• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Habitat

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 26-33)

Seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwa liar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap (Morris 2003). Khan & Chivers (2007) menyatakan bahwa ada indikasi bahwa harimau memiliki kesukaan (preferensi) terhadap satu habitat tertentu yang disesuaikan dengan beberapa aktivitasnya.

Hasil overlay data posisi dengan peta tutupan vegetasi memperlihatkan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan terbukti secara signifikan mempunyai preferensi terhadap tipe habitat tertentu di masing-masing lokasi dimana mereka dilepas-liarkan (Tabel 11). Analisis preferensi dengan metode Neu juga mempertegas bahwa setiap harimau translokasi memilih tipe tutupan vegetasi tertentu sebagai habitat utamanya.

89

Tabel 11. Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di masing -masing lokasi pelepas-liaran.

Harimau Lokasi Hasil uji Chi-square Habitat yang paling disukai (nilai indeks Neu/W)

JD-1 TNBBS χ2

hitung= 304,04 > χ2

0,05;5= 11,07

Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,18)

JD-2 TNBBS χ2

hitung= 2.840,72 > χ2

0,05;5= 11,07

Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,21)

JD-3 TNGL χ2

hitung= 306,96 > χ2

0,05;8= 15,51

Hutan pegunungan rendah (W= 1,41)

JD-5 TNKS χ2

hitung= 3.551,99 > χ2

0,05;9= 16,92

Hutan dataran rendah (W= 1,98)

BD-1 EUM χ2

hitung= 3.234,16 > χ2

0,05;6= 12,59

Belukar/hutan sekunder muda (W= 2,17)

Harimau JD-1 dan JD-2 yang diliarkan di TNBBS serta JD-5 di TNKS, mereka menggunakan tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda dengan intensitas yang sangat tinggi (93,4%, 96,3% dan 58,6%). Hal ini terjadi karena memang tipe tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda mendominasi lansekap dimana mereka dilepas-liarkan (79,4% di TNBBS dan 41,6% di TNKS). Tingginya intensitas penggunaan vegetasi belukar/hutan sekunder muda sangat erat kaitannya dengan kesukaan hewan mangsa utama harimau (ungulata/herbivora) mencari makan pada areal-areal tersebut. Namun, harimau-harimau tersebut juga menggunakan hutan dataran rendah sebagai habitat yang juga digunakan dengan intensitas tinggi kedua. Demikian pula dengan harimau JD-3 yang dilepas-liarkan di TNGL, mengkombinasikan penggunaan hutan pegunungan rendah (42,8%) dengan hutan dataran rendah (30,1% ) sebagai habitat utamanya. Hal ini juga terjadi karena kedua tipe tutupan vegetasi tersebut memang mendominasi lansekap dimana JD-3 ditranslokasikan. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa setiap harimau memang memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu, namun pemilihan ini selalu didasarkan atas tipe habitat alami yang mendominasi kawasan tempat mereka dilepas-liarkan (Gambar 15, 16, 17,18 dan 19). Dinata & Sugardjito (2008) menyatakan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya, karena

90

hutan dataran rendah dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa utamanya. Rajapandian (2009) menginformasikan bahwa di kawasan Terai Arc, India, harimau menyenangi habitat-habitat hutan lebat yang kesesuaiannya tinggi dengan hewan mangsa utama mereka.

Selain itu, terbukti juga bahwa keberadaan tutupan habitat hutan tetap penting bagi kehidupan harimau. Meskipun Sunquist et al. (1999) menyatakan bahwa secara global harimau menghuni berbagai tipe habitat dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan, namun hasil penelitian Sunarto et al. (2012) telah membuktikan bahwa harimau di Sumatera merupakan satwa yang sangat bergantung pada dan lebih menyukai kawasan hutan alam. Menurut mereka, harimau juga menggunakan kawasan perkebunan sawit dan hutan akasia, namun proporsinya sangat kecil dibandingkan dengan luas kawasan yang tersedia. Hasil studi ini di lokasi translokasi TNKS mendukung pernyataan tersebut, dimana meskipun perkebunan sawit menutupi 18,5% lansekap pelepas-liaran di TNKS, harimau JD-5 hanya menggunakan 0,6% frekuensi waktunya di kawasan perkebunan sawit. Selain itu, Maddox et al. (2007) juga berpendapat bahwa harimau sumatera sering menggunakan lahan belukar/hutan sekunder muda di kawasan perkebunan sawit, namun tidak memasuki wilayah interior dari areal yang sudah ditanami pohon sawit. Sunarto (2011) mengemukakan bahwa harimau sumatera umumnya terdeteksi di areal-areal yang memiliki kerapatan vegetasi bawah yang rapat.

