• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLIQUEFAKSI LIGNIT HASIL INTERAKSI MIKROBA INDIGENOS DENGAN Trichoderma asperellum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOLIQUEFAKSI LIGNIT HASIL INTERAKSI MIKROBA INDIGENOS DENGAN Trichoderma asperellum"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

334

BIOLIQUEFAKSI LIGNIT HASIL INTERAKSI MIKROBA INDIGENOS DENGAN Trichoderma asperellum

Irawan Sugoro1,4 Sandra Hermanto2 Dwiwahju Sasongko3, Dea Indriani Astuti4 Pingkan Aditiawati4

Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN1 Prodi Kimia FST – UIN Syarif Hidayatullah2

Dept. Teknik Kimia – FTI ITB3 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – ITB4

irawan_sugoro@yahoo.com

ABSTRAK

Bioliquefaksi batubara adalah proses untuk mengubah batubara padat menjadi bahan bakar cair dengan bantuan mikroorganisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi kapang Trichoderma asperellum dengan mikroba indigenos batubara dalam bioliquefaksi lignit. Metode yang digunakan adalah submerged culture dengan perlakuan terdiri dari A (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit steril + T.asperellum). Parameter yang diukur adalah kolonisasi, pH dan produk bioliquefaksi berdasarkan nilai absorbansi pada 250nm dan 450nm serta analisis GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapang T. asperellum dapat tumbuh dengan baik dalam medium batubara lignit mentah (A) maupun kontrol (B) dan pH medium mengalami penurunan setelah inkubasi. Tingkat bioliquefaksi perlakuan A, berdasarkan nilai absorbansi supernatan pada λ250nm dan λ450nm lebih tinggi dibandingkan B selama waktu inkubasi. Analisis GC-MS memperlihatkan adanya perbedaan produk bioliquefaksi antara perlakuan A dan B. Jumlah senyawa yang terdeteksi pada perlakuan A sebanyak 35 buah dan 4 senyawa utama yang mendominasi adalah 2,6-di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol, dibutilphtalat, naftalen dan bis(2-etilheksil) phthalat, sedangkan pada perlakuan B hanya terdeteksi 4 senyawa, yaitu 2,6-di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol, isobutilphthalat, bis-(2-etilheksil)phthalat dan n-tetrakosan. Berdasarkan hasil di atas, bahwa terjadi konsorsium antara mikroba indigenos dengan T. asperellum dan memiliki potensi untuk digunakan dalam meningkatkan bioliquefaksi lignit.

Kata kunci: Bioliquefaksi, lignit, interaksi, Trichoderma asperellum, GC-MS.

ABSTRACT

Bioliquefaction of coal is a potential technology of converting solid coal to liquid fuel by microorganism. The objective of this research was to know the interaction between Trichoderma asperellum and indigenous microbial on lignite bioliquefaction. The method used was sub-merged culture and the treatments were A (raw lignite + T.asperellum) and B (sterilized lignite + T.asperellum). The parameters observed were colonization and bioliquefaction product based on absorbance value at 250nm and 450nm and GC/MS analysis for the best treatment. The result showed that T. asperellum could growth well at raw lignite (A) or controll (B) and the medium of pH was decreased after incubation. The bioliquefaction rate of A has higher than B based on the absorbance value at 250nm and 450nm for incubation time. GC-MS analysis showed that the bioliquefaction of A and B have different product. The number of compound which has detected was 35 and 4 main compound i.e. 2,6-di-tert-butyl-4-[(2-octadesiloksicarbonil)etil]phenol, dibutilphtalate, naftalene dan bis(2-ethylhexyl) phthalate for A treatment, but only 4 compounds, i.e. 2,6-di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]phenol, isobutilphthalat, bis-(2-etilheksil)phthalat dan n-tetrakosan

(2)

335 for B treatment. Based on the result, the concortium between indigenous microbial and T. asperellum was occurred and has potency to increased bioliquefaction product.

Key words : Bioliquefaction, lignite, interaction, Trichoderma asperellum, GC-MS.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 20,98 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti di dunia. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, dan bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM, 2010). Ketersediaan sumber energi terutama batubara membuka peluang untuk mengembangkannya menjadi suatu energi alternatif yang ramah lingkungan.

Pada tahun 2010 diperkirakan batubara akan memegang peranan sebesar 25 % dari total kebutuhan energi domestik. Hal ini didukung oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden. No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN), dimana penggunaan batubara akan ditingkatkan menjadi 33% dan batubara yang dicairkan sebesar 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi (ESDM, 2010).

