• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Analisis Produk Biosolubilisasi

4.3.1. Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi

Batubara tersusun dari senyawa lignin yang mengandung senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi (Hammel, 1996). Aktivitas biosolubilisasi oleh mikroba indigenus maupun kapang Trichoderma sp. mengakibatkan terlarutnya batubara bercampur dengan medium dan menyebabkan terlepasnya senyawa yang mengandung gugus fenolik maupun aromatik. Batubara yang terlarut mengakibatkan perubahan warna pada medium sehingga pengukuran tingkat biosolubilisasi dilakukan berdasarkan gugus kromofor yang terbentuk. Tingkat biosolubilisasi ditentukan dengan mengukur gugus kromofor dengan absorbansi pada 250 dan 450 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran pada panjang gelombang 250 nm digunakan untuk mengukur adanya senyawa fenolik sedangkan panjang gelombang 450 nm untuk mengukur adanya senyawa aromatik terkonjugasi (Selvi dkk., 2009).

Secara statistik uji anova satu arah bahwa perlakuan mempengaruhi keberadaan senyawa fenolik tetapi hasil yang sebaliknya ditunjukkan oleh keberadaan senyawa aromatik terkonjugasi (p≤0,05) (Lampiran 7). Keberadaan senyawa fenolik pada perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan tidak berbeda nyata sama halnya pada perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara

mentah 5% + Trichoderma sp.). Hal tersebut, disebabkan penggunaan batubara steril pada perlakuan A dan B serta batubara mentah pada perlakuan C dan D. Berdasarkan uji statistik lanjutan Duncan keberadaan senyawa aromatik terkonjugasi, perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) memiliki absorbansi terendah sedangkan perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan nilai yang tertinggi (Lampiran 7).

(A) (B)

Gambar 12. Nilai absorbansi (A) senyawa fenolik dan (B) senyawa aromatik terkonjugasi pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Pengukuran hasil biosolubilisasi terhadap senyawa fenolik menunjukkan nilai absorbansi tertinggi pada perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) terjadi pada hari kedua inkubasi yaitu 0,528;

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0 7 14 21 28 A b so r b a n si (n m ) Waktu (Hari) A B C D 2 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 0 7 14 21 28 A b so r b a n si (n m ) Waktu (Hari) A B C D 2

0,792 dan 0,876 (Gambar 12). Meningkatnya nilai absorbansi diduga telah terjadinya proses biosolubilisasi batubara lignit padat yang diurai menjadi batubara terlarut. Batubara terlarut mengandung senyawa fenol yang merupakan hasil penguraian senyawa lignin penyusun terbesar batubara. Senyawa lignin diuraikan oleh adanya aktivitas enzim lignin peroksidase yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin (Hammel, 1996). Keberadaan senyawa fenol didukung pula dengan kondisi pH yang menurun pada hari inkubasi ke-2 (Gambar 8). Senyawa fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzen dan hidroksi yang bersifat asam dan mudah dioksidasi.

Nilai absorbansi berangsur-angsur menurun pada hari inkubasi selanjutnya meskipun ada pula sedikit kenaikan nilai absorbansi namun perubahan tersebut dianggap tidak signifikan (Gambar 12). Perubahan tersebut disebabkan proses biosolubilisasi terus berlangsung. Dibuktikan dengan adanya fluktuasi pertumbuhan baik pada mikroba indigenus maupun kapang Trichoderma sp. yang mengindikasikan terjadi aktivitas biosolubilisasi (Gambar 9 dan 11; Tabel 4). Diduga aktivitas mikroba tersebut menghasilkan enzim lakase yang mampu mendegradasi unit fenolik (Perez dkk., 2002).

Pengukuran absorbansi pada senyawa aromatik terkonjugasi juga menunjukkan nilai tertinggi pada hari kedua inkubasi dari perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.), yaitu 0,111; 0,122 dan 0,171. Nilai absorbansi yang tinggi diduga disebabkan senyawa-senyawa seperti humat yang terdapat pada permukaan batubara dilepaskan oleh aktivitas mikroba

indigenus maupun kapang Trichoderma sp. yang diinduksikan ke dalam media perlakuan dan melarut. Nilai absorbansi pada hari inkubasi selanjutnya, hampir semua media perlakuan menunjukkan penurunan dimana fluktuasi kenaikan hanya sedikit terjadi terutama pada hari inkubasi ke-21 untuk media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) dan C (MSS + batubara mentah 5%) (Gambar 12).

