• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biosolublisasi batubara lignit hasil interaksi kapang trichoderma sp. dengan mikroba indigenus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biosolublisasi batubara lignit hasil interaksi kapang trichoderma sp. dengan mikroba indigenus"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

RESTU YUSLIDA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

DENGAN MIKROBA INDIGENUS

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RESTU YUSLIDA 1070 9500 2802

Menyetujui.

Pembimbing I Pembimbing II

Irawan Sugoro, M. Si. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si.

NIP. 19761018 200012 1 001 NIP.19720322 200212 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

(4)

Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” yang ditulis oleh Restu Yuslida, NIM 107095002802 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui

Penguji 1, Penguji 2,

Priyanti, M.Si Dini Fardila, M.Si

NIP. 19750526 200012 2001 NIP. 19800330 200901 2009

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Irawan Sugoro, M.Si Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP. 19761018 200012 1001 NIP. 19720322 200212 2002

Mengetahui:

Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Prodi Biologi

(5)

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Agustus 2011

(6)
(7)

i Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah

memberikan nikmat tak terbatas, atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga

skripsi ini dapat Penulis selesaikan. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan

untuk baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang memperjuangkan

kesempurnaan agama ini sampai akhir hayat.

Skripsi dengan judul

Biosolubilisasi Batubara Lignit Hasil Interaksi Kapang Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus” disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi S1 pada Program

Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi yaitu :

1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis., selaku Dekan fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. DR. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud., selaku Ketua Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dini Fardila, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains

(8)

ii (Umar, Sibly dan Hafidz) yang selalu membuat tersenyum.

5. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing I, Penulis mengucapkan rasa

terimakasih sekali atas kesempatan yang telah diberikan, atas pengertian

yang senantiasa tercurah, atas nasehat kehidupan yang tak pernah

terpikirkan oleh penulis dan yang utama atas ilmu bermanfaat semoga

semuanya menjadi bekal Penulis di masa depan kelak dan semoga Allah

membalas kebaikan dan keberkahan senantiasa menyertai kehidupannya

kelak . Amien.

6. Megga R. Pikoli, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan

masukan saran dan nasehat yang bermanfaat, semoga Allah senantiasa

menyertai keberkahan dikehidupannya kelak . Amien.

7. La ode Sumarlin, M.Si dan Rina H.P, M.Si selaku penguji seminar hasil

serta Priyanti, M.Si dan Dini Fardila, M.Si selaku penguji sidang

munaqasah terimakasih atas saran dan masukan yang sangat berarti untuk

Penulis.

8. Dosen-dosen biologi tercinta terimakasih atas ilmu bermanfaat yang

senantiasa tercurah, atas perjalanan masa kuliah yang penuh suka duka

terutama dengan sekelumit tugas-tugas demi kemajuan mahasiswa

pastinya.

9. Encing Iyus, encing Mulia, encing Diding dan encing Toni terimakasih

(9)

iii semangat perjuangan yang senantiasa menghiasi hari-hari kita semua.

11.Kakak-kakak kelas Penulis senantiasa menyiratkan semangat perjuangan

untuk menyelesaikan studi dengan baik, semoga silaturahmi kita takkan

pernah terputus.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh

karena itu usul serta saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi

penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, Agustus 2011

(10)

iv

Trichoderma sp. dengan Mikroba Indigenus. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Biosolubilisasi batubara merupakan proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur menjadi produk yang setara dengan minyak bumi. Penelitian sebelumnya, telah diperoleh isolat kapang yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi batubara, yaitu Trichoderma sp. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara hasil interaksi kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus batubara. Metode yang dilakukan adalah kultur submerged dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) diinkubasi pada suhu ruang dengan agitasi 120 rpm. Hasil penelitian menunjukkan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang

Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) dalam mengsolubilisasi batubara lignit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi antara kapang Trichoderma

sp. dengan mikroba indigenus (perlakuan D) berdasarkan analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi, serta asam humat dan fulvat menunjukkan nilai yang tertinggi pada umumnya hari kedua inkubasi. Hasil scaning pada panjang gelombang 200-600 nm produk biosolubilisasi memperlihatkan terjadinya perbedaan pola pada semua perlakuan. Hasil analisis FTIR mendeteksi terjadinya peningkatan intensitas gugus fungsi yaitu gugus hidroksil, karbonil, gugus karboksilat, eter dan aromatik pada perlakuan B (MSS + batubara steril 5% +

Trichoderma sp.) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) dibandingkan dengan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) dan C (MSS + batubara mentah 5%). Hasil analisis GCMS pada produk biosolubilisasi menunjukkan senyawa yang terdeteksi didominasi senyawa alifatik rantai panjang dan umumnya berpotensi sebagai solar.

Kata kunci : Biosolubilisasi batubara, interaksi, mikroba indigenus,

Trichoderma sp.

(11)

v sp. Moulds with Indigenous Microbes. Undergraduate Thesis. Biology Department. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2011.

Biosolubilization of coal is a process of converting solid coal into liquid phase by using microbes, such as bacteria and fungi into a product which is equivalent to petroleum. Previous research has succesfully isolated mold as coal biosolubilization agent, namely Trichoderma sp. The purpose of this research was to characterize the product of coal biosolubilization resulted form mold

Trichoderma sp. interaction with coal indigenous microbes. The method used was submerged culture and the treatments were A (MSS + coal sterile 5%), B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + raw coal 5%) and D (MSS + raw coal + Trichoderma sp.). The treatments were incubated at room temperature and 120 rpm agitation. The result showed biosolubilization resulted form interaction between Trichoderma sp. with the indigenous microbes (D treatment) gave the highest performance. The highest biosolubilization occured after second day of incubation based on the analysis of phenolic and aromatic conjugated compounds and the humic and fulvic acid concentration. The scanning of biosolubilization product showed different patterns for all treatments. The FTIR analysis of biosolubilization product has detected an increase in the intensity of hidroxyl, carbonyl, carboxylat, ether and functional group of aromatic for B (MSS + coal sterile 5% + Trichoderma sp.) and D treatment (MSS + raw coal + Trichoderma sp.) than A (MSS + coal sterile 5%) and C (MSS + raw coal 5%) treatment. The GCMS analysis showed the detected compound was dominated by long chains aliphatic for all treatment and have the same potensial as diesel.

Keywords : Biosolubilization of coal, interactions, indigenous microbe,

(12)

vi

2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba... 16

2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp... 19

2.5. Kerangka Berpikir... 22

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 23

3.2. Alat dan Bahan... 23

(13)

vii 3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar

(PDMA)... 25

3.3.5. Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)... 26

3.3.6. Pembuatan kultur Inokulum Spora Trichoderma sp... 26

3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara... 26

3.3.8. Pengukuran pH Media ... 28

3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 28

3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm.. 29

3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat... 29

3.3.12. Analisis Gugus Fungsi Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan FTIR... 29

3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS... 30

3.3.14. Analisis Data... 31

3.4. Skema Penelitian... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan pH Media... 33

4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi... 36

4.3. Analisis Produk Biosolubilisasi... 47

(14)

viii

Batubara... 57

4.3.5 Identifikasi Senyawa Hasil Biosolubilisasi dengan GCMS... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 68

5.2. Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA... 70

(15)

ix Tabel 1. Komposisi Media... 24

Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara... 27

Tabel 3. Kondisi Optimum GCMS... 31

Tabel 4. Populasi kapang pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), (B (MSS + batubara steril 5%+

Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 44

Tabel 5. Hasil scanning 200-600 nm pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%), dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 53

(16)

x

Gambar 1. Proses pembentukan Batubara... 8

Gambar 2. Model Struktur Batubara dari Tingkatan berbeda... 9

Gambar 3. Penampilan Fisik Batubara Lignit... 10

Gambar 4. Penampilan Fisik Batubara Subbituminus... 11

Gambar 5. Penampilan Fisik Batubara Bituminus... 12

Gambar 6. Penampilan Fisik Batubara Antrasit... 12

Gambar 7. Trichoderma sp... 20

Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 34

Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS +

(17)

xi mentah 5% + Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada

suhu ruang dan agitasi 120 rpm... 55

Gambar 14. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (2) media perlakuan A hari ke-2 (3) media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + kapang Trichoderma sp.)hari ke-2.. 58

Gambar 15. Hasil FTIR produk biosolubilisasi (1) Kontrol media perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) (2) media perlakuan C hari ke-2 (3) media perlakuan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) hari ke-2... 59

Gambar 16. Persentase Area senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin dan solar pada kultur perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% +

(18)

xii

Lampiran 1. Jenis Bakteri yang Terdapat pada Kultur Perlakuan... 76

Lampiran 2. Hasil Pewarnaan Gram... 77

Lampiran 3. Jenis Kapang... 78

Lampiran 4. Khamir pada Perlakuan Medium dengan Batubara Mentah Hari Inkubasi ke-14... 79

Lampiran 5. Kolonisasi Kapang pada Batubara Perbesarn 400x... 80

Lampiran 6. Nilai pH... 82

Lampiran 7. Analisis Statistik Produk Biosolubilisasi... 83

Lampiran 8. Kromatogram Hasil GCMS Biosolubilisasi... 87

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting di dunia

selain gas alam dan minyak bumi. Menurut IEA (2009), jumlah cadangan gas

alam 163,3 triliun ton, minyak bumi 164,5 triliun ton dan batubara 462,6 triliun

ton. Perkiraan ketersediaan sumber energi tersebut pada minyak bumi selama 50

tahun, gas bumi untuk 63 tahun dan batubara untuk 146 tahun. Menipisnya

cadangan sumber energi di dunia tanpa adanya energi alternatif dapat

menghambat produktivitas perekonomian sehingga pencarian energi alternatif

dengan kualitas yang baik perlu dilakukan. Pemanfaatan batubara tampaknya

dapat dijadikan solusi atas permasalahan ini.

Di Indonesia ketersediaan cadangan batubara berdasarkan data akhir

tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar

20,98 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti di dunia.

Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori

rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, dan

bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM, 2010).

Ketersediaan sumber energi terutama batubara membuka peluang untuk

(20)

Pada tahun 2010 diperkirakan batubara akan memegang peranan

sebesar 25% dari total kebutuhan energi domestik. Hal tersebut didukung oleh

pemerintah melalui Peraturan Presiden. No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan

Energi Nasional (KEN), dimana penggunaan batubara akan ditingkatkan menjadi

33% dan batubara yang dicairkan sebesar 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi

ketergantungan terhadap minyak bumi (ESDM, 2010).

Pemanfaatan batubara terutama di Indonesia berasal dari jenis batubara

kalori rendah dan sedang, sedangkan batubara kalori tinggi kebanyakan diekspor.

Batubara dari jenis kalori rendah seperti lignit merupakan batubara yang kurang

ekonomis karena memiliki kadar air yang sangat tinggi (di atas 30%) dan nilai

kalor di bawah 5.000 kcal/kg serta mengandung abu tinggi. Hal tersebut

menyebabkan batubara dari jenis ini tidak dimanfaatkan dan diperlukan

peningkatan kualitasnya untuk dapat digunakan, antara lain dengan teknologi

gasifikasi atau liquifikasi. Batubara lignit banyak digunakan untuk pembangkit

tenaga listrik dan panas sebesar 96,4%. Namun, pembakaran lignit mengakibatkan

polusi yang cukup berbahaya karena menghasilkan sulfur oksida (SOx), nitrogen

oksida (NOx), karbon dioksida (CO2) dan logam berat (Xuchang dkk., 2000).

Dampak yang tidak baik untuk lingkungan menjadi pertimbangan yang harus

dipikirkan dalam pemakaian jenis batubara ini. Pembakaran batubara perlu

dihindari dan menerapkan alternatif pemanfaatannya merupakan solusi aman

penggunaan batubara sebagai sumber energi.

Pencairan batubara pada awalnya dianggap menjadi alternatif

(21)

yaitu proses sintesis Fischer-Tropsch, Bergius dan Brown Coal Liquefication

Technology (BCL). Namun, penerapan metode ini membutuhkan biaya

operasional yang cukup tinggi karena dilakukan dalam temperatur dan tekanan

yang tinggi serta memerlukan instalasi yang cukup rumit (Yoshida, 2007).

Alternatif lainnya adalah pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroba atau

yang dikenal dengan biosolubilisasi.

Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase

cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur (Faison dkk., 1989).

Biosolubilisasi memiliki beberapa kelebihan di antaranya produk yang dihasilkan

tidak menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran (Fakoussa & Frost,

1999). Biosolubilisasi batubara sangat ditentukan oleh agen biologi, jenis batubara

dan kondisi lingkungan. Struktur dan kompleksitas batubara yang berbeda di

setiap daerah mempengaruhi pertumbuhan mikroba pengsolubilisasi, sedangkan

mikroba berperan sebagai katalis atau penghasil enzim pengsolubilisasi (Wise,

1990).

Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui mampu

berinteraksi dengan batubara kualitas rendah dengan proses ekstraselular (Faison

dkk., 1989). Hasil isolasi dan seleksi pada penelitian sebelumnya telah diperoleh

isolat kapang Trichoderma sp. yang berpotensi sebagai agen biosolubilisasi

batubara lignit (Sugoro dkk., 2011). Produk yang dihasilkan berupa senyawa yang

setara dengan minyak bumi, tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil.

Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui interaksi kapang terseleksi

(22)

Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau mikroba pribumi

pada suatu substrat (Waluyo, 2009). Diharapkan akan terbentuk konsorsium yang

menguntungkan antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus. Hal

tersebut penting karena kompleksitas dan heterogenitas senyawa penyusun

batubara. Satu jenis mikroba mempunyai kemampuan metabolisme terbatas,

sehingga proses biosolubilisasi batubara kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh

satu jenis (Brenner dkk., 2008). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan

penelitian yang membandingkan penggunaan batubara mentah dan batubara steril

dalam proses biosolubilisasi. Hasil penelitian Pokorný dkk. (2005) menyatakan

batubara lignit mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota

(fungi).

Aplikasi pencairan batubara lignit yang dilakukan dengan kondisi

mentah akan menghemat biaya operasional. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini

akan dilakukan biosolubilisasi dengan menggunakan batubara mentah dan steril.

Diharapkan proses biosolubilisasi dengan batubara mentah mampu menghasilkan

produk yang lebih baik dibandingkan batubara steril. Hal tersebut akan menjadi

suatu gagasan baru dalam penerapan teknologi biosolubilisasi yang lebih

ekonomis.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba

(23)

2. Bagaimana karakteristik produk hasil biosolubilisasi batubara lignit

hasil interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba

indigenus?

1.3. Hipotesis

1. Interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus

dapat meningkatkan biosolubilisasi batubara lignit.