Pemanfaatan batubara terutama di Indonesia berasal dari jenis batubara kalori rendah dan sedang, sedangkan batubara kalori tinggi kebanyakan diekspor. Batubara

dari jenis kalori rendah seperti lignit merupakan batubara yang kurang ekonomis karena memiliki kadar air yang sangat tinggi (di atas 30%) dan nilai kalor di bawah 5.000 kcal/kg serta mengandung abu tinggi. Hal tersebut menyebabkan batubara dari jenis ini tidak dimanfaatkan dan diperlukan peningkatan kualitasnya untuk dapat digunakan, antara lain dengan teknologi gasifikasi atau liquifaksi. Batubara lignit banyak digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan panas sebesar 96,4%. Namun, pembakaran lignit mengakibatkan polusi yang cukup berbahaya karena menghasilkan sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), karbon dioksida (CO2) dan logam berat (Xu dkk., 2000). Dampak yang tidak baik untuk lingkungan menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan dalam pemakaian jenis batubara ini. Pembakaran batubara perlu dihindari dan menerapkan alternatif pemanfaatannya merupakan solusi aman penggunaan batubara sebagai sumber energi.

Pada awalnya pencairan batubara dianggap menjadi alternatif pemanfaatan batubara yang baik dimana menggunakan metode kimia dan fisika yaitu proses sintesis Fischer-Tropsch, Bergius dan Brown Coal Liquefication Technology (BCL).

(3)

336 Namun, penerapan metode ini

membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi karena dilakukan dalam temperatur dan tekanan yang tinggi serta memerlukan instalasi yang cukup rumit (Yoshida, 2007). Alternatif lainnya adalah pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroba atau yang dikenal dengan bioliquefaksi.

Bioliquefaksi adalah proses mengubah padatan batubara menjadi fase cair dengan bantuan mikroba, seperti bakteri dan jamur (Faison dkk., 1989). Bioliquefaksi memiliki beberapa kelebihan diantaranya produk yang dihasilkan tidak menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran (Fakoussa, 1999). Bioliquefaksi batubara sangat ditentukan oleh agen biologi, jenis batubara dan kondisi lingkungan. Struktur dan kompleksitas batubara yang berbeda disetiap daerah mempengaruhi pertumbuhan mikroba pengsolubilisasi, sedangkan mikroba berperan sebagai katalis atau penghasil enzim dalam proses bioliquefaksi (Wise, 1999). Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui mampu berinteraksi dengan batubara kualitas rendah dengan proses ekstraselular (Faison dkk., 1989).

Hasil isolasi dan seleksi pada penelitian sebelumnya telah diperoleh isolat kapang Trichoderma asperellum. yang berpotensi sebagai agen bioliquefaksi batubara lignit (Sugoro dkk., 2011). Produk

yang dihasilkan berupa senyawa yang setara dengan minyak bumi, tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui interaksi kapang terseleksi dengan mikroba indigenos batubara seperti bakteri, khamir atau kapang lainnya. Diharapkan akan terbentuk konsorsium yang menguntungkan. Hal ini penting karena kompleksitas dan heterogenitas senyawa penyusun batubara. Satu jenis mikroba mempunyai kemampuan metabolisme terbatas, sehingga proses bioliquefaksi batubara kemungkinan tidak dapat dilakukan oleh satu jenis (Brenner dkk., 2007). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan penelitian yang membandingkan penggunaan batubara mentah dan batubara steril dalam proses bioliquefaksi. Batubara lignit mentah mengandung mikroba berupa Prokariota dan Eukariota (fungi). Disamping itu, bila aplikasi dilakukan dalam kondisi tidak steril maka akan menghemat biaya operasional.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi kapang Trichoderma asperellum dengan mikroba indigenos batubara dalam bioliquefaksi lignit. Diharapkan jika produk yang dihasilkan dalam proses ini terutama pada batubara yang mentah tanpa melalui proses sterilisasi (autoklaf) sebanding atau lebih baik dari produk dengan batubara steril hal ini akan menjadi suatu gagasan baru dalam

(4)

337 penerapan teknologi bioliquefaksi yang

lebih ekonomis.

