DENGAN MIKROBA INDIGENUS
RESTU YUSLIDA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DENGAN MIKROBA INDIGENUS
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DENGAN MIKROBA INDIGENUS
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802
Menyetujui.
Pembimbing I Pembimbing II
Irawan Sugoro, M. Si. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si.
NIP. 19761018 200012 1 001 NIP.19720322 200212 2 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” yang ditulis oleh Restu Yuslida, NIM 107095002802 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui
Penguji 1, Penguji 2,
Priyanti, M.Si Dini Fardila, M.Si
NIP. 19750526 200012 2001 NIP. 19800330 200901 2009
Pembimbing 1, Pembimbing 2,
Irawan Sugoro, M.Si Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP. 19761018 200012 1001 NIP. 19720322 200212 2002
Mengetahui:
Dekan
Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Prodi Biologi
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Agustus 2011
i Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan nikmat tak terbatas, atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga
skripsi ini dapat Penulis selesaikan. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan
untuk baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang memperjuangkan
kesempurnaan agama ini sampai akhir hayat.
Skripsi dengan judul
“
Biosolubilisasi Batubara Lignit Hasil Interaksi Kapang Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi S1 pada ProgramStudi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi yaitu :
1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis., selaku Dekan fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud., selaku Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dini Fardila, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains
ii (Umar, Sibly dan Hafidz) yang selalu membuat tersenyum.
5. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing I, Penulis mengucapkan rasa
terimakasih sekali atas kesempatan yang telah diberikan, atas pengertian
yang senantiasa tercurah, atas nasehat kehidupan yang tak pernah
terpikirkan oleh penulis dan yang utama atas ilmu bermanfaat semoga
semuanya menjadi bekal Penulis di masa depan kelak dan semoga Allah
membalas kebaikan dan keberkahan senantiasa menyertai kehidupannya
kelak . Amien.
6. Megga R. Pikoli, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan
masukan saran dan nasehat yang bermanfaat, semoga Allah senantiasa
menyertai keberkahan dikehidupannya kelak . Amien.
7. La ode Sumarlin, M.Si dan Rina H.P, M.Si selaku penguji seminar hasil
serta Priyanti, M.Si dan Dini Fardila, M.Si selaku penguji sidang
munaqasah terimakasih atas saran dan masukan yang sangat berarti untuk
Penulis.
8. Dosen-dosen biologi tercinta terimakasih atas ilmu bermanfaat yang
senantiasa tercurah, atas perjalanan masa kuliah yang penuh suka duka
terutama dengan sekelumit tugas-tugas demi kemajuan mahasiswa
pastinya.
9. Encing Iyus, encing Mulia, encing Diding dan encing Toni terimakasih
iii semangat perjuangan yang senantiasa menghiasi hari-hari kita semua.
11.Kakak-kakak kelas Penulis senantiasa menyiratkan semangat perjuangan
untuk menyelesaikan studi dengan baik, semoga silaturahmi kita takkan
pernah terputus.
Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh
karena itu usul serta saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini.
Jakarta, Agustus 2011
iv
Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Biosolubilisasi batubara merupakan proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur menjadi produk yang setara dengan minyak bumi. Penelitian sebelumnya, telah diperoleh isolat kapang yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara, yaitu Trichoderma sp. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara hasil interaksi kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus batubara. Metode yang dilakukan adalah kultur submerged dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma
sp.) diinkubasi pada suhu ruang dengan agitasi 120 rpm. Hasil penelitian menunjukkan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang
Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) dalam mengsolubilisasi batubara lignit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma
sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) berdasarkan analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi, serta asam humat dan fulvat menunjukkan nilai yang tertinggi pada umumnya hari kedua inkubasi. Hasil scaning pada panjang gelombang 200-600 nm produk biosolubilisasi memperlihatkan terjadinya perbedaan pola pada semua perlakuan. Hasil analisis FTIR mendeteksi terjadinya peningkatan intensitas gugus fungsi yaitu gugus hidroksil, karbonil, gugus karboksilat, eter dan aromatik pada perlakuan B (MSS + batubara steril 5% +
Trichoderma sp.) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) dibandingkan dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan C (MSS + batubara mentah 5%). Hasil analisis GCMS pada produk biosolubilisasi menunjukkan senyawa yang terdeteksi didominasi senyawa alifatik rantai panjang dan umumnya berpotensi sebagai solar.
Kata kunci : Biosolubilisasi batubara, interaksi, mikroba indigenus,
Trichoderma sp.
v sp. Moulds with Indigenous Microbes. Undergraduate Thesis. Biology Department. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2011.
Biosolubilization of coal is a process of converting solid coal into liquid phase by using microbes, such as bacteria and fungi into a product which is equivalent to petroleum. Previous research has succesfully isolated mold as coal biosolubilization agent, namely Trichoderma sp. The purpose of this research was to characterize the product of coal biosolubilization resulted form mold
Trichoderma sp. interaction with coal indigenous microbes. The method used was submerged culture and the treatments were A (MSS + coal sterile 5%), B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + raw coal 5%) and D (MSS + raw coal + Trichoderma sp.). The treatments were incubated at room temperature and 120 rpm agitation. The result showed biosolubilization resulted form interaction between Trichoderma sp. with the indigenous microbes (D treatment) gave the highest performance. The highest biosolubilization occured after second day of incubation based on the analysis of phenolic and aromatic conjugated compounds and the humic and fulvic acid concentration. The scanning of biosolubilization product showed different patterns for all treatments. The FTIR analysis of biosolubilization product has detected an increase in the intensity of hidroxyl, carbonyl, carboxylat, ether and functional group of aromatic for B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.) and D treatment (MSS + raw coal + Trichoderma sp.) than A (MSS + coal sterile 5%) and C (MSS + raw coal 5%) treatment. The GCMS analysis showed the detected compound was dominated by long chains aliphatic for all treatment and have the same potensial as diesel.
Keywords : Biosolubilization of coal, interactions, indigenous microbe,
vi
2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba... 16
2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp... 19
2.5. Kerangka Berpikir... 22
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 23
3.2. Alat dan Bahan... 23
vii 3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar
(PDMA)... 25
3.3.5. Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)... 26
3.3.6. Pembuatan kultur Inokulum Spora Trichoderma sp... 26
3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara... 26
3.3.8. Pengukuran pH Media ... 28
3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 28
3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm.. 29
3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat... 29
3.3.12. Analisis Gugus Fungsi Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan FTIR... 29
3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS... 30
3.3.14. Analisis Data... 31
3.4. Skema Penelitian... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan pH Media... 33
4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 36
4.3. Analisis Produk Biosolubilisasi... 47
viii
Batubara... 57
4.3.5 Identifikasi Senyawa Hasil Biosolubilisasi dengan GCMS... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 68
5.2. Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA... 70
ix Tabel 1. Komposisi Media... 24
Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara... 27
Tabel 3. Kondisi Optimum GCMS... 31
Tabel 4. Populasi kapang pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), (B (MSS + batubara steril 5%+
Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 44
Tabel 5. Hasil scanning 200-600 nm pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% +
Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 53
x
Gambar 1. Proses pembentukan Batubara... 8
Gambar 2. Model Struktur Batubara dari Tingkatan berbeda... 9
Gambar 3. Penampilan Fisik Batubara Lignit... 10
Gambar 4. Penampilan Fisik Batubara Subbituminus... 11
Gambar 5. Penampilan Fisik Batubara Bituminus... 12
Gambar 6. Penampilan Fisik Batubara Antrasit... 12
Gambar 7. Trichoderma sp... 20
Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 34
Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS +
xi mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada
suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 55
Gambar 14. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (2) media perlakuan A hari ke-2 (3) media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + kapang Trichoderma sp.)hari ke-2.. 58
Gambar 15. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (2) media perlakuan C hari ke-2 (3) media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) hari ke-2... 59
Gambar 16. Persentase Area senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin dan solar pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% +
xii
Lampiran 1. Jenis Bakteri yang Terdapat pada Kultur Perlakuan... 76
Lampiran 2. Hasil Pewarnaan Gram... 77
Lampiran 3. Jenis Kapang... 78
Lampiran 4. Khamir pada Perlakuan Medium dengan Batubara Mentah Hari Inkubasi ke-14... 79
Lampiran 5. Kolonisasi Kapang pada Batubara Perbesarn 400x... 80
Lampiran 6. Nilai pH... 82
Lampiran 7. Analisis Statistik Produk Biosolubilisasi... 83
Lampiran 8. Kromatogram Hasil GCMS Biosolubilisasi... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting di dunia
selain gas alam dan minyak bumi. Menurut IEA (2009), jumlah cadangan gas
alam 163,3 triliun ton, minyak bumi 164,5 triliun ton dan batubara 462,6 triliun
ton. Perkiraan ketersediaan sumber energi tersebut pada minyak bumi selama 50
tahun, gas bumi untuk 63 tahun dan batubara untuk 146 tahun. Menipisnya
cadangan sumber energi di dunia tanpa adanya energi alternatif dapat
menghambat produktivitas perekonomian sehingga pencarian energi alternatif
dengan kualitas yang baik perlu dilakukan. Pemanfaatan batubara tampaknya
dapat dijadikan solusi atas permasalahan ini.
Di Indonesia ketersediaan cadangan batubara berdasarkan data akhir
tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar
20,98 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti di dunia.
Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori
rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, dan
bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM, 2010).
Ketersediaan sumber energi terutama batubara membuka peluang untuk
Pada tahun 2010 diperkirakan batubara akan memegang peranan
sebesar 25% dari total kebutuhan energi domestik. Hal tersebut didukung oleh
pemerintah melalui Peraturan Presiden. No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan
Energi Nasional (KEN), dimana penggunaan batubara akan ditingkatkan menjadi
33% dan batubara yang dicairkan sebesar 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi (ESDM, 2010).
Pemanfaatan batubara terutama di Indonesia berasal dari jenis batubara
kalori rendah dan sedang, sedangkan batubara kalori tinggi kebanyakan diekspor.
Batubara dari jenis kalori rendah seperti lignit merupakan batubara yang kurang
ekonomis karena memiliki kadar air yang sangat tinggi (di atas 30%) dan nilai
kalor di bawah 5.000 kcal/kg serta mengandung abu tinggi. Hal tersebut
menyebabkan batubara dari jenis ini tidak dimanfaatkan dan diperlukan
peningkatan kualitasnya untuk dapat digunakan, antara lain dengan teknologi
gasifikasi atau liquifikasi. Batubara lignit banyak digunakan untuk pembangkit
tenaga listrik dan panas sebesar 96,4%. Namun, pembakaran lignit mengakibatkan
polusi yang cukup berbahaya karena menghasilkan sulfur oksida (SOx), nitrogen
oksida (NOx), karbon dioksida (CO2) dan logam berat (Xuchang dkk., 2000).
Dampak yang tidak baik untuk lingkungan menjadi pertimbangan yang harus
dipikirkan dalam pemakaian jenis batubara ini. Pembakaran batubara perlu
dihindari dan menerapkan alternatif pemanfaatannya merupakan solusi aman
penggunaan batubara sebagai sumber energi.
Pencairan batubara pada awalnya dianggap menjadi alternatif
yaitu proses sintesis Fischer-Tropsch, Bergius dan Brown Coal Liquefication
Technology (BCL). Namun, penerapan metode ini membutuhkan biaya
operasional yang cukup tinggi karena dilakukan dalam temperatur dan tekanan
yang tinggi serta memerlukan instalasi yang cukup rumit (Yoshida, 2007).
Alternatif lainnya adalah pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroba atau
yang dikenal dengan biosolubilisasi.
Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase
cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur (Faison dkk., 1989).
Biosolubilisasi memiliki beberapa kelebihan di antaranya produk yang dihasilkan
tidak menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran (Fakoussa & Frost,
1999). Biosolubilisasi batubara sangat ditentukan oleh agen biologi, jenis batubara
dan kondisi lingkungan. Struktur dan kompleksitas batubara yang berbeda di
setiap daerah mempengaruhi pertumbuhan mikroba pengsolubilisasi, sedangkan
mikroba berperan sebagai katalis atau penghasil enzim pengsolubilisasi (Wise,
1990).
Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui mampu
berinteraksi dengan batubara kualitas rendah dengan proses ekstraselular (Faison
dkk., 1989). Hasil isolasi dan seleksi pada penelitian sebelumnya telah diperoleh
isolat kapang Trichoderma sp. yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi
batubara lignit (Sugoro dkk., 2011). Produk yang dihasilkan berupa senyawa yang
setara dengan minyak bumi, tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil.
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui interaksi kapang terseleksi
Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau mikroba pribumi
pada suatu substrat (Waluyo, 2009). Diharapkan akan terbentuk konsorsium yang
menguntungkan antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus. Hal
tersebut penting karena kompleksitas dan heterogenitas senyawa penyusun
batubara. Satu jenis mikroba mempunyai kemampuan metabolisme terbatas,
sehingga proses biosolubilisasi batubara kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh
satu jenis (Brenner dkk., 2008). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan
penelitian yang membandingkan penggunaan batubara mentah dan batubara steril
dalam proses biosolubilisasi. Hasil penelitian Pokorný dkk. (2005) menyatakan
batubara lignit mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota
(fungi).
Aplikasi pencairan batubara lignit yang dilakukan dengan kondisi
mentah akan menghemat biaya operasional. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini
akan dilakukan biosolubilisasi dengan menggunakan batubara mentah dan steril.
Diharapkan proses biosolubilisasi dengan batubara mentah mampu menghasilkan
produk yang lebih baik dibandingkan batubara steril. Hal tersebut akan menjadi
suatu gagasan baru dalam penerapan teknologi biosolubilisasi yang lebih
ekonomis.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba
2. Bagaimana karakteristik produk hasil biosolubilisasi batubara lignit
hasil interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba
indigenus?
