HASIL DAN PEMBAHASAN
4.5. Toksisitas Sub Kronis
4.5.2. Analisis Kerusakan Hat
4.5.2.1. Analisis serum tikus 1 Analisis enzim hat
Enzim merupakan polimer biologi dengan protein sebagai komponen utamanya yang berfungsi sebagai biokatalisator reaksi-reaksi dalam tubuh mahluk hidup (Murray et al. 2003). Kerja katalitik enzim memerlukan substrat yang spesifik untuk selanjutnya diubah menjadi produk, substrat spesifik tersebut sering kali berada pada tempat tertentu sehingga enzim juga harus berada pada tempat tertentu tersebut. SGPT, SGOT dan alkalin fosfatase merupakan enzim-enzim yang tempat utamanya berada dalam sel hepatosit (SGOT juga terdapat dalam sel otot, tulang, ginjal dan pankreas sedang alkalin fosfatase juga terdapat dalam otot), meskipun demikian dalam jumlah tertentu ketiga enzim tersebut juga ditemukan dalam serum dan jumlahnya akan naik jika ada masalah pada sel hepatosit.
SGPT atau sering disebut juga ALT (alanin amino transferase) merupakan enzim spesifik pada sitoplasma sel hepatosit seperti halnya sorbitol dehidrogenase dan glutamat dehidrogenase (Kaneko 1980). Enzim ini mengkatalisis reaksi bolak balik pemindahan gugus amino dari L-alanin kepada asam α-ketoglutarat sehingga menghasilkan piruvat dan glutamat. Kenaikan enzim ini dalam serum secara spesifik menunjukkan telah terjadinya kerusakan hati seperti nekrosis yang bisa diakibatkan oleh senyawa toksik seperti CCl4 (Qureshi et al. 2010)
SGOT atau AST (Aspartat amino transferase) merupakan enzim yang berperan mengkatalisis pemindahan gugus amino dari asam aspartat kepada α-ketoglutarat menghasilkan oksaloasetat dan glutamat. SGOT merupakan enzim
yang terdapat pada sitoplasma dan mitokondria sel-sel hati, otot rangka, otot jantung, ginjal dan otak, jadi enzim ini tidak spesifik ada pada hati. Menurut Suckow et al. (2006) SGOT merupakan enzim yang sensitif tapi kurang spesifik dalam menandakan kerusakan hati. Tetapi meskipun demikian pengukuran enzim ini dalam serum dapat menjadi indikator terjadinya nekrosis pada hepatosit yang menguatkan hasil pengukuran SGPT dan juga mengidentifikasi seberapa parah kerusakan tersebut terjadi (Kaneko 1980).
Pada kondisi hati normal kadar kedua enzim tersebut dalam serum sangat rendah, tetapi ketika terjadi nekrosa sel hepatosit konsentrasi keduanya dalam serum darah akan naik dengan cepat, bahkan jika semakin banyak sel yang mengalami nekrosis maka peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT bisa meningkat sebesar 8 kali lipat (Kaneko 1980). Menurut Suckow et al. (2006) pengukuran konsentrasi SGPT dan SGOT sudah cukup untuk mendeteksi terjadinya kerusakan pada sel hepatosit yang bisa berupa nekrosis ataupun rusaknya permeabilitas membran sel. Selain kedua enzim tersebut ada beberapa enzim lain yang dapat menjadi indikator kerusakan hati diantaranya alkalin fosfatase.
Alkalin fosfatase merupakan enzim hidrolase yang bertanggung jawab melepaskan fosfat dari suatu molekul. Enzim ini banyak terdapat pada hati, saluran empedu, tulang, ginjal dan plasenta, jadi seperti halnya SGOT enzim ini tidak spesifik menggambarkan kerusakan hati. Meskipun demikian menurut Sherlock dan Dooley (2002) enzim ini bisa menjadi indikator terjadinya kolestasis (gangguan proses sekresi pada saluran empedu). Alkalin fosfatase disekresi dari sel hepatosit melalui saluran empedu, sehingga jika saluran empedu tersumbat maka akan menyebabkan penumpukan empedu di dalam sel hepatosit (dan juga penumpukan alkalin fosfatase). Penumpukan tersebut (empedu) menyebabkan toksikasi pada sel sel hepatosit yang dapat menyebabkan rusaknya permeabilitas membran sel, sehingga enzim alkalin fosfatase dapat keluar dari sel hepatosit menuju plasma darah. Sehingga menurut Yakubu et al. (2008) alkalin fosfatase juga dapat menjadi enzim penanda kerusakan membran sel.
