• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskriptif Data

2. Statistik Deskriptif

Pada Tabel 4.2 di bawah ini dijelaskan statistik deskriptif dari variabel dependen penelitian. Informasi mengenai statistik deskriptif tersebut meliputi: nilai minimum, maksimum, rerata (mean), dan standar deviasi yang dihitung dengan menggunakan alat bantu statistik SPSS release 16. Hasil dari perhitungan tersebut ditampilkan pada Tabel4.2 berikut:

Tabel 4.2

Statistik Deskriptif Social and Environmental Disclosure

N Min (%) Max (%) Mean (%) Std. Deviation (%)

SEDS 56 9,700 93,500 42,109 15,941

Statistik deskriptif pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rerata tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan pada 56 perusahaan sebesar 42,109% atau rata- rata baru dapat memenuhi 13 aspek sosial dan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengungkapansosial dan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan

BUMN masih belum memenuhi separuh dari skor total pengungkapan sosial dan lingkungan pada penelitian ini dan memenuhi 31 aspek pengungkapan sosial dan lingkungan. Dari 56 perusahaan sampel, 19 perusahaan yang skor pengungkapan diatas rerata dan 37 perusahaan lainnya di bawah rerata.

Struktur governance yang direpresentasikan oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), dewan komisaris, dan dewan direksi yang mempunyai tujuan hanya untuk memaksimumkan laba, menyebabkan kegiatan sosial dan lingkungan beserta pengungkapannya menjadi sulit berkembang, (Utama, 2007). Kurangnya pengungkapan sosial dan lingkungan oleh BUMN dapat dimaklumi dengan masih terjadinya kasus korupsi di dalam BUMN, seperti yang diberitakan bahwa PT Pupuk Sriwidjaja terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan mark up

pengadaaan barang (www.situshukum.com, 2010). Hal tersebut membuktikan bahwa perusahaan tidak mengungkapkan aspek korupsi dalam indikator masyarakat (GRI, 2006). Kasus lain yang terjadi pada BUMN adalah kasus perampasan tanah garapan petani yang dilakukan PT Perkebunan Nasional VIII (www.pedulirakyat-online.com, 2010). Berdasarkan kasus yang terjadi, BUMN dipersepsikan oleh publik sebagai perusahaan yang tidak menghormati hak penduduk asli dan penuh dengan korupsi dan kolusi (Cahyaningrum, 2009). Belum lama ini BUMN memberitakan bahwa terjadi pergantian dewan komisaris dan dewan pengawas di 12 BUMN pada tahun 2011 (www.bumn.go.id, 2010). Pergantian dewan komisaris BUMN tersebut menjadi bukti sebagai salah satu usaha pemerintah untuk memperbaiki lemahnya penerapan prinsip corporate governance. Rerata tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan

sebesar 42,109% menunjukkan prinsip corporate governance oleh BUMN belum diterapkan dengan baik.

Nilai minimum pengungkapan sosial dan lingkungan pada penelitian ini adalah 9,700% yaitu PT Perusahaan Pengelola Aset (2007) yang hanya mengungkapkan tiga (3) aspek sosial dan lingkungan saja, yaitu aspek biodiversity, overall, dan komunitas. Nilai maksimum pengungkapan sosial dan lingkungan pada penelitian ini adalah sebesar 93,500% yaitu oleh PT Telkom Indonesia Tbk (2009). Hal ini dikarenakan PT Telkom Indonesia Tbk mengikuti Sustainabilty Reporting Guidelines

dari GRI dengan baik dalam mengungkapkan praktik sosial dan lingkungan.

Skor pengungkapan sosial dan lingkungan dalam penelitian ini diperoleh dengan membagi skor total pengungkapan yang dilakukan perusahaan dengan jumlah total pengungkapan. Berdasarkan Sustainability Reporting Guidelines dari GRI, terdapat 31 aspek sosial dan lingkungan yang dapat diungkapkan.