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat - alat utama yang digunakan adalah kromatografi gas - Spektrometer massa (GC-MS) Shimadzu QP 2010, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), Spektrofotometer UV-VIS Spectronic Genesys 2, mikroskop berkamera Nikon, pH meter, dan saringan berukuran 100 mesh. Bahan – bahan yang digunakan adalah batubara jenis lignit dengan ukuran 100 mesh yang berasal dari Sumatera Selatan, Minimal Salt Solution (MSS/ 1 g (NH4)2SO4, 0,52 g Mg(SO4).7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 g FeSO4, 0,003 g ZnSO4.7H2O dan 0,003 g MnCl2 lalu ditambah akuades hingga volumenya mencapai 1000 ml ), sukrosa, ekstrak ragi, dan kultur spora isolat kapang Trichoderma asperellum. Komposisi media penelitian adalah A (MSS + sukrosa 0,1% + ekstrak ragi 0,01% + lignit mentah 5% ) dan B (MSS + sukrosa 0,1% + ekstrak ragi 0,01% + lignit steril).

Bioliquefaksi Batubara

Penelitian ini dilakukan dua kali pengulangan (duplo). Media A dan B ditambahkan kultur inokulum spora T. asperellum sebanyak 10% (106 sel/ml v/v). Kemudian semua kultur perlakuan diinkubasi di atas shaking inkubator dengan

agitasi 120 rpm, pada suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke-0, 2, 7, 14, 21, dan 28. Parameter yang diukur adalah kolonisasi, pH dan produk bioliquefaksi berdasarkan nilai absorbansi pada 250nm dan 450nm serta analisis GC-MS.

Analisis data

Data penelitian ini dianalisis secara visual dalam bentuk kurva menggunakan program Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Media kultur perlakuan yang diuji dalam proses bioliquefaksi menunjukkan terjadinya perubahan pH selama inkubasi hingga hari ke-28 (Gambar 1). pH medium perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan B (lignit steril + T. asperellum). Hal tersebut disebabkan pada medium perlakuan A dipengaruhi oleh keberadaan mikroba indigenos yang berinteraksi dengan T.asperellum.

Nilai pH awal medium kultur perlakuan A, yaitu 3,97 lebih rendah dibandingkan B, yaitu 3,98. Diduga penambahan inokulum spora berperan secara langsung untuk menciptakan kondisi yang lebih asam dibandingkan pada media kultur tanpa inokulum spora. Selanjutnya pH kedua perlakuan mengalami penurunan hingga ke-2 dan kembali naik hingga hari ke-7.

(5)

338 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4 0 7 14 21 28 pH Waktu (hari) A B Kondisi yang sama terulang kembali

setelahnya, dimana penurunan pH terjadi

hingga hari ke-21 dan kembali naik hingga hari ke-28.

Gambar 1. pH medium perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit steril + T.asperellum).

Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadinya aktifitas metabolisme di dalam media yang dilakukan baik oleh mikroba indigenos maupun oleh kapang Trichoderma sp. bahkan kolaborasi diantara keduanya. Penurunan pH dapat disebabkan oleh pembentukkan asam-asam organik berupa asam karboksilat, asam fulvat yang merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara (Arianto dkk., 2005) dan terjadinya desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat (Hammel, 1996). Keasaman media juga disebabkan dalam proses bioliquefaksi batubara terbentuknya produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton (Shi dkk., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzena dan hidroksi, bersifat asam dan mudah dioksidasi lebih

lanjut menjadi asam karboksilat. Keton juga bersifat asam karena terbentuk dari oksidasi alkohol sekunder. Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas degradasi kapang yang melibatkan enzim diantaranya lignin peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase (Sugoro dkk.,2011).

Peningkatan nilai pH kemungkinan disebabkan terbentuknya senyawa ammonia hasil penguraian senyawa piridin dalam batubara yang larut dalam media dan bereaksi dengan air membentuk ammonium hidroksida (NH4OH) yang bersifat basa lemah (Ying dkk., 2010). Nilai pH yang meningkat juga mungkin disebabkan lisisnya sel di dalam media kultur akibat mulai terbentuknya zat sisa metabolit yang bersifat racun untuk sel. Sel yang mati di dalam media, kemudian terdeaminasi

(6)

339 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 7 14 21 28 A250nm Waktu (hari) A B 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0 7 14 21 28 A450nm Waktu (hari) A B kembali sebagai sumber nitrogen untuk

metabolisme mikroba yang masih bertahan sehingga terjadi efek buffering (Kirk, 1993). Keberadaan senyawa alkali seperti ammonium dapat meningkatkan hidrofisilitas sehingga batubara dapat bercampur dengan air dan media (Fakoussa dan Hofrichter, 1998).

