• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Regresi Logistik

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 35-41)

5.4 Model Kesesuaian Habitat

5.4.3 Analisis Regresi Logistik

Variabel bebas yang digunakan untuk membangun model regresi logistik adalah lima variabel bebas yang tidak memiliki kolinearitas ganda berdasarkan nilai tolerasi dan nilai VIF yaitu ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, serta kelerengan. Hasil analisis regresi logistik

98

biner dengan metode Enter pada SPSS 17 dengan taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 15.

Pada Tabel 15 ditunjukkan bahwa kelima variabel bebas yang dianalisis seluruhnya memiliki taraf nyata secara statistik (Sig < 0,05). Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat nilai-nilai sebagai berikut:

Konstanta = -1,149

Konstanta variabel ketinggian (elv) = -1,563 Konstanta variabel jarak sungai (jsg) = -0,205 Konstanta variabel jarak tepi hutan (jth) = -1,021 Konstanta variabel NDVI (ndvi) = 3,724 Konstanta variabel slope (slp) = 0,062

Dengan demikian persamaan regresi logistik kesesuaian habitat harimau translokasi yang terbentuk adalah sebagai berikut:

Z = -1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp)

Tabel 15. Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter terhadap variabel bebas.

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a) Ketinggian -1,563 0,064 595,028 1 0,000 ,210 Sungai -,205 0,010 435,361 1 0,000 ,815 Edge/tepi -1,021 0,178 32,947 1 0,000 ,360 NDVI 3,724 0,277 181,124 1 0,000 41,437

Slope ,062 0,004 285,582 1 0,000 1,064

Constant -1,149 0,171 45,010 1 0,000 ,317

Selanjutnya, melalui persamaan yang terbentuk dapat diprediksi kehadiran (presence) harimau sumatera translokasi pada wilayah studi sebagai berikut:

1

P =

1 + e

-(-1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp)) Keterangan: P= probabilitas; e adalah bilangan alam = 2,7182818

99

Secara umum hasil analisis yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa variabel ketinggian, jarak dari sungai dan jarak dari tepi hutan memberikan pengaruh yang negatif terhadap model regresi yang terbentuk. Semakin tinggi, semakin jauh dari sungai serta semakin jauh satu areal dari tepi hutan, maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Sementara, variabel NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh positif terhadap model, yang menunjukkan bahwa semakin rapat satu vegetasi (semakin berhutan) dan semakin curam satu areal maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Melalui nilai koefisien regresinya, dapat ditentukan bahwa NDVI merupakan variabel lingkungan yang paling berpengaruh pada model, sedangkan kelerengan/slope merupakan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap model yang disusun.

Areal studi di hutan Blangraweu, Ulu Masen, merupakan kawasan daratan rendah yang berpadu dengan perbukitan hingga pegunungan dengan variasi ketinggian mulai 0 meter sampai 2.771 meter dpl (Lampiran 16). Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi ketinggian tempat atau elevasi adalah sebesar -1,563. Ini berarti semakin tinggi satu lokasi maka semakin kecil kemungkinannya bagi kehadiran harimau. Pemodelan yang dilakukan Wibisono et al. (2011) menunjukkan bahwa harimau sumatera umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah. Ketinggian merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan (Jin et al. 2008). Adanya perbedaan ketinggian menyebabkan terjadinya variasi iklim yang berpengaruh pada keragaman jenis tumbuhan. Kawasan hutan dataran rendah memiliki keragaman tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Keragaman jenis tumbuhan pada satu kawasan berpengaruh terhadap keragaman jenis satwa yang ada di dalamnya. Satwa mangsa utama harimau merupakan herbivora yang memerlukan tumbuhan sebagai sumber pakan.

100

Dalam hasil penelitiannya, Putri (2010) menyatakan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas bagi harimau sumatera untuk memilih habitatnya. Namun Santiapillai & Ramono (1993) menjelaskan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak), yang merupakan hewan mangsa utama harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl.

Air dipergunakan satwaliar untuk minum dan berkubang (Alikodra 1990). Tersedianya sumber air juga merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup harimau (Sunquist & Sunquist 1989). Analisis euclidean distance menunjukkan bahwa jarak kehadiran harimau translokasi dari sungai bervariasi antara 0 – 16.364 meter (Lampiran 17). Koefisien regresi jarak dari sungai sebesar -0,205 (Tabel 15), berarti bahwa semakin jauh jarak suatu tempat dari sungai maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan Imam et al. (2009) dan Putri (2010) yang menyatakan bahwa semakin dekat satu areal dengan sumber air maka semakin sesuai bagi habitat harimau.

Dinata & Sugardjito (2008) juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kesesuaian habitat harimau sumatera dengan jarak ke sungai. Menurut mereka harimau sumatera di TNKS menyukai areal-areal yang dekat alur sungai. Daerah dekat sungai merupakan daerah yang paling banyak dimanfaatkan oleh satwa liar termasuk hewan ungulata yang menjadi mangsa utama harimau, karena kebutuhan terhadap air dan daerah dekat sungai juga merupakan daerah aluvial yang kaya akan nutrisi. Strategi predator selalu mencari tempat-tempat hewan mangsa berkumpul agar mudah melakukan penyergapan. Hewan mangsa biasanya berkumpul pada tempat-tempat sumber pakan yang melimpah, dimana daerah

101

pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat subur untuk jenis jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan hewan mangsa. Harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan.