2. Senyawa hasil biosolubilisasi antara kapang Trichoderma sp. dengan

mikroba indigenus merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki

karakteristik bensin dan solar.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kemampuan biosolubilisasi batubara lignit hasil interaksi

antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus dalam

mengsolubilisasi batubara lignit.

2. Mengetahui karakteristik produk biosolubilisasi batubara lignit hasil

interaksi antara kapang Trichoderma sp. dengan mikroba indigenus.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung aplikasi pencairan

batubara mentah tanpa didahului sterilisasi dengan memberikan informasi

(24)

indigenus dalam mengsolubilisasi batubara lignit serta karakterisasi dari produk

(25)

7

2.1. Batubara

Batubara adalah bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar, terbentuk

dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan

oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata

batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama

jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batu bara (World Coal Institute, 2005).

Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan

pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994). Pembentukan batubara

berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang

mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan

kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroba juga memegang peranan

yang sangat penting.

Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan karbon

(Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang

berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap

endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu

pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik (Speight, 1994). Proses

(26)

)

Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Susilawati, 2008)

Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan

tumbuhan pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut

kemudian mati dan terbenam di rawa. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang

mati membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan

air dan terawetkan melalui proses biokimia. Adanya proses tektonik

mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence), sehingga hutan

berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhan pun berakhir. Selanjutnya

material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan di atas sisa-sisa tumbuhan

yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batu pasir,

batu lempung atau batu lanau yang kemudian menjadi tebal jika pengendapan

terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan tersebut dikenal sebagai

lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa mencapai ratusan meter. Jika

penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah,

daratan dapat muncul kembali di atas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup

(27)

beberapa lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan kehadiran batu pasir, batu lanau atau

batu lempung berselingan mengendap (Susilawati, 2008).

Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan

sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun

tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batu lempung, batu lanau dan

batu pasir. Seiring perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut

ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan dan

temperatur, sehingga berubah menjadi batubara. Pada proses pembatubaraan,

gambut berubah menjadi batubara lignit, subbituminus, bituminous dan batubara

antrasit (Susilawati, 2008). Berikut struktur kimia dari beberapa jenis batubara

(Gambar 2).

(28)

Berdasarkan kandungan karbon, oksigen, dan hidrogennya, batubara

diklasifikasikan menjadi beberapa golongan utama. Semakin banyak kandungan

energi dalam batubara, maka kandungan energi dalam batubara semakin banyak

pula. Batubara dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu lignit,

subbituminus, bituminus dan antrasit.

Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis

batubara yang paling muda dan di dalamnya termasuk brown coal atau Low Rank

Coal (LRC). Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam

kecoklatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang terkena

tekanan tinggi. Kandungan karbon pada lignit paling rendah di antara jenis lain,

yakni berkisar antara 20-35% berat sementara itu kandungan airnya lebih tinggi.

Nilai kalori lignit berdasarkan American Testing Society for Testing and Material

kurang dari 19,3 MJ/Kg. Berdasarkan nilai kalori, lignit dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu lignit A dan B dengan nilai kalori 14,7 – 19,3 MJ/Kg dan ≤ 14,7

MJ/Kg (ATS, 2009).

(29)

Subbituminus merupakan hasil perubahan lignit dalam tekanan yang

lebih tinggi. Batubara jenis subbituminus memiliki warna hitam dengan nilai kalor

yang tinggi daripada batubara lignit. Kandungan karbon di dalam batubara ini

berkisar 35-45% dan batubara subbituminus memiliki kandungan sulfur yang

lebih rendah daripada batubara bituminus serta hasil pembakaran yang lebih

bersih (Tekmira, 2006). Nilai kalori jenis subbituminus, berdasarkan American

Testing Society for Testing and Material dari 19,3 – 26,7 MJ/Kg. Berdasarkan

nilai kalori, jenis batubara ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu subbituminus A,

B dan C dengan nilai kalori 19,3 – 22,1 MJ/Kg, 22,1 – 24,4 MJ/Kg dan 24,4 –

26,7 MJ/Kg (ATS, 2009).

Gambar 4.Penampilan Fisik Batubara Subbituminus (www. ptba.co.id)

Batubara bituminus memiliki warna hitam dengan komposisi terdiri dari

air dengan jumlah yang sangat kecil, bahan mudah menguap sekitar 15–20%

berat. Sementara itu jumlah karbonnya sebanyak 45-80% berat. Hasil pembakaran

batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang berasap, berabu, dan

(30)

batubara bituminus ditujukan untuk pembangkit listrik serta dikonversi menjadi

arang (coke) yang digunakan dalam industri baja (Tekmira, 2006).

Gambar 5.Penampilan Fisik Bituminus (www. ptba.co.id)

Batubara antrasit merupakan batubara dengan tingkat metamorfik

paling tinggi. Batubara ini dikenal sebagai batubara keras dan memiliki kilau

berlian. Batubara antrasit merupakan jenis batubara dengan kandungan karbon

dan jumlah energi yang paling tinggi. Kandungan karbon dalam batubara antrasit

dapat mencapai 80-96% berat. Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara

antrasit tergolong pembakaran yang sangat bersih dan bebas asap (Tekmira,

2006).

(31)

2.2. Hubungan Antar Mikroba

Hubungan antar mikroba ditemukan di alam yang berkumpul bebas di

dalam suatu media yang sama. Hubungan antara mikroba dapat dibedakan

menjadi beberapa yaitu netralisme, kompetisi, antagonis, komensalisme,

mutualisme, sinergisme, parasitisme, dan predatorisme. Hubungan mikroba secara

netralisme merupakan hubungan yang saling menguntungkan maupun tidak saling

menguntungkan hal ini disebabkan masing-masing mikroba memerlukan zat-zat

tertentu bagi diri mereka masing-masing meskipun hidup di dalam medium yang

sama (Dwidjoseputro, 2005).

Suatu hubungan antar mikroba yang saling merugikan ditunjukkan

dengan adanya persaingan antar mikroba dalam memperebutkan kebutuhan hidup.

Hanya mikroba yang kuat mampu bertahan dibandingkan dengan mikroba lainnya

dalam persaingan tersebut sehingga hubungan yang terjadi merupakan bentuk

kompetisi. Hubungan antagonisme menyatakan suatu hubungan yang asosial

ditunjukkan adanya suatu spesies menghasilkan zat yang meracuni spesies lain

sehingga pertumbuhan spesies lain terganggu. Suatu hubungan yang menunjukkan

suatu spesies mendapatkan keuntungan, sedangkan spesies yang lain tidak

dirugikan olehnya disebut komensalisme. Mutualisme merupakan suatu bentuk

simbiosis antara dua spesies, ditunjukkan dengan masing-masing yang bersekutu

mendapatkan keuntungan dan jika berpisah satu sama lain masing-masing spesies

tidak atau kurang dapat bertahan. Sinergisme merupakan suatu hubungan antara

dua spesies yang hidup bersama dan mengadakan kegiatan yang tidak saling

(32)

yang saling menguntungkan. Suatu hubungan yang hanya mengakibatkan

keuntungan disatu pihak saja dan pihak lain dirugikan disebut parasitisme. Suatu

hubungan antara pemangsa dan mangsa ditunjukkan dengan adanya suatu spesies

memakan spesies lain disebut hubungan predatorisme (Dwidjoseputro, 2005).