Penurunan nilai absorbansi pada senyawa aromatik terkonjugasi disebabkan senyawa humat yang terlarut didegradasi lebih lanjut menjadi senyawa turunannya berupa asam fulvat melalui penguraian ikatan konjugasi pada senyawa aromatik (Gambar 12). Senyawa aromatik yang terbentuk didegradasi menjadi senyawa alifatik (Ralph dan Catcheside, 1994). Pendegradasian senyawa aromatik berupa naftasena penyusun utama senyawa humat didegradasi menjadi senyawa naftalena (Zylstra dan Kim, 1997). Secara kualitatif terdapat perbedaan kekeruhan supernatan selama masa inkubasi. Supernatan umumnya berwarna kuning bening hingga berwarna cokelat. Perbedaan warna ini menunjukkan telah adanya batubara yang terlarut kemudian bercampur dengan media dan mengubah warna media menjadi lebih gelap (Cohen dkk.,1990).

Kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) dan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan dengan kultur perlakuan B (MSS + batubara steril 5% +

Trichoderma sp.) dan A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 12). Perbedaan ini disebabkan oleh keberadaan agen pengsolubilisasi yang bervariasi kecuali pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) perubahan absorbansi disebabkan

adanya proses agitasi. Keberadaan agen pengsolubilisasi sangat menentukan pembentukkan maupun penguraian senyawa pada batubara oleh aktivitas metabolismenya. Kondisi batubara mentah yang mengandung mikroba indigenus ditambah lagi induksi kapang Trichoderma sp. menunjukkan aktivitas solubilisasi tertinggi dibandingkan hanya mikroba indigenus maupun kapang Trichoderma sp. saja. Diduga terdapat hubungan yang positif di antara agen pengsolubilisasi yang ditunjukkan oleh keberadaan senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi.

4.3.2. Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm

Supernatan yang diperoleh sebagai produk biosolubilisasi dilakukan susuran (scan) menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 200-600 nm untuk mengidentifikasi struktur senyawa yang terbentuk berdasarkan gugus kromofor. Hasil (Tabel 5) menunjukkan bahwa absorbansi dari setiap sampel menandakan keberadaan suatu senyawa yang ditunjukkan dengan munculnya pita absorbsi lebar pada daerah panjang gelombang yang ditentukan yaitu 200-600 nm (Fessenden & Fessenden, 1986). Hari inkubasi ke-2 dan 7 menunjukkan tingkat biosolubilisasi yang tinggi ditunjukkan pada nilai absorbansi yang tingginya senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi (Gambar 12) sehingga hanya pada hari tersebut supernatan diuji susuran (scan). Hari ke-2 pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) absorbansi maksimum terdapat sekitar panjang gelombang 363 nm dan 207 nm sama halnya pada hari ke-7, panjang gelombang tersebut menggambarkan terdapatnya senyawa antrasena dan benzena.

Perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) yang melibatkan Trichoderma sp. sebagai agen pengsolubilisasi tunggal menunjukkan pada hari ke-2 puncak absorbansi terdapat pada panjang gelombang 204 dan 357 nm sedangkan pada hari ke-7 terjadi pergeseran puncak absorbansi pada panjang gelombang 216, 237 dan 303 nm (Tabel 5). Senyawa yang terdeteksi oleh absorbansi tersebut mengindikasikan terdapatnya senyawa azulena, naftasena dan benzena. Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan puncak absorbansi hari ke-2 pada panjang gelombang 357 dan 213 sedangkan hari ke-7 terjadi pergeseran panjang gelombang menjadi 216 nm (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan terdapatnya senyawa azulena, akridin dan naftasena. Media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan pergeseran panjang gelombang pada hari ke-2, yaitu 213 dan 357 nm sedangkan pada hari ke-7 terjadi pergeseran puncak absorbansi pada panjang gelombang 216, 297, dan 372 nm (Tabel 5). Hal tersebut menandakan terdapatnya senyawa berupa akridin, azulena, naftasena, naftalena dan antrasena.

Secara keseluruhan puncak absorbansi yang terbentuk pada media perlakuan berkisar antara 200-300 nm mengindikasikan terdapatnya senyawa aromatik yang merupakan struktur utama lignit. Keberadaan senyawa aromatik membentuk kompleks sehingga lignit ditandai dengan wujud yang padat pada batubara jenis ini. Proses biosolubilisasi yang berlangsung dalam media kultur mengakibatkan senyawa utama penyusun lignit terlarut. Hal tersebut menunjukkan kapang Trichoderma sp. dan mikroba indigenus berperan dalam memecah ikatan kompleks lignit menjadi ikatan sederhana.

Tabel 5. Hasil scanning 200-600 nm pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma

sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

No .

