V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2.4 Analisis sektor unggulan
Sejalan dengan temuan pada kajian struktur pada produk domestik regional bruto, hasil hitungan Kuosien Lokasi juga menunjukkan bahwa di kabupaten/kota tertentu sangat dominan di sektor tertentu. Misalnya untuk kabupaten Indramayu di Propinsi Jawa Barat sangat dominan di sektor pertambangan dan penggalian, hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ yang sangat besar yaitu, 6,38. Demikian juga halnya, dimana hasil temuan dengan analisa struktur untuk kabupaten Subang, Garut dan Cirebon sangat dominan pada sektor pertanian, nilai LQnya juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan, yaitu berturut-turut sebesar 1,6048, 1,2475 dan 0,8305. Pada kajia n struktur untuk sektor industri pengolahan juga menunjukkan hal yang sama, dimana untuk kabupaten Bekasi dan Bogor memiliki kontribusi yang besar, juga sejalan dengan nilai LQnya masing- masing sebesar 0,8954 dan 0,7919.
5.2.5. Ketimpangan Wilayah
Adanya variasi dalam pendapatan perkapita dari kabupaten/kota baik di Jawa Barat maupun di propinsi Banten merupakan indikasi awal bahwa terjadinya
ketimpangan antar wilayah. Dari besaran PDRB riil perkapita pada tabel lampiran Kinerja perekonomian menurut kabupaten/kota tahun 1998 propinsi Jawa Barat termasuk Banten dapat dilihat bahwa PDRB perkapita tertinggi terdapat pada kota Tangerang, yaitu sebesar Rp.4 106 ribu. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Lebak (propinsi yang sama) di mana PDRB perkapitanya hanya Rp. 816 ribu, maka ketimpangan antar dua kabupaten/kota tersebut sangat menganga. Jika dilihat dari antar kabupaten/kota dalam Propinsi Jawa Barat ketimpangan tidak terlalu besar. Dari hasil penghitungan Indeks Williamson kabupaten/kota di masing-masing propinsi diperoleh Indeks Williamson untuk kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat sebesar 0.4158 dan di propinsi Banten sebesar 0.5846. Dari hasil ini dapat disimpulkan kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di propinsi Banten lebih besar dibanding kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat.
5.3. Tipologi Permasalahan Daerah
Dalam bahasan tipologi daerah ini, penulis berpijak pada ketersediaan data yang penulis peroleh. Sehingga bahasannya antara kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dan Banten menjadi satu kesatuan. Bahasannya juga mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), Indeks Pembangunan Jender (IPJ), Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ), Kondisi kesehatan, Partisipasi sekolah, dan Kondisi perumahan.
Pada IPM terdapat variabel :
1. Harapan hidup dalam tahun,
2. Angka melek huruf dalam persen,
3. Rata-rata lama sekolah dalam tahun,
4. Pengeluaran riil perkapita yang disesuaikan dalam ribu rupiah
Dari data pada lampiran dapat dilihat bahwa, pada tahun 1996, kabupaten kota yang mempunyai harapan hidup tertinggi adalah kota Bandung dengan angka harapan hidupnya sebesar 66,8 tahun, sedangkan untuk propinsi Jawa Barat yang masih termasuk
66 - 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 01. P ande glang02. Leb ak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan11 . Cire bon
12. Majalengka13. Sumedang14. Indramayu15. Subang16. Purwakarta17 . Kara wang 18. Bekasi 19. Tangerang20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi73 . Ban dung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi
Tingkat Buta Huruf Balita Kurang Gizi
Gambar 7. Angka buta huruf orang de wasa dan balita kurang gizi kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999 (%)
Sumber: Diolah dari Lampiran 64
Banten adalah sebesar 62,9 tahun. Sedang harapan hidup terendah terdapat di kabupaten Garut, yaitu sebesar 58 tahun. Pada tahun 1999 terdapat peningkatan harapan hidup, dimana untuk tingkat propinsi Jawa Barat yang masih termasuk Banten adalah 64,3 tahun. Sedangkan harapan hidup tertinggi masih terdapat di kota Bandung dengan angka sebesar 68,2 tahun.