1.3. Hipotesis
1. Interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus
dapat meningkatkan biosolubilisasi batubara lignit.
2. Senyawa hasil biosolubilisasi antara kapang Trichoderma sp. dengan
mikroba indigenus merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki
karakteristik bensin dan solar.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kemampuan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi
antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus dalam
mengsolubilisasi batubara lignit.
2. Mengetahui karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil
interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung aplikasi pencairan
batubara mentah tanpa didahului sterilisasi dengan memberikan informasi
indigenus dalam mengsolubilisasi batubara lignit serta karakterisasi dari produk
7
2.1. Batubara
Batubara adalah bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar, terbentuk
dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata
batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama
jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batu bara (World Coal Institute, 2005).
Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan
pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994). Pembentukan batubara
berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang
mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan
kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroba juga memegang peranan
yang sangat penting.
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan karbon
(Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap
endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik (Speight, 1994). Proses
)
Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Susilawati, 2008)
Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan
tumbuhan pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut
kemudian mati dan terbenam di rawa. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang
mati membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan
air dan terawetkan melalui proses biokimia. Adanya proses tektonik
mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence), sehingga hutan
berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhan pun berakhir. Selanjutnya
material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan di atas sisa-sisa tumbuhan
yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batu pasir,
batu lempung atau batu lanau yang kemudian menjadi tebal jika pengendapan
terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan tersebut dikenal sebagai
lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa mencapai ratusan meter. Jika
penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah,
daratan dapat muncul kembali di atas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup
beberapa lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan kehadiran batu pasir, batu lanau atau
batu lempung berselingan mengendap (Susilawati, 2008).
Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan
sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun
tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batu lempung, batu lanau dan
batu pasir. Seiring perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut
ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan dan
temperatur, sehingga berubah menjadi batubara. Pada proses pembatubaraan,
gambut berubah menjadi batubara lignit, subbituminus, bituminous dan batubara
antrasit (Susilawati, 2008). Berikut struktur kimia dari beberapa jenis batubara
(Gambar 2).
Berdasarkan kandungan karbon, oksigen, dan hidrogennya, batubara
diklasifikasikan menjadi beberapa golongan utama. Semakin banyak kandungan
energi dalam batubara, maka kandungan energi dalam batubara semakin banyak
pula. Batubara dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu lignit,
subbituminus, bituminus dan antrasit.
Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis
batubara yang paling muda dan di dalamnya termasuk brown coal atau Low Rank
Coal (LRC). Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam
kecoklatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang terkena
tekanan tinggi. Kandungan karbon pada lignit paling rendah di antara jenis lain,
yakni berkisar antara 20-35% berat sementara itu kandungan airnya lebih tinggi.
Nilai kalori lignit berdasarkan American Testing Society for Testing and Material
kurang dari 19,3 MJ/Kg. Berdasarkan nilai kalori, lignit dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu lignit A dan B dengan nilai kalori 14,7 – 19,3 MJ/Kg dan ≤ 14,7
MJ/Kg (ATS, 2009).
Subbituminus merupakan hasil perubahan lignit dalam tekanan yang
lebih tinggi. Batubara jenis subbituminus memiliki warna hitam dengan nilai kalor
yang tinggi daripada batubara lignit. Kandungan karbon di dalam batubara ini
berkisar 35-45% dan batubara subbituminus memiliki kandungan sulfur yang
lebih rendah daripada batubara bituminus serta hasil pembakaran yang lebih
bersih (Tekmira, 2006). Nilai kalori jenis subbituminus, berdasarkan American
Testing Society for Testing and Material dari 19,3 – 26,7 MJ/Kg. Berdasarkan
nilai kalori, jenis batubara ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu subbituminus A,
B dan C dengan nilai kalori 19,3 – 22,1 MJ/Kg, 22,1 – 24,4 MJ/Kg dan 24,4 –
26,7 MJ/Kg (ATS, 2009).
Gambar 4.Penampilan Fisik Batubara Subbituminus (www. ptba.co.id)
Batubara bituminus memiliki warna hitam dengan komposisi terdiri dari
air dengan jumlah yang sangat kecil, bahan mudah menguap sekitar 15–20%
berat. Sementara itu jumlah karbonnya sebanyak 45-80% berat. Hasil pembakaran
batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang berasap, berabu, dan
batubara bituminus ditujukan untuk pembangkit listrik serta dikonversi menjadi
arang (coke) yang digunakan dalam industri baja (Tekmira, 2006).
Gambar 5.Penampilan Fisik Bituminus (www. ptba.co.id)
Batubara antrasit merupakan batubara dengan tingkat metamorfik
paling tinggi. Batubara ini dikenal sebagai batubara keras dan memiliki kilau
berlian. Batubara antrasit merupakan jenis batubara dengan kandungan karbon
dan jumlah energi yang paling tinggi. Kandungan karbon dalam batubara antrasit
dapat mencapai 80-96% berat. Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara
antrasit tergolong pembakaran yang sangat bersih dan bebas asap (Tekmira,
2006).
2.2. Hubungan Antar Mikroba
Hubungan antar mikroba ditemukan di alam yang berkumpul bebas di
dalam suatu media yang sama. Hubungan antara mikroba dapat dibedakan
menjadi beberapa yaitu netralisme, kompetisi, antagonis, komensalisme,
mutualisme, sinergisme, parasitisme, dan predatorisme. Hubungan mikroba secara
netralisme merupakan hubungan yang saling menguntungkan maupun tidak saling
menguntungkan hal ini disebabkan masing-masing mikroba memerlukan zat-zat
tertentu bagi diri mereka masing-masing meskipun hidup di dalam medium yang
sama (Dwidjoseputro, 2005).
Suatu hubungan antar mikroba yang saling merugikan ditunjukkan
dengan adanya persaingan antar mikroba dalam memperebutkan kebutuhan hidup.
Hanya mikroba yang kuat mampu bertahan dibandingkan dengan mikroba lainnya
dalam persaingan tersebut sehingga hubungan yang terjadi merupakan bentuk
kompetisi. Hubungan antagonisme menyatakan suatu hubungan yang asosial
ditunjukkan adanya suatu spesies menghasilkan zat yang meracuni spesies lain
sehingga pertumbuhan spesies lain terganggu. Suatu hubungan yang menunjukkan
suatu spesies mendapatkan keuntungan, sedangkan spesies yang lain tidak
dirugikan olehnya disebut komensalisme. Mutualisme merupakan suatu bentuk
simbiosis antara dua spesies, ditunjukkan dengan masing-masing yang bersekutu
mendapatkan keuntungan dan jika berpisah satu sama lain masing-masing spesies
tidak atau kurang dapat bertahan. Sinergisme merupakan suatu hubungan antara
dua spesies yang hidup bersama dan mengadakan kegiatan yang tidak saling
yang saling menguntungkan. Suatu hubungan yang hanya mengakibatkan
keuntungan disatu pihak saja dan pihak lain dirugikan disebut parasitisme. Suatu
hubungan antara pemangsa dan mangsa ditunjukkan dengan adanya suatu spesies
memakan spesies lain disebut hubungan predatorisme (Dwidjoseputro, 2005).
