• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi

Proses biosolubilisasi batubara melibatkan berbagai macam mikroba seperti bakteri dan fungi karena struktur penyusun batubara yang kompleks dan heterogen. Bakteri sebagai salah satu yang ikut serta dalam proses tersebut diamati pertumbuhan dan keanekaragaman jenisnya. Kurva enumerasi log bakteri (Gambar 9) menandakan bahwa kehidupan bakteri berlangsung. Kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih teratur dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) yang terlihat fluktuatif. Kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) tidak terlihat pertumbuhan bakteri disebabkan penggunaan batubara yang telah disterilisasi.

Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan bahwa bakteri langsung terdaptasi (Gambar 9) dalam media kultur ditunjukkan dengan fase pertumbuhan yang langsung mengalami peningkatan didukung pula kondisi pH yang menurun menandakan adanya proses metabolisme (Gambar 8). Bakteri indigenus yang terdapat di dalam batubara memiliki kemampuan memanfaatkan secara langsung penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon primer. Setelah sumber karbon primer habis ditandai dengan menurunnya kurva enumerasi yang cukup signifikan, diduga bakteri mulai memanfaatkan sumber

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 7 14 21 28 J u m la h l o g C F U /m l Waktu (Hari) A B C D 2

karbon baru pada hari ke-7 sampai hari ke-14. Bakteri pada keadaan ini melakukan sintesis enzim baru yang sesuai dengan media terutama batubara untuk memperoleh sumber karbon sekunder. Proses adaptasi bakteri dengan kondisi lingkungan yang baru menyebabkan terjadinya pertambahan volume sel, akan tetapi tidak terjadi pertambahan jumlah sel (Purwoko, 2007).

Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Produksi enzim pendegradasi batubara oleh bakteri untuk memperoleh sumber karbon dari batubara mengakibatkan kurva kembali meningkat (Gambar 9) yang menandakan terjadinya peningkatan pertumbuhan bakteri hingga mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke-21. Selanjutnya, pada hari ke-28 kurva kembali mengalami penurunan diduga media sudah banyak mengandung senyawa-senyawa hasil degradasi yang bersifat toksik bagi bakteri sehingga

banyak sel yang lisis. Hal ini didukung pula dengan peningkatan nilai pH (Gambar 8). Fluktuasi kurva pertumbuhan bakteri pada kultur C (MSS + batubara mentah 5%) diduga disebabkan oleh adanya bakteri yang saling bersaing untuk mendominasi di dalam substrat. Hal tersebut didukung dengan keanekaragaman bakteri yang muncul (Gambar 10).

Penambahan inokulum spora Trichoderma sp. pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menyajikan kurva enumerasi yang berbeda dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (Gambar 9). Kurva yang tercipta tampak teratur dan tidak terlalu terlihat fluktuatif. Sama halnya pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%), pada awal inkubasi kurva menunjukkan peningkatan. Hal tersebut terkait pada penggunaan sumber karbon primer berupa sukrosa dan ekstrak ragi yang menunjukkan bahwa bakteri indigenus sudah teradaptasi sebelumnya. Kurva meningkat sejak awal inkubasi hingga hari ke-7 (Gambar 9). Peningkatan pada kurva enumerasi diduga disebabkan oleh sel yang memanfaatkan penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon dalam media kultur selain itu, aktivitas dari kapang Trichoderma sp. yang diinduksikan mulai mendegradasi batubara ikut andil dalam mempertahankan peningkatan kurva sejak awal inkubasi. Setelah itu, kurva tampak stasioner hingga hari ke-14 diduga hal tersebut terjadi akibat habisnya sumber karbon awal dan kemudian kurva mengalami sedikit peningkatan kembali namun tidak meningkat setinggi seperti pada awal inkubasi. Hari terakhir inkubasi yaitu hari ke-28 kurva mengalami penurunan yang menunjukkan bahwa jumlah sel berkurang. Berkurangnya jumlah

sel disebabkan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik bagi sel sehingga sel mengalami lisis.

