PERAN CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGUNGKAPAN SOSIAL
DAN LINGKUNGAN: STUDI EMPIRIS BADAN USAHA MILIK NEGARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh:
WAHYU BUDI UTAMA
NIM. F0306085
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
MOTTO
"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai, setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah.”
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
"Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." (Bumi Manusia, 1980)
-Pramoedya Ananta Toer-
"Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya."
(Naar de 'Republiek Indonesia', 1925)
”Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.” (Massa Actie, 1926)
“Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil sendiri.” (Madilog, 1943)
-Tan Malaka-
“It is true: we love life not because we are used to living, but because we are used to loving.” (Thus Spoke Zarathustra, 1885)
“Only sick music makes money today.” (Der Fall Wagner)
♫ ♫♫ -Friedrich Nietzsche-
”
Dream, dare and deliver. Take every chances, it’s worth a try. If you aim high, u’ll got
high.”
PERSEMBAHAN
I dedicate this research for
”My Mom”
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Sosial dan
Lingkungan: Studi Empiris Badan Usaha Milik Negara”, sebagai tugas akhir guna
memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Universitas Sebelas Maret.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons), Ph.D, Ak. selaku
pembimbing skripsi atas semua kritik, teguran, saran, nasihat, dan
perhatiannya dalam mencapai hasil yang terbaik.
4. Ibu Dra. Setianingtyas H, MM, Ak., selaku pembimbing akademik yang
5. Para dosen yang telah membagi ilmunya yang bermanfaat. Kepada Ibu
Yasmin Umar, Bapak Imam Mahdi, Bapak Agung Prabowo, dan semua dosen
yang telah memberi saya nilai 4 (A).
6. Ibu, almarhum Bapak, dan kakak-kakakku dan keponakanku. Ibu yang selalu
memberikan kasih sayang yang tak pernah putus atau berkurang sedikit pun.
Ibu yang selalu jadi tempat bermanja dan bercerita. Ibu yang selalu lebih
memikirkan kepentinganku daripada dirinya sendiri. Almarhum Bapak yang
selalu saya banggakan karena kejujurannya yang luar biasa, semoga
almarhum mendapatkan nikmat surga (amīn) dan berbahagialah Bapakku,
karena hidup lebih pendek tidaklah berarti selalu buruk. Mbak End semoga
mendapatkan jalan terbaik atas segala masalahnya (amīn). Mas Jon sebagai
kakakku yang paling perhatian dengan kuliahku, terima kasih atas printernya
yang sangat (sangat) berguna. Mbak Ning yang paling baby face, tetaplah
berjiwa muda. Mbak Epi yang ada di Jakarta, “Pokok é om wahyu meh
ngenteni gawean nang omahmu lho, mbak!” Semua keponakanku yang ada 8
orang, Om Wahyu janji kalau lebaran nanti, kalian dapat angpao (kalau sudah
bekerja, hehehe).
7. Kamilia Alfi Naily, yang selalu menjadi yang terbaik untuk aku dan untuk
hubungan kita, saat susah apalagi saat senang. JLJ
♫♫♫ “You’re a part time lover and a full time friend. The monkey on your back is the latest trend. I don’t see what anyone can see in anyone else…but you.”(Moldy Peaches-Anyone Else but You)
8. Keluarga Besar Boyolali dan Banyumas, pakdhe-budhe, paklik-bulik, sepupu,
keponakan yang selalu dikangeni. Pakdhe-Budhe Tarmo, Pakdhe-Budhe
Yanto, Mas-Mbak Basuki, Om O’o, dan Paklik-Bulik Hela.
9. Haryo Purnomo Sidhi dan Ardyan Mohammad Erlangga, beruntunglah kalian
karena masih hidup dan dapat berbuat kemungkaran di dunia ini.
10.The Trio Autis Gang (I, Rojak ‘n Ujo). Sungguh teramat menyesal masa muda
di kampus dihabiskan dengan bergaul bersama kalian.
11.Yudha, Arif, Riza, Bimo, Jalu, Willy, Onggo, Afit, Davit, Dadang, Adri,
Yoga, Irfan, Irwan, Galih, Wisnu, Agung, Adit, Mimbi, Fajar, Dian, Dedy,
Vadil, Yono, Hendy, Udin, dan semua member Kelas C. Tetap kompak!
12.Anjuras Purwadika, Almateus Adam Arseto, Raditya Kuntoro, Bayu
Nugroho, Iksan Setiawan, dan semua sahabat yang sering aku buat repot.
13.Teman-teman yang sudah membantuku saat kuliah, ujian kompre, dan skripsi.
Ian (kosnya), Boy (SPSS-nya), Reisya (kompre), Warih (printer dan
komputer), Deny (buku), dan semua teman lainnya yang sudah membantuku.
14.Anak-anak kos tempatku maen: Miko, Bagas, Dodi, Kipli, Ulin, Yono, Wastu,
dan semuanya yang ada di kos. Work hard!
15.Anak-anak kantin: Wisnu, Jagad, Andre, Gery, Wawan, Anto, Sayid, Albert,
Putra, dan lainnya. Ayo cepat lulus! Semangat!
16.The Djs’s Troopers (Anne-Erna-Fira-Umi), terima kasih sudah melewati
tahap skripsi bersama-sama dan terima kasih atas semua bantuan dan
17.Barjos, Bryan, Ika, Kris, Latipe, Hanny, Mora, Aulia, PJ, Cahyo, Destia,
Dewi, Dhina, Dika, Dyah, Tata, Mur, Ery, Melati, Famera, Fela, Finik,
Hakim, Harmini, Irham, Kurnia, L. Yeni, Monik, Yach, Natali, Nicky, Alfin,
Putri, Ragil, Ayu, Ratih, Ratri, Ririn, Kiky, Rofi, Sekar, Tantri, Toni, Darmo,
Trias, Vidya, Windy, Wida, Yusuf, Manda, Lita, Gani, Tita, Hanung, Loggar,
Nova, Rena, Rina, Supri, Unggul, dan semua angkatan 2006 yang pernah
bersama saat kuliah. Work hard!
18.Semua mahasiswa selain angkatan 2006 yang pernah satu kelas saat kuliah.
19.Macanan Tanon: Begog, Mogol, Gaweng, Colox, Casey, Heru, Mathintha,
Prokol, Wardi, Arfan, Firman, Pakdhe, Supri, Senja, Mamin, Jangkung,
Didik, Rudy, Rus, Anik, Ari, Iyem, Lody, dan semua warga kampung.
20.Pak Man, Pak Pur, Pak Timin, Pak Taufik, dan semua karyawan yang sering
saya butuhkan di kampus. Semoga sehat selalu (amīn).
Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan karya ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Terima kasih.