Hasil analisis konsentrasi rata-rata SGPT, SGOT dan alkalin fosfatase disajikan pada Tabel 8, sedangkan hasil analisis ketiga parameter tersebut pada setiap tikus perlakuan dan kontrol baik jantan dan betina ditampilkan pada
Lampiran 12a, 13a, 14a, 15a, 16a dan 17a. Analisis sidik ragam terhadap konsentrasi rata-rata enzim SGPT, alkalin fosfatase baik pada tikus jantan maupun betina dan SGOT pada tikus betina menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 12b, 13b, 15b, 16b dan 17b), hanya konsentrasi rata-rata SGOT pada tikus jantan yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb yang nyata lebih rendah dibanding kelompok kontrol (Lampiran 14b dan 14c). Hasil pengukuran terhadap ketiga enzim tersebut penunjukkan bahwa konsentrasi SGPT, SGOT dan alkalin fosfatase tikus perlakuan baik pada tikus jantan maupun betina lebih rendah dari kontrol dan konsentrasi ketiga enzim tersebut antar tikus perlakuan menunjukkan konsentrasi yang semakin rendah dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan.
Tabel 8. Rata-rata dan standar deviasi enzim SGPT (U/l), SGOT (U/l) dan alkalin fosfatase (U/l) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb.
Jenis kelamin Perlakuan SGPT (U/l) SGOT (U/l) ALT (U/l)
Jantan Kontrol 37,30±3,20a 51,80±1,12a 19,19±0,46a 0,1 g/kg bb 35,45±7,42a 51,20±1,37a 18,83±0,20a 1 g/kg bb 32,52±3,78a 49,20±1,59b 18,10±2,18a Betina Kontrol 38,50±10,15a 53,45±1,46a 19,10±1,09a 0,1 g/kg bb 33,40±6,16a 51,47±1,66a 18,55±1,19a 1 g/kg bb 32,70±6,00a 49,93±3,47a 18,83±1,81a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis
kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Konsentrasi rata-rata SGOT dan SGPT yang dihasilkan tikus kontrol dan perlakuan baik pada jantan maupun betina dalam penelitian ini masih dalam rentang standar tikus normal yaitu 24-53 U/l (Suckow et al. 2006) untuk SGPT dan 45,7-80,8 U/l (Smith & Soesanto 1988) untuk SGOT. Sedangkan konsentrasi alkalin fosfatase menunjukkan nilai yang lebih rendah dari standar tikus normal menurut Baron et al. (1974) yaitu sebesar25-150 U/l.
Rata-rata konsentrasi SGPT dan SGOT tikus perlakuan yang lebih rendah dari kontrol dapat menjadi indikator terjadinya sel nekrosis dan kerusakan membran yang lebih sedikit pada sel hepatosit tikus perlakuan dibanding tikus kontrol. Karena jika nekrosis yang salah satu sebabnya adalah kerusakan membran
sel semakin sedikit terjadi maka SGPT dan SGOT akan tetap berada dalam sel sehingga tidak terjadi kenaikan konsentrasinya dalam serum darah. Sedangkan konsentrasi alkalin fosfatase tikus perlakuan yang lebih rendah dari tikus kontrol menunjukkan tidak terjadinya penyumbatan pada saluran empedu.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb tidak menyebabkan peningkatan konsentrasi SGPT, SGOT dan alkalin fosfatase pada serum tikus, bahkan konsentrasi ketiganya lebih rendah dari kontrol. Menurut Qureshi et al. (2010) kondisi ini menunjukkan sampel yang diberikan dapat memperbaiki fungsi hati (hepatoprotektor).
4.5.2.1.2. Bilirubin total dan conjugated bilirubin.
Bilirubin dihasilkan tubuh dari reduksi terhadap biliverdin yang merupakan salah satu komponen hasil degradasi sel darah merah. Sel darah merah yang telah berumur 120 hari akan mengalami degradasi dengan cara dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh makrofag. Bagian protein (globin) dihidrolisis menjadi asam-asam aminonya. Sedangkan bagian hemenya akan diputus pada posisi α metana menghasilkan Fe3+ (menuju sumsum tulang sehingga dapat digunakan kembali menjadi hemoglobin atau disekresi lewat urin) dan biliverdin. Biliverdin (pigmen berwarna hijau) akan direduksi oleh biliverdin reduktase dengan bantuan NADPH sebagai sumber proton sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin.