Gambar 4.1

Gambar 4.1 menunjukkan grafik mengenai pengungkapan aspek lingkungan yang dilakukan oleh BUMN selama tahun 2007, 2008, dan 2009. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa aspek biodiversity (keanekaragaman hayati) merupakan aspek yang paling banyak diungkapkan oleh BUMN selama tiga tahun berturut-turut. Rerata tingkat pengungkapan aspek biodiversity berada pada tingkat 87,329% setiap tahunnya. Salah satu contoh BUMN yang memperhatikan isu perlindungan lingkungan hidup adalah PT Telkom Tbk (2007). PT Telkom Tbk (2007) dalam laporan tahunannya menyatakan,

“TELKOM menjadi perusahaan yang dipercaya untuk mendukung bidang TI dalam acara konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007. TELKOM adalah perusahaan telekomunikasi yang dipilih PBB setelah mengalahkan dua perusahaan telekomunikasi lainnya, yaitu Indosat dan XL. UNFCCC adalah salah satu badan milik PBB di bidang penanganan perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya, terutama menyangkut pergantian iklim yang menyebabkan pemanasan bumi yang menjadi masalah internasional. Dengan keikutsertaan TELKOM sebagai perusahaan yang mendukung acara konferensi tersebut, TELKOM telah menunjukkan kepeduliannya terhadap isu-isu pemanasan global” (Laporan Tahunan PT Telkom Tbk, 2007: 21).

Pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu UU RI No. 32 Tahun 2009. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan adanya UU tersebut dan diselenggarakannya konferensi Global Warming and Climate Change membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang memperhatikan isu lingkungan hidup (Suhardjanto dan Permatasari, 2010). Tingkat pengungkapan yang paling rendah adalah aspek transportasi dengan rerata tingkat pengungkapan sekitar 5,361% setiap

tahunnya. Selama tiga tahun berturut-turut, tingkat pengungkapan aspek transportasi selalu menjadi yang terendah. Hal ini terjadi dimungkinkan karena aspek transportasi belum menjadi topik atau isu menarik bagi perusahaan (Suhardjanto dan Permatasari, 2010) Regulasi di Indonesia belum ada yang mengatur aspek transportasi. Perundangan yang terbaru tentang perlindungan lingkungan hidup, yaitu UU RI No. 32 Tahun 2009 tidak menyebutkan peraturan yang mengatur aspek transportasi.

Gambar 4.2

Grafik Pengungkapan Tanggung Jawab Produk

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa aspek pemasangan label bagi produk dan jasa merupakan aspek yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan selama tiga tahun berturut-turut. Rerata tingkat pengungkapan aspek pemasangan label bagi produk dan jasa berkisar pada tingkat 87,524% setiap tahunnya. Hal tersebut membuktikan bahwa UU RI No.8 Tahun 1999 pasal 7 (b) telah dipatuhi, yaitu pasal yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, dimana pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta

memberi penjelasan tentang penggunaan dan pemeliharaan. Tingkat pengungkapan yang paling rendah adalah aspek privasi pelanggan atau konsumen dengan rerata tingkat pengungkapan sekitar 10,624% setiap tahunnya. Selama tiga tahun berturut- turut, tingkat pengungkapan aspek privasi pelanggan atau konsumen selalu menjadi yang terendah. Hal ini terjadi dimungkinkan karena di dalam UU RI No.8 Tahun 1999 tidak terdapat peraturan yang mengatur tentang aspek privasi pelanggan.

Gambar 4.3

Grafik Pengungkapan Tenaga Kerja dan Pekerjaan yang Layak

Gambar 4.3 menunjukkan aspek yang paling banyak diungkapkan oleh BUMN selama tiga tahun berturut-turut adalah aspek pelatihan dan pendidikan. Rerata tingkat pengungkapan aspek pelatihan dan pendidikan berkisar pada tingkat 98,148% setiap tahunnya. Hal tersebut membuktikan bahwa UU RI No. 13 Tahun 2003 telah dipatuhi oleh BUMN, terutama pada Bab V yang mengatur tentang pelatihan kerja. Pasal 9 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa tujuan pelatihan kerja adalah untuk

untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.