Surakarta, April 2011
A. Tinjauan Pustaka………...
1. Laporan Tahunan dan Pengungkapan …...
2. Pengungkapan Sosial dan Lingkungan ...………...…....
3. Sustainability Reporting Guidelines ...
4. Corporate Governance …….……….……...
B. Kaitan Corporate Governance dengan Pengungkapan Sosial
dan Lingkungan ...
C. Skema Konsep Penelitian ...
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis...
BAB III. METODE PENELITIAN ………...
A. Desain Penelitian...
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel...
C. Data dan Metode Pengumpulan Data ...
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...
E. Teknik Analisis Data ...
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ………...
A. Deskriptif Data...
1. Seleksi Sampel...
2. Statistik Deskriptif ...
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ...
2. T-test ………..
BAB V. PENUTUP ...
A. Kesimpulan ...
B. Saran ...
C. Keterbatasan ...
D. Rekomendasi ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
75
78
79
81
81
82
DAFTAR TABEL
Indikator GRI (2006) dan Regulasi Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan di Indonesia ..………
Daftar Aspek Kinerja Sosial dan Lingkungan ...
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ...…...
Statistik Deskriptif Social and Environmental Disclosure ...
Statistik Deskriptif Variabel Independen ...
Statistik Deskriptif Pengalaman Komisaris Utama ...
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
Skema Konsep Penelitian ...
Grafik Pengungkapan Lingkungan ...
Grafik Pengungkapan Tanggung Jawab Produk ...
Grafik Pengungkapan Tenaga Kerja dan Pekerjaan yang
Layak ...
Grafik Pengungkapan Hak Azasi Manusia ...
Grafik Pengungkapan Masyarakat ...
33
53
55
56
57
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Item Pengungkapan Sosial dan Lingkungan GRI (2006)
Lampiran II Daftar Perusahaan Sampel dengan Skor Pengungkapan
Lampiran III Statistik Deskriptif
Lampiran IV Uji Asumsi Klasik
Lampiran V Analisis Regresi Berganda
commit to user
PERAN CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN: STUDI EMPIRIS BADAN USAHA
MILIK NEGARA
Wahyu B. Utama F0306085
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran corporate governance dalam pengungkapan sosial dan lingkungan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan untuk menganalisis perbedaan tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan antara BUMN yang listing dan non-listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Corporate governance direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris, pengalaman komisaris utama, dan proporsi anggota komite audit independen. Penelitian ini juga menggunakan profitabilitas sebagai variabel kontrol.
Pengukuran pengungkapan sosial dan lingkungan menggunakan item yang terdapat dalam Sustainability Reporting Guidelines dari Global Reporting Initiative (2006). Berdasarkan teknik purposive sampling, sampel yang digunakan sebanyak 56 laporan tahunan BUMN tahun 2007-2009.
Rerata tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan sebesar 42,11% dan terdapat perbedaan signifikan dalam pengungkapan sosial dan lingkungan antara BUMN yang listing dan non-listing di BEI. Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi dalam pengungkapan sosial dan lingkungan adalah proporsi komisaris independen. Variabel jumlah rapat dewan komisaris, pengalaman komisaris utama, dan proporsi komite audit independen tidak mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan.
commit to user
PERAN CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN: STUDI EMPIRIS BADAN USAHA
MILIK NEGARA
Wahyu B. Utama F0306085
ABSTRACT
The purposes of this study are to examine the effect of corporate governance to social and environmental disclosure of Indonesian State-Owned Enterprises (SOEs) and to examine the degree of social and environmental disclosure between listed public entities and non-listed public entities. Corporate governance are identified as the the proportion of independent commissioners, the number of board meetings, experience of president commissioner and the proportion of independent audit committee members. This study also uses profitability as control variable.
The level of social and environmental disclosure is measured based on identified items of Sustainability Reporting Guidelines from Global Reporting Initiative (2006). Under purposive sampling, secondary data of 56 annual reports year 2007-2009 of SOEs in Indonesia.
The average level of social and environmental disclosure is at 42,11% and there is significant gap of the level of social and environmental disclosure between listed public entities and non-listed public entities. In accordance to the purpose of the study, the result of multiple regression shows that corporate governance affects the level of social and environmental disclosure through the variable proportion of independent commissioners. Other variables, the number of board meetings, the proportion of independent audit committee members and the experience of president commissioner are not good predictors for level of social and environmental disclosure.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
Bab pertama ini menjelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika dari
penulisan penelitian ini.
A. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran corporate governance dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
listing dan non-listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Corporate governance
direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan
komisaris, pengalaman komisaris utama, dan proporsi anggota komite audit
independen. Penelitian ini juga menganalisis perbedaan tingkat pengungkapan sosial
dan lingkungan pada BUMN yang listing dan non-listing diBEI.
Selama lebih dari 30 tahun, pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan
menjadi isu yang menarik bagi para peneliti (Hackston dan Milne, 1996; Hossain,
Islam, dan Andrew, 2006). Perhatian atas isu tentang polusi, penyusutan sumber daya
alam, limbah pabrik, mutu serta keamanan produk, dan hak serta status karyawan
mengalami peningkatan (Gray, Owen, dan Maunders, 1987).
Di Indonesia, masyarakat semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial
terhadap dunia usaha semenjak keruntuhan rezim Orde Baru (Daniri, 2008).
Masyarakat menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan
semakin bertanggungjawab dengan tidak hanya mencari keuntungan semata,
melainkan mereka pun diminta untuk memberikan kontribusi positif melalui
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah basis teori tentang perlunya
sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat di sekitar
perusahaan (Daniri, 2008). Menurut Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2007 Pasal
1 Ayat 3 menyebutkan:
“Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Sejalan dengan bunyi UU di atas, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
satu bentuk tindakan yang berangkat dari komitmen dan pertimbangan etis
perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi yang bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya serta sekaligus
peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas
(Febriyanti, 2010).
Skandal perusahaan besar seperti Ahold, Worldcom, Enron, dan Parmalat
memicu pengembangan konsep tentang corporate governance sebagai isu yang
penting dalam menjalankan bisnis perusahaan (Kolk dan Pinkse, 2008).
Perkembangan yang terus-menerus atas corporate governance tersebut
mempengaruhi pula terhadap konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan
corporate governance dan tanggung jawab sosial dapat dilakukan bersama-sama di
dalam perusahaan. Andayani, Atmini, dan Mwangi (2008: 5) menyatakan,
“…improving the expenditure of CSR to a higher level compared with maximizing the values of the company. They do those things because they want to obtain the benefit of CSR. Good rating of CSR can improve the company’s reputation, so that it can satisfy the employees, community, environment, and care about the society.”
Berdasarkan hal tersebut, keputusan manajemen perusahaan dapat berpengaruh
terhadap stakeholders, seperti karyawan, pelanggan, dan komunitas di sekitar
perusahaan berdiri. Untuk mengimbangi praktik tanggung jawab sosial tersebut,
dibutuhkan praktik corporate governance yang sehat.