Untuk variabel Angka melek huruf, pada tahun 1996, kabupaten/kota yang memiliki persentase tertinggi adalah kota Sukabumi dengan persentase sebesar 99,0 persen. Sedangkan persentase terendah untuk tahun 1996 terjadi di kabupaten Indramayu dengan persentase sebesar 67,0 persen. Pada tahun 1996 angka melek huruf untuk tingkat propinsi Jawa Barat termasuk Banten sebesar 89,7 persen. Pada tahun 1999 angka melek huruf di propinsi Jawa Barat termasuk Banten meningkat menjadi 92,1 persen. Pada tingkat kabupaten/kota, angka tertinggi terdapat di kota Bandung dengan persentase sebesar 98,3 persen. Untuk angka terendah masih terdapat di kabupaten Indramayu, dengan persentase sebesar 66,7 persen.
Untuk variabel Rata-rata lama sekolah sangat erat hubungannya dengan variabel melek huruf, ini terlihat di mana kabupaten Indramayu yang mempunyai angka terkecil untuk Angka melek huruf juga mempunyai Rata-rata lama sekolah yang rendah, yaitu 3,8 tahun untuk tahun 1996 dan 3,9 tahun untuk tahun 1997. Sebaliknya kabupaten/kota yang mempunyai angka melek huruf lebih besar juga terkait denga n rata-rata lamanya sekolah. Angka tertinggi untuk lamanya sekolah terdapat di kota Bandung baik tahun 1996 maupun tahun 1999, yaitu masing- masing 9,6 tahun. Angka tersebut berbanding lurus dengan angka melek huruf.
Untuk variabel pengeluaran riil perkapita, kabupaten/kota terbesar pengeluaran riil perkapitanya terjadi di kota Cirebon, yaitu sebesar Rp.608,3 ribu untuk tahun 1996. Sedangkan yang terkecil terdapat di kabupaten Lebak sebesar Rp.546,3 ribu untuk tahun 1996. Pada tahun 1999 terjadi pergeseran di antara kabupaten/kota untuk varibel pengeluaran riil perkapita, di mana kabupaten Subang memilik angka tertinggi, yaitu sebesar Rp.591 ribu. Sedangkan yang terrendah terdapat kabupaten Pandeglang.
Untuk IPM, kabupaten/kota yang mempunyai nilai indeks tertinggi adalah kota Bandung dengan 74,3 untuk tahun 1996 dan 70,7 untuk tahun 1999. IPM terendah terdapat di kabupaten Indramayu, yaitu berturut-turut sebesar 63,4 dan 60,9 untuk tahun 1996 dan 1999. Semakin tinggi IPM maka semakin tinggi tingkat pembangunan manusianya. Pada IKM terdapat variabel :
1. Penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun dalam persen,
2. Angka buta huruf usia dewasa dalam persen,
3. Penduduk tanpa akses terhadap air bersih dalam persen,
4. Penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan dalam persen
5. Balita kurang gizi dalam persen.
Pada tabel lampiran dapat dilihat variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun di kabupaten/kota propinsi Jawa Barat termasuk Banten. Data tersedia untuk tahun 1998. Yang paling tinggi persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun terdapat di kabupaten Garut, yaitu sebesar 26,9 persen. Sedangkan yang terkecil terdapat di kota Bandung. Rata-rata nilai propinsi adalah sebesar 18,2 persen. Untuk variabel angka buta huruf, kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang paling tinggi tingkat buta hurufnya, yaitu sebesar 33,3 persen. Sedang yang paling kecil
68
terdapat di kota Bandung, yaitu sebesar 1,7 persen. Untuk rata-rata propinsinya adalah sebesar 7,8 persen.