Di alam terdapat banyak mikroba dengan kekhasan metabolisme dan
kometabolisme yang dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi suatu materi
terutama senyawa organik. Suatu senyawa dengan susunan yang kompleks dan
heterogen menyebabkan suatu spesies tunggal mikroba tidak dapat mendegradasi
keseluruhan komponen penyusunnya sehingga diperlukan suatu interaksi yang
saling menguntungkan dalam bentuk konsorsium (Nugroho, 2007).
Konsorsium merupakan suatu pola interaksi antar mikroba berbeda
yang bertujuan untuk mempertahankan hidup. Di alam, mikroba tidak hidup
terisolasi secara ruang dan waktu. Terjadi hubungan yang setimbang antar
mikroba dan setiap mikroba memiliki peran masing-masing di ekosistem
tergantung dari potensi genetik. Pola konsorsium dapat diketahui dengan cara
mengisolasi dan menyeleksi mikroba dan kemudian memvariasikan dalam bentuk
kultur campur. Populasi satu jenis mikroba akan berbeda dengan ketidakhadiran
atau kehadiran jenis mikroba lainnya. Interaksi antara dua populasi berbeda,
secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tidak adanya saling pengaruh
keduanya, satu atau keduanya saling menguntungkan atau merugikan (Brenner
dkk., 2008). Konsorsium diperlukan terutama untuk kultur dengan substrat berupa
Bushil dan Slater (1981), terdapat 7 kelompok komunitas berdasarkan interaksi
antara mikroba, yaitu :
1. Struktur yang terbentuk oleh pertukaran (saling berbagi) nutrien-nutrien
spesifik di antara anggota-anggota komunitas.
2. Struktur yang terbentuk oleh pembuangan produk metabolisme yang mungkin
menghambat anggota komunitas yang memproduksinya, termasuk komunitas
yang memindahkan hidrogen.
3. Struktur yang terbentuk oleh interaksi yang menyebabkan terjadinya
modifikasi pada parameter-parameter pertumbuhan populasi yang
menghasilkan komunitas yang lebih kompetitif atau efisien (dibandingkan
dengan komponen-komponen populasinya).
4. Struktur yang terbentuk oleh terjadinya metabolisme bersama yang selaras,
yang tidak diekspresikan oleh populasi-populasi secara sendirian.
5. Struktur yang terbentuk oleh adanya kometabolisme.
6. Struktur yang terbentuk oleh adanya transfer ion-ion hidrogen.
7. Struktur yang terbentuk oleh lebih dari satu pengguna substrat primer, dengan
interaksi yang sering tidak dipahami.
Konsorsium mikroba dalam biokonversi batubara, banyak digunakan
untuk memproduksi gas metana (biogasifikasi). Jenis batubara yang digunakan
adalah kualitas rendah (Polman dkk., 1991) dan kualitas tinggi (Johnson dkk.,
1994). Selain untuk biogasifikasi, konsorsium juga dimanfaatkan untuk produksi
alkohol (Faison dkk., 1989) dan biosolubilisasi (Faison dkk., 1989; Wadhwa &
Penelitian biosolubilisasi umumnya hanya menggunakan kultur tunggal, bahkan
penelitian yang dilakukan oleh Gramms dkk. (1999) melaporkan bahwa interaksi
antara kapang Pleurotus dengan bakteri indigenus batubara menyebabkan
terjadinya penghambatan proses solubilisasi. Berbeda halnya dengan hasil
penelitian Sugoro dkk. (2010) yang menunjukkan terjadinya interaksi positif
antara kapang Trichoderma sp. dan Penicillium sp., dengan mikroba indigenus
batubara yang ditandai dengan tingginya tingkat biosolubilisasi dan produknya
dibandingkan dengan kontrol batubara steril.
2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba
Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase
cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur. Produknya dapat
digunakan sebagai bahan bakar dan industri kimia. Proses biosolubilisasi dapat
pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada
batubara (Faison dkk., 1989).
Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi
dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan
medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap ketika
ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison dkk., 1989). Contoh bakteri
yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini adalah Thiobacillus ferroxidans,
Leptospirillum ferrooxidans, dan Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh
Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Phaerochaete chrysosporium,
Candida sp., dan Cunninghamella sp. (Scott dkk., 1991).
Pemanfaatan fungi untuk biosolubilisasi, pertama kali dilaporkan oleh
Cohen dan Gabriele (1982). Lignit dari Amerika dapat dibiosolubilisasi oleh fungi
Polyporus versicolor dan Poria montico. Kemudian Catcheside dan Mallett
(1991) melaporkan bahwa lignit Australia dapat disolubilisasi oleh Coriolus
versicolor, Phanerochaete chrysosporium, dan 4 spesies lainnya. Biosolubilisasi
dengan lignit Jerman menggunakan tujuh basidiomycetes telah diteliti dan
dikonfirmasi oleh Reiss (1992). Selanjutnya Machnikowska dkk. (2002)
menemukan bahwa Polish lignit dapat disolubilisasi oleh strain P. putida dan
Basaran dkk. (2003) telah sukses mengsolubilisasi lignit Turki ke bentuk cairan
hitam dengan menggunakan fungi Corilous versicolor. Saat ini, Shi dkk. (2009)
telah mengsolubilisasi lignit dengan fungi.
Fungi lainnya yang telah dilaporkan memiliki kemampuan
mengsolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces,
Cunninghamella sp., Mucor sp., Aspergillus sp., Pleurotus djamor dan
P.citrinopilatus, Trichoderma atroviride (Holker dkk., 2002), Lentinula edodes,
Trametes versicolar (Gotz & Fakoussa., 1999), Pleurotus chrysosporium,
Pleurotus sajor-caju, Pleurotus sapidus, Pleurotus florida(Basaran dkk., 2003),
Pleurotus ostreatus, Nematoloma frowardii, Clitocybula dusenii, Auricularia sp.,
dan Stropharia rugosoannulata. Di Indonesia, penelitian biosolubilisasi batubara
telah dilakukan oleh Sugoro dkk. (2009) dengan menggunakan fungi indigenus
senyawa-senyawa yang setara dengan bahan bakar minyak dengan menggunakan kapang
Trichoderma sp. dan Penicillium sp.
Produk biosolubilisasi biasanya berupa campuran senyawa teroksidasi
yang larut dalam air dengan kisaran berat molekul 30 – 300 kDa dan banyak
memiliki gugus fungsi karboksil dan karbonil (Fakoussa dkk., 1994). Produk
biosolubilisasi batubara dengan menggunakan kapang Neurospora crassa berupa
hidrokarbon, yaitu C6H10 dan C25H26, C24H38 dan C26H14. Produk hasil solubilisasi
umumnya berupa senyawa asam karboksilat aromatik atau ester aromatik (Shi
dkk., 2009).
Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap unjuk kerja mikroba yang digunakan. Faktor-faktor tersebut
dapat berupa kondisi lingkungan, nutrisi, lamanya waktu proses, perlakuan awal
terhadap batubara, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memiliki efek yang
bervariasi, tergantung pada jenis mikroba yang digunakan. Pengetahuan mengenai
faktor-faktor ini diperlukan untuk memperoleh unjuk kerja yang paling optimal
sehingga jumlah sulfur yang berhasil dihilangkan dapat semaksimal mungkin.
Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses biodegradasi di
antaranya jenis batubara, suhu, agitasi, aerasi, pH, ukuran partikel, pra-perlakuan,
jenis medium, surfaktan, konsentrasi batubara, ion logam, sumber karbon, sumber
2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp.
Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau
mikroba pribumi pada suatu substrat. Kehidupan mikroba indigenus tidak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, temperatur, maupun kelembapan
(Waluyo, 2009). Hasil penelitian Pokornýdkk. (2005) menyatakan batubara lignit
mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota (fungi).
Kompleksitas dan heterogen komponen penyusun batubara mengakibatkan proses
biosolubilisasi kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh satu jenis mikroba. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji konsorsium antara mikroba
indigenus dengan kapang yang berpotensi dalam proses biosolubilisasi.
Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Kapang
adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya mudah
dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas. Kapang terdiri atas suatu
tallus yang tersusun dari filamen bercabang yang disebut hifa. Hifa tumbuh dari
spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ, dimana tuba ini
akan tumbuh terus membentuk filamen yang panjang dan bercabang, kemudian
akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium (Fardiaz, 1989).
Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis kapang dengan
klasifikasinya adalah filum: Ascomycota, kelas: Euascomycetes, ordo:
Hypocreales, famili: Hypocreaceae, genus: Trichoderma, spesies: Trichoderma
sp. (Persoon ex Gray in 1801). Ciri-ciri spesifik kapang tersebut adalah miselium
memiliki septat, konidia bercabang banyak, septat, dan ujung percabangannya
berbentuk bola-bola berlendir (Fardiaz, 1989). Jamur dari genus Trichoderma
dikenal sebagai penghasil enzim hidrolitik, selulase, pektinase dan xilonase yang
mampu mendegradasi polisakarida kompleks seperti selulosa, pektin,
hemiselulosa dan xilan. Sudah banyak jamur dari genus ini digunakan untuk
kepentingan industri dan pertanian, diantaranya Trichoderma harzianum dan
Trichoderma reesei yang mampu mensekresikan selulase dan hemiselulase yang
cukup besar, sedangkan sintesis selulase akan meningkat pada serat selulosa yang
dapat larut seperti selubiosa (Martina dkk., 2002). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Sugoro dkk. (2011) kapang Trichoderma sp. memiliki kemampuan
tertinggi dalam mengsolubilisasi batubara dari 7 kapang isolat yang berhasil
diisolasi pada tanah dan batubara. Oleh sebab itu, melihat potensi yang dimiliki
kapang Trichoderma sp. dilakukan penelitian lebih lanjut terutama mengamati
produk akhir yang dihasilkan dalam proses biosolubilisasi.
Gambar 7. Trichoderma sp. (www2.Ac-lycon.com)
Fungi mendegradasi batubara terutama jenis lignit meliputi mekanisme,
diantaranya sekresi senyawa alkalin yang dapat berupa ammonia (Quigley dkk.,
Konidia
1988; Quigley dkk., 1989), sekresi chelator yang merupakan senyawa organik
yang berperan dalam melepaskan ikatan kompleks logam yang terikat pada
molekul batubara, seperti asam oksalat, asam malat, asam etilendiamina
tetraasetat (EDTA), asam salisilat, trietanolamina (TEA) dan 1, 10-fenantrolin
(Fakoussa, 1994), dan sekresi enzim berupa enzim pendegradasi lignin secara
umum dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lakase (Lac) dan peroksidase
23
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung mulai dari bulan Maret sampai dengan Mei
2011. Tempat penelitian dilakukan yaitu, di Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) Pasar Jum’at, Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan
Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat utama yang digunakan adalah kromatografi gas - spektrometer
massa (GCMS) Shimadzu QP 2010, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC),
spektrofotometer UV-Vis Spectronic Genesys 2, spektrometer Fourier Transform
Infra Red (FTIR), mikroskop berkamera Nikon, timbangan analitik, autoklaf,
refrigerator, shaking inkubator, pH meter dan saringan berukuran 100 mesh.
Bahan–bahan yang digunakan adalah batubara jenis lignit dengan ukuran 100
mesh yang berasal dari Sumatera Selatan, Minimal Salt Solution (MSS/ 1 g
(NH4)2SO4, 0,52 g Mg(SO4).7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 g FeSO4, 0,003 g
ZnSO4.7H2O dan 0,003 g MnCl2 lalu ditambah akuades hingga volumenya
mencapai 1000 ml ), Potato Dextrose Agar (PDA), Trypticase Soy Broth (TSB)
agar bakto, sukrosa, ekstrak ragi, aseton, KH2PO4, alumunium foil, akuades,
alkohol 70%, larutan fisiologis (NaCl 0,85%), alkohol 96%, lugol, crystal violet,
safranin, benzen, heksana, dietil eter, glukosa 0-250 ppm, H2SO4, K2Cr2O7,
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Media.
* Konsentrasi dipekatkan 2 kali
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat
Alat–alat gelas yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan, lalu
disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC pada tekanan 1 atm selama 15
menit. Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol
70% (Waluyo, 2008).
3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara
Batubara asal Sumatera Selatan digerus dengan mortar secara aseptik di
dalam LAFC kemudian disaring menggunakan penyaring dengan ukuran 100
mesh dan diayak. Sampel batubara yang berhasil tersaring ditimbang
masing-masing 25 g sebanyak empat kali. Batubara ditempatkan ke dalam petri yang
dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dan dua petri berikutnya berisi
batubara yang dibiarkan tanpa proses sterilisasi.
3.3.3. Pembuatan Media Minimal Salt Solution (MSS)
Pembuatan media MSS dilakukan dengan cara menimbang bahan
seperti 0,52 g MgSO4.7H2O; 0,003 g ZnSO4.7H2O; 5 g KH2PO4; 0,005 g FeSO4; 1
g NH4(SO4) (Silva dkk., 2007), ditambahkan 0,003 g MnCl2 (Sugoro dkk., 2011)
sebagai modifikasi komposisi media dengan asumsi keberadaan enzim mangan
peroksidase setelah itu ditera dengan air akuades hingga 1 liter, kemudian
dilarutkan sampai homogen. Media MSS dibuat dalam 2 liter untuk media
perlakuan. Media MSS kemudian ditempatkan masing-masing 500 ml ke dalam
empat Erlenmeyer berbeda, ditambahkan dengan sukrosa 0,1% (0,5 g) dan ekstrak
ragi 0,01% (0,05 g). Campuran dihomogenkan kemudian disterilisasi selama 15
menit dalam suhu 1210C.