Di Indonesia, adanya catatan buruk tentang BUMN antara lain disebabkan oleh
penerapan kaidah tata kelola perusahaan yang tidak baik (Bappenas, 2008). Berita
tentang 50 BUMN1 yang berperingkat buruk dalam PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup,
menunjukkan bahwa kinerja lingkungan BUMN masih rendah (Kompas, 2009).
Buruknya kondisi BUMN mengindikasikan prinsip tata kelola perusahaan belum
diimplementasikan dengan baik. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, salah satu
sasaran dalam peningkatan pengelolaan BUMN adalah dengan meningkatkan
pelaksanaan tata kelola yang benar pada BUMN (Cahyaningrum, 2009).
Berkaitan dengan pengungkapan sosial dan lingkungan, Program Kemitraan
dan Bina Lingkungan (PKBL) adalah bentuk tanggung jawab sosial (Corporate
1 10 BUMN berperingkat hitam, 9 BUMN berperingkat merah minus, dan 31 BUMN berperingkat
Social Responsibility) milik BUMN (Suharto, 2008). BUMN mempunyai peran untuk
memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah,
koperasi, dan masyarakat. Peraturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan
untuk BUMN yang lebih terperinci adalah UU No. 19 Tahun 2003. UU ini kemudian
dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri (Permen) Negara BUMN No.
Per-05/MBU/2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan
dan pengungkapan praktik sosial dan lingkungan. Pengungkapan sosial dan
lingkungan dalam laporan tahunan menjadi penting karena dapat mengurangi asimetri
informasi yang menyebabkan kerugian bagi stakeholders. BUMN memiliki
stakeholders yang lebih banyak daripada perusahaan yang bukan BUMN, seperti
pengusaha kecil dan menengah, koperasi, dan masyarakat. Kualitas laporan
perusahaan dan pengungkapannya menjadi penting dan berarti bagi manajemen
sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kemampuan corporate governance dan
kinerja perusahaan kepada stakeholders (Healy dan Palepu, 2001). Komunikasi
menjadi penting karena dapat meminimalisasi dan mengantisipasi benturan
kepentingan antara BUMN dengan stakeholders (Cahyaningrum, 2009).
Schuster dan O’Connel (2006) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis
pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan oleh standar
yang ada. Pertama, pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah
pengungkapan informasi yang diharuskan untuk disampaikan oleh peraturan yang
yang melebihi dari apa yang diwajibkan oleh standar, seperti pengungkapan sosial
dan lingkungan.
Pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan umumnya masih bersifat
sukarela di Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa, namun Perancis dan
Spanyol telah mewajibkan perusahaan untuk menerbitkan laporan praktik sosial dan
lingkungan (Tschopp, 2005). Di Indonesia, regulasi mengenai praktik sosial dan
lingkungan BUMN diatur di UU No. 19 Tahun 2003 dan pelaporan PKBL diatur di
dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2007. Pasal 9 ayat 1 dan
ayat 2 Permen BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari
penyisihan laba bersih perusahaan sebesar dua (2) persen yang dapat digunakan untuk
Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan (PKBL). Pasal 22 ayat 1 menyebutkan,
“Direksi BUMN Pembina wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL kepada Menteri/Pemegang Saham dengan tembusan kepada Komisaris/Dewan Pengawas, sebagai berikut :
a. Laporan Triwulanan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan;
b. Laporan Tahunan termasuk laporan keuangan (audited) paling lambat 5 (lima) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa BUMN wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan PKBL kepada menteri dan pemegang saham. Dengan kata lain,
pengungkapan PKBL yang dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial oleh
BUMN di Indonesia merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure) bagi
Ketentuan mengenai peraturan pengungkapan sosial dan lingkungan oleh
perusahaan di Indonesia diperkuat dengan berlakunya Undang-undang No. 40 Tahun
2007 Pasal 66 (2) yang mengatur bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan harus termuat di dalam laporan tahunan perseroan terbatas (PT) yang
bidang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam.
Haniffa dan Cooke (2005) mengungkapkan terdapat hubungan positif antara
corporate governance yang direpresentasikan dewan komisaris yang didominasi oleh
pribumi dan executive directors dengan pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan. Said, Zainuddin, dan Haron (2009) menguji hubungan antara
karakteristik corporate governance terhadap tingkat pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan publik di Malaysia. Hasil penelitian menemukan bahwa
keberadaan komite audit berhubungan positif dengan pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan. Andayani, Atmini, dan Mwangi (2008) meneliti pengaruh
corporate governance terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan
publik di Indonesia dan menghasilkan bukti bahwa proporsi komisaris independen
berpengaruh positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
Penelitian terkait kinerja tanggung jawab sosial pada BUMN dan perusahaan publik
dilakukan oleh Fauzi, Rahman, Hussain, dan Priyanto (2008). Penelitian tersebut
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kinerja sosial dan lingkungan dengan
kinerja keuangan perusahaan. Di Indonesia, penelitian terkait pengaruh corporate
governance terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan pada BUMN belum
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran corporate governance dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan pada Badan Usaha Milik Negara. Corporate
governance direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen, jumlah rapat
dewan komisaris, pengalaman komisaris utama, dan proporsi komite audit
independen. Variabel tersebut dipilih karena merupakan elemen penting dalam
terlaksananya corporate governance yang baik.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) tahun 2001 menyatakan
bahwa corporate governance bertujuan menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan. Menurut Pedoman Umum Corporate Governance Indonesia
(2006), terdapat lima prinsip dasar dalam penerapan corporate governance. yaitu
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Peran
penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada dewan komisaris
yang berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja BUMN serta sebagai penasihat
direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate covernance
yang baik (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Variabel proporsi komisaris independen sering digunakan untuk menguji
pengaruh corporate governace terhadap tingkat pengungkapan karena keefektifan
peran pengawasan oleh dewan komisaris didukung oleh keberadaan komisaris
independen dalam proporsi dewan komisaris (Permatasari, 2009). Penelitian
Andayani, Atmini, dan Mwangi (2008) menyatakan bahwa proporsi komisaris
perusahaan. Tugas dewan komisaris dalam memonitor kinerja manajemen dapat
dilihat dari jumlah rapat dewan komisaris, semakin banyak jumlah rapat dewan
komisaris, semakin meningkatkan kinerja perusahaan (Karamanou dan Vafeas, 2005).
Variabel pengalaman komisaris utama digunakan dalam penelitian ini karena
pengalaman komisaris utama dapat berpengaruh atas peningkatan nilai perusahaan
dan kinerja perusahaan (Artha, 2010). Komisaris utama yang memiliki pengalaman
kerja, dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugasnya (Martoyo, 2002).