Areal-areal tepi hutan (edge) merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting pada daerah jelajah harimau sumatera. Daerah peralihan antara vegetasi hutan dengan areal tebuka (ekoton) merupakan tempat yang disukai berbagai jenis satwa ungulata untuk mencari pakan. Jarak antara kehadiran harimau sumatera translokasi terhadap batas hutan terdekat bervariasi antara 0 – 1.600 meter (Lampiran 18). Variabel jarak dari tepi hutan pada model regresi logistik yang tersusun menunjukkan korelasi negatif yaitu sebesar -1,021 (Tabel 15). Hal ini artinya bahwa semakin jauh jarak suatu areal dari tepi hutan maka areal tersebut semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Keberadaan harimau translokasi pada areal-areal tepi hutan sangat erat kaitannya dengan upaya perburuan hewan mangsa. Nahlik et al (2009) melaporkan bahwa rusa merah (Cervus elaphus) menggunakan areal terbuka di dalam daerah jelajahnya sebagai tempat mencari pakan, sementara hutan dijadikannya sebagai tempat berlindung dari pemangsaan predator dan gangguan manusia. Pada saat yang sama hutan juga memberikan perlindungan bagi rusa dari panas pada siang hari. Beberapa studi juga melaporkan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata, yang merupakan mangsa harimau, adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan. Sementara vegetasi hutan berfungsi sebagai cover untuk perlindungan (Williamson & Hirth 1985, Tufto et al. 1996 diacu dalam Masse & Cote 2009). Sementara itu, Masse & Cote (2009) menyatakan bahwa rusa mencari pakan di areal-areal tepi hutan pada kawasan dimana terdapat satwa predator, sedangkan pada kawasan dimana tidak terdapat predator rusa dapat mencari

102

pakan ke tengah areal terbuka jika areal tersebut menyediakan sumber pakan bagi mereka.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NDVI pada lokasi studi di kawasan hutan Blangraweu, Ulu Masen, berkisar antara -0,467 hingga 0,802 (Lampiran 19). NDVI berkaitan dengan derajat kehijauan dan kandungan biomasa relatif suatu vegetasi. Hal ini memberikan gambaran bahwa lokasi studi mayoritas merupakan kawasan berhutan lebat yang terdapat di dalam KHUM dengan sebagian kecil areal-areal terbuka (perladangan dan pemukiman) di luar batas kawasan. Hasil penelitian Syartinilia & Tsuyuki (2008) menunjukkan bahwa vegetasi berhutan memiliki nilai NDVI antara 0,1 – 0,7. Sementara, NDVI yang mendekati nilai 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan dan nilai NDVI yang kurang dari 0 umumnya merupakan badan air atau areal tanpa vegetasi (Justice et al. 1985 diacu dalam Roger et al. 2007).

Koefisien regresi NDVI sebesar 3,724 (Tabel 15) memberikan korelasi positif terhadap model regresi yang disusun. Artinya semakin tinggi kandungan biomassa relatif atau semakin tinggi derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa NDVI berkorelasi positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau (Caroll & Larson 2008, Imam et al. 2009, Singh et al. 2009). Harimau memerlukan vegetasi dengan tajuk yang rapat sebagai tempat berlindung dari panas matahari, beristirahat dan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika mengintai mangsanya.

Variasi tingkat kelerengan atau slope pada area studi berkisar antara 0% (datar) hingga 79,4% (sangat curam) (Lampiran 20). Analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa tingkat kehadiran harimau sumatera translokasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya nilai kelerengan. Namun dengan nilai koefisien regresi 0,062 (Tabel 15) dapat diterangkan bahwa variabel kelerengan pengaruhnya sangat kecil terhadap model regresi logistik yang dibangun. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hasil

103

studi terdahulu yang menyatakan bahwa kelerengan atau slope tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau, baik di Sumatera maupun di India (Endri 2006, Imam 2009, Singh et al. 2009).

Berbeda dengan hasil penelitian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menemukan bahwa habitat harimau semakin tidak sesuai dengan semakin meningkatnya nilai kelerengan suatu areal. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh metode pengumpulan data. Kehadiran harimau sumatera pada penelitian Putri (2010) ditetapkan melalui data sekunder, seperti posisi penempatan camera trapping yang merekam gambar harimau, tanda kotoran, serta tanda cakaran harimau. Penentuan lokasi kehadiran harimau dengan cara ini sangat mengandung bias, karena mungkin saja data-data kehadiran harimau tersebut hanya mewakili areal-areal bertopografi datar atau landai saja. Sementara itu, areal-areal bertopografi curam dan sangat curam yang sangat sulit dijangkau tidak terwakili. Data kehadiran harimau sumatera pada penelitian ini ditentukan berdasarkan data primer yang langsung diambil dari harimau hidup melalui kalung GPS, sehingga memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Namun, memang data kehadiran harimau pada penelitian ini dikumpulkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan ke kawasan yang didominasi dengan topografi curam dan sangat curam, sehingga tidak dapat mewakili harimau sumatera secara keseluruhan. Seidensticker et al. (1999) menyatakan bahwa harimau cenderung lebih menyukai areal dengan topografi datar dan bergelombang.

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 35-41)

Dokumen terkait