Gambar 4.4

Grafik Pengungkapan Hak Azasi Manusia

Gambar 4.4 menunjukkan grafik mengenai pengungkapan aspek hak asasi manusia yang dilakukan oleh BUMN selama tahun 2007, 2008, dan 2009. Aspek yang paling banyak diungkapkan oleh BUMN selama tiga tahun berturut-turut adalah aspek kebebasan berserikat dan perjanjian bersama. Rerata tingkat pengungkapan aspek kebebasan berserikat dan perjanjian bersama berkisar pada tingkat 55,263% setiap tahunnya. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang aspek kebebasan berserikat, antara lain UU RI No. 39 Tahun 1999. Dalam pasal 39 berbunyi,

“Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Gambar 4.5

Grafik Pengungkapan Masyarakat

Gambar 4.5 menunjukkan aspek yang paling banyak diungkapkan oleh BUMN selama tiga tahun berturut-turut adalah aspek komunitas. Rerata tingkat pengungkapan aspek komunitas berkisar pada tingkat 98,246% setiap tahunnya. Hal tersebut membuktikan bahwa tingginya kepatuhan BUMN atas Peraturan Menteri Negara BUMN No. Kep-5/MBU/2007, dalam peraturan tersebut berisi tata cara pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan jumlah laba BUMN yang harus disisihkan. Tingginya angka pengungkapan tesebut menunjukkan bahwa BUMN konsisten dengan tujuannya untuk memberikan bimbingan dan bantuan terhadap masyarakat, hal tersebut sesuai dengan peraturan tentang tujuan BUMN dalam UU RI No. 19 Tahun 2003.

Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Variabel Independen

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

PROKI (%) 56 0,000 71,400 29,080 22,844 RPTDK (kali/tahun) 56 3,000 51,000 17,020 9,044 PROKAI (%) 56 0,333 1,000 82,361 17,813 PROFIT (%) 56 4,000 58,600 21,016 13,227 Valid N (listwise) 56

Rerata proporsi dewan komisaris independen adalah 29,080%. Proporsi ini sudah baik karena berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M- MBU/2002 yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen adalah 20% dari total anggota dewan komisaris. Komisaris independen mempunyai peranan penting dalam pengungkapan informasi sosial dan lingkungan pada laporan tahunan.

Ada 19 perusahaan yang mempunyai proporsi dewan komisaris independen kurang dari 20%, sebagai contohnya adalah PT Bank Tabungan Negara (2007), dalam laporan tahunannya, PT BTN mengungkapkan,

“Ketiga orang komisaris bank belum ada yang secara eksplisit diangkat sebagai komisaris independen, meskipun masing-masing individu sudah memenuhi persyaratan sebagai komisaris independen dan pelaksanaan tugas para komisaris sudah dilakukan secara independen.” (Laporan Tahunan PT BTN, 2007:51)

Proporsi dewan komisaris independen kurang dari 20% yang berjumlah 19 sampel mengindikasikan bahwa masih terdapat perusahaan yang belum menerapkan

dikeluarkan oleh Kementerian BUMN yang terkait dengan proporsi dewan komisaris independen.

Rerata proporsi komisaris independen sebesar 29,080% dapat diartikan bahwa perusahaan menerapkan corporate governance dengan baik karena semakin besarnya proporsi dewan komisaris independen dapat mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan (corporate governance) di dalam perusahaan melalui tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi secara efektif serta lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan (KNKG, 2006).