Seorang komisaris utama lebih baik jika mempunyai pengalaman kerja, sehingga
dapat meningkatkan nilai perusahaan, seperti melakukan peningkatan kualitas dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
Dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan Keputusan
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. Kep-103/MBU/2002, dapat
membentuk komite audit untuk membantu melaksanakan tugas dewan komisaris dan
bekerja secara kolektif. Komite audit adalah salah satu komponen yang mendukung
terlaksananya corporate governance yang baik di perusahaan (FCGI, 2001). Sejalan
dengan hal tersebut, Ho dan Wong (2001) menyatakan bahwa dengan adanya komite
audit, perusahaan dapat lebih meningkatkan kualitas pelaporannya, sehingga
pengungkapan dalam laporan tahunan dapat diperluas sesuai dengan aktivitas
perusahaan sesungguhnya. Semakin independen komite audit, diharapkan dapat
memperbaiki internal control sehingga meningkatkan kualitas pengungkapan sosial
dan lingkungan perusahaan (Said, Zainuddin, dan Haron, 2009). Hasil penelitian
anggota independen dalam komite audit, semakin tinggi tingkat pengungkapan sosial
dan lingkungan.
Penelitian ini penting dilakukan karena beberapa hal, pertama karena BUMN
mempunyai tujuan untuk turut aktif dalam memberikan bimbingan dan bantuan
kepada masyarakat dan lingkungan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial.
Alasan kedua adalah karena BUMN memiliki bidang usaha yang luas, menyerap
tenaga kerja yang banyak, dan memiliki aset yang besar sehingga keberhasilan
pengelolaan BUMN berarti bagi negara. Penelitian ini pun melihat bahwa
pengembangan tata kelola BUMN belum menyentuh kepada substansi governance
dalam struktur dan mekanismenya, sehingga permasalahan BUMN belum
terselesaikan, misalnya tidak efisien, berdaya saing rendah, dan belum professional
(Syakhroza, 2005). Penelitian ini pun bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan antara BUMN yang listing
maupun yang non-listing di BEI. Alasan yang terakhir adalah penelitian mengenai
peran corporate governance terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan di BUMN
yang listing dan non-listing di BEI belum pernah dilakukan di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti melakukan penelitian2 dengan judul
“Peran Corporate Governance dalam Pengungkapan Sosial dan Lingkungan:
Studi Empiris Badan Usaha Milik Negara”.
2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pengaruh merupakan daya yang timbul dari
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, sehingga yang menjadi
pokok permasalahan adalah:
1. Apakah corporate governance mempengaruhi pengungkapan sosial dan
lingkungan?
2. Apakah terdapat perbedaan pengungkapan sosial dan lingkungan antara
perusahaan BUMN yang listing dan non-listing di Bursa Efek Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah implementasi corporate governance berpengaruh
terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
2. Mengetahui apakah terdapat perbedaan pengungkapan sosial dan lingkungan
antara perusahaan BUMN yang listing dan non-listing di Bursa Efek
Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap berbagai
pihak di bawah ini:
1. Dapat memberikan kontribusi terhadap literatur penelitian akuntansi
khususnya mengenai penerapan corporate governance terhadap
2. Bagi investor, dapat membantu memberikan gambaran mengenai
pengungkapan sosial dan lingkungan BUMN dengan melihat penerapan
corporate governance sehingga dapat mengambil keputusan investasi yang
tepat.
3. Bagi perusahaan, dapat membantu memberikan gambaran tentang kinerja
sosial dan lingkungan BUMN, dalam hal ini penerapan corporate governance,
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
keputusan di masa mendatang dan memberikan wacana tentang pentingnya
pengungkapan sosial dalam laporan tahunan untuk mencapai competitive
advantage di dunia bisnis.
4. Bagi akademisi, bisa dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya
disamping sebagai sarana untuk menambah wawasan.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat literatur
terkait dengan topik penelitian; kaitan variabel independen
pengembangan hipotesis.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang desain penelitian; populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel; data dan metode pengumpulan
data; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode
analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif dan pengujian
hipotesis.
BAB IV : Analisis Data
Bab ini menguraikan analisis deskriptif data; pengujian
hipotesis dan pembahasan hasil analisis.
BAB V : Penutup
Bab ini membahas kesimpulan mengenai obyek yang diteliti
berdasarkan hasil analisis data, menjelaskan mengenai
keterbatasan penelitian, dan memberikan saran bagi pihak yang
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setelah membahas pendahuluan di Bab I. Pada Bab II ini menjelaskan
mengenai tinjauan pustaka, kaitan corporate governance dengan pengungkapan sosial
dan lingkungan perusahaan, kerangka konseptual, dan pengembangan hipotesis dalam
penelitian ini.
A. Telaah Literatur
Tinjauan pustaka ini menjelaskan literatur yang mendasari komponen maupun
variabel penelitian.
1. Laporan Tahunan dan Pengungkapan
Laporan tahunan digunakan oleh perusahaan dalam menyampaikan informasi
financial maupun non-financial seperti pengungkapan sosial dan lingkungan kepada
stakeholders (Barako, 2007). Laporan tahunan tersebut dapat meyakinkan
stakeholders bahwa pengelolaan perusahaan dikontrol dengan baik oleh pihak
manajemen (Jaswadi dan Purnomo, 2006).
Definisi mengenai pengungkapan menurut Na’im dan Rakhman (2002) adalah
pengungkapan dalam arti sederhana dapat diartikan sebagai pengeluaran informasi
(the release of information). Informasi yang dikeluarkan perusahaan yaitu informasi
financial dan non-financial perusahaan, pengungkapan non-financial antara lain
adalah pengungkapan tentang praktik sosial dan lingkungan perusahaan yang dapat
dibuat dalam laporan tahunan maupun laporan pengungkapan yang terpisah (Guthrie
dan Matthews, 1990). Hal tersebut sejalan dengan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf Kesembilan yang menyatakan:
”Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
Barako (2007) menyatakan bahwa laporan tahunan menjadi topik yang menarik
karena praktik pengungkapan termasuk pengungkapan sosial dan lingkungan di
dalam laporan tahunan berhubungan dengan kredibilitas perusahaan dan kepercayaan
stakeholders.
Laporan tahunan berhubungan dengan kredibilitas perusahaan dan kepercayaan
stakeholders karena tujuan laporan tahunan antara lain adalah memberikan informasi
yang berguna dalam pengambilan keputusan investasi dan kredit, menjelaskan
sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan perubahannya
(Jaswadi dan Purnomo, 2006).
Schuster dan O’Connel (2006) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis
pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan oleh standar.