Jenis bakteri yang ditemukan secara keseluruhan dari semua perlakuan berjumlah 8, yaitu BM04, BM21, BM01, BMT01, BM02, BMT24, BM23, dan BMT71 (Gambar 10 dan Lampiran 1). Bakteri yang ditemukan umumnya berbentuk batang (basil) yang saling lepas (Lampiran 2). Pokorny’ dkk. (2005) menyatakan bakteri yang ditemukan pada batubara lignit berupa batang (Bacillus). Sebagian besar isolat bakteri yang diperoleh memiliki karakteristik Gram negatif (Lampiran 2).

Pola pertumbuhan bakteri yang terbentuk, merupakan pola pertumbuhan yang melibatkan beberapa jenis bakteri. Kumpulan bakteri ini diduga membentuk suatu konsorsium dalam memanfaatkan kandungan nutrien di dalam media kultur perlakuan. Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) pada saat kurva mengalami kenaikan didominasi oleh bakteri jenis BM01 ( 2,9. 102 CFU/ml) (Gambar 10). Jenis bakteri tersebut tidak ditemukan lagi pada hari pengamatan ke-2 dan 7 namun pada hari ke 14-28 bakteri jenis tersebut kembali mendominasi. Diperkirakan bakteri jenis tersebut merupakan bakteri pengguna fraksi sederhana. Kandungan sukrosa dan ekstrak ragi yang terkandung dalam media kultur dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri jenis tersebut. Setelah habis, bakteri tersebut tidak mampu merombak struktur batubara yang kompleks dan heterogen sehingga tercipta kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan terbatasnya nutrien diduga mengakibatkan bakteri jenis BM01 mengalami masa dorman hingga tercipta

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 7 14 21 28 L o g C F U /m l Waktu (Hari) BM04 BM21 BM01 BMT01 BM02 BMT24 BM23 BMT71 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 7 14 21 28 L o g C F U /m l Waktu (Hari) BM04 BM21 BM01 BMT01 BM02 BMT24 BM23 BMT71

kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupannya yaitu pada masa akhir masa inkubasi hari ke-14 hingga 28. Usaha mengamankan diri dari kondisi buruk lingkungan menyebabkan bakteri membentuk spora terutama pada bakteri berbentuk batang (Dwidjoseputro, 2005).

Kehadiran bakteri jenis BM04 dengan jumlah 9.104 CFU/ml (Gambar 10) mendominasi pada saat kurva menurun yang terjadi hari 2 hingga hari ke-7 (Gambar 9) dan mengindikasikan kemampuannya untuk menghasilkan enzim yang mampu merombak struktur batubara. Setelah struktur batubara terurai menjadi fraksi yang lebih sederhana hingga hari ke-14, bakteri jenis BM01 kembali mendominasi pada hari selanjutnya hingga kurva kembali meningkat. Masa akhir inkubasi kurva kembali menurun yang diduga memasuki fase kematian (Gambar 9).

Gambar 10. Perubahan populasi bakteri pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.)

Sama halnya pada kultur pelakuan C (MSS + batubara mentah 5%), pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) bakteri

jenis BM01 (4,8.102 CFU/ml) pun mendominasi (Gambar 10). Peningkatan kurva yang cukup lama hingga hari ke-7 (Gambar 9) terdapat beragam bakteri yang mendominasi (Gambar 10). Hari ke-2 bakteri BM04 (103 CFU/ml) yang mendominasi sedangkan pada hari ke-7 bakteri jenis BM02 (1,7.104 CFU/ml) yang mendominasi. Keterlibatan kapang Trichoderma sp. cukup mempengaruhi pola dominasi bakteri. Bakteri BM01 (2,3.107 CFU/ml) kembali mendominasi pada hari ke-14, terurainya senyawa penyusun batubara menjadi fraksi sederhana mengakibatkan memuncaknya pertumbuhan bakteri jenis tersebut. Diduga pada hari ke-21 tercipta kondisi yang tidak mendukung kehidupan bakteri jenis BM01 yang mengakibatkan bakteri jenis ini mengalami kondisi dorman dan mengakibatkan mendominasinya bakteri jenis lain, yaitu BM23 (3,6.107 CFU/ml).