Agar proses pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris berjalan efektif, berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002, rapat komisaris harus diadakan secara berkala, yaitu sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata jumlah rapat dewan komisaris sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebanyak 17 kali (17,020) dalam setahun, namun terdapat pula 15 perusahaan yang mengungkapkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris perusahaan masih dibawah ketentuan yang ada, perusahaan tersebut antara lain adalah PT Jamsotek (2009), PT Wijaya Karya Tbk (2008), PT Asuransi Jasa Indonesia (2007), dan PT Garuda Indonesia (2009), dimana nilai minimum diperoleh PT Jamsotek (2009) yang hanya mengadakan pertemuan dewan komisaris sebanyak tiga kali dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran BUMN di Indonesia terhadap ketentuan yang berlaku.

Menurut McMullen (1996), keberadaan anggota komite audit yang independen dapat meningkatkan transparasi komite audit dalam menjalankan tugasnya. Jumlah

rerata proporsi komite audit independen perusahaan BUMN adalah 82,361%. Tingginya rerata proporsi komite audit independen mengindikasikan bahwa kualitas kontrol oleh komite audit terhadap aktivitas perusahaan semakin baik (Forker, 1992).

Rerata profitabilitas sampel pada penelitian ini sebesar 21,016%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dari modal perusahaan untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham sebesar 21,016%. Profitabilitas tertinggi sebesar 58,600% diperoleh PT Antam Tbk (2007), sedangkan untuk profitabilitas terendah didapat oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (2009) sebesar 4,000%.

Jaswadi dan Purnomo (2006) mengungkapkan bahwa tingkat profitabilitas perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kelengkapan pengungkapan baik yang wajib maupun sukarela. Berdasarkan hal tersebut, semakin tinggi tingkat profitabilitasnya, semakin lengkap perusahaan mengungkapkan informasi. Di dalam penelitian ini, tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan dengan tingkat profitabilitas tertinggi, yaitu PT Antam Tbk (2007) lebih banyak mengungkapkan informasi daripada perusahaan dengan profitabilitas terendah, yaitu PT Perusahaan Pengelola Aset (2009).

Dalam penelitian ini, terdapat satu variabel independen yang merupakan variabel dummy, yaitu pengalaman komisaris utama sehingga tidak ikut diperhitungkan dalam statistik deskriptif. Perbandingan jumlah pengalaman komisaris utama sebagai berikut:

Tabel 4.4

Statistik Deskriptif Pengalaman Komisaris Utama

Tahun Sosial, Budaya, dan Lingkungan Non-Sosial, Budaya, dan Lingkungan 2007 4 14 2008 5 14 2009 4 15 Total 13 43

Pada Tabel 4.4 di atas dapat dilihat mengenai statistik pengalaman komisaris utama. Pada tahun 2007 terdapat empat (4) komisaris utama yang memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan dan 14 komisaris utama lainnya tidak memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan. Pada tahun 2008 terdapat 5 (lima) komisaris utama yang memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan dan 14 komisaris utama lainnya tidak memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan. Pada tahun 2009 terdapat 4 komisaris utama yang memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan dan 15 komisaris utama lainnya tidak memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan.

O’Neal dan Thomas (1996) menyatakan bahwa strategi dalam memilih anggota dewan komisaris seharusnya mempertimbangkan kompetensi, termasuk pengalaman komisaris karena komisaris tersebut berpotensi untuk meningkatkan kinerja dewan komisaris. Pengalaman komisaris utama turut menentukan keputusan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan. Tidak ada keharusan bagi komisaris utama untuk memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan, tetapi lebih baik jika komisaris utama memiliki pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan,

karena komisaris utama memiliki kemampuan untuk meningkatkan pengungkapan sosial dan lingkungan.

Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rerata pengungkapan sosial dan lingkungan sebesar 42,109%; rerata proporsi komisaris independen sebesar 29,080%; rerata jumlah rapat dewan komisaris sebanyak 17 kali per tahun; rerata proporsi komite audit independen sebesar 82,361; dan rerata profitabilitas sebesar 21,016%.

Dokumen terkait