Pertama, pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah pengungkapan
informasi yang diharuskan untuk disampaikan oleh peraturan yang berlaku. Kedua,
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang melebihi
perusahaan dalam praktik sosial dan lingkungan. Madhani (2007) menyatakan bahwa
manfaat pengungkapan sukarela yang paling utama adalah dalam peningkatan
kredibilitas perusahaan. Pada saat perusahaan mempunyai kredibilitas, pemegang
pemegang saham dapat mendukung kebijakannya, bahkan saat kebijakan tersebut
menyebabkan berkurangnya laba perusahaan dalam jangka pendek.
Pengungkapan sosial dan lingkungan, sebagai salah satu bentuk pengungkapan
yang dapat membuat perusahaan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
perusahaan terkait dengan kinerja sosial dan lingkungan. Self-assesment melalui
pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan alat pembelajaran organisasi yang
dapat menyebabkan perubahan dinamis yang pada akhirnya diharapkan mampu
meningkatkan kinerja perusahaan (Utama, 2007).
2. Pengungkapan Sosial dan Lingkungan
Keluasan pengungkapan sosial dan lingkungan dapat digunakan untuk
memperoleh value added bagi perusahaan, meningkatkan kredibilitas perusahaan,
serta mampu meraih kepercayaan stakeholders (Rahayu, 2008; Madhani, 2007).
Keluasan pengungkapan sosial dan lingkungan berhubungan dengan kredibilitas
perusahaan dan kepercayaan stakeholders karena tujuan pengungkapan tersebut
adalah untuk membantu stakeholders dalam memperoleh gambaran umum serta dapat
mengevaluasi kinerja perusahaan terkait dengan ekonomi, lingkungan hidup, dan
Mathews (1997:483) mendefinisikan pengungkapan sosial dan lingkungan
sebagai berikut:
“Voluntary disclosures of information, both qualitative and quantitative made by organizations to inform or influence a range of audiences. The quantitative disclosures may be in financial or non-financial terms.”
Berdasarkan definisi tersebut, pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan
pengungkapan informasi sukarela, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang
dibuat oleh organisasi untuk menginformasikan aktivitasnya (Nurdin dan Cahyandito,
2006). Global Reporting Initiative (2006) pun menyebutkan bahwa sebaiknya laporan
tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya mengungkapkan praktik sosial dan
lingkungan perusahaan secara kualitatif tetapi juga berusaha mengkuantifikasi secara
keseluruhan atas dampak sosial dan lingkungan atas kegiatan perusahaan. Implikasi
dari pernyataan tersebut adalah bahwa sistem akuntansi perusahaan sebaiknya tidak
hanya mencatat pendapatan dan biaya perusahaan semata, tetapi juga mengestimasi
manfaat sosial (social benefit) dan biaya sosial (social cost) dari berbagai kegiatan
perusahaan, termasuk yang terkait dengan praktik sosial dan lingkungan perusahaan
(Utama, 2007).
Chambers (2008) mengidentifikasi pengungkapan sosial dan lingkungan
meliputi keterlibatan komunitas dan lingkungan, proses produksi dan hubungan yang
bertanggungjawab sosial terhadap karyawan. Pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan dapat dijelaskan sebagai bagian dari informasi financial dan non-financial
ke dalam laporan tahunan atau di dalam laporan sosial dan lingkungan yang terpisah
(Hackston dan Milne, 1996).
Menurut Gray, Owen, dan Adams (1996), pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan dapat diungkapkan melalui bermacam-macam media (laporan tahunan,
iklan, booklets, brosur, dan press releases), namun laporan tahunan tetap menjadi
yang sering digunakan dalam penelitian untuk menganalisis pengungkapan sosial dan
lingkungan seperti yang disebutkan oleh Kuasirikun (2004:635):
“…annual reports remain the most extensively used document in the analysis of corporate social reporting due (arguably) to their credibility, usefulness to various stakeholders, regularity, accessibility and completeness in terms of the company’s communication on social issues.”
Pengungkapan (disclosure) sosial dan lingkungan merupakan sebuah wujud
dari pertanggungjawaban sosial perusahaan (Hadi, 2006), sedangkan definisikan
pertanggungjawaban sosial atau corporate social responsibility (CSR) itu sendiri
menurut Robins (2005) adalah:
“CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing companies in a socially responsible manner.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial adalah
konsep yang tindakan etis perusahaan yang mengintegrasi perhatian sosial dan
lingkungan secara sukarela ke dalam operasi bisnis perusahaan dan memperhatikan
kepentingan stakeholders dengan harapan memberikan manfaat atau kesejahteraan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai peraturan yang mewajibkan
tanggung jawab sosial yang berbentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) yang diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 19 Tahun 2003, dimana
pasal 2 ayat 1 huruf e, menyebutkan bahwa:
“Salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.”
Pasal 88 ayat 1 menyebutkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba
bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil atau koperasi serta pembinaan
masyarakat sekitar BUMN. UU tersebut mewajibkan semua BUMN untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dalam bentuk PKBL.
Peraturan Menteri (Permen) Negara BUMN No. Per-05/MBU/2007 merupakan
peraturan praktik sosial dan lingkungan yang lebih terperinci dan merupakan
penjabaran dari UU No. 19 Tahun 2003, karena mengatur besaran dana (pasal 9),
tatacara pelaksanaan praktik sosial dan lingkungan BUMN, dan laporan pelaksanaan
PKBL (Pasal 21).
Melalui UU No. 19 Tahun 2003 dan Permen Negara BUMN No.
Per-05/MBU/2007, mewajibkan BUMN untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) serta
mewajibkan menyampaikan laporan praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan
tersebut.
Di berbagai perdebatan tentang Ke-CSR-an PKBL yang dilakukan oleh
CSR haruslah berada di luar regulasi. Menurut pandangan Suharto (2008), kalau CSR
bersifat wajib, singkatannya harus diubah menjadi Corporate Social Obligation
(CSO), karena kata “responsibility” merupakan tindakan yang bersifat sukarela.
Dahlsrud (2006) menyatakan bahwa berbagai definisi CSR secara konsisten
menunjukkan unsur sukarela (voluntary), yang berarti sebuah perusahaan
menjalankan terlebih dahulu seluruh ketentuan dalam peraturan legal, kemudian
menambahkan dengan hal yang melampaui apa yang diatur (beyond compliance).
Tabel 2.1
Perbandingan PKBL dengan CSR
PKBL CSR
Sifat Wajib Sukarela Sasaran Pemangku kepentingan eksternal
saja: pengusaha kecil (dalam Kemitraan) dan masyarakat setempat (dalam Bina Lingkungan)
Pemangku kepentingan internal (pemegang saham, karyawan dan keluarganya, dan lain-lain);
eksternal (masyarakat, media massa, pemerintah, organisasi masyarakat, dan lain-lain)
Sumber dana After profit Before profit
Pelaksanaan Tidak diwajibkan melakukan minimalisasi dampak negatif
Berdasarkan Tabel 2.1 terdapat perbedaan yang membuktikan bahwa PKBL
milik BUMN masih belum bisa dianggap sebagai CSR yang sesungguhnya. PKBL
tidak mewajibkan perusahaan untuk terlebih dahulu meminimumkan dampak
negatifnya, PKBL tidak mengurus para pemangku kepentingan internalnya, PKBL
merupakan pengeluaran yang disandarkan atas keuntungan dan bukan dipandang
sebagai investasi oleh perusahaan (Lingkar Studi CSR, 2007).