91

Gambar 15. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-1) di TNBBS.

Gambar 16. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-2) di TNBBS.

92

Gambar 17. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-3) di TNGL.

Gambar 18. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-5) di TNKS.

93

Gambar 19. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (BD-1) di KHUM.

5.3.1 Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan setiap tipe habitat utama pada siang hari dan malam hari oleh masing-masing harimau di lokasi translokasi ada sedikit perbedaan. Harimau jantan JD-1 yang translokasikan ke TNBBS menggunakan habitat belukar/hutan sekunder muda sebesar 93,6% pada siang hari dan 93,3% pada malam hari. Harimau JD-3 di TNGL menghabiskan 62,2% waktu siangnya dan 58,2% waktu malamnya di habitat hutan pegunungan rendah. Sementara itu, harimau JD-5 menggunakan 54,1% waktu siangnya dan 62,3% waktu malamnya di habitat belukar/hutan sekunder muda. Sebaliknya, harimau betina BD-1 menggunakan 56,7% waktu siangnya dan 55,1% waktu malamnya menjelajah habitat semak/hutan sekunder muda (Tabel 12).

94

Tabel 12. Persentase penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi.

Tipe habitat/tutupan vegetasi

Persentase frekuensi penggunaan (%) Harimau JD-1 Harimau JD-3 Harimau JD-5 Harimau BD-1 S M S M S M S M Pearairan 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 Bakau 0,1 0,2

Hutan rawa gambut

Hutan dataran rendah 6,4 5,7 32,2 35,2 43,9 34,2 9,2 8,7

Hutan pegunungan rendah 62,2 58,2 1,0 0,7 17,8 17,8 Hutan pegunungan tinggi 2,0 1,9 0,6 1,1 7,5 9,2 Belukar/hutan sekunder muda 93,6 93,3 3,6 4,6 54,1 62,3 56,7 55,1

Mosaik dataran rendah 0,0 0,1 0,0 0,0 0,1 0,7 8,7 8,9

Mosaik pegunungan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,3 Dataran rendah terbuka 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Pegunungan terbuka 0,3 0,0 Areal urban Perkebunan skala besar 0,0 0,0 0,0 1,0 Total (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 N data posisi 1.351 1.601 608 673 2.679 3.287 2.949 3.167

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan habitat pada waktu siang dan malam hari diantara individu harimau (Tabel 13). Tidak adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sifat harimau yang cenderung krepuskular, yakni aktif pada waktu peralihan antara terang dan gelap. Selain itu, hal ini mungkin juga terjadi karena harimau merupakan satwa top predator di hutan Sumatera yang tidak memiliki kompetitor, sehingga ada alasan bagi harimau untuk memilih waktu dalam penggunaan habitat utama. Simcharoen et al. (2008) yang mendapati bahwa macan tutul di Thailand menggunakan berbagai tipe habitat dengan proporsi yang berbeda antara siang dan malam. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya harimau yang hidup simpatrik dengan macan tutul, dimana macan tutul menggunakan satu tipe habitat ketika harimau tidak menggunakan habitat

95

tersebut. Sunquist (1981) menyatakan bahwa macan tutul di TN Chitwan, Nepal, aktif pada malam hari karena pola aktivitasnya mungkin dipengaruhi oleh keberadaan harimau. Begitu juga dengan macan tutul di TN Tsavo, Kenya, yang juga aktif pada malam hari akibat adanya singa yang hidup simpatrik (Hamilton 1976).

Tabel 13. Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi.

Harimau Lokasi Hasil uji Wilcoxon Habitat utama (% penggunaan

siang dan malam)

JD-1 TNBBS Z= -0,211; P= 0,883 Belukar/hutan sekunder muda (siang= 93,6: malam= 93,3) JD-3 TNGL Z= 0,000; P= 1,000 Hutan pegunungan rendah (siang=

62,2: malam= 58,2)

JD-5 TNKS Z= -0,315; P= 0,752 Hutan dataran rendah (siang= 54,1: malam= 62,3)

BD-1 EUM Z= -0,135; P= 0,892 Belukar/hutan sekunder muda (siang= 56,7: malam= 55,1)

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 26-33)

Dokumen terkait