Bilirubin yang dihasilkan tersebut merupakan unconjugated bilirubin
(bilirubin total = unconjugated bilirubin + conjugated bilirubin (bilirubin direct)) yang lebih sukar larut dalam air. Agar dapat dibawa masuk ke dalam hati maka bilirubin harus diubah menjadi lebih larut air dengan cara mengkonjugasikannya dengan albumin (conjugated bilirubin). Sampai dihati bilirubin akan dilepas dari albumin dan diikat oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin pada permukaan sinusoid hepatositnya. Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Oleh karena itu hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu.
Gambar 9. Metabolisme katabolisme bilirubin.
Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzim bilirubin glukoronosil transferase. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap dan memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kantung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi. Selanjutnya bilirubin terkonjugasi (dalam asam empedu) akan masuk ke ileum (usus halus) dan kemudian ke kolon. Bilirubin terkonjugasi akan dihidrolisis enzim glukoronidase (dikeluarkan oleh bakteri dalam kolon) menjadi bagian pigmen dan glukoronidanya. Komponen pigmen (yang bebas dari glukoronida) direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Selanjutnya sebagian besar urobilinogen akan dikeluarkan melalui feses dan akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan. Disamping itu ada sebagian kecil urobilinogen yang diabsorbsi kembali dari usus ke peredaran darah portal dan dibawa ke ginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine (Gambar 9) (McGavin dan Zachary 2007, Murray et al.
Berdasarkan metabolisme bilirubin tersebut maka seharusnya konsentrasi bilirubin baik itu conjugated bilirubin maupun unconjugated bilirubin yang terdapat dalam serum jumlahnya kecil. Konsentrasi conjugated bilirubin yang tinggi mengindikasikan terjadinya penyumbatan saluran empedu (misalnya akibat adanya batu empedu) sehingga bilirubin yang sudah dikonjugasikan dengan asam glukoronida tidak dapat masuk ke dalam saluran empedu dan juga mengindikasikan terjadinya kerusakan hati seperti sirosis ataupun hepatitis (Kaneko 1980). Sedangkan jika bilirubin total tinggi tetapi conjugated bilirubin rendah maka yang meningkat adalah unconjugated bilirubin, ini mengindikasikan terjadinya katabolisme sel darah merah yang besar atau tidak adanya enzim glukoronil transferase atau terjadi kerusakan hati.
Tabel 9. Rata-rata dan standar deviasi bilirubin total (mg/dl) dan conjugated
bilirubin (mg/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb.
Jenis kelamin Perlakuan Bilirubin total (mg/dl) conjugated bilirubin (mg/dl)
Jantan Kontrol 0,35±0,10a 0,10±0,02a 0,1 g/kg bb 0,34±0,11a 0,07±0,02a 1 g/kg bb 0,34±0,08a 0,08±0,03a Betina Kontrol 0,32±0,07a 0,12±0,02a 0,1 g/kg bb 0,32±0,06a 0,11±0,04a 1 g/kg bb 0,31±0,07a 0,08±0,02a
Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Hasil pengukuran rata-rata bilirubin total dan conjugated bilirubin ditampilkan pada Tabel 9, sedangkan hasil pengukuran pada setiap individu ditampilkan pada Lampiran 18a, 19a, 20a dan 21a. Hasil pengukuran rata-rata kedua parameter tersebut menunjukkan konsentrasi yang lebih rendah pada serum tikus perlakuan dibanding kontrol baik pada jantan maupun betina (Tabel 9). Konsentrasi terendah rata-rata bilirubin total dan conjugated bilirubin baik pada kelompok tikus jantan maupun betina dihasilkan dari tikus yang mendapat ekstrak air buah murbei dengan dosis 1 g/kg bb (dosis paling tinggi) yaitu sebesar 0.34±0.08 mg/dl bilirubin total dan 0.08±0.03 mg/dl conjugated bilirubin. Konsentrasi bilirubin total dan conjugated bilirubin yang sama-sama menurun
dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan berarti juga menunjukkan penurunan unconjugated bilirubin. Analisis sidik ragam konsentrasi rata-rata bilirubin total dan conjugated bilirubin memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) baik pada jenis kelamin jantan maupun betina (Lampiran 18b, 19b, 20b dan 21b).
Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap conjugated bilirubin yang menunjukkan konsentrasi yang lebih rendah pada tikus perlakuan dan tikus kontrol relevan dengan hasil pengukuran enzim alkalin fosfatase yang juga lebih rendah dari kontrol. Dua parameter tersebut menunjukkan tidak terjadinya penyumbatan saluran empedu sehingga conjugated bilirubin dapat melewatinya dan menuju usus halus.
Hasil tersebut memberikan informasi bahwa pemberian ekstrak air buah murbei dengan dosis 0,1 dan 1 g/kg bb selama 92 hari tidak menyebabkan peningkatan konsentrasi bilirubin total dan juga conjugated bilirubin pada tikus perlakuan. Artinya pemberian tersebut tidak merusak fungsi hati dalam memetabolisme bilirubin total dan juga conjugated bilirubin,
4.5.2.1.3. Protein dan albumin
Protein merupakan salah satu makronutrien penting yang dibutuhkan oleh tubuh. Konsumsi protein dibutuhkan tubuh salah satunya sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk membentuk senyawa tertentu seperti basa nitrogen untuk DNA dan RNA. Asupan protein yang kurang dapat menyebabkan banyak masalah seperti kehilangan berat badan, kelemahan, penyusutan jaringan otot dan edema serta dapat memicu terjadinya sirosis pada hati (Gonzales et al. 2003). Protein yang masuk melalui makanan akan dicerna tubuh dalam bentuk asam amino selanjutnya akan diarahkan ke dalam hati melalui pembuluh darah.
Di dalam hati asam amino akan mengalami reaksi deaminasi dan transaminasi dengan katalis enzim seperti SGPT dan SGOT sehingga bagian nitrogennya (NH2) akan terpisah dari kerangka karbon (bagian non-nitrogen).
Bagian non nitrogen selanjutnya dapat diubah menjadi glukosa, lipid ataupun dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat asam amino non esensial yang dibutuhkan tubuh, sedangkan bagian nitrogennya yang toksik bagi tubuh akan
masuk ke dalam siklus urea sehingga terbentuk urea dan dapat dikeluarkan melalui urin. Selain itu di hati juga dapat disintesis asam-asam amino non esensial seperti alanin dan glutamat (Murray et al. 2003).
Selain fungsi diatas sel hepatosit juga dapat mensintesis albumin, globulin (alfa dan beta) dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang bermuatan negatif, berberat molekulnya paling besar dan jumlahnya paling banyak dalam plasma darah, sehingga keberadaan albumin sangat penting untuk menjaga kestabilan tekanan osmotik darah. Selain itu albumin juga berperan sebagai protein transport bagi asam lemak bebas, asam empedu, bilirubin, kation dan mineral penting seperti Zn (Murray et al. 2003, Kaneko 1980).
Menurut Davidson dan Henry (1974) pengukuran total protein, albumin dan globulin dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati meskipun kurang spesifik. Terjadinya sirosis pada sel hepatosit dapat diindikasikan dari terjadinya penurunan konsentrasi total protein dan albumin (hipoalbuminemia). Penurunan tersebut terjadi karena sirosis merupakan kerusakan yang irreversible, sehingga akan mengurangi jumlah sel hepatosit dan akhirnya akan mengurangi jumlah sel yang dapat memproduksi albumin dan juga protein yang lain. Meskipun demikian tes ini kurang spesifik karena terjadinya hipoalbuminemia juga dapat mengindikasikan terjadinya malnutrisi, malabsorbsi dan juga sindrom nefrotik. Sedangkan naiknya konsentrasi albumin serum (hiperalbuminemia) mengindikasikan terjadinya dehidrasi yang disebabkan tubuh banyak kehilangan cairan sehingga meningkatkan konsentrasi albumin dalam serum.