Di alam terdapat banyak mikroba dengan kekhasan metabolisme dan

kometabolisme yang dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi suatu materi

terutama senyawa organik. Suatu senyawa dengan susunan yang kompleks dan

heterogen menyebabkan suatu spesies tunggal mikroba tidak dapat mendegradasi

keseluruhan komponen penyusunnya sehingga diperlukan suatu interaksi yang

saling menguntungkan dalam bentuk konsorsium (Nugroho, 2007).

Konsorsium merupakan suatu pola interaksi antar mikroba berbeda

yang bertujuan untuk mempertahankan hidup. Di alam, mikroba tidak hidup

terisolasi secara ruang dan waktu. Terjadi hubungan yang setimbang antar

mikroba dan setiap mikroba memiliki peran masing-masing di ekosistem

tergantung dari potensi genetik. Pola konsorsium dapat diketahui dengan cara

mengisolasi dan menyeleksi mikroba dan kemudian memvariasikan dalam bentuk

kultur campur. Populasi satu jenis mikroba akan berbeda dengan ketidakhadiran

atau kehadiran jenis mikroba lainnya. Interaksi antara dua populasi berbeda,

secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tidak adanya saling pengaruh

keduanya, satu atau keduanya saling menguntungkan atau merugikan (Brenner

dkk., 2008). Konsorsium diperlukan terutama untuk kultur dengan substrat berupa

(33)

Bushil dan Slater (1981), terdapat 7 kelompok komunitas berdasarkan interaksi

antara mikroba, yaitu :

1. Struktur yang terbentuk oleh pertukaran (saling berbagi) nutrien-nutrien

spesifik di antara anggota-anggota komunitas.

2. Struktur yang terbentuk oleh pembuangan produk metabolisme yang mungkin

menghambat anggota komunitas yang memproduksinya, termasuk komunitas

yang memindahkan hidrogen.

3. Struktur yang terbentuk oleh interaksi yang menyebabkan terjadinya

modifikasi pada parameter-parameter pertumbuhan populasi yang

menghasilkan komunitas yang lebih kompetitif atau efisien (dibandingkan

dengan komponen-komponen populasinya).

4. Struktur yang terbentuk oleh terjadinya metabolisme bersama yang selaras,

yang tidak diekspresikan oleh populasi-populasi secara sendirian.

5. Struktur yang terbentuk oleh adanya kometabolisme.

6. Struktur yang terbentuk oleh adanya transfer ion-ion hidrogen.

7. Struktur yang terbentuk oleh lebih dari satu pengguna substrat primer, dengan

interaksi yang sering tidak dipahami.

Konsorsium mikroba dalam biokonversi batubara, banyak digunakan

untuk memproduksi gas metana (biogasifikasi). Jenis batubara yang digunakan

adalah kualitas rendah (Polman dkk., 1991) dan kualitas tinggi (Johnson dkk.,

1994). Selain untuk biogasifikasi, konsorsium juga dimanfaatkan untuk produksi

alkohol (Faison dkk., 1989) dan biosolubilisasi (Faison dkk., 1989; Wadhwa &

(34)

Penelitian biosolubilisasi umumnya hanya menggunakan kultur tunggal, bahkan

penelitian yang dilakukan oleh Gramms dkk. (1999) melaporkan bahwa interaksi

antara kapang Pleurotus dengan bakteri indigenus batubara menyebabkan

terjadinya penghambatan proses solubilisasi. Berbeda halnya dengan hasil

penelitian Sugoro dkk. (2010) yang menunjukkan terjadinya interaksi positif

antara kapang Trichoderma sp. dan Penicillium sp., dengan mikroba indigenus

batubara yang ditandai dengan tingginya tingkat biosolubilisasi dan produknya

dibandingkan dengan kontrol batubara steril.

2.3. Biosolubilisasi Batubara oleh Mikroba

Biosolubilisasi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase

cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur. Produknya dapat

digunakan sebagai bahan bakar dan industri kimia. Proses biosolubilisasi dapat

pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada

batubara (Faison dkk., 1989).

Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi

dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan

medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap ketika

ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison dkk., 1989). Contoh bakteri

yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini adalah Thiobacillus ferroxidans,

Leptospirillum ferrooxidans, dan Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh

(35)

Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Phaerochaete chrysosporium,

Candida sp., dan Cunninghamella sp. (Scott dkk., 1991).

Pemanfaatan fungi untuk biosolubilisasi, pertama kali dilaporkan oleh

Cohen dan Gabriele (1982). Lignit dari Amerika dapat dibiosolubilisasi oleh fungi

Polyporus versicolor dan Poria montico. Kemudian Catcheside dan Mallett

(1991) melaporkan bahwa lignit Australia dapat disolubilisasi oleh Coriolus

versicolor, Phanerochaete chrysosporium, dan 4 spesies lainnya. Biosolubilisasi

dengan lignit Jerman menggunakan tujuh basidiomycetes telah diteliti dan

dikonfirmasi oleh Reiss (1992). Selanjutnya Machnikowska dkk. (2002)

menemukan bahwa Polish lignit dapat disolubilisasi oleh strain P. putida dan

Basaran dkk. (2003) telah sukses mengsolubilisasi lignit Turki ke bentuk cairan

hitam dengan menggunakan fungi Corilous versicolor. Saat ini, Shi dkk. (2009)

telah mengsolubilisasi lignit dengan fungi.

Fungi lainnya yang telah dilaporkan memiliki kemampuan

mengsolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces,

Cunninghamella sp., Mucor sp., Aspergillus sp., Pleurotus djamor dan

P.citrinopilatus, Trichoderma atroviride (Holker dkk., 2002), Lentinula edodes,

Trametes versicolar (Gotz & Fakoussa., 1999), Pleurotus chrysosporium,

Pleurotus sajor-caju, Pleurotus sapidus, Pleurotus florida(Basaran dkk., 2003),

Pleurotus ostreatus, Nematoloma frowardii, Clitocybula dusenii, Auricularia sp.,

dan Stropharia rugosoannulata. Di Indonesia, penelitian biosolubilisasi batubara

telah dilakukan oleh Sugoro dkk. (2009) dengan menggunakan fungi indigenus

(36)

senyawa-senyawa yang setara dengan bahan bakar minyak dengan menggunakan kapang

Trichoderma sp. dan Penicillium sp.

Produk biosolubilisasi biasanya berupa campuran senyawa teroksidasi

yang larut dalam air dengan kisaran berat molekul 30 – 300 kDa dan banyak

memiliki gugus fungsi karboksil dan karbonil (Fakoussa dkk., 1994). Produk

biosolubilisasi batubara dengan menggunakan kapang Neurospora crassa berupa

hidrokarbon, yaitu C6H10 dan C25H26, C24H38 dan C26H14. Produk hasil solubilisasi

umumnya berupa senyawa asam karboksilat aromatik atau ester aromatik (Shi

dkk., 2009).

Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang

berpengaruh terhadap unjuk kerja mikroba yang digunakan. Faktor-faktor tersebut

dapat berupa kondisi lingkungan, nutrisi, lamanya waktu proses, perlakuan awal

terhadap batubara, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memiliki efek yang

bervariasi, tergantung pada jenis mikroba yang digunakan. Pengetahuan mengenai

faktor-faktor ini diperlukan untuk memperoleh unjuk kerja yang paling optimal

sehingga jumlah sulfur yang berhasil dihilangkan dapat semaksimal mungkin.

Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses biodegradasi di

antaranya jenis batubara, suhu, agitasi, aerasi, pH, ukuran partikel, pra-perlakuan,

jenis medium, surfaktan, konsentrasi batubara, ion logam, sumber karbon, sumber

(37)

2.4. Mikroba Indigenus dan Kapang Trichoderma sp.

Mikroba indigenus merupakan mikroba-mikroba setempat atau

mikroba pribumi pada suatu substrat. Kehidupan mikroba indigenus tidak

dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, temperatur, maupun kelembapan

(Waluyo, 2009). Hasil penelitian Pokornýdkk. (2005) menyatakan batubara lignit

mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota (fungi).

Kompleksitas dan heterogen komponen penyusun batubara mengakibatkan proses

biosolubilisasi kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh satu jenis mikroba. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji konsorsium antara mikroba

indigenus dengan kapang yang berpotensi dalam proses biosolubilisasi.

Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Kapang

adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya mudah

dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas. Kapang terdiri atas suatu

tallus yang tersusun dari filamen bercabang yang disebut hifa. Hifa tumbuh dari

spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ, dimana tuba ini

akan tumbuh terus membentuk filamen yang panjang dan bercabang, kemudian

akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium (Fardiaz, 1989).

Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis kapang dengan

klasifikasinya adalah filum: Ascomycota, kelas: Euascomycetes, ordo:

Hypocreales, famili: Hypocreaceae, genus: Trichoderma, spesies: Trichoderma

sp. (Persoon ex Gray in 1801). Ciri-ciri spesifik kapang tersebut adalah miselium

memiliki septat, konidia bercabang banyak, septat, dan ujung percabangannya

(38)

berbentuk bola-bola berlendir (Fardiaz, 1989). Jamur dari genus Trichoderma

dikenal sebagai penghasil enzim hidrolitik, selulase, pektinase dan xilonase yang

mampu mendegradasi polisakarida kompleks seperti selulosa, pektin,

hemiselulosa dan xilan. Sudah banyak jamur dari genus ini digunakan untuk

kepentingan industri dan pertanian, diantaranya Trichoderma harzianum dan

Trichoderma reesei yang mampu mensekresikan selulase dan hemiselulase yang

cukup besar, sedangkan sintesis selulase akan meningkat pada serat selulosa yang

dapat larut seperti selubiosa (Martina dkk., 2002). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan Sugoro dkk. (2011) kapang Trichoderma sp. memiliki kemampuan

tertinggi dalam mengsolubilisasi batubara dari 7 kapang isolat yang berhasil

diisolasi pada tanah dan batubara. Oleh sebab itu, melihat potensi yang dimiliki

kapang Trichoderma sp. dilakukan penelitian lebih lanjut terutama mengamati

produk akhir yang dihasilkan dalam proses biosolubilisasi.

Gambar 7. Trichoderma sp. (www2.Ac-lycon.com)

Fungi mendegradasi batubara terutama jenis lignit meliputi mekanisme,

diantaranya sekresi senyawa alkalin yang dapat berupa ammonia (Quigley dkk.,

Konidia

(39)

1988; Quigley dkk., 1989), sekresi chelator yang merupakan senyawa organik

yang berperan dalam melepaskan ikatan kompleks logam yang terikat pada

molekul batubara, seperti asam oksalat, asam malat, asam etilendiamina

tetraasetat (EDTA), asam salisilat, trietanolamina (TEA) dan 1, 10-fenantrolin

(Fakoussa, 1994), dan sekresi enzim berupa enzim pendegradasi lignin secara

umum dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lakase (Lac) dan peroksidase

(40)
(41)

23

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung mulai dari bulan Maret sampai dengan Mei

2011. Tempat penelitian dilakukan yaitu, di Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN) Pasar Jum’at, Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan

Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat utama yang digunakan adalah kromatografi gas - spektrometer

massa (GCMS) Shimadzu QP 2010, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC),

spektrofotometer UV-Vis Spectronic Genesys 2, spektrometer Fourier Transform

Infra Red (FTIR), mikroskop berkamera Nikon, timbangan analitik, autoklaf,

refrigerator, shaking inkubator, pH meter dan saringan berukuran 100 mesh.

Bahan–bahan yang digunakan adalah batubara jenis lignit dengan ukuran 100

mesh yang berasal dari Sumatera Selatan, Minimal Salt Solution (MSS/ 1 g

(NH4)2SO4, 0,52 g Mg(SO4).7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 g FeSO4, 0,003 g

ZnSO4.7H2O dan 0,003 g MnCl2 lalu ditambah akuades hingga volumenya

mencapai 1000 ml ), Potato Dextrose Agar (PDA), Trypticase Soy Broth (TSB)

agar bakto, sukrosa, ekstrak ragi, aseton, KH2PO4, alumunium foil, akuades,

alkohol 70%, larutan fisiologis (NaCl 0,85%), alkohol 96%, lugol, crystal violet,

safranin, benzen, heksana, dietil eter, glukosa 0-250 ppm, H2SO4, K2Cr2O7,

(42)

digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Media.

* Konsentrasi dipekatkan 2 kali

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat–alat gelas yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan, lalu

disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC pada tekanan 1 atm selama 15

menit. Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol

70% (Waluyo, 2008).

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara

Batubara asal Sumatera Selatan digerus dengan mortar secara aseptik di

dalam LAFC kemudian disaring menggunakan penyaring dengan ukuran 100

mesh dan diayak. Sampel batubara yang berhasil tersaring ditimbang

masing-masing 25 g sebanyak empat kali. Batubara ditempatkan ke dalam petri yang

(43)

dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dan dua petri berikutnya berisi

batubara yang dibiarkan tanpa proses sterilisasi.

3.3.3. Pembuatan Media Minimal Salt Solution (MSS)

Pembuatan media MSS dilakukan dengan cara menimbang bahan

seperti 0,52 g MgSO4.7H2O; 0,003 g ZnSO4.7H2O; 5 g KH2PO4; 0,005 g FeSO4; 1

g NH4(SO4) (Silva dkk., 2007), ditambahkan 0,003 g MnCl2 (Sugoro dkk., 2011)

sebagai modifikasi komposisi media dengan asumsi keberadaan enzim mangan

peroksidase setelah itu ditera dengan air akuades hingga 1 liter, kemudian

dilarutkan sampai homogen. Media MSS dibuat dalam 2 liter untuk media

perlakuan. Media MSS kemudian ditempatkan masing-masing 500 ml ke dalam

empat Erlenmeyer berbeda, ditambahkan dengan sukrosa 0,1% (0,5 g) dan ekstrak

ragi 0,01% (0,05 g). Campuran dihomogenkan kemudian disterilisasi selama 15

menit dalam suhu 1210C.

3.3.4. Pembuatan Media Potato Dextrose Mineral Agar (PDMA)

Media PDMA dibuat dengan menimbang PDA sebanyak 39 g

dilarutkan dengan akuades 500 ml, media ini dipekatkan dua kali. Dipersiapkan

Erlenmeyer yang berbeda untuk dibuat media MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi

sebanyak 500 ml kemudian ditambahkan 0,1 % batubara dan dihomogenkan.

(44)

media itu dicampur dalam satu Erlenmeyer dihomogenkan kemudian dengan

segera dituang ke dalam cawan petri steril.