Kehadiran bakteri jenis BM23 menunjukkan kemampuannya dalam

memanfaatkan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan bagi bakteri jenis BM01. Aktivitas bakteri jenis BM23 tersebut mengakibatkan terciptanya kondisi lingkungan yang mendukung bagi bakteri jenis BM01 sehingga bakteri jenis tersebut kembali mendominasi pada akhir masa inkubasi (hari ke-28).

Berbagai macam bakteri yang mendominasi pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) (Gambar 10) menunjukkan terjadinya suksesi. Perubahan dominansi inilah yang menyebabkan naik turunnya kurva sehingga membentuk pola pertumbuhan konsorsium bakteri. Populasi yang dominan adalah populasi yang dapat memanfaatkan sebagian besar sumber karbon yang terkandung di dalam kultur perlakuan. Sumber karbon pada kultur perlakuan yang telah habis mengakibatkan

populasi yang mendominasi akan berkurang bahkan tidak hadir dan segera digantikan lagi oleh populasi yang lain yang lebih cocok terhadap substrat hasil degradasi sebelumnya, demikian seterusnya.

Proses biosolubilisasi batubara yang tersusun oleh senyawa kompleks dan heterogen secara sempurna tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri tetapi dilakukan oleh suatu kumpulan mikroorganisme secara sinergistik (Atlas & Bartha, 1995). Pertumbuhan yang berfluktuatif merupakan ciri utama terjadinya proses perombakan senyawa kompleks oleh berbagai jenis bakteri dalam bentuk konsorsium. Batubara tersusun oleh senyawa heterogen dan kompleks, sedangkan tiap bakteri memiliki enzim yang spesifik bekerja pada substrat tertentu sehingga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mendegradasinya. Oleh karena itu, setiap jenis bakteri secara bergantian akan mendominasi konsorsium sesuai dengan sumber karbon yang terkandung dan mampu dimanfaatkannya (Nugroho, 2007).

Penggunaan kultur campuran mengakibatkan keterlibatan beragamnya mikroba baik bakteri dan fungi (kapang dan khamir). Proses biosolubilisasi dengan melibatkan berbagai komponen biologis mengakibatkan terbentuknya suatu hubungan antar mikroba baik itu hubungan yang saling menguntungkan maupun sebaliknya. Oleh sebab itu, semua komponen populasi diamati agar terlihat hubungan yang terbentuk.

Pada media kultur terutama C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) terdapat beberapa jenis kapang yang diduga terlibat dalam proses biosolubilisasi selain kapang Trichoderma sp.

yang ditambahkan ke dalam media kultur. Jenis kapang yang ditemukan disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 3. Penggunaan batubara yang telah disteril di dalam autoklaf (kultur perlakuan A) tidak ditemui jenis kapang apapun yang tumbuh di dalam media kecuali adanya penambahan spora kapang Trichoderma sp. pada kultur perlakuan B (MSS++ batubara steril+ kapang Trichoderma sp.). Kapang

Trichoderma sp. yang disebar dengan metode spread plate di atas media Potato Dektrose Mineral Agar (PDMA) tumbuh membentuk koloni yang penuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapang Trichoderma sp. dalam kultur perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) sebagai agen pengsolubilisasi tunggal. Berbeda dengan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) yang melibatkan beragamnya agen biologis yang terlibat dalam proses biosolubilisasi selain bakteri, fungi pun ikut terlibat di dalamnya. Fungi berupa kapang yang disebar di atas media PDMA terdapat empat jenis yang berbeda yaitu KPC21, KPC04, KPC724 dan KPC22 (Lampiran 3). Pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.), induksi kapang Trichoderma sp. mendominasi, yang ditandai dengan tidak ditemukannya kapang jenis lain (Tabel 4).