Tabel 2.2
Indikator GRI (2006) dan Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia
Indikator GRI Regulasi di Indonesia
Indikator Lingkungan 1. UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 2. UU RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Aspek Hak Asasi Manusia 1. UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
2. UU RI No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan ECOSOC
Aspek Masyarakat UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sumber: GRI (2006) dan www.csrindonesia.com (2010).
Di Indonesia, ketentuan mengenai kewajiban praktik tanggung jawab sosial dan
lingkungan dapat ditemukan dalam Undang-undang (UU) maupun Peraturan
sosial dan lingkungan dari GRI (2006). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Berdasarkan Tabel 2.2, aspek sosial dan lingkungan dari GRI sejalan dengan
peraturan di Indonesia, yaitu:
1. Aspek lingkungan
2. Aspek sosial: tanggung jawab produk, praktik tenaga kerja dan pekerjaan yang layak, hak asasi manusia, dan masyarakat.
Aspek sosial dan lingkungan yang dipakai mengacu pada Sustainability
Reporting Guidelines tahun 2006 (G3) yang dikeluarkan oleh Global Reporting
Initiative (GRI). Guidelines dari GRI dipilih karena semakin banyak perusahaan di
dunia yang menggunakan GRI (Ballou, Heitger, dan Landes, 2006) dan per 15
Desember 2010 jumlahnya mencapai hampir 2537 perusahaan di lebih dari 60 negara
(GRI Report List, 2010). Di Indonesia terdapat enam BUMN yang sudah menerapkan
G3, yaitu PT Antam Tbk, PT TB Bukit Asam Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT PGN Tbk,
PT Telkom Tbk, dan PT Timah Tbk. Pemilihan tahun sampel (tahun 2007-2009)
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengungkapan sosial dan
lingkungan pada BUMN sejak dikeluarkannya edisi terbaru guidelines untuk
sustainability reporting dari GRI pada tahun 2006.
Peraturan Menteri Negara BUMN No. Kep-5/MBU/2007 merupakan landasan
utama yang mengatur pelaksanaan pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungan bagi BUMN di Indonesia. Kementerian Negara BUMN merupakan
lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi BUMN di Indonesia, oleh karena
dipatuhi dan dilaksanakan oleh BUMN di Indonesia. Bagi BUMN yang berbentuk PT
harus mematuhi dan melaksanakan UU RI No. 40 Tahun 2007 yang mengatur
kewajiban perseroan untuk melaporkan tanggung jawab sosial perusahaan. Terdapat
pula Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. Kep-13BL/2006 yang mengatur
kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi BUMN yang sudah go public di Bursa
Efek Indonesia. Peraturan tersebut memuat ketentuan mengenai pengungkapan
praktik dan biaya yang dikeluarkan perusahaan yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan di dalam laporan tahunan.
Di Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) belum mewajibkan
perusahaan untuk mengungkapkan informasi lingkungan hidup (Suhardjanto, 2008).
SAK merupakan standar yang mengatur pelaporan keuangan, namun belum ada
standar yang mengatur pelaporan yang sifatnya non-keuangan (Hasyir, 2009). Tidak
adanya standar mengenai item kinerja apa saja yang digunakan sebagai dasar
pengukuran tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan dikarenakan
belum adanya regulasi yang baku mengenai aspek sosial dan lingkungan apa saja
yang harus diungkapkan oleh perusahaan di Indonesia (Utama, 2007).
Dalam peraturan yang ada tidak dijelaskan secara spesifik mengenai item apa
saja yang harus diungkapkan. Hal tersebut menjadikan penafsiran yang berbeda antar
satu BUMN dengan BUMN lainnya mengenai item apa saja yang harus diungkapkan
dalam laporan tahunan. Berdasarkan hal tersebut, item pengungkapan sosial dan
lingkungan dalam penelitian ini menggunakan item Sustainability Reporting
Supaya pengungkapan sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan mencukupi
kebutuhan informasi para stakeholders dan sesuai dengan peraturan yang ada,
diperlukan adanya perbaikan praktik corporate governance. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Cooper dan Owen (2007) yang menyatakan bahwa pengungkapan
saja tidaklah cukup untuk tercapainya akuntabilitas, pengungkapan tersebut perlu
didukung oleh governance yang dapat mendorong perusahaan untuk melaksanakan
dan melaporkan praktik sosial dan lingkungan perusahaan secara obyektif.
3. Sustainability Reporting Guidelines
Penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan saat ini
berkembang pesat di Indonesia adalah sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek
lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai
bagian dari pengelolaan risiko usaha menuju sustainability (keberlanjutan) dari
kegiatan usahanya (Daniri, 2007). Sejalan dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat dan perusahaan atas pentingnya pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan, kebutuhan terhadap standar pelaporan yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam membuat laporan pun meningkat, namun hingga kini belum ada
kesepakatan standar mana yang dapat diberlakukan secara global sehingga terdapat
variasi dalam pelaporan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Utama, 2007).
Beberapa item pelaporan sosial dan lingkungan yang dikembangkan oleh
peneliti sebelumnya antara lain adalah Guidelines Reporting Initiative (GRI) yang
(2008) di Indonesia. Domini Social Index dan Jantzi Sosial Index digunakan di dalam
penelitian Fauzi, Mahoney, dan Rahman (2007).
GRI memfokuskan pengungkapan pada kinerja ekonomi, sosial, dan
lingkungan perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan pemanfaatan
sustainability reporting (Utama, 2007). Standar pengungkapan dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu strategi, profil pendekatan manajemen, dan indikator kinerja. Indikator
kinerja dibagi menjadi tiga komponen, yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial
yang mencakup hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan dan lingkungan kerja,
tanggung jawab produk, dan hubungan dengan masyarakat.