3.3.5. Media Pembuatan Media Trypticase Soy Mineral Agar (TSMA)

Media TSMA dibuat dengan menimbang sebanyak 30 g Trypticase Soy

Broth (TSB) dan 1,5 % dari volume total yaitu 15 g agar dalam 500 ml dengan

konsentrasi dipekatkan dua kali. Pada Erlenmeyer berbeda dipersiapkan media

MSS tanpa sukrosa dan ekstrak ragi 500 ml ditambah dengan 0,1 % batubara dari

volume total yaitu 1 g. Kedua media disterilisasi selama 15 menit pada suhu

1210C. Setelah sterilisasi selesai dilakukan pencampuran kedua media menjadi

satu, dihomogenkan dan segera dituang ke dalam cawan petri steril.

3.3.6. Pembuatan Kultur Inokulum Spora Trichoderma sp.

Isolat kapang Trichoderma sp. (Lampiran 9) diremajakan menggunakan

media PDMA dan diinkubasi selama 4-7 hari pada suhu ruang hingga

menghasilkan spora. Sebanyak 10 ml NaCl 0,85% steril dimasukkan ke dalam

cawan petri berisi isolat kapang, kemudian spora kapang dilepaskan menggunakan

ose hingga tampak larut di dalam larutan.

3.3.7. Pengujian Biosolubilisasi Batubara

Media MSS yang telah disterilisasi sebelumnya, ditambahkan 5%

batubara disesuaikan dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Setiap

(45)

masing-masing media ditempatkan ke dalam empat Erlenmeyer berbeda sebagai media

perlakuan. Pada perlakuan B dan D ditambahkan kultur inokulum sebanyak 10%

(106 sel/ml v/v) sedangkan perlakuan A dan C tidak diberi inokulum sebagai

kontrol. Kontrol dibedakan pada perlakuan A digunakan batubara steril

(diautoklaf) sedangkan perlakuan C digunakan batubara yang masih mentah.

Kemudian semua kultur perlakuan diinkubasi di atas shaking inkubator dengan

agitasi 120 rpm, pada suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur

dilakukan pada hari ke-0, 2, 7, 14, 21, dan 28.

Tabel 2. Kultur Perlakuan Biosolubilisasi Batubara.

Perlakuan Batubara

+ : Ditambahkan ke dalam komposisi media - : Tidak ditambahkan ke dalam komposisi media

Setiap kali dilakukan pencuplikan, sampel kultur dimasukkan ke dalam

tube kemudian disaring sebanyak 2/3 volume menggunakan kertas saring hingga

diperoleh supernatan yang sudah terpisah dari endapan batubara. Sisa kultur yang

ada di dalam tube digunakan untuk pengukuran pH, pengamatan kolonisasi secara

mikroskopis dan enumerasi kapang serta mikroba indigenos. Supernatan yang

didapat dimasukan ke dalam yellow tube untuk ditentukan kadar asam humat dan

(46)

Endapan produk dari supernatan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 550C

untuk analisa gugus fungsi menggunakan FTIR.

3.3.8. Pengukuran pH Media

Supernatan dari masing-masing perlakuan diukur nilai pH-nya

menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan setiap pencuplikan pada hari ke-0,

2, 7, 14, 21 dan 28.

3.3.9. Pengamatan Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi

Media PDMA dan TSMA masing-masing dituang ke dalam petri

sebanyak 15 ml dibiarkan mengeras. Dilakukan pengenceran pada sampel pada

tiap pencuplikan. Pengenceran disesuaikan dengan lama inkubasi. Semakin lama

masa inkubasi kultur maka semakin banyak seri pengenceran yang dilakukan.

Setelah itu, larutan dari tiga pengenceran terakhir diinokulasikan pada media

PDMA dan TSMA dengan metode sebar. Pada media TSMA enumerasi dilakukan

setelah 24 jam masa inkubasi sedangkan pada media PDMA enumerasi dilakukan

setelah 4-7 hari masa inkubasi. Total jenis dan total individu yang muncul semua

dicatat untuk dilakukan perhitungan jumlah sel. Jenis bakteri dan fungi yang

muncul diamati secara makroskopis dengan mencatat ciri-ciri yang tampak

sedangkan untuk pengamatan mikroskopis dilakukan dibawah mikroskop. Khusus

untuk bakteri dilakukan pewarnaan Gram untuk mengetahui kemurnian dan

(47)

Kolonisasi miselia kapang terhadap batubara diamati untuk mengetahui

aktifitas biosolubilisasi terutama oleh kapang. Sampel kultur diambil

menggunakan pipet bersih diteteskan di atas kaca preparat bersih diberi tanda

nama isolat sesuai perlakuan. Diamati di bawah mikroskop kolonisasi yang terjadi

dengan perbesaran 400 kali.

3.3.10. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara melalui Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi serta Perubahan Pola Panjang Gelombang pada 200-600 nm

Pengukuran biosolubilisasi dilakukan dengan melakukan analisis

senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi. Produk biosolubilisasi (supernatan)

yang diperoleh selama waktu sampling dilakukan pengukuran absorbansi

menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 dan 450

nm. Perubahan pola panjang gelombang diamati pada kisaran panjang gelombang

200– 600 nm untuk mengetahui perubahan gugus kromofor produk biosolubilisasi

batubara. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat

solubilisasi batubara yang tinggi pula (Selvi dkk., 2007).

3.3.11. Pengukuran Produksi Asam Humat dan Fulvat

Supernatan dari kultur diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam

labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan K2Cr2O7 5 ml diaduk dan ditambahkan

7,5 ml H2SO4 dihomogenkan kembali. Campuran larutan itu dibiarkan beberapa

saat hingga dingin, setelah itu ditambahkan air suling kurang lebih 50 ml lalu

(48)

hingga tanda batasnya, dikocok sampai homogen. Kadar asam humat dan fulvat

dalam larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang

561 nm, dengan menggunakan deret standar glukosa 0-250 ppm (Graham, 1948

dan Shnitzer, 1984 dalam Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan

pupuk Balai Penelitian Tanah 2009).

Analisis Spektrometer FTIR ini dapat digunakan untuk

mengkarakterisasi produk biosolubilisasi batubara. Produk biosolubilisasi

batubara dianalisis dengan FTIR pada range frekuensi 4000-450 cm-1. Produk

biosolubilisasi (supernatan) yang akan diuji ditentukan dari nilai biosolubilisasi

tertinggi. Produk (supernatan) yang diperoleh dilakukan dehidrasi (penghilangan

air) menggunakan alkohol 70% dengan perbandingan 3:1 kemudian di masukkan

ke dalam oven dengan suhu 550C hingga cairan menguap dan tersisa residu

produk. Residu produk yang akan diuji dicampurkan dengan serbuk KBr kering

hingga menyatu menggunakan lumpang dan serbuk campuran produk dimasukkan

ke dalam disk holder kemudian direkam dengan alat spektrometer FTIR. Kontrol

yang digunakan ekstrak produk batubara mentah dan batubara steril pada hari

ke-0.