Penambahan inokulum Trichoderma sp. pada media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.), mengindikasikan bahwa kapang jenis ini mendominasi. Kapang jenis Trichoderma sp. merupakan jamur antagonis bagi beberapa jenis kapang lainnya di habitatnya (Purwantisari & Hastuti, 2009) sehingga pada media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

Tabel 4. Populasi kapang pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), (B (MSS + batubara steril 5%+ Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Kapang yang ditemukan

Waktu Inkubasi (hari)

0 2 7 14 21 28 A Trichoderma sp. - - - - KPC22 - - - - KPC724 - - - - KPC04 - - - - KPC21 - - - - B Trichoderma sp. ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ KPC22 - - - - KPC724 - - - - KPC04 - - - - KPC21 - - - - C Trichoderma sp. - - - - KPC22 - +++ - - - - KPC724 - + - - - - KPC04 ++ - - - - - KPC21 ++++ +++ ++ - - - D Trichoderma sp. +++ +++ +++ +++ +++ +++ KPC22 - - - - KPC724 - - - - KPC04 - - - - KPC21 - - - - Keterangan:

+ : Koloni tumbuh <1/3 diameter petri (9 cm) ++ : Koloni tumbuh 1/3 diameter petri (9 cm) +++ : Koloni tumbuh 1/2 diameter petri (9 cm) ++++ : Koloni tumbuh penuh diameter petri (9 cm)

Aktivitas kapang dalam proses biosolubilisasi ditandai adanya interaksi antara miselium dengan batubara dalam bentuk kolonisasi (Lampiran 5).

Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa kapang indigenus maupun induksi kapang Trichoderma sp. menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dengan bantuan enzim yang mengakibatkan terjadinya

biosolubilisasi. Pada umumnya enzim yang terlibat dalam degradasi lignin yang merupakan salah satu komponen penyusun batubara terdiri dari dua kelompok utama berupa lakase dan peroksidase (MnP dan LiP) (Chahal & Chahal, 1998).

Kolonisasi tampak jelas teramati pada media perlakuan yang telah ditambahkan inokulum kapang Trichoderma sp. yaitu pada kultur perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) dan D (MSS + batubara mentah 5% + kapang Trichoderma sp.) (Lampiran 5). Awal inkubasi inokulum kapang masih berupa spora dan mulai bergerminasi yang pada akhirnya berkolonisasi bahkan menghasilkan spora baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugoro dkk. (2011), menyatakan bahwa kapang Trichoderma sp. berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara lignit. Dipta (2010), membuktikan bahwa kapang Trichoderma sp. dapat menggunakan substrat batubara namun jenis subbituminus untuk proses metabolismenya dan dapat mengsolubilisasi batubara dengan bantuan enzim ekstraselularnya.

Selain bakteri dan kapang, khamir juga ikut andil dalam proses biosolubilisasi terutama kehadirannya cukup signifikan pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (Lampiran 4). Pertumbuhan khamir dapat dilihat pada Gambar 11 yang terlihat cukup fluktuatif dan menurun drastis pada hari ke-2 dan puncak pertumbuhan terjadi pada hari ke-14 (7,9.106 CFU/ml) dan hari ke-28 (2,1.107 CFU/ml), kehadirannya mempengaruhi keberadaan kapang. Khamir tumbuh dan bereproduksi lebih cepat dibandingkan dengan kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibandingkan dengan kapang karena mempunyai perbandingan luas

permukaan dengan volume yang lebih besar (Fardiaz, 1989). Pada kultur perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) tidak ditemukan khamir yang tumbuh, diduga karena adanya induksi kapang Trichoderma sp. yang mendominasi pertumbuhan di dalam medium (Gambar 10 dan 11).

Gambar 11. Pertumbuhan khamir pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Perubahan populasi dapat disebabkan oleh adanya perubahan pH pada media (Gambar 8). Nilai pH yang menunjukkan keadaan yang semakin menurun (Gambar 8) menunjukkan meningkatnya jumlah bakteri (Gambar 10). Setiap bakteri memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu sekitar 4 dan 9 (Pelczar & Chan, 2005) dan metabolisme bakteri sendiri dipengaruhi oleh enzim spesifik dan pada umumnya berupa enzim yang mampu memecah lignin, kinerja enzim dipengaruhi oleh pH. Pada fungi terutama kapang dapat tumbuh pada kisaran pH 2-8,5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 7 14 21 28 L o g C F U /m l Waktu (Hari) C D 2

sedangkan khamir dapat tumbuh pada kisaran pH yang lebih asam yaitu 4-4,5 (Fardiaz, 1989).

Dokumen terkait