Tingkat bioliquefaksi pada masing-masing media perlakuan diamati

berdasarkan gugus kromofor yang terbentuk dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 250 dan 450 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Gambar 2). Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm untuk mengukur adanya senyawa fenolik sedangkan panjang gelombang 450 nm untuk mengukur adanya senyawa aromatik terkonjugasi (Selvi dkk., 2009).

Gambar 2. Nilai absorbansi medium perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit steril + T.asperellum).

Pengukuran hasil bioliquefaksi dengan panjang gelombang 250 nm menunjukkan bahwa nilai absorbansi tertinggi terjadi pada hari kedua inkubasi untuk perlakuan A dan B, yaitu 0,876 dan

0,528. Meningkatnya nilai absorbansi diduga telah terjadinya proses bioliquefaksi batubara lignit padat yang diurai menjadi batubara terlarut. Batubara terlarut mengandung senyawa fenol yang

(7)

340 merupakan hasil penguraian senyawa lignin

penyusun terbesar batubara. Senyawa lignin diuraikan oleh adanya aktivitas enzim lignin peroksidase yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin (Hammel, 1996). Keberadaan senyawa fenol didukung pula dengan kondisi pH yang menurun pada hari inkubasi ke-2. Senyawa fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzen dan hidroksi yang bersifat asam dan mudah dioksidasi.

Nilai absorbansi berangsur-angsur menurun pada hari inkubasi selanjutnya meskipun ada pula sedikit kenaikan nilai absorbansi namun perubahan tersebut dianggap tidak signifikan, perubahan tersebut disebabkan proses bioliquefaksi terus berlangsung. Dibuktikan dengan adanya fluktuasi pertumbuhan baik pada mikroba indigenos maupun kapang Trichoderma sp. yang mengindikasikan terjadi aktifitas bioliquefaksi. Diduga aktifitas mikroba tersebut menghasilkan enzim lakase yang mampu mendegradasi unit fenolik (Perez dkk., 2002).

Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 450 nm menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan A terjadi pada hari ke-7, yaitu 0,149, sedangkan perlakuan B terjadi pada hari ke-2 inkubasi, yaitu 0,171. Nilai absorbansi yang tinggi diduga disebabkan terjadinya pelepasan senyawa-senyawa seperti asam humat yang terdapat pada permukaan batubara oleh aktifitas mikroba indigenos maupun kapang

Trichoderma sp. Nilai absorbansi pada hari inkubasi selanjutnya, hampir semua media perlakuan menunjukkan penurunan hingga hari ke-28 inkubasi..

Penurunan nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm, disebabkan senyawa humat yang terlarut didegradasi lebih lanjut menjadi senyawa turunannya berupa asam fulvat melalui penguraian ikatan konjugasi pada senyawa aromatik. Senyawa aromatik yang terbentuk didegradasi menjadi senyawa alifatik (Ralph dan Catcheside, 1994). Pendegradasian senyawa aromatik berupa naftasena penyusun utama senyawa humat didegradasi menjadi senyawa naftalena (Zylstra dan Kim, 1997). Secara kualitatif terdapat perbedaan kekeruhan supernatan selama masa inkubasi. Supernatan umumnya berwarna kuning bening hingga berwarna cokelat. Perbedaan warna ini menunjukkan telah adanya batubara yang terlarut kemudian bercampur dengan media dan mengubah warna media menjadi lebih gelap (Cohen dkk.,1990).

Perbedaan tingkat bioliquefaksi pada kedua perlakuan ini disebabkan oleh keberadaan agen pengsolubilisasi yang bervariasi. Keberadaan agen pengsolubilisasi sangat menentukan pembentukkan maupun penguraian senyawa pada batubara oleh aktivitas metabolismenya. Kondisi batubara mentah yang mengandung mikroba indigenos ditambah lagi induksi kapang Trichoderma

(8)

341 sp. menunjukkan aktifitas solubilisasi

tertinggi dibandingkan hanya mikroba indigenos maupun kapang Trichoderma sp. saja. Diduga terdapat hubungan yang positif diantara agen pengsolubilisasi yang ditunjukkan pada nilai absorbansi panjang gelombang 250 dan 450 nm.