Hasil pengukuran konsentrasi protein total dan albumin pada setiap tikus perlakuan dan kontrol ditampilkan pada Lampiran 22a, 23a, 24a dan 25a, sedangkan konsentrasi rata-ratanya ditampilkan pada Tabel 10. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata protein pada tikus perlakuan jantan dan betina lebih tinggi dibanding tikus kontrol, sedangkan konsentrasi rata-rata protein antar perlakuan baik pada kelompok jantan dan betina meningkat dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan (Tabel 10). Konsentrasi rata-rata protein tertinggi dihasilkan pada tikus betina yang mendapat perlakuan ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb yaitu sebesar 7,39 gr/dl. Analisis sidik ragam terhadap konsentrasi rata-rata protein pada tikus jantan menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 22b), sedangkan pada tikus betina menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan 1g/kg bb (Lampiran 23b dan 23c). Meskipun demikian nilai tersebut masih masuk dalam rentang konsentrasi protein normal pada tikus yaitu 6,0-7,8 (Charles River lab. 1984).
Tabel 10. Rata-rata dan standar deviasi total protein (g/dl) dan albumin (g/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb.
Jenis kelamin Perlakuan Total protein (g/dl) Albumin (g/dl)
Jantan Kontrol 6,25±0,19a 3,49±0,10a 0,1 g/kg bb 6,29±1,13a 3,41±0,38a 1 g/kg bb 6,59±1,73a 3,27±0,20a Betina Kontrol 6,09±0,51a 3,47±0,20a 0,1 g/kg bb 6,36±0,34a 3,58±0,22a 1 g/kg bb 7,39±0,73b 3,71±0,32a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis
kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Hasil pengukuran rata-rata albumin pada tikus jantan menunjukkan nilai yang semakin rendah dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak air buah murbei yang diberikan, sedangkan pada tikus betina terjadi sebaliknya, konsentrasi rata-rata albumin semakin tinggi dengan semakin menurunnya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan. Meskipun demikian konsentrasi tersebut masih masuk dalam rentang konsentrasi albumin normal pada tikus yaitu 3,4-4,3 g/dl (Charles River Laboratory 1984). Analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi rata-rata albumin pada tikus jantan dan betina tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 24b dan 25b).
Menurut Kaneko (1980) komponen dominan utama yang ada pada total protein serum adalah albumin dan globulin sedangkan komponen lainnya bisa berupa protein transpor lain seperti tranferrin dan ferritin. Konsentrasi rata-rata total protein serum yang tinggi pada tikus betina yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb yang dibarengi dengan naiknya albumin maka ada 2 kemungkinan yang terjadi pada kadar globulin serum yaitu bisa naik atau turun atau tidak terjadi perubahan, artinya kenaikan pada total protein serum bisa diakibatkan oleh naiknya albumin dan globulin atau hanya diakibatkan oleh naiknya albumin
saja. Indikator terjadinya kerusakan pada hati yaitu fibrosis atau hepatitis sub akut diantaranya penurunan konsentrasi albumin dan atau penurunan konsentrasi albumin yang disertai dengan kenaikan jumlah globulin sehingga total protein serumnya bisa turun (akibat turunnya albumin) atau naik (albumin turun dan globulin naik).
Berdasarkan hal tersebut maka kenaikan konsentrasi rata-rata protein serum yang dikuti dengan kenaikan konsentrasi albumin pada tikus betina yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb tidak mengindikasikan terjadinya kerusakan hati. Tingginya protein pada serum darah tidak hanya dipengaruhi oleh hati sebagai tempat yang memproduksinya tetapi juga dipengaruhi oleh status protein dari pencernaan, katabolisme albumin dan juga profil glomerulus (Kaneko 1980). Kenaikan input asam amino dari pencernaan akan menaikkan konsentrasi rata-rata protein serum tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar karena hati langsung berperan untuk menyerapnya dan memetabolisme kelebihan tersebut. Sedangkan jika melihat hasil pengukuran mineral pada Tabel 15 dan 16 maka konsentrasi rata-rata tersebut tidak menunjukkan terjadinya dehidrasi pada tikus. Oleh karena itu hal yang mungkin berkaitan dengan naiknya protein pada serum adalah kenaikan sintesis albumin dan globulin dari hati sebagai akibat naiknya kebutuhan tubuh dan juga bisa disebabkan naiknya katabolisme protein otot.
