HASIL DAN PEMBAHASAN
4.5. Toksisitas Sub Kronis
4.5.3. Analisis Kerusakan Ginjal
4.5.3.2. Histologi ginjal
Pengujian histologi pada ginjal digunakan untuk melihat apakah terjadi lesio pada glomerulus dan tubulus yang merupakan unit fungsional ginjal. Glomerulus berperan melakukan filtrasi plasma darah yang secara selektif akan memfiltrasi senyawa yang ukurannya lebih kecil dari 70,000 dalton (Carlton dan McGavin 1995) diantaranya adalah Ca, Na, P, K, Cl air, urea, kreatinin dan protein ukuran kecil. Filtrat tersebut selanjutnya akan bergerak melalui tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, kantong pengumpul urin dan pada akhirnya akan dikeluarkan lewat urin. Tetapi tidak semua mineral dan senyawa tersebut akan dikeluarkan ke urin, ada yang akan diserap kembali di tubulus (proksimal, ansa henle dan distal) untuk menjaga homeostasis tubuh. Ada yang akan direabsorpsi semuanya seperti protein, direabsorpsi sebagian seperti mineral dan ada yang sama sekali tidak di reabsorpsi yaitu kreatinin (Guyton dan Hall 1997).
Pada kondisi fisiologis ginjal yang normal proses tersebut akan berlangsung setiap hari sehingga tidak menyebabkan kelainan pada tubuh. Tetapi keberadaan senyawa toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh dan juga metabolisme tubuh yang tidak normal misalnya pada penderita diabetes akut yang dapat memproduksi badan keton sehingga menyebabkan penurunan pH, dapat menyebabkan kerja ginjal terlalu keras sehingga menyebabkan terjadinya lesio pada ginjal. Lesio pada ginjal utamanya terjadi pada glomerulus dan tubulus yang merupakan bagian nefron.
Tabel 17. Persentase rata-rata terjadinya endapan protein pada glomerulus dan degenerasi hialin pada tubulus tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb.
Perlakuan Glomerulus (%) Tubulus (%)
Jantan Betina Jantan Betina
Kontrol 16±4a 23±9a 0,96±1,4a 1,47±1,71a
dosis 0,1 g/kg bb 19±4a 24±7a 0,17±0,37a 0,30±0,45a dosis 1 g/kg bb 20±4a 27±10a 0,91±0,93a 0,00±0a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis
kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Profil preparat histologi ginjal diamati pada bagian glomerulus dan tubulus, pada glomerulus diamati terjadinya endapan protein sedangkan pada tubulus diamati terjadinya degenerasi hialin. Analisis sidik ragam pada taraf 5%
menunjukkan lesi yang terjadi pada glomerulus dan tubulus tidak berbeda nyata baik pada kelompok jantan maupun betina (Lampiran 48 b dan c serta 49 b dan c). Persentase terjadinya endapan protein pada tubulus dan degenerasi hialin pada tubulus ditampilkan pada Lampiran 48a dan 49a. Pada tubulus persentase rata-rata degenerasi hialin perlakuan lebih rendah dibanding kontrol dan pada tikus jantan konsentrasi rata-rata lesio terendah terdapat pada tubulus tikus yang diberi perlakuan 0,1 g/kg bb ekstrak air buah murbei. Sedangkan pada tikus betina pemberian ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb tidak menunjukkan adanya lesio terhadap tubulus. Pada glomerulus terjadi peningkatan endapan protein dengan semakin tingginya dosis yang diberikan (Tabel 17).
Gambar 13. Terjadinya endapan protein ( ) pada tikus kontrol (a), perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 g/kg bb (b) dan 1 g/kg bb (c).
Lesio yang terjadi pada glomerulus biasanya berkaitan dengan fungsinya dalam melakukan filtrasi, kebocoran membran filtrasi akan mengakibatkan pengeluaran senyawa yang tidak seharusnya masuk ke tubulus misalnya protein. Protein yang terlalu banyak diloloskan saat filtrasi akan mengakibatkan peningkatan beban ginjal dalam mereabsorpsinya, proses reabsorpsi yang tidak sempurna akan mengakibatkan endapan protein pada membran glomerulus, akibatnