Analisis Regresi Berganda

Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yaitu menguji apakah corporate governance berpengaruh terhadap

pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Pengujian regresi berganda ini dilakukan dengan metode enter. Metode enter adalah salah satu metode pengolahan data dengan cara memasukkan semua prediktor ke dalam analisis sekaligus (Widhiarso, 2010).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh corporate governance yang direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris, pengalaman komisaris utama, dan komite audit independen, terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan dengan profitabilitas perusahaan sebagai variabel kontrol.

Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda terkait pengaruh corporate governance terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.5 Hasil Regresi Berganda

Variabel Koefisien t p-value

(constant) 0,141 1,323 0,192 PROKI 0,231 2,100 0,041* RPTDK 0,000 -0,090 0,929 EXPKU -0,029 -0,643 0,523 PROKAI 0,149 1,083 0,284 PROFIT 0,475 3,521 0,001* R Square 0,376 Adjusted R Square 0,313 F 6,022 Sig 0,000

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh variabel independen mampu menerangkan variabel dependen. Setiap tambahan satu variabel independen, R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu, untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang disesuaikan yaitu Adjusted R2(Ghozali, 2006).

Dari Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa nilai R Square (R2) sebesar 0,376 dan Adjusted R Square (Adjusted R2)sebesar 0,313. Berdasarkan nilai Adjusted (R2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 31,300% variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variabel kontrol dan sisanya sebanyak 68,700% dijelaskan oleh faktor lain.

Nilai F hitung sebesar 6,022 dengan probabilitas 0,000 (ρ-value < 5%). Nilai F lebih besar dari 4,000 dan probabilitas jauh lebih kecil dari 5%, maka model regresi ini menunjukkan good overall model fit sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengungkapan sosial dan lingkungan atau dapat dikatakan bahwa proporsi komisaris independen, pengalaman komisaris utama, jumlah rapat dewan komisaris, komite audit independen, dan profitabilitas perusahaan secara bersama- sama berpengaruh terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan (Ghozali, 2006).

Berdasarkan pengujian hipotesis yang dilakukan, hasilnya menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen (variabel independen) dan profitabilitas (variabel kontrol) berpengaruh positif signifikan (p-value < 5%) terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan, sedangkan jumlah rapat dewan komisaris, pengalaman komisaris

utama, dan proporsi komite audit independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.

Proporsi komisaris independen3 berpengaruh positif signifikan (p-value sebesar 0,041) terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan tanggung jawab dijalankan dengan baik oleh anggota komisaris independen. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Andayani, Atmini, dan Mwangi (2008), bahwa keberadaan anggota komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan. Konsisten pula dengan penelitian Suhardjanto dan Choiriyah (2010), bahwa proporsi komisaris berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan lingkungan perusahaan.

Di Indonesia, jumlah komisaris independen diatur oleh Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002, yaitu minimal 20% jumlah dari dewan komisaris. Pihak independen diharapkan memiliki pandangan segar dan tidak memiliki hubungan historis dengan perusahaan sehingga kemungkinan kolusi dengan manajemen dapat diperkecil sehingga independensinya dapat dipercaya.

Pada penelitian ini, rerata proporsi komisaris independen di Indonesia (sebesar 31,700%) sudah di atas persyaratan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah (minimal 20%), menunjukkan bahwa penetapan komisaris independen dalam perusahaan bukan hanya sekedar untuk memenuhi regulasi dari pemerintah saja. Tingginya rerata proporsi komisaris independen mengindikasikan bahwa kualitas

3 Berdasarkan hasil t-test (t = 3,492 dan ρ-value = 0,001), menunjukkan bahwa rerata pengungkapan

sosial dan lingkungan berbeda secara signifikan antara BUMN yang memiliki proporsi komisaris independen di atas rerata (29,080%) dengan yang memiliki di bawah rerata.

kontrol oleh komisaris terhadap aktivitas perusahaan semakin baik sehingga semakin besar proporsi komisaris independen dalam perusahaan semakin baik pula kinerja sosial dan lingkungan perusahaan.

Keberhasilan komisaris independen tidak hanya dikarenakan oleh independensinya saja, tetapi dikarenakan pula oleh manfaat yang dibawa oleh komisaris independen, seperti yang diungkapkan oleh Mace (1971) dalam Nasir dan Abdullah (2005:7),

“These outside directors bring to the board their expertise, vast experience, contact and prestige. However, non-executive directors’ are also argued to play limited roles as advisors rather than active decision makers.”

Peran terbatas yang dimiliki oleh komisaris independen sebagai penasihat manajemen dijalankan secara efektif. Tidak hanya bertugas melakukan pengawasan dan menjadi penasihat manajemen, komisaris independen pun berperan dalam mewakili kepentingan pemegang saham minoritas. Keberadaannya dimaksudkan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholders lainnya. Sejalan dengan keterangan tersebut, Healy dan Palepu (2001) mengungkapkan bahwa dewan komisaris dibentuk agar dapat mengurangi asimetri informasi antara stakeholders

dengan manajemen.

Penelitian Webb (2004) menemukan bahwa perusahaan yang mempunyai tingkat tanggung jawab sosial yang tinggi mempunyai komisaris independen yang

lebih banyak daripada perusahaan yang tingkat tanggung jawab sosialnya rendah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komisaris independen mempunyai dorongan untuk melindungi kepentingan pemegang saham secara baik (Said, Zainuddin, dan Haron, 2009). Said, Zainuddin, dan Haron (2009) menyatakan bahwa bahwa komisaris independen memainkan sebuah peran yang penting untuk meningkatkan image baik perusahaan dan bertugas memonitoring untuk meyakinkan bahwa perusahaan dijalankan oleh manajemen dengan baik. Di sisi lain, konsekuensi adanya pengungkapan sosial dan lingkungan tidak dapat membuat image perusahaan menjadi buruk.

Anggraini (2006) menerangkan hubungan antara pengungkapan sosial dan lingkungan dengan mekanisme corporate governance, yaitu tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan dan memiliki tata kelola perusahaan yang baik dapat menekan perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Mekanisme corporate governance seperti struktur kepemilikan dan proporsi dewan komisaris independen adalah mekanisme yang dapat memberikan arahan dan kontrol terhadap perusahan dalam pelaksanaan dan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.

Dewan komisaris dipandang oleh banyak pihak sebagai alat untuk memonitor kinerja manajemen. Dewan komisaris yang melakukan pertemuan secara rutin memungkinkan untuk membahas mengenai praktik corporate governance, permasalahan yang dihadapi perusahaan dan bersama-sama mencari penyelesaian

terbaik untuk perusahaan serta memungkinkan untuk mengevaluasi pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.

Koefisien positif yang dimiliki proporsi komisaris independen menunjukkan hubungan positif antara proporsi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Xiao, Yang, dan Chow (2004); Xiao dan Yuan (2007); Suhardjanto dan Choiriyah (2010) yang menemukan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan yang dilakukan perusahaan. Hasil ini sejalan dengan hipotesis pertama dalam penelitian ini, sehingga hipotesis pertama dinyatakan diterima.

Variabel yang tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan adalah jumlah rapat dewan komisaris4. Rapat tersebut merupakan media komunikasi dan koordinasi diantara anggota dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas kinerja manajemen. Jumlah rapat dewan komisaris memiliki ρ- value sebesar 92,900% jauh di atas 5% menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan. Koefisien positif sebesar 0,000 menunjukkan apabila variabel lain tetap (tidak berubah), peningkatan proporsi komisaris independen sebesar 1 satuan tidak dapat meningkatkan pengungkapan sosial dan lingkungan, karena koefisiennya sebesar 0,000%.

4 Berdasarkan hasil t-test (t = 1,143 dan ρ-value = 0,258), menunjukkan bahwa rerata pengungkapan

sosial dan lingkungan tidak berbeda secara signifikan antara BUMN yang memiliki jumlah rapat dewan komisaris di atas rerata (17) dengan yang memiliki di bawah rerata.

Tingginya rerata jumlah pertemuan dewan komisaris di perusahaan BUMN sebesar 17 kali dalam setahun dimungkinkan hanya untuk mematuhi peraturan yaitu minimal satu kali dalam sebulan. Cety dan Suhardjanto (2008) menyatakan bahwa peraturan yang ada di Indonesia masih dijalankan sebagai formalitas dan demi menjaga image perusahaan. Tingginya frekuensi dewan komisaris melakukan rapat tidak menjadikan fungsi pengawasan dewan komisaris perusahaan semakin baik dan efektif, sehingga tidak menjamin perusahaan memiliki pengungkapan sosial dan lingkungan yang baik. Kondisi ini seperti yang terjadi pada PT Bank BTN (2007), dimana dalam setahun frekuensi pertemuan komisaris sebanyak 35 kali, tetapi memiliki pengungkapan sosial lingkungan yang kurang baik dimana dalam persentase pengungkapan hanya 25,806% dan di bawah rerata pengungkapan perusahaan BUMN sebesar 42,109%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vafeas (2003); Brick dan Chidambaran (2007) yang menyatakan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan perusahaan. Suhardjanto dan Permatasari (2010) menyatakan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan lingkungan. Hasil ini tidak sejalan dengan hipotesis kedua dalam penelitian ini, sehingga hipotesis dinyatakan ditolak.

Variabel lain yang tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan adalah pengalaman komisaris utama. Variabel pengalaman komisaris utama harus dilihat secara hati-hati dalam menginterpretasikan karena variabel ini merupakan variabel dummy. Arah positif dan negatif tergantung dari cara pemberian

kodenya seperti sudah disebutkan dalam Bab III (hal. 41). Pengalaman komisaris utama mempunyai nilai ρ-value sebesar 52,300% pada tingkat signifikansi 5% menunjukkan bahwa pengalaman komisaris utama tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan.

Komisaris utama harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman (Purwati, 2006). Tidak berpengaruhnya pengalaman komisaris utama terhadap tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan dimungkinkan karena komisaris utama tidak memiliki kompetensi yang cukup. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian ini, dimana 13 komisaris utama yang memiliki pengalaman di bidang sosial, lingkungan, dan budaya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan pengalaman yang dimiliki. Komisaris utama tersebut tidak memiliki pendidikan yang mengajarkan tentang ilmu sosial, lingkungan, dan budaya, seperti mata ajaran humaniora yang relevan dengan praktik dan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan (Utama, 2007). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chemmanur dan Paeglis (2004) dan Artha (2010). Hasil ini tidak sejalan dengan hipotesis ketiga dalam penelitian ini, sehingga hipotesis dinyatakan ditolak.

Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi kinerja manajemen, sehingga keberadaan komite audit dapat meringankan tugas tersebut. Komite audit memiliki pihak eksternal yang independen untuk meningkatkan kualitas kontrol perusahaan (Forker, 1992).

Proporsi komite audit independen5 memiliki ρ-value 28,400% jauh di atas 5% menunjukkan bahwa variabel proporsi komite audit independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial dan lingkungan perusahaan. Hasil ini konsisten dengan penelitian Abdullah dan Nasir (2004); Nasir dan Abdullah (2005); Suhardjanto (2010); Suhardjanto dan Permatasari (2010), karena seharusnya keberadaan komite audit independen mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan corporate governance, yang menekan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik terutama keterbukaan dan penyajian yang jujur dalam laporan tahunan (FCGI, 2002).

Menurut Keputusan Menteri BUMN No. Kep-103/MBU/2002, komite audit bertugas untuk menelaah informasi keuangan termasuk laporan keuangan, ditambah dengan tugas lain. Berdasarkan hasil penelitian ini, dimungkinkan komite audit tidak melakukan review laporan tahunan atau laporan perusahaan yang terkait dengan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Sommer (1991) menyatakan bahwa banyak komite audit yang hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti review

laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggungjawab oleh manajemen. Penyebabnya diduga karena tidak memiliki kompetensi serta independensi yang memadai dan belum memahami peran pokoknya (Manao, 1997). Faktor tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemahaman komite audit independen

5 Berdasarkan hasil t-test (t = 2,407 dan ρ-value = 0,020), menunjukkan bahwa rerata pengungkapan

sosial dan lingkungan berbeda secara signifikan antara BUMN yang memiliki proporsi komite independen di atas rerata (82,361%) dengan yang memiliki di bawah rerata.

terhadap tugasnya dalam mengawasi manajemen dan merendahkan kualitas informasi perusahaan karena banyaknya kesempatan untuk memanipulasi dan mempermainkan data (Cety dan Suhardjanto, 2010). Mintara (2008) menyatakan bahwa proses penunjukkan anggota komite audit independen masih belum jelas dan terbuka, sehingga independensinya masih patut diragukan. Berdasarkan keterangan tersebut, dimungkinkan terjadi kekurang hati-hatian dalam proses pemilihan komite audit karena kurang mempertimbangkan intergritas serta kompetensi yang dimiliki. Hal ini dapat memberikan dampak negatif atas kualitas informasi yang diberikan perusahaan karena independensi komite audit belum memadai. Koefisien proporsi komite audit independen positif yang ditunjukkan dalam tabel memperlihatkan adanya hubungan yang positif antara proporsi komite audit independen dengan tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan. Koefisien proporsi komite audit independen pada tabel 4.5 menunjukkan nilai positif sebesar 0,149. Apabila variabel lainnya tetap (tidak berubah), proporsi komite audit independen dapat meningkatkan pengungkapan sosial dan lingkungan sebesar 14,900% satuan bila faktor proporsi komite audit independen naik sebesar 1 (satu) satuan.

Dalam penelitian ini terdapat satu variabel kontrol yang turut diujikan, yaitu profitabilitas (ROE).

Variabel profitabilitas6 berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Profitabilitas memiliki ρ-value = 0,005 yang lebih kecil daripada tingkat signifikasi 5%. Koefisien profitabilitas pada Tabel 4.5 menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,427. Apabila variabel lainnya tetap (tidak berubah), profitabilitas dapat meningkatkan pengungkapan sosial dan lingkungan sebesar 42,700% satuan bila faktor profitabilitas (ROE) naik sebesar 1 (satu) satuan.

Rerata profitabilitas perusahaan yang diukur dengan Return on Equity (ROE) sebesar 20,743% dimana perusahaan dengan profitabilitas yang besar memiliki dorongan untuk berinvestasi pada peningkatan kinerja lingkungan dan sosial sehingga dapat memotivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan demi menjaga reputasi perusahaan. Sembiring (2003) mengungkapkan bahwa manajemen yang sadar dan memperhatikan masalah sosial pun dapat mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Nurkhin (2009) menyatakan bahwa profitabilitas mempunyai peranan penting dalam memberikan keyakinan bagi perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial guna memperoleh legitimasi dan nilai positif dari masyarakat (stakeholders). Alasan lain dinyatakan oleh Jaswadi dan Purnomo (2006), yaitu perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi mengungkapkan informasi yang lebih lengkap dalam laporan tahunannya, hal tersebut dilakukan supaya dapat

6 Berdasarkan hasil t-test (t = 2,541 dan ρ-value = 0,014), menunjukkan bahwa rerata pengungkapan

sosial dan lingkungan berbeda secara signifikan antara BUMN yang memiliki profitabilitas di atas rerata (21,106%) dengan yang memiliki profitabilitas di bawah rerata.

meyakinkan investor dan mengharapkan peningkatan kompensasi terhadap manajemen perusahaan.

Pengaruh positif signifikan variabel profitabilitas terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai tingkat profitabilitas tinggi dapat mengungkapkan secara lebih informasi sosial dan lingkungan yang dilakukan. Hal ini mungkin dikarenakan persepsi atau anggapan bahwa aktivitas sosial dan lingkungan bukanlah aktivitas yang merugikan dan tidak bermanfaat bagi keberlangsungan perusahaan. Praktik sosial dan lingkungan dianggap sebagai langkah strategis jangka panjang yang dapat memberikan efek positif bagi perusahaan (Nurkhin, 2009).

Hasil ini konsisten dengan penemuan penelitian sebelumnya seperti Haniffa dan Cooke (2005), Hossain, Islam, dan Andrew (2006), dan Suhardjanto dan Miranti (2009). Semakin tinggi profitabilitas perusahaan, semakin tinggi tingkat pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa profitabilitas yang tinggi suatu perusahan dapat mempengaruhi perusahaan tersebut untuk lebih banyak meningkatkan pengungkapan sosial dan lingkungan.

Dokumen terkait