Perlakuan Scanning 200-600 nm

Hari ke-2 Hari ke-7

1 A

2 B

3 C

4 D

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini serupa dengan penelitian Yin dkk. (2009) yang menyatakan bahwa kisaran puncak absorbansi hasil produk biosolubilisasi terdapat pada panjang gelombang 200-300 nm

4.3.3. Produksi Asam Humat dan Fulvat

Kurva perubahan konsentrasi asam humat dan fulvat setiap perlakuan menunjukkan pola yang berbeda (Gambar 13). Secara statistik uji anova satu arah menunjukkan terdapat pengaruh pada tiap perlakuan terhadap kadar asam humat (p≤0,05) (Lampiran 7). Hasil uji statistik lebih lanjut yaitu uji Duncan (p=0,05) pada asam humat menunjukkan bahwa perlakuan B (MSS + batubara steril 5% +

Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) tidak terdapat perbedaan kecuali perlakuan A (MSS + batubara steril 5%).

Pengujian statistik anova satu arah pada asam fulvat menunjukkan hasil bahwa perlakuan mempengaruhi produksi asam fulvat (p≤0,05). Berdasarkan uji statistik lanjutan Duncan (p=0,05) bahwa perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) tidak terdapat perbedaan nyata sama halnya pula pada perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) (Lampiran 7). Perubahan nilai absorbansi menunjukkan keberadaan asam humat dan asam fulvat yang terlarut di dalam media kultur dan menunjukkan pola yang berbeda pada masing-masing perlakuan (Gambar 13). Perbedaan nilai absorbansi yang muncul

mengindikasikan adanya perbedaan kemampuan agen pengsolubilisasi dalam mengsolubilisasi batubara.

(A) (B)

Gambar 13. Nilai absorbansi (A) Asam Humat (B) Asam fulvat 561 nm pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Nilai absorbansi asam humat yang terkandung pada masing-masing perlakuan menunjukkan pola yang cenderung fluktuatif (Gambar 13). Perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan kandungan asam humat tertinggi yaitu 0,199 pada hari ke-28. Perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) nilai absorbansi tertinggi pada hari ke-14 sedangkan perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) setelah hari ke-28 inkubasi, yaitu sebesar 0,154 dan 0,098. Perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) perubahan nilai absorbansi yang terjadi disebabkan adanya proses sterilisasi dan agitasi yang mengakibatkan terlepasnya struktur batubara akibat adanya suhu yang tinggi dan

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0 7 14 21 28 A sa m H u m a t (% C ) Waktu (hari) A B C D 2 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 7 14 21 28 A sa m F u lv a t (% C ) Waktu (Hari) A B C D 2

adanya gesekan terhadap permukaan batubara. Proses sterilisasi diduga menjadi faktor penyebab tingginya nilai absorbansi asam humat diawal inkubasi pada perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) yaitu 0,067.

Perubahan nilai absorbansi asam fulvat cenderung berbanding terbalik dengan asam humat (Gambar 13). Hal tersebut ditunjukkan pada saat nilai absorbansi asam humat mengalami kenaikan, maka absorbansi asam fulvat mengalami penurunan dan sebaliknya. Nilai absorbansi asam humat tertinggi terjadi hampir pada semua perlakuan di hari inkubasi ke-21. Perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan A (MSS + batubara steril 5%) yaitu, 0,2736; 0,1482; 0,1722 dan 0,085.

Nilai absorbansi asam humat yang tinggi mengindikasikan bahwa batubara terdegradasi sehingga senyawa humat terlarut ke dalam media perlakuan. Asam humat merupakan hasil akhir dari proses dekomposisi bahan organik yang bersifat stabil dan tahan terhadap biodegradasi. Substansi humat memiliki kontribusi besar sebagai mantel (coat) suatu partikel hingga tidak terlapukkan dan bersifat stabil. Selain itu, tingginya nilai absorbansi asam humat menunjukkan masih terdapatnya senyawa yang memiliki ikatan terkonjugasi pada senyawa aromatik komponen penyusun asam humat dalam batubara yang belum terurai ke dalam media. Penurunan nilai absorbansi asam humat terjadi oleh adanya penguraian asam humat terlarut menjadi senyawa turunan seperti asam fulvat atau terdepolimerisasi menjadi gugus-gugus penyusunnya seperti gugus fenolik,

karbolik, enolik, alifatik dan lainnya. Kondisi tersebut yang mengakibatkan konsentrasi asam fulvat yang terlarut dalam media mengalami peningkatan (Sugoro dkk., 2011). Hal tersebut dibuktikan pada meningkatnya nilai absorbansi asam fulvat pada saat nilai absorbansi asam humat menurun (Gambar 13).