Analisis GC-MS dilakukan pada sampel dengan tingkat bioliquefaksi tertinggi, yaitu pada hari ke-7 untuk perlakuan A dan hari ke-2 untuk perlakuan B. Analisis GC-MS memperlihatkan adanya perbedaan produk bioliquefaksi antara perlakuan A dan B (Gambar 3). Perlakuan A yang mengandung batubara mentah ditambahkan dengan kapang Trichoderma sp. terdeteksi sebanyak 35 senyawa, sedangkan perlakuan B hanya terdeteksi 4

senyawa. Senyawa utama yang mendominasi pada perlakuan A adalah 2,6-

di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol,

dibutilphtalat, naftalen dan bis(2-etilheksil) phthalat, sedangkan pada perlakuan B, yaitu 2,6-di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol,

isobutilphthalat, bis-(2-etilheksil)phthalat dan n-tetrakosan. Biosolubilisasi batubara lignit diharapkan menghasilkan produk yang setara dengan bensin dan solar. Berdasarkan American Testing Society (2009), perlakuan A memiliki potensi sebagai solar (C10-C24) sebesar 64% dan bensin (C7-C11) sebesar 3%, sedangkan perlakuan B hanya menunjukkan 25%.

Gambar 3. Kromatogram hasil bioliquefaksi perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit steril + T.asperellum).

Meskipun seperti itu, sesuai dengan jumlah senyawa yang ditemukan penggunaan batubara mentah dalam proses biosolubilisasi perlakuan A

menunjukkan potensi produk setara dengan bensin dan solar lebih baik dibandingkan B. Hal tersebut disebabkan akibat adanya aktifitas dari kapang Trichoderma sp. yang

(9)

342 diduga memanfaatkan senyawa hasil

degradasi batubara sebagai sumber energi untuk kelangsungan hidupnya sehingga produk yang dihasilkan lebih sedikit terditeksi dibandingkan kontrol. Terbentuknya senyawa-senyawa baru dalam perlakuan B disebabkan oleh adanya proses sterilisasi dengan suhu yang tinggi dan mengakibatkan teroksidasinya batubara selain itu proses agitasi pun ikut andil dalam penguraian struktur batubara. Wise (1990) menyatakan bahwa proses agitasi mengakibatkan terurainya struktur batubara dan terlepasnya sulfur anorganik.Senyawa yang terdeteksi sebagian besarberupa senyawa dengan rantai karbon yang panjang. Diduga pengukuran biosolubilisasi pada hari inkubasi hari ke-2 dan ke-7 menyebabkan senyawa penyusun batubara belum terdegradasi secara maksimal. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pengukuran produk biosolubilisasi pada hari selanjutnya agar diperoleh senyawa yang setara dengan bensin dan solar. Akan tetapi, hasil yang diperoleh menunjukkan potensi dari konsorsium antara mikroba indigenos dengan T. asperellum dalam meningkatkan bioliquefaksi lignit.

KESIMPULAN

Kapang T. asperellum dapat tumbuh dengan baik dalam medium batubara lignit mentah (A) yang mengandung mikroba indigenos maupun kontrol (B). Tingkat

bioliquefaksi perlakuan A, berdasarkan nilai

absorbansi supernatan pada λ250nm dan

λ450nm lebih tinggi dibandingkan B selama waktu inkubasi. Analisis GC-MS memperlihatkan adanya perbedaan produk bioliquefaksi antara perlakuan A dan B. Jumlah senyawa yang terdeteksi pada perlakuan A sebanyak 35 buah dan 4 senyawa utama yang mendominasi adalah

2,6-di-tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol,

dibutilphtalat, naftalen dan bis(2-etilheksil) phthalat, sedangkan pada perlakuan B hanya terdeteksi 4 senyawa, yaitu 2,6-di-

tert-butil-4-[(2-oktadesiloksikarbonil)etil]fenol,

isobutilphthalat, bis-(2-etilheksil)phthalat dan n-tetrakosan

DAFTAR PUSTAKA

American Testing Society. 2009. Coal. http://www.ats.org. Diakses pada tanggal 5 Maret 2011 Pukul 16.00 WIB.

Brenner, K. Lingchong, Y., and Frances, H.A. 2008. Engineering Microbial Consortia : a New Frontier in Synthetic Biology. Cell Press. 483 – 490.