Di dalam penelitian ini, indikator kinerja yang digunakan adalah dua dari tiga
komponen G3, yaitu kinerja sosial dan kinerja lingkungan hidup. Dua indikator
kinerja tersebut dipakai karena penelitian ini menganalisis pengungkapan sosial dan
lingkungan pada BUMN. Global Reporting Initiative (2006) merekomendasikan
beberapa aspek lingkungan dan sosial yang selayaknya diungkapkan dalam laporan
tahunan, yaitu terdapat sembilan aspek lingkungan dan 22 aspek sosial. 31 aspek
tersebut yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat pengungkapan sosial dan
lingkungan dalam laporan tahunan BUMN. Aspek indikator kinerja sosial dan
Tabel 2.3
Daftar Aspek Kinerja Sosial dan Lingkungan
Global Reporting Initiative 2006
Aspek Indikator Kinerja Lingkungan 6- Pekerjaan
1- Material 7- Tenaga kerja atau Hubungan Manajemen 2- Energi 8- Kesehatan dan Keselamatan Jabatan 3- Air 9- Pelatihan dan Pendidikan
4- Keanekaragaman Hayati 10- Keberagaman dan Kesempatan Setara 5- Emisi, Efluen dan Limbah 11- (Praktik) Investasi dan Pengadaan 6- Produk dan Jasa 12- Non-diskriminasi
7- Kepatuhan 13- Kebebasan Berserikat dan Perjanjian Bersama 8- Pengangkutan atau Transportasi 14- Pekerja Anak
9- Menyeluruh 15- Kerja Paksa dan Kerja Wajib 16- Praktek Pengamanan
Aspek Indikator Kinerja Sosial 17- Hak Penduduk Asli 1- Kesehatan dan Keamanan Pelanggan 18- Komunitas 2- Pemasangan Label bagi Produk dan Jasa 19- Korupsi
3- Komunikasi Pemasaran 20- Kebijakan Publik 4- Keleluasaan Pribadi (privacy) Pelanggan 21- Kelakuan Tidak Bersaing 5- Kepatuhan Penggunaan Produk dan Jasa 22- Kepatuhan Hukum dan Peraturan
4. Corporate Governance
Salah satu akar penyebab timbulnya krisis ekonomi di Indonesia dan berbagai
negara Asia pada tahun 1997 adalah buruknya pelaksanaan corporate governance di
hampir semua perusahaan yang ada saat itu, baik state-owned enterprises maupun
perusahaan swasta (Baird, 2000). Buruknya pelaksanaan corporate governance,
mengakibatkan penurunan tingkat kepercayaan investor, sehingga investor lebih
memilih untuk menanamkan modalnya di negara yang mempunyai aplikasi corporate
FCGI (2001) menyatakan bahwa corporate governance adalah seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan,
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang saham intern dan eksteren
lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka.
Forum for Corporate Governace in Indonesia (2000: 1) mendefinisikan
corporate governance sebagai:
"Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan."
Tujuan corporate governance pada intinya adalah menciptakan nilai tambah
bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam praktiknya corporate governance
berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi,
hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan
beberapa versi yang menyangkut prinsip corporate governance, namun pada
dasarnya mempunyai banyak kesamaan (Arifin, 2005).
Menurut Pedoman Umum Corporate Governance Indonesia (2006), terdapat
lima prinsip dasar dalam penerapan corporate governance. Prinsip tersebut
digunakan untuk mengukur seberapa jauh corporate governance diterapkan di dalam
perusahaan. Penjelasan kelima prinsip dasar menurut KNKG (2006) adalah:
a. Transparansi (transparency). Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan
kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor
karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas,
akurat, tepat waktu, dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang
sama. Dengan kata lain prinsip transparansi ini menghendaki adanya
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki
perusahaan.
b. Akuntabilitas (accountability). Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan
adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit pengawasan
yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan
komisaris, direksi independen, dan komite audit. Praktik-praktik yang
diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya
pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan
pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan
kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran
direksi.
c. Responsibilitas (responsibility). Responsibilitas diartikan sebagai tanggung
jawab perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi peraturan
dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan
sosial. Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk
mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang
d. Independensi (Independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas
corporate governance, perusahaan harus dikelola secara independen
sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
e. Kewajaran dan kesetaraan (fairness). Prinsip kewajaran menekankan pada
adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham
minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta
investor lainnya.
Li dan Qi (2008) menyatakan bahwa corporate governance dapat memberikan
jaminan kualitas terhadap informasi akuntansi yang diungkapkan. Corporate
governance yang baik dapat menguatkan kontrol internal perusahaan dan dapat
mengurangi perilaku oportunis manajemen dan mengurangi asimetri informasi.
Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa
manajer mampu memberikan keuntungan bagi investor, yakin bahwa manajer tidak
berkeinginan mencuri, menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek yang
tidak menguntungkan berkaitan dengan dana yang ditanamkan oleh investor dan
berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para manajer (Shleifer dan
Vishny, 1997).
FCGI (2001) menjelaskan bahwa di Indonesia yang sebagian besar hukumnya
berasal dari Belanda, civil law menjadikan setiap PT memiliki dua dewan (two tiers
wewenang pengelolaan (dewan direksi) dan pengawasan (dewan komisaris)
perusahaan (Maksum, 2005).
Definisi dewan komisaris menurut UUPT No. 40 tahun 2007 adalah organ
perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Peran penting dalam
melaksanakan corporate governance berada pada dewan komisaris yang berfungsi
sebagai pengawas aktifitas dan kinerja serta sebagai penasihat direksi dalam
memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate covernance yang baik
(KNKG, 2006). Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris
non-independen. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari
pihak terafiliasi (KNKG, 2006).
Peraturan Menteri BUMN No. 5 tahun 2006 pasal 3 yang mengatur tugas
komite audit mengenai perannya dalam membantu komisaris untuk memastikan
efektivitas sistem pengendalian internal. Komite audit juga membantu untuk
memastikan akuntansi keuangan dan sistem pengendali bekerja dengan baik sehingga
pembentukan komite audit dimaksudkan untuk menyediakan sebuah kemudahan
untuk auditor eksternal perusahaan untuk mengkomunikasikan hasil audit mereka
(Nasir dan Abdullah, 2005). Ho dan Wong (2001) menyatakan bahwa komite audit
B. Kaitan Corporate Governance dengan Pengungkapan Sosial dan
Lingkungan
Salah satu tujuan perusahaan mengeluarkan pelaporan praktik sosial dan
lingkungan adalah untuk mendapatkan citra positif dari masyarakat, sehingga
perusahaan dimungkinkan hanya mengungkapkan informasi yang positif mengenai
perusahaan (Hartanti, 2003). Tujuan demi citra positif semata dapat mengakibatkan
berkurangnya kualitas pengungkapan sosial dan lingkungan karena laporan tersebut
tidak menggambarkan kegiatan perusahaan yang sebenarnya (Utama, 2007). Menurut
Said, Zainuddin, dan Haron (2009), diperlukan mekanisme corporate governance
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan. Prinsip responsibilitas menyatakan bahwa perusahaan harus
mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan (KNKG, 2006), sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang. Hal tersebut sejalan dengan teori
stakeholders dimana tujuan perusahaan tidak hanya untuk memaksimumkan
kekayaan pemegang saham, namun juga memikirkan kepentingan pemangku
kepentingan yang lain (Gray, Owen, dan Adams, 1996). Prinsip transparansi pun
dapat meningkatkan kualitas pengungkapan karena keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang material dan relevan mengenai perusahaan, dapat
menyebabkan laporan praktik sosial dan lingkungan mudah dipahami oleh semua
Corporate governance yang dijalankan dengan benar dapat berpengaruh
terhadap pelaporan perusahaan (Eng dan Mak, 2003), termasuk pengungkapan sosial
dan lingkungan sehingga diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi antara
perusahaan dan stakeholders. Ettredge, Johnstone, Stone, dan Wang (2010)
menemukan bukti bahwa kualitas corporate governance memiliki hubungan positif
dengan kepatuhan pengungkapan.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), dewan komisaris
bertugas mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasehat kepada direksi dan
memantau efektifitas praktik corporate governance yang diterapkan perusahaan.