3.3.13. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Spektrometer GCMS

Supernatan dan pelarut dicampur dengan perbandingan 1:1, pelarut

yang digunakan adalah benzene: heksana: dietil eter dengan perbandingan 3:1:1.

campuran tersebut dimasukan kedalam tabung reaksi lalu divortex sampai

(49)

bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan

bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi jenis senyawa dan menentukan

kadar hasil solubilisasi batubara dengan menggunakan GCMS selanjutnya

dimasukan ke dalam vial untuk dianalisis dengan alat GCMS. Kondisi optimum

GCMS yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3.Kondisi Optimum GCMS (Silva dkk., 2007)

Spesifikasi Keterangan

Data penelitian ini dianalisis menggunakan Analysis of Variance

(ANOVA) satu arah dan uji lanjutan Duncan (p=0,05), dibantu dengan program

SPSS 16 serta secara visual data meliputi parameter yang diamati disajikan dalam

(50)

3.4. Skema Penelitian

Analisis sampel

- Pengukuran pH media kultur

- Perubahan populasi bakteri dan fungi

- Analisis senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi

- Perubahan pola panjang gelombang 200-600 nm

- Produksi asam humat dan fulvat

- Karakteristik gugus fungsi hasil biosolubilisasi batubara

- Identifikasi senyawa hasil biosolubilisasi dengan GCMS

Analisis data

Inkubasi pada suhu ruang di atas

(51)

33

4.1. Perubahan pH Media

Media kultur perlakuan yang diuji dalam proses biosolubilisasi

menunjukkan terjadinya perubahan pH selama inkubasi hingga hari ke-28

(Gambar 8). Secara statistik uji anova satu arah menunjukkan bahwa media

perlakuan mempengaruhi nilai pH media (p≤0,05) (Lampiran 6). Pengaruh

perlakuan terhadap nilai pH disebabkan adanya kombinasi agen pengsolubilisasi

pada masing-masing perlakuan (Tabel 2). Hasil uji statistik lanjutan yaitu uji

Duncan (p=0,05) menunjukkan perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) memiliki

nilai pH tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Perubahan pH pada perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) terjadi

akibat adanya proses agitasi. Proses agitasi mengakibatkan terlepasnya sulfur

anorganik selama masa inkubasi (Wise, 1990). Batubara mengandung sulfur

dalam bentuk anorganik dalam bentuk sulfit dan sulfat (Speight, 1994). Selain

itu, tingginya nilai pH media A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8)

disebabkan tidak diinduksikan kapang Trichoderma sp. Penambahan spora

kapang Trichoderma sp. menciptakan kondisi yang lebih asam dibuktikan dengan

nilai pH media perlakuan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.)

(52)

Gambar 8. Nilai pH pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Pada pencuplikan hari ke-2, 7, 14, dan 21 terjadi penurunan pH dalam

semua media kultur perlakuan termasuk pada media kultur perlakuan A (MSS +

batubara steril 5%). Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadinya aktivitas

metabolisme di dalam media yang dilakukan baik oleh mikroba indigenus maupun

oleh kapang Trichoderma sp. bahkan kolaborasi di antara keduanya kecuali pada

media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%). Penurunan pH dapat disebabkan

oleh pembentukan asam-asam organik berupa asam karboksilat, asam fulvat yang

merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara. Produksi asam humat

dan fulvat sebagai produk biosolubilisasi dibuktikan dengan pengukuran kadarnya

pada parameter terjadinya biosolubilisasi (Gambar 13). Hal tersebut serupa

(53)

dengan penelitian yang dilakukan Arianto dkk. (2005) yang menyatakan

penurunan pH disebabkan terurainya komponen batubara berupa asam humat dan

fulvat. Batubara yang mengandung senyawa sulfur (Speight, 1994) diduga

mengalami desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk

ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat (Hammel, 1996) sehingga

menciptakan kondisi media asam. Keasaman media juga disebabkan dalam proses

biosolubilisasi batubara terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton

(Shi dkk., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzena

dan hidroksi, bersifat asam dan mudah dioksidasi lebih lanjut menjadi asam

karboksilat. Keton juga bersifat asam karena terbentuk dari oksidasi alkohol

sekunder. Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas

degradasi kapang yang melibatkan enzim di antaranya lignin peroksidase, fenol

oksidase, dan mangan peroksidase (Sugoro dkk.,2011).

Pada akhir masa inkubasi (hari ke-28) terjadi sedikit kenaikan nilai pH

kecuali pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%) (Gambar 8).

Peningkatan nilai pH tersebut diduga disebabkan terbentuknya senyawa amonia

hasil penguraian senyawa piridin dalam batubara yang larut dalam media dan

bereaksi dengan air membentuk ammonium hidroksida (NH4OH) yang bersifat

basa lemah (Yin dkk., 2009). Nilai pH yang meningkat juga diduga disebabkan

lisisnya sel di dalam media kultur akibat mulai terbentuknya zat sisa metabolit

yang bersifat racun untuk sel. Sel yang lisis di dalam media, kemudian

terdeaminasi kembali sebagai sumber nitrogen untuk metabolisme mikroba yang

(54)

senyawa alkali seperti ammonium dapat meningkatkan hidrosifilitas sehingga

batubara dapat bercampur dengan air dan media (Fakoussa & Hofrichter, 1999).

4.2. Perubahan Populasi Bakteri dan Fungi

Proses biosolubilisasi batubara melibatkan berbagai macam mikroba

seperti bakteri dan fungi karena struktur penyusun batubara yang kompleks dan

heterogen. Bakteri sebagai salah satu yang ikut serta dalam proses tersebut

diamati pertumbuhan dan keanekaragaman jenisnya. Kurva enumerasi log bakteri

(Gambar 9) menandakan bahwa kehidupan bakteri berlangsung. Kultur perlakuan

D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menunjukkan pola

pertumbuhan yang lebih teratur dibandingkan kultur perlakuan C (MSS +

batubara mentah 5%) yang terlihat fluktuatif. Kultur perlakuan A (MSS +

batubara steril 5%) dan B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.) tidak

terlihat pertumbuhan bakteri disebabkan penggunaan batubara yang telah

disterilisasi.

Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%) menunjukkan bahwa

bakteri langsung terdaptasi (Gambar 9) dalam media kultur ditunjukkan dengan

fase pertumbuhan yang langsung mengalami peningkatan didukung pula kondisi

pH yang menurun menandakan adanya proses metabolisme (Gambar 8). Bakteri

indigenus yang terdapat di dalam batubara memiliki kemampuan memanfaatkan

secara langsung penambahan sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon

primer. Setelah sumber karbon primer habis ditandai dengan menurunnya kurva

(55)

0

melakukan sintesis enzim baru yang sesuai dengan media terutama batubara untuk

memperoleh sumber karbon sekunder. Proses adaptasi bakteri dengan kondisi

lingkungan yang baru menyebabkan terjadinya pertambahan volume sel, akan

tetapi tidak terjadi pertambahan jumlah sel (Purwoko, 2007).

Gambar 9. Enumerasi bakteri pada media perlakuan A (MSS + batubara steril 5%), B (MSS + batubara steril 5% + Trichoderma sp.), C (MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% +

Trichoderma sp.) yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 120 rpm.

Produksi enzim pendegradasi batubara oleh bakteri untuk memperoleh

sumber karbon dari batubara mengakibatkan kurva kembali meningkat (Gambar

9) yang menandakan terjadinya peningkatan pertumbuhan bakteri hingga

mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke-21. Selanjutnya, pada hari ke-28

kurva kembali mengalami penurunan diduga media sudah banyak mengandung

(56)

banyak sel yang lisis. Hal ini didukung pula dengan peningkatan nilai pH

(Gambar 8). Fluktuasi kurva pertumbuhan bakteri pada kultur C (MSS + batubara

mentah 5%) diduga disebabkan oleh adanya bakteri yang saling bersaing untuk

mendominasi di dalam substrat. Hal tersebut didukung dengan keanekaragaman

bakteri yang muncul (Gambar 10).