Catcheside D. E., Mallett K J. 1991. Solubilization of Australian lignites by fungi and other microorganisms. Energy &Fuels, 5(1): 141–145. Cohen M S, Gabriele P D. 1982.

(10)

343

Polyporus versicolor and

Poriamonticola. Appl. and Env. Microbiol., 44(1): 23–27.

ESDM. 2010. Hand Book of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2010.

Faison, B. D., C. D. Scott, dan N. H. Davison. 1989. Biosolubilization of coal in aqueous and non-aqueous media. . Abstract Paper American Chemical Society 85: 196.

Fakoussa R M, Hofrichter M. 1999. Biotechnology and microbiology of coal degradation. Appl. Microbiol. and Biotech., (52): 25–40.

Hammel K.E. 1997. Fungal Degradation of Lignin. Di Dalam: Cadisch G, Giller KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And Decompostion. London: CAB International. hlm. 33-45.

Kirk, T. K., S. Croan, M. Tien, K. E. Murtagh, and R. L. Farrell. 1986. Production of Multiple Ligninases by Phanerochaete chrysosporium: Effect of Selected Growth Conditions and Use of Mutant Strain. Enzyme Microb. Technol. 8:27–32.

Perez J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002. Biodegradation and Biological Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: An Overview. Int. Microbiol. 5:53-63. Ralph JP, Catcheside DEA. 1994.

Depolymerization of Macromolecules

from Morewell Brown Coal by Mmesophilic and Thermotolerant Aerobic Microorganisms. Fuel Proc Techn 40:193–203

Shi Kai Yi, Tao Xiu-xiang, Yin Su-dong, Du Ying and Lv Zuo-peng. 2009. Bioliquefaction of Fushun Lignite : characterization of newly isolated ligite liquefying fungus and liquefaction products. The 6th International Conference on Mining Science & Tech. Procedia earth and Planetary Science (2009) 627-633.

Sugoro, I., D. Indriani, D. Sasongko, P. Adiatiawati. 2011. Isolasi dan seleksi fungi dari pertambangan batubara sebagai agen biosolubilisasi. Biota UNIKA Atmajaya. Jakarta.

Wise, D.L. 1990. Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc., New York.

Xu X H, Chen C H, Qi H Y. 2000. Development of coal combustion pollution control for SO2 and NOx in China. Fuel Processing Technology, 62(2/3): 153–160.

Yoshida, H. 2007. Coal Liquefaction Pilot Plant. New Energy and Industrial

Technology Development

Organization. Tokyo.

Ying D, T Xiuxiang, K Shi, and L Yang. 2010.Degradation of Lignite Model Compounds by the Action of White Rot Fungi. Mining Science and Technology 20: 0076–0081.

Gambar

Gambar 1. pH medium perlakuan A  (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit steril +  T.asperellum)
Gambar 2. Nilai absorbansi medium perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) dan B (lignit  steril + T.asperellum)
Gambar 3. Kromatogram  hasil bioliquefaksi perlakuan A (lignit mentah + T.asperellum) dan  B (lignit steril + T.asperellum)

Referensi

Dokumen terkait

Supaya berhasil, auditor membutuhkan kesadaran khusus terhadap redflag dari fraud.Untuk memahami bagaimana redflag fraud dimaskukkan kedalam penilaian resiko fraud

Ketika udara campuran dari valve inspirasi memasuki selang inspirasi breathing circuit dan melewati patient flow sensor, maka membrane orifice akan terlihat seperti gambar

ebaliknya pada anak dengan hemofilia, dengan orangtua yang oerprotektif dan selalu cemas, mereka akan tumbuh dengan perasaan dan pola pokir yang negatif, selalu merasa

Dengan demikian sampai dengan akhir Siklus II dapat disimpulkan bahwa implementasi teknik pembelajaran Mind Mapping dalam proses pembelajaran menulis Notula Rapat pada

[r]

Berdasar latar belakang tersebut peneliti mengkaji lebih lanjut dengan mengelompokkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Angka Partisipasi Pendidikan pada

Prosedur untuk menetapkan tugas dan tuntutan keterampilan dari suatu jabatan dan orang macam apa yang akan dipekerjakan untuk  Analisis Jabatan.. Prosedur untuk menetapkan tugas

Penggunaan hydrofoil pada kapal telah banyak dilakukan karena menawarkan kelebihan yaitu mengurangi hambatan yang dihasilkan akibat adanya gaya angkat (lift)