Keberadaan komisaris independen diharapkan dapat meningkatkan efektifitas
corporate governance karena komisaris independen dituntut untuk lebih
mengutamakan kepentingan seluruh stakeholders (Utama, 2007). Ettredge,
Johnstone, Stone, dan Wang (2010) menyatakan bahwa komisaris independen
berpengaruh positif secara signifikan terhadap pengungkapan. Menurut Keputusan
Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002, dewan komisaris wajib
menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan.
Dalam keadaan perusahaan yang membutuhkan kontrol yang ketat, dewan komisaris
seharusnya meningkatkan frekuensi rapatnya (Khanchel, 2007). Peningkatan
frekuensi rapat dewan komisaris dapat membenahi kinerja perusahaan yang buruk
dengan lebih cepat (Vafeas, 1999). Berdasarkan hal tersebut, semakin banyak rapat
yang dilakukan oleh dewan komisaris, semakin mendorong perbaikan kualitas
Variabel lain yang dapat digunakan untuk menguji pengaruh corporate
governance terhadap pengungkapan adalah pengalaman komisaris utama karena
dengan pandangan dan pengalaman yang luas, seperti memiliki pemahaman di bidang
sosial, budaya, dan lingkungan, komisaris utama dapat mengembangkan
pengungkapan tanggung jawab sosial di perusahaannya (Utama, 2007). Diharapkan
dengan pengalaman sosial, budaya, dan lingkungan komisaris utama dapat
meningkatkan kualitas pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
Menurut Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002,
komite audit adalah komite yang bekerja secara kolektif dengan dewan komisaris dan
berfungsi membantu komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit bertugas
untuk memastikan bahwa terdapat prosedur review yang memuaskan terhadap
informasi yang dikeluarkan BUMN, termasuk brosur, laporan keuangan berkala,
forecast, dan lain-lain informasi keuangan yang disampaikan kepada pemegang
saham. Dalam pasal 4 ayat 1 Kepmen BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002, komite
audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga anggota, terdiri satu anggota dewan
komisaris dan dua orang ahli yang bukan pegawai BUMN yang bersangkutan. Salah
satu dari anggota tersebut merupakan anggota dewan komisaris yang sekaligus
merangkap sebagai ketua. Anggota independen komite audit tidak terafiliasi dengan
perusahaan dan terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari (FCGI, 2001) sehingga
kemandiriannya dalam membantu dewan komisaris dapat dipercaya. Keberadaan
anggota komite audit independen, mempunyai pengaruh yang sama seperti komisaris
Courtenay, 2006). Keberadaan anggota independen komite audit dapat
mempengaruhi secara positif terhadap kualitas pengungkapan yang dilakukan oleh
perusahaan (Ho dan Wong, 2001).
Di dalam penelitian Ho dan Wong (2001) menjelaskan bahwa corporate
governance diperkenalkan untuk memastikan bahwa manajemen bertindak sesuai
dengan tujuan perusahaan. Praktik yang baik atas corporate governance dapat
meningkatkan kualitas pengungkapan di laporan tahunan (Ho dan Wong, 2001).
C. Skema Konsep Penelitian
Di bawah ini adalah kerangka mengenai hubungan masing-masing variabel:
Variabel Dependen Variabel Independen
H1 (+) 1. Proporsi komisaris
independen (X1)
Pengungkapan H2 (+) 2. Frekuensi rapat
Step Sosial dan dewan komisaris (X2)
Pengungkapan BUMN listing di BEI
Step Sosial dan
II Lingkungan
(Y) BUMN non-listing di BEI
Berdasarkan konsep tersebut dapat diketahui bahwa model penelitian ini terdiri
dari dua tahap. Tahap pertama adalah model regresi untuk menjelaskan pengaruh
corporate governance yang direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen,
jumlah rapat dewan komisaris, pengalaman komisaris utama, dan proporsi komite
audit independen ditambah satu variabel kontrol yaitu profitabilitas. Tahap kedua
adalah uji beda t (t-test) untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak
berhubungan memiliki nilai rerata yang berbeda. Sampel yang diuji beda t adalah
skor pengungkapan sosial dan lingkungan antara BUMN yang listing dan non-listing
di Bursa Efek Indonesia (BEI).
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji implementasi corporate
governance (proporsi dewan komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris,
pengalaman komisaris utama, dan proporsi komite audit independen). Berikut ini
merupakan pengembangan hipotesis yang dilakukan:
1. Pengaruh proporsi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan sosial
dan lingkungan
Keberadaaan komisaris independen dalam dewan komisaris dapat
meningkatkan kontrol terhadap aktivitas manajemen (Permatasari, 2009). Komisaris
yang berasal dari luar perusahaan dapat meningkatkan keefektifan dewan komisaris
dalam melakukan fungsi utamanya, yaitu mengawasi pengelolaan perusahaan oleh
Hasil penelitian yang dilakukan di Hong Kong oleh Ho dan Wong (2001)
menemukan bukti bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
tingkat keluasan pengungkapan termasuk pengungkapan sosial dan lingkungan. Di
Indonesia, penelitian dilakukan oleh Andayani, Atmini, dan Mwangi (2008)
menemukan bukti bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
pengungkapan sosial dan lingkungan. Diharapkan dengan semakin besarnya proporsi
komisaris independen, semakin meningkatkan keluasan pengungkapan sosial dan
lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikembangkan hipotesis:
H1: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan sosial dan lingkungan
2. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan sosial
dan lingkungan
Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan
pertemuan rutin melalui rapat dewan komisaris. Menurut Keputusan Menteri BUMN
No. Kep-117/M-MBU/2002, dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Andersson dan Daoud (2005) menemukan bahwa jumlah rapat dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan. Penelitian yang dilakukan oleh
Brick dan Chidambaran (2007) menemukan bukti bahwa semakin tinggi frekuensi
rapat yang diselenggarakan dewan komisaris, semakin meningkatkan kinerja