Selanjutnya variabel penduduk tanpa akses terhadap air bersih, terbesar adalah terdapat di kabupaten Tasikmalaya dengan persentase sebesar 80.0 persen. Sedangkan yang terendah terdapat di kota Bandung. Nilai untuk propinsi adalah sebesar 62,1 persen. Untuk variabel penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan, tertinggi terdapat di kabupaten Cianjur dengan persentase sebesar 55,9 persen. Persentase terendah terdapat di kota Sukabumi, kota Cirebon dan kota Bekasi dengan persentase masing-masing 0.0 persen. Sedangkan untuk angka persentase penduduk tanpa akses kesehatan propinsi Jawa Barat (termasuk Banten) adalah sebesar 22,4 persen. Berikutnya variabel balita kurang gizi. Persentase terbesar untuk balita kurang gizi terdapat di kabupaten Pandeglang (Banten), dengan persentase sebesar 39,6 persen. Sedangkan persentase terkecil terdapat di kota Sukabumi dengan persentase sebesar 10,9 persen. .
5.4. Keterkaitan antara Kinerja Pembangunan, Struktur Penganggaran dan Tipologi Permasalahan Daerah
Dari hasil olah dengan menggunakan beberapa software statistik diperoleh korelasi antara kinerja pembangunan daerah yang diwakili oleh variabel pertumbuhan ekonomi riil kabupaten/kota dengan tipologi permasahan daerah yang diwakili oleh variabel tingkat buta huruf orang dewasa kabupaten/kota. Besar korelasi antara dua variabel tersebut cukup kuat, yaitu -0.817 dengan P-Value 0.000, yang bermakana ada hubungan negatif, di mana untuk meningkatkan kinerja pembangunan harus menurunkan tingkat buta huruf. Korelasi pertumbuhan ekonomi yang merupakan cerminan dari kinerja pembangunan kabupaten/kota dengan rasio alokasi dana pengeluaran untuk pendidikan dalam APBD kab/kota adalah sebesar 0,726 persen dengan P-Value 0.000. Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut, dimana untuk meningkatkan kinerja
pembangunan harus disupport oleh dana untuk pendidikan yang memadai.
Analisis regresi menggambarkan adanya keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur penganggaran daerah dan tipologi permasalahan daerah. Persamaan regresi logaritma natural linearnya sebagai berikut:
LnYr = ß0 + ß1WLnYr + ? ßi Ln Xi +
e
rSetelah proses pengolahan data, diperoleh persamaan umumnya sebagai berikut:
LnYr = 2.230 - 0.09WLnYr + 0.419Ln X1 – 0.58 Ln X2
dengan Multiple R = 0.913439 R2 = 0.834370 dan P-Value = 0.000000. Dari nilai- nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat signifikansi dari model ini cukup tinggi, dimana P-Value < 5%.
Gambar 8. di bawah menunjukkan fitted line plot antara varibel kinerja pembangunan
dengan rasio anggaran untuk pendidikan dengan persamaan umum regresinya adalah LnYr = -0,1573 + 1,132 LnDidik dengan R-Sqnya sebesar 52.7 %
Persentase Alokasi Anggaran Pendidikan Skala Logarit ma Natural
Ti n g ka t P e rt u m b u h a n ( Y r) S k a la L o g N a tu ra l 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 3 2 1 0 -1 S 0.510135 R- Sq 52.7% R- Sq ( ad j ) 50.7% Fitted Line Plot
LnYr = - 0.1573 + 1.132 LnDidik
Gambar 8. Hubungan Kinerja Pembangunan dan Alokasi Anggaran Pendidikan Skala Logaritma Natural
70
Pada Gambar 9. menunjukkan fitted line plot antara varibel kinerja pembangunan dan
variabel tingkat buta huruf dengan persamaan umum regresinya adalah LnYr = 2,850 - 0,8928 LnBH dengan R-Sqnya sebesar 66.89%
Tingkat But a Huruf ( BH) Skala Logarit ma Nat ural
T in g k a t P e rt u m b u h a n S k a la L o g N a tu ra l 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 3 2 1 0 -1 S 0.427373 R- Sq 66.8% R- Sq ( ad j ) 65.4% Fitted Line Plot
LnYr = 2.850 - 0.8928 LnBH
Gambar 9. Hubungan Kinerja Pembangunan dan Tingkat Buta Huruf Skala Logaritma Natural
Sumber: Diolah dari Lampiran 71
Kinerja pembangunan dipengaruhi oleh rasio pengeluaran pendidikan dalam APBD kabupaten/kota dengan koefisien sebesar 0.419. Sedangkan variabel tingkat buta huruf berpengaruh negatif terhadap kinerja pembangunan dengan koefisien negatif 0.58. Angka–angka ini bermakna tingkat buta huruf akan melemahkan kinerja pembangunan.
Sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah memperbaiki taraf kehidupan dengan memperhatikan pendidikan secara terpadu.
5.5. Implementasi Pembangunan Berkelanjutan dan Good Governance
Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan wilayah Indonesia. Sehingga pola dan program pembangunan nasional akan selalu diikuti dan diimplementasikan di propinsi ini. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Bab 14 disebutkan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
Permasalahan pokok mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan dan good governance adalah reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.
Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga
72
akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.
Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip -prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN; rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-
Government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan
yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkunga n politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat
(digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki
kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia.
Sasaran utama yang ingin dicapai dalam tahun 2004–2009 adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas;
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang
bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;
3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat;
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik;
5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak
bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya.
Arah kebijakan dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, maka kebijakan penyelengaraan negara 2004–2009 diarahkan untuk:
1. Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenanga n dalam bentuk
praktik -praktik KKN dengan cara:
a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance)
pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;
b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan
74
d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan
bertanggung jawab;
e. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan
pemeriksaan;
f. Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan
masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2. Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui:
a. Penataan kembali fungsi- fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat
berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif;
b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada
semua tingkat dan lini pemeritahan;
c. Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar lebih
profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
d. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier
berdasarkan prestasi;
e. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan
dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan.
3. Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
dengan:
a. Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan
umum dan pelayanan unggulan;
b. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya,
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pemerintahan;
c. Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan
Program-program pembangunan antara lain: pertama, menerapakan program kepemerintahan yang baik. Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pelaksanaan
prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik;
2. Menerapkan nilai- nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja yang
mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Program kedua yang harus dilaksanakan adalah program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas negara. Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit
internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat;
2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan
prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan dan terakunkan;
3. Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum;
4. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif;
5. Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja;
6. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional;
7. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan
implementasinya pada seluruh instansi;
8. Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan perbaikan
76
9. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.
Program ketiga adalah program penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan. Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem organisasi dan manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel berdasarkan
prinsip -prinsip good governance;
2. Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan
mempercepat proses desentralisasi;
3. Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri;
4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
5. Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif dan efisien;
dan
6. Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara.
Program keempat adalah program pengelolaan sumber daya manusia aparatur. Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan akan
jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS;
2. Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia aparatur
terutama pada sistem karier dan remunerasi;
3. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas
dan tanggungjawabnya;
5. Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan manajemen kepegawaian; dan
6. Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan aturan
etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin.
Program kelima adalah program penningkatan kualitas pelayanan publik. Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik yang bermutu, transparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.
2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses
pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan keuanga n negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal;
3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi;
4. Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan;
5. Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan kualitas
aparat pelayanan publik;
6. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan
publik;
7. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat;
8. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam
perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing- masing wilayah; dan
9. Mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja penyelenggaraan
78
Program keenam adalah program peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara. Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan administrasi pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan
2. Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan,
perbaik an dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara.
Program selanjutnya adalah program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan keperintahan. Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan dan fungsi manajemen dalam penyelenggaraan kenegaraan dan kepemerintahan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan;
2. Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan
kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, belanja modal, dan belanja lainnya;
3. Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja
kementerian dan lembaga;
4. Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung
pelayanan; dan