Penambahan inokulum spora Trichoderma sp. pada kultur perlakuan D

(MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma sp.) menyajikan kurva enumerasi

yang berbeda dibandingkan kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%)

(Gambar 9). Kurva yang tercipta tampak teratur dan tidak terlalu terlihat

fluktuatif. Sama halnya pada kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%),

pada awal inkubasi kurva menunjukkan peningkatan. Hal tersebut terkait pada

penggunaan sumber karbon primer berupa sukrosa dan ekstrak ragi yang

menunjukkan bahwa bakteri indigenus sudah teradaptasi sebelumnya. Kurva

meningkat sejak awal inkubasi hingga hari ke-7 (Gambar 9). Peningkatan pada

kurva enumerasi diduga disebabkan oleh sel yang memanfaatkan penambahan

sukrosa dan ekstrak ragi sebagai sumber karbon dalam media kultur selain itu,

aktivitas dari kapang Trichoderma sp. yang diinduksikan mulai mendegradasi

batubara ikut andil dalam mempertahankan peningkatan kurva sejak awal

inkubasi. Setelah itu, kurva tampak stasioner hingga hari ke-14 diduga hal

tersebut terjadi akibat habisnya sumber karbon awal dan kemudian kurva

mengalami sedikit peningkatan kembali namun tidak meningkat setinggi seperti

pada awal inkubasi. Hari terakhir inkubasi yaitu hari ke-28 kurva mengalami

(57)

sel disebabkan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik bagi sel sehingga sel

mengalami lisis.

Jenis bakteri yang ditemukan secara keseluruhan dari semua perlakuan

berjumlah 8, yaitu BM04, BM21, BM01, BMT01, BM02, BMT24, BM23, dan

BMT71 (Gambar 10 dan Lampiran 1). Bakteri yang ditemukan umumnya

berbentuk batang (basil) yang saling lepas (Lampiran 2). Pokorny’ dkk. (2005)

menyatakan bakteri yang ditemukan pada batubara lignit berupa batang (Bacillus).

Sebagian besar isolat bakteri yang diperoleh memiliki karakteristik Gram negatif

(Lampiran 2).

Pola pertumbuhan bakteri yang terbentuk, merupakan pola

pertumbuhan yang melibatkan beberapa jenis bakteri. Kumpulan bakteri ini

diduga membentuk suatu konsorsium dalam memanfaatkan kandungan nutrien di

dalam media kultur perlakuan. Kultur perlakuan C (MSS + batubara mentah 5%)

pada saat kurva mengalami kenaikan didominasi oleh bakteri jenis BM01 ( 2,9.

102 CFU/ml) (Gambar 10). Jenis bakteri tersebut tidak ditemukan lagi pada hari

pengamatan ke-2 dan 7 namun pada hari ke 14-28 bakteri jenis tersebut kembali

mendominasi. Diperkirakan bakteri jenis tersebut merupakan bakteri pengguna

fraksi sederhana. Kandungan sukrosa dan ekstrak ragi yang terkandung dalam

media kultur dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri jenis tersebut. Setelah

habis, bakteri tersebut tidak mampu merombak struktur batubara yang kompleks

dan heterogen sehingga tercipta kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan terbatasnya nutrien diduga

(58)

0

kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupannya yaitu pada masa akhir

masa inkubasi hari ke-14 hingga 28. Usaha mengamankan diri dari kondisi buruk

lingkungan menyebabkan bakteri membentuk spora terutama pada bakteri

berbentuk batang (Dwidjoseputro, 2005).

Kehadiran bakteri jenis BM04 dengan jumlah 9.104 CFU/ml (Gambar

10) mendominasi pada saat kurva menurun yang terjadi hari 2 hingga hari

ke-7 (Gambar 9) dan mengindikasikan kemampuannya untuk menghasilkan enzim

yang mampu merombak struktur batubara. Setelah struktur batubara terurai

menjadi fraksi yang lebih sederhana hingga hari ke-14, bakteri jenis BM01

kembali mendominasi pada hari selanjutnya hingga kurva kembali meningkat.

Masa akhir inkubasi kurva kembali menurun yang diduga memasuki fase

(59)

jenis BM01 (4,8.102 CFU/ml) pun mendominasi (Gambar 10). Peningkatan kurva

yang cukup lama hingga hari ke-7 (Gambar 9) terdapat beragam bakteri yang

mendominasi (Gambar 10). Hari ke-2 bakteri BM04 (103 CFU/ml) yang

mendominasi sedangkan pada hari ke-7 bakteri jenis BM02 (1,7.104 CFU/ml)

yang mendominasi. Keterlibatan kapang Trichoderma sp. cukup mempengaruhi

pola dominasi bakteri. Bakteri BM01 (2,3.107 CFU/ml) kembali mendominasi

pada hari ke-14, terurainya senyawa penyusun batubara menjadi fraksi sederhana

mengakibatkan memuncaknya pertumbuhan bakteri jenis tersebut. Diduga pada

hari ke-21 tercipta kondisi yang tidak mendukung kehidupan bakteri jenis BM01

yang mengakibatkan bakteri jenis ini mengalami kondisi dorman dan

mengakibatkan mendominasinya bakteri jenis lain, yaitu BM23 (3,6.107 CFU/ml).

Kehadiran bakteri jenis BM23 menunjukkan kemampuannya dalam

memanfaatkan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan bagi bakteri jenis BM01.

Aktivitas bakteri jenis BM23 tersebut mengakibatkan terciptanya kondisi

lingkungan yang mendukung bagi bakteri jenis BM01 sehingga bakteri jenis

tersebut kembali mendominasi pada akhir masa inkubasi (hari ke-28).

Berbagai macam bakteri yang mendominasi pada kultur perlakuan C

(MSS + batubara mentah 5%) dan D (MSS + batubara mentah 5% + Trichoderma

sp.) (Gambar 10) menunjukkan terjadinya suksesi. Perubahan dominansi inilah

yang menyebabkan naik turunnya kurva sehingga membentuk pola pertumbuhan

konsorsium bakteri. Populasi yang dominan adalah populasi yang dapat

memanfaatkan sebagian besar sumber karbon yang terkandung di dalam kultur

Gambar

Tabel 1.
Gambar 1.
Gambar 13. Nilai absorbansi (A) Asam Humat (B) Asam fulvat 561
Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Susilawati, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dari pembuatan Sistem Informasi Penjualan Bota- Laut Pada Panarukan-Shell Berbasis Web, bahwa sistem informasi ini dapat dibuat, sehingga

• Segera setelah anestesi umum atau anestesi regional, semua pasien dibawa ke ruang pulih anestesi sampaui pasien sadar dan dapat menjaga jalan nafasnya, serta pernafasan dan

Oksigen yang dimanfaatkan untuk proses penguraian bahan organik tersebut akan diganti oleh oksigen yang masuk dari udara maupun dari sumber lainnya

ebaliknya pada anak dengan hemofilia, dengan orangtua yang oerprotektif dan selalu cemas, mereka akan tumbuh dengan perasaan dan pola pokir yang negatif, selalu merasa

Pada analisis rataan Pb tanah, Perlakuan M9 (100% kompos residu rumah tangga) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya dan perlakuan M 1 (100%

Kemudian hasil crosstabulation pada kekambuhan diketahui jumlah prevalensi kekambuhan pada pasien rawat jalan skizofrenia yang kambuh sebanyak 23 responden 71,87% sedangkan yang

Ia mengandung informasi sejarah kebahasaan yang luar biasa, serta objektifitasnya dalam menerangkan makna ayat dengan memaparkan riwayat yang berkaitan dengannya, baik