3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar (PDMA)
Media PDMA dibuat dengan menimbang PDA sebanyak 39 g
dilarutkan dengan akuades 500 ml, media ini dipekatkan dua kali. Dipersiapkan
Erlenmeyer yang berbeda untuk dibuat media MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi
sebanyak 500 ml kemudian ditambahkan 0,1 % batubara dan dihomogenkan.
media itu dicampur dalam satu Erlenmeyer dihomogenkan kemudian dengan
segera dituang ke dalam cawan petri steril.
3.3.5. Media Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)
Media TSMA dibuat dengan menimbang sebanyak 30 g Trypticase Soy
Broth (TSB) dan 1,5 % dari volume total yaitu 15 g agar dalam 500 ml dengan
konsentrasi dipekatkan dua kali. Pada Erlenmeyer berbeda dipersiapkan media
MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi 500 ml ditambah dengan 0,1 % batubara dari
volume total yaitu 1 g. Kedua media disterilisasi selama 15 menit pada suhu
1210C. Setelah sterilisasi selesai dilakukan pencampuran kedua media menjadi
satu, dihomogenkan dan segera dituang ke dalam cawan petri steril.
3.3.6. Pembuatan Kultur Inokulum Spora Trichoderma sp.
Isolat kapang Trichoderma sp. (Lampiran 9) diremajakan menggunakan
media PDMA dan diinkubasi selama 4-7 hari pada suhu ruang hingga
menghasilkan spora. Sebanyak 10 ml NaCl 0,85% steril dimasukkan ke dalam
cawan petri berisi isolat kapang, kemudian spora kapang dilepaskan menggunakan
ose hingga tampak larut di dalam larutan.
3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara
Media MSS yang telah disterilisasi sebelumnya, ditambahkan 5%
batubara disesuaikan dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Setiap
masing-masing media ditempatkan ke dalam empat Erlenmeyer berbeda sebagai media
perlakuan. Pada perlakuan B dan D ditambahkan kultur inokulum sebanyak 10%
(106 sel/ml v/v) sedangkan perlakuan A dan C tidak diberi inokulum sebagai
kontrol. Kontrol dibedakan pada perlakuan A digunakan batubara steril
(diautoklaf) sedangkan perlakuan C digunakan batubara yang masih mentah.
Kemudian semua kultur perlakuan diinkubasi di atas shaking inkubator dengan
agitasi 120 rpm, pada suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur
dilakukan pada hari ke-0, 2, 7, 14, 21, dan 28.
Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara.
Perlakuan Batubara
+ : Ditambahkan ke dalam komposisi media - : Tidak ditambahkan ke dalam komposisi media
Setiap kali dilakukan pencuplikan, sampel kultur dimasukkan ke dalam
tube kemudian disaring sebanyak 2/3 volume menggunakan kertas saring hingga
diperoleh supernatan yang sudah terpisah dari endapan batubara. Sisa kultur yang
ada di dalam tube digunakan untuk pengukuran pH, pengamatan kolonisasi secara
mikroskopis dan enumerasi kapang serta mikroba indigenos. Supernatan yang
didapat dimasukan ke dalam yellow tube untuk ditentukan kadar asam humat dan
Endapan produk dari supernatan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 550C
untuk analisa gugus fungsi menggunakan FTIR.
3.3.8. Pengukuran pH Media
Supernatan dari masing-masing perlakuan diukur nilai pH-nya
menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan setiap pencuplikan pada hari ke-0,
2, 7, 14, 21 dan 28.
3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi
Media PDMA dan TSMA masing-masing dituang ke dalam petri
sebanyak 15 ml dibiarkan mengeras. Dilakukan pengenceran pada sampel pada
tiap pencuplikan. Pengenceran disesuaikan dengan lama inkubasi. Semakin lama
masa inkubasi kultur maka semakin banyak seri pengenceran yang dilakukan.
Setelah itu, larutan dari tiga pengenceran terakhir diinokulasikan pada media
PDMA dan TSMA dengan metode sebar. Pada media TSMA enumerasi dilakukan
setelah 24 jam masa inkubasi sedangkan pada media PDMA enumerasi dilakukan
setelah 4-7 hari masa inkubasi. Total jenis dan total individu yang muncul semua
dicatat untuk dilakukan perhitungan jumlah sel. Jenis bakteri dan fungi yang
muncul diamati secara makroskopis dengan mencatat ciri-ciri yang tampak
sedangkan untuk pengamatan mikroskopis dilakukan dibawah mikroskop. Khusus
untuk bakteri dilakukan pewarnaan Gram untuk mengetahui kemurnian dan
Kolonisasi miselia kapang terhadap batubara diamati untuk mengetahui
aktifitas biosolubilisasi terutama oleh kapang. Sampel kultur diambil
menggunakan pipet bersih diteteskan di atas kaca preparat bersih diberi tanda
nama isolat sesuai perlakuan. Diamati di bawah mikroskop kolonisasi yang terjadi
dengan perbesaran 400 kali.
3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm
Pengukuran biosolubilisasi dilakukan dengan melakukan analisis
senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi. Produk biosolubilisasi (supernatan)
yang diperoleh selama waktu sampling dilakukan pengukuran absorbansi
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 dan 450
nm. Perubahan pola panjang gelombang diamati pada kisaran panjang gelombang
200– 600 nm untuk mengetahui perubahan gugus kromofor produk biosolubilisasi
batubara. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat
solubilisasi batubara yang tinggi pula (Selvi dkk., 2007).
3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat
Supernatan dari kultur diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan K2Cr2O7 5 ml diaduk dan ditambahkan
7,5 ml H2SO4 dihomogenkan kembali. Campuran larutan itu dibiarkan beberapa
saat hingga dingin, setelah itu ditambahkan air suling kurang lebih 50 ml lalu
hingga tanda batasnya, dikocok sampai homogen. Kadar asam humat dan fulvat
dalam larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
561 nm, dengan menggunakan deret standar glukosa 0-250 ppm (Graham, 1948
dan Shnitzer, 1984 dalam Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan
pupuk Balai Penelitian Tanah 2009).
Analisis Spektrometer FTIR ini dapat digunakan untuk
mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara. Produk biosolubilisasi
batubara dianalisis dengan FTIR pada range frekuensi 4000-450 cm-1. Produk
biosolubilisasi (supernatan) yang akan diuji ditentukan dari nilai biosolubilisasi
tertinggi. Produk (supernatan) yang diperoleh dilakukan dehidrasi (penghilangan
air) menggunakan alkohol 70% dengan perbandingan 3:1 kemudian di masukkan
ke dalam oven dengan suhu 550C hingga cairan menguap dan tersisa residu
produk. Residu produk yang akan diuji dicampurkan dengan serbuk KBr kering
hingga menyatu menggunakan lumpang dan serbuk campuran produk dimasukkan
ke dalam disk holder kemudian direkam dengan alat spektrometer FTIR. Kontrol
yang digunakan ekstrak produk batubara mentah dan batubara steril pada hari
ke-0.