Terurainya senyawa batubara yang ditandai dengan keberadaan asam humat dan fulvat ke dalam media mengindikasikan adanya aktivitas mikroba di dalam media perlakuan kecuali pada perlakuan A (MSS + batubara steril). Media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan nilai absorbansi asam humat dan fulvat tertinggi dibandingkan pada media perlakuan lainnya (Gambar 13). Diduga pada media tersebut terjadinya hubungan positif antara mikroba indigenus dengan kapang Trichoderma sp. Pendugaan tersebut didukung pula dengan pengukuran parameter seperti, pH, dan analisis senyawa fenolik serta aromatik terkonjugasi (Gambar 8 dan 12).

4.3.4. Karakteristik Gugus Fungsi Hasil Biosolubilisasi Batubara

Identifikasi gugus fungsi produk biosolubilisasi dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform infra Red (FTIR) pada masing-masing perlakuan. Pengujian yang dilakukan dengan FTIR menggunakan batubara kontrol lignit mentah dan steril. Sampel yang digunakan merupakan produk yang dihasilkan dalam proses biosolubilisasi dari masing-masing perlakuan. Hasil spektrum inframerah dari produk biosolubilisasi pada media perlakuan disajikan pada Gambar 14 dan 15. Gugus fungsi utama yang terdeteksi pada produk biosolubilisasi terdiri dari hidroksil fenol O-H (3200-3550 cm-1), karboksilat

(1)

(2)

(3)

Gambar 14. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (2) media perlakuan A hari ke-2 (3) media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + kapang

Trichoderma sp.)hari ke-2.

400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 3 24 4 ,2 7 30 43, 67 1 65 4, 92 109 3,6 4 54 0,0 7 p2 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 32 44 ,2 7 304 3,6 7 16 54 ,9 2 1 093 ,6 4 54 0 ,07 p2 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 3 2 28,8 4 2 99 5,4 5 165 4 ,9 2 1 11 2,9 3 669 ,3 0 p11 OH COOH CO C-O-C OH COOH CO C-O-C OH COOH CO C-O-C

(1)

(2)

(3)

Gambar 15. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (2) media perlakuan C hari ke-2 (3) media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) hari ke-2. 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 32 46 ,2 0 29 95 ,4 5 16 54,9 2 11 12 ,9 3 66 9,3 0 p1 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 3 22 8,8 4 28 93,2 2 16 53 ,0 0 1 09 3,6 4 540,07 p7 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 1/cm -0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 %T Smooth 323 2, 70 28 73, 94 16 62, 64 1 08 9,7 8 5 36, 2 1 p10 C-O-C CO OH COOH C-O-C OH COOH CO C-O-C OH COOH CO

COOH (3300-2500 cm-1), karbonil C-O (1600 cm-1), ikatan eter C-O-C (1000-1300 cm-1) dan ikatan gugus samping aromatik (1000-500 cm-1). Terjadinya biosolubilisasi mengakibatkan perubahan ketajaman puncak absorbansi yang dilihat dari penurunan persen transmitan. Semakin rendah persen transmitan yang ditunjukkan mengindikasikan besarnya kandungan suatu gugus fungsi tertentu.

Analisis FTIR dilakukan hanya pada media perlakuan setelah inkubasi hari ke-2, hal tersebut terkait dengan analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi yang menunjukkan tingkat biosolubilisasi tertinggi (Gambar 12). Hasil yang diperoleh pada produk biosolubilisasi semua gugus fungsi utama yang ditentukan menunjukkan penurunan nilai persen transmitan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 14 dan 15). Terutama pada gugus samping aromatik yang tampak meningkat pada hari inkubasi ke-2, serupa dengan analisis sebelumnya yaitu pada uji susuran (scan) 200-600 nm yang juga menunjukkan terjadinya peningkatan gugus samping aromatik. Produk biosolubilisasi yang dihasilkan dalam penelitian ini sesuai dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yin dkk. (2009) terutama pada senyawa utama yang terdeteksi kecuali adanya senyawa siklan.

Peningkatan gugus karboksilat (COOH) mengindikasikan produk banyak mengandung cincin samping dan oksigen hal tersebut disebabkan pada proses biosolubilisasi melibatkan enzim yang bersifat oksidatif seperti peroksidase. Hidayati (2011), menyatakan agen pengsolubilisasi dalam menguraikan struktur batubara lignit menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) menunjukkan penurunan persen transmitan yang cukup besar dibandingkan dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5%+ Trichoderma sp.) dan C (MSS + batubara mentah 5%) diduga agen pengsolubilisasi yang beragam ditambah dengan keberadaan kapang

Trichoderma sp. mengakibatkan batubara lignit tersolubilisasi secara maksimal.

Dokumen terkait