Selain itu konsentrasi protein total yang lebih rendah pada tikus kontrol juga bisa diakibatkan dari terjadinya degenerasi lemak dan juga nekrosis yang lebih tinggi pada sel hepatositnya dibanding tikus perlakuan (Tabel 13), kondisi tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sel dalam melakukan sintesis protein serum. Menurut Harlina (2007) terjadinya degenerasi dan nekrosis pada sel hepatosit dapat mengganggu sintesis protein plasma sehingga akan menurunkan konsentrasinya dalam plasma.
Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 dan 1 g/kg bb tidak memberikan dampak terhadap konsentrasi total protein dan albumin serum tikus Sprague Dawley. Artinya perlakuan tersebut tidak mempengaruhi fungsi hati dalam meregulasi dan mensintesis konsentrasi total protein dan albumin dalam serum tikus tersebut.
4.5.2.1.4. Glukosa
Glukosa merupakan salah satu monosakarida penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa juga merupakan satu-satunya sumber energi bagi otak. Salah satu sumber glukosa bagi tubuh adalah karbohidrat dalam makanan, karbohidrat tersebut akan diserap dalam bentuk monosakarida dan masuk ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa darah. Secara alamiah dan dalam kondisi normal tubuh akan menjaga kadar glukosa darah tetap konstan, sehingga kelebihan glukosa dalam darah akan diarahkan ke hati dan diubah menjadi glikogen melalui jalur glikogenesis. Sebagian glukosa juga akan diarahkah ke otot melalui aliran darah sebagai sumber energi yang jika berlebih juga dapat disimpan dalam bentuk glikogen otot. Jika kadar glukosa darah masih tinggi maka hati akan mengubahnya menjadi asam lemak melalui reaksi lipogenesis yang selanjutnya akan disimpan dalam bentuk trigliserida di jaringan adiposa (Murray et al. 2003).
Tetapi jika kadar glukosa darah lebih rendah dari nilai normalnya maka hati akan memecah simpanan glikogennya dan mengubahnya menjadi glukosa yang selanjutnya akan dikeluarkan menuju darah. Jika kadar glukosa masih kurang maka akan terjadi pemecahan simpanan lemak di jaringan adiposa, simpanan lemak dalam bentuk trigliserida akan diubah menjadi asam lemak oleh enzim triasilgliserol lipase, asam lemak selanjutnya akan diarahkan ke hati dan diubah menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis. Glukosa yang terbentuk selanjutnya akan dikeluarkan ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa darah pada level normal.
Tingginya kadar glukosa darah dalam waktu yang lama sering dihubungkan dengan penyakit diabetes melitus yang selanjutnya (jika kadarnya selalu tinggi) akan menyebabkan kerusakan pada mata, ginjal dan juga hati. Sehingga berdasarkan fungsi hati dalam mengatur kadar glukosa darah maka pengukuran kadar glukosa darah dapat menjadi salah satu indikator kerusakan hati meskipun spesifitasnya rendah (Kaneko 1980).
Hasil pengukuran konsentrasi glukosa pada setiap tikus jantan dan betina ditampilkan pada Lampiran 26a dan 27a, sedangkan konsentrasi glukosa rata-rata tikus jantan dan betina dari setiap perlakuan dan kontrol ditampilkan pada Tabel 11.
Hasil pengukuran konsentrasi rata-rata glukosa pada tikus jantan dan betina menunjukkan konsentrasi yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya dosis pemberian ekstrak air buah murbei (Tabel 11). Meskipun demikian konsentrasi tersebut masih termasuk ke dalam rentang glukosa normal pada tikus yaitu 82-187 mg/dl (Suckow et al. 2006). Analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi rata-rata glukosa pada tikus jantan dan betina tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 26b dan 27b).
Tabel 11. Rata-rata dan standar deviasi glukosa (mg/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb.
Jenis kelamin Perlakuan glukosa (mg/dl)
Jantan Kontrol 175,84± 18,70a 0,1 g/kg bb 177,36± 27,79a 1 g/kg bb 182,45± 30,15a Betina Kontrol 149,39± 33,22a 0,1 g/kg bb 157,32± 38,14a 1 g/kg bb 159,29± 36,39a
Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 dan 1 g/kg bb tidak memberikan dampak terhadap konsentrasi glukosa serum tikus Sprague Dawley. Artinya perlakuan tersebut tidak