3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS
Supernatan dan pelarut dicampur dengan perbandingan 1:1, pelarut
yang digunakan adalah benzene: heksana: dietil eter dengan perbandingan 3:1:1.
campuran tersebut dimasukan kedalam tabung reaksi lalu divortex sampai
bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan
bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi jenis senyawa dan menentukan
kadar hasil solubilisasi batubara dengan menggunakan GCMS selanjutnya
dimasukan ke dalam vial untuk dianalisis dengan alat GCMS. Kondisi optimum
GCMS yang digunakan sebagai berikut:
Tabel 3.Kondisi Optimum GCMS (Silva dkk., 2007)
Spesifikasi Keterangan
Data penelitian ini dianalisis menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) satu arah dan uji lanjutan Duncan (p=0,05), dibantu dengan program
SPSS 16 serta secara visual data meliputi parameter yang diamati disajikan dalam
3.4. Skema Penelitian
Analisis sampel
- Pengukuran pH media kultur
- Perubahan populasi bakteri dan fungi
- Analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi
- Perubahan pola panjang gelombang 200-600 nm
- Produksi asam humat dan fulvat
- Karakteristik gugus fungsi hasil biosolubilisasi batubara
- Identifikasi senyawa hasil biosolubilisasi dengan GCMS
Analisis data
Inkubasi pada suhu ruang di atas
33
4.1. Perubahan pH Media
Media kultur perlakuan yang diuji dalam proses biosolubilisasi
menunjukkan terjadinya perubahan pH selama inkubasi hingga hari ke-28
(Gambar 8). Secara statistik uji anova satu arah menunjukkan bahwa media
perlakuan mempengaruhi nilai pH media (p≤0,05) (Lampiran 6). Pengaruh
perlakuan terhadap nilai pH disebabkan adanya kombinasi agen pengsolubilisasi
pada masing-masing perlakuan (Tabel 2). Hasil uji statistik lanjutan yaitu uji
Duncan (p=0,05) menunjukkan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) memiliki
nilai pH tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Perubahan pH pada perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) terjadi
akibat adanya proses agitasi. Proses agitasi mengakibatkan terlepasnya sulfur
anorganik selama masa inkubasi (Wise, 1990). Batubara mengandung sulfur
dalam bentuk anorganik dalam bentuk sulfit dan sulfat (Speight, 1994). Selain
itu, tingginya nilai pH media A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8)
disebabkan tidak diinduksikan kapang Trichoderma sp. Penambahan spora
kapang Trichoderma sp. menciptakan kondisi yang lebih asam dibuktikan dengan
nilai pH media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.)
Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +
Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.
Pada pencuplikan hari ke-2, 7, 14, dan 21 terjadi penurunan pH dalam
semua media kultur perlakuan termasuk pada media kultur perlakuan A (MSS +
batubara steril 5%). Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadinya aktivitas
metabolisme di dalam media yang dilakukan baik oleh mikroba indigenus maupun
oleh kapang Trichoderma sp. bahkan kolaborasi di antara keduanya kecuali pada
media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%). Penurunan pH dapat disebabkan
oleh pembentukan asam-asam organik berupa asam karboksilat, asam fulvat yang
merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara. Produksi asam humat
dan fulvat sebagai produk biosolubilisasi dibuktikan dengan pengukuran kadarnya
pada parameter terjadinya biosolubilisasi (Gambar 13). Hal tersebut serupa
dengan penelitian yang dilakukan Arianto dkk. (2005) yang menyatakan
penurunan pH disebabkan terurainya komponen batubara berupa asam humat dan
fulvat. Batubara yang mengandung senyawa sulfur (Speight, 1994) diduga
mengalami desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk
ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat (Hammel, 1996) sehingga
menciptakan kondisi media asam. Keasaman media juga disebabkan dalam proses
biosolubilisasi batubara terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton
(Shi dkk., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzena
dan hidroksi, bersifat asam dan mudah dioksidasi lebih lanjut menjadi asam
karboksilat. Keton juga bersifat asam karena terbentuk dari oksidasi alkohol
sekunder. Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas
degradasi kapang yang melibatkan enzim di antaranya lignin peroksidase, fenol
oksidase, dan mangan peroksidase (Sugoro dkk.,2011).
Pada akhir masa inkubasi (hari ke-28) terjadi sedikit kenaikan nilai pH
kecuali pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8).
Peningkatan nilai pH tersebut diduga disebabkan terbentuknya senyawa amonia
hasil penguraian senyawa piridin dalam batubara yang larut dalam media dan
bereaksi dengan air membentuk ammonium hidroksida (NH4OH) yang bersifat
basa lemah (Yin dkk., 2009). Nilai pH yang meningkat juga diduga disebabkan
lisisnya sel di dalam media kultur akibat mulai terbentuknya zat sisa metabolit
yang bersifat racun untuk sel. Sel yang lisis di dalam media, kemudian
terdeaminasi kembali sebagai sumber nitrogen untuk metabolisme mikroba yang
senyawa alkali seperti ammonium dapat meningkatkan hidrosifilitas sehingga
batubara dapat bercampur dengan air dan media (Fakoussa & Hofrichter, 1999).
4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi
Proses biosolubilisasi batubara melibatkan berbagai macam mikroba
seperti bakteri dan fungi karena struktur penyusun batubara yang kompleks dan
heterogen. Bakteri sebagai salah satu yang ikut serta dalam proses tersebut
diamati pertumbuhan dan keanekaragaman jenisnya. Kurva enumerasi log bakteri
(Gambar 9) menandakan bahwa kehidupan bakteri berlangsung. Kultur perlakuan
D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan pola
pertumbuhan yang lebih teratur dibandingkan kultur perlakuan C (MSS +
batubara mentah 5%) yang terlihat fluktuatif. Kultur perlakuan A (MSS +
batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) tidak
terlihat pertumbuhan bakteri disebabkan penggunaan batubara yang telah
disterilisasi.
Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan bahwa
bakteri langsung terdaptasi (Gambar 9) dalam media kultur ditunjukkan dengan
fase pertumbuhan yang langsung mengalami peningkatan didukung pula kondisi
pH yang menurun menandakan adanya proses metabolisme (Gambar 8). Bakteri
indigenus yang terdapat di dalam batubara memiliki kemampuan memanfaatkan
secara langsung penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon
primer. Setelah sumber karbon primer habis ditandai dengan menurunnya kurva
0
melakukan sintesis enzim baru yang sesuai dengan media terutama batubara untuk
memperoleh sumber karbon sekunder. Proses adaptasi bakteri dengan kondisi
lingkungan yang baru menyebabkan terjadinya pertambahan volume sel, akan
tetapi tidak terjadi pertambahan jumlah sel (Purwoko, 2007).
Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +
Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.
Produksi enzim pendegradasi batubara oleh bakteri untuk memperoleh
sumber karbon dari batubara mengakibatkan kurva kembali meningkat (Gambar
9) yang menandakan terjadinya peningkatan pertumbuhan bakteri hingga
mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke-21. Selanjutnya, pada hari ke-28
kurva kembali mengalami penurunan diduga media sudah banyak mengandung
banyak sel yang lisis. Hal ini didukung pula dengan peningkatan nilai pH
(Gambar 8). Fluktuasi kurva pertumbuhan bakteri pada kultur C (MSS + batubara
mentah 5%) diduga disebabkan oleh adanya bakteri yang saling bersaing untuk
mendominasi di dalam substrat. Hal tersebut didukung dengan keanekaragaman
bakteri yang muncul (Gambar 10).
Penambahan inokulum spora Trichoderma sp. pada kultur perlakuan D
(MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menyajikan kurva enumerasi
yang berbeda dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%)
(Gambar 9). Kurva yang tercipta tampak teratur dan tidak terlalu terlihat
fluktuatif. Sama halnya pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%),
pada awal inkubasi kurva menunjukkan peningkatan. Hal tersebut terkait pada
penggunaan sumber karbon primer berupa sukrosa dan ekstrak ragi yang
menunjukkan bahwa bakteri indigenus sudah teradaptasi sebelumnya. Kurva
meningkat sejak awal inkubasi hingga hari ke-7 (Gambar 9). Peningkatan pada
kurva enumerasi diduga disebabkan oleh sel yang memanfaatkan penambahan
sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon dalam media kultur selain itu,
aktivitas dari kapang Trichoderma sp. yang diinduksikan mulai mendegradasi
batubara ikut andil dalam mempertahankan peningkatan kurva sejak awal
inkubasi. Setelah itu, kurva tampak stasioner hingga hari ke-14 diduga hal
tersebut terjadi akibat habisnya sumber karbon awal dan kemudian kurva
mengalami sedikit peningkatan kembali namun tidak meningkat setinggi seperti
pada awal inkubasi. Hari terakhir inkubasi yaitu hari ke-28 kurva mengalami
sel disebabkan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik bagi sel sehingga sel
mengalami lisis.
Jenis bakteri yang ditemukan secara keseluruhan dari semua perlakuan
berjumlah 8, yaitu BM04, BM21, BM01, BMT01, BM02, BMT24, BM23, dan
BMT71 (Gambar 10 dan Lampiran 1). Bakteri yang ditemukan umumnya
berbentuk batang (basil) yang saling lepas (Lampiran 2). Pokorny’ dkk. (2005)
menyatakan bakteri yang ditemukan pada batubara lignit berupa batang (Bacillus).
Sebagian besar isolat bakteri yang diperoleh memiliki karakteristik Gram negatif
(Lampiran 2).
Pola pertumbuhan bakteri yang terbentuk, merupakan pola
pertumbuhan yang melibatkan beberapa jenis bakteri. Kumpulan bakteri ini
diduga membentuk suatu konsorsium dalam memanfaatkan kandungan nutrien di
dalam media kultur perlakuan. Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%)
pada saat kurva mengalami kenaikan didominasi oleh bakteri jenis BM01 ( 2,9.
102 CFU/ml) (Gambar 10). Jenis bakteri tersebut tidak ditemukan lagi pada hari
pengamatan ke-2 dan 7 namun pada hari ke 14-28 bakteri jenis tersebut kembali
mendominasi. Diperkirakan bakteri jenis tersebut merupakan bakteri pengguna
fraksi sederhana. Kandungan sukrosa dan ekstrak ragi yang terkandung dalam
media kultur dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri jenis tersebut. Setelah
habis, bakteri tersebut tidak mampu merombak struktur batubara yang kompleks
dan heterogen sehingga tercipta kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan terbatasnya nutrien diduga
0
kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupannya yaitu pada masa akhir
masa inkubasi hari ke-14 hingga 28. Usaha mengamankan diri dari kondisi buruk
lingkungan menyebabkan bakteri membentuk spora terutama pada bakteri
berbentuk batang (Dwidjoseputro, 2005).
Kehadiran bakteri jenis BM04 dengan jumlah 9.104 CFU/ml (Gambar
10) mendominasi pada saat kurva menurun yang terjadi hari 2 hingga hari
ke-7 (Gambar 9) dan mengindikasikan kemampuannya untuk menghasilkan enzim
yang mampu merombak struktur batubara. Setelah struktur batubara terurai
menjadi fraksi yang lebih sederhana hingga hari ke-14, bakteri jenis BM01
kembali mendominasi pada hari selanjutnya hingga kurva kembali meningkat.
Masa akhir inkubasi kurva kembali menurun yang diduga memasuki fase
jenis BM01 (4,8.102 CFU/ml) pun mendominasi (Gambar 10). Peningkatan kurva
yang cukup lama hingga hari ke-7 (Gambar 9) terdapat beragam bakteri yang
mendominasi (Gambar 10). Hari ke-2 bakteri BM04 (103 CFU/ml) yang
mendominasi sedangkan pada hari ke-7 bakteri jenis BM02 (1,7.104 CFU/ml)
yang mendominasi. Keterlibatan kapang Trichoderma sp. cukup mempengaruhi
pola dominasi bakteri. Bakteri BM01 (2,3.107 CFU/ml) kembali mendominasi
pada hari ke-14, terurainya senyawa penyusun batubara menjadi fraksi sederhana
mengakibatkan memuncaknya pertumbuhan bakteri jenis tersebut. Diduga pada
hari ke-21 tercipta kondisi yang tidak mendukung kehidupan bakteri jenis BM01
yang mengakibatkan bakteri jenis ini mengalami kondisi dorman dan
mengakibatkan mendominasinya bakteri jenis lain, yaitu BM23 (3,6.107 CFU/ml).
Kehadiran bakteri jenis BM23 menunjukkan kemampuannya dalam
memanfaatkan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan bagi bakteri jenis BM01.
Aktivitas bakteri jenis BM23 tersebut mengakibatkan terciptanya kondisi
lingkungan yang mendukung bagi bakteri jenis BM01 sehingga bakteri jenis
tersebut kembali mendominasi pada akhir masa inkubasi (hari ke-28).
Berbagai macam bakteri yang mendominasi pada kultur perlakuan C
(MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma
sp.) (Gambar 10) menunjukkan terjadinya suksesi. Perubahan dominansi inilah
yang menyebabkan naik turunnya kurva sehingga membentuk pola pertumbuhan
konsorsium bakteri. Populasi yang dominan adalah populasi yang dapat
memanfaatkan sebagian besar sumber karbon yang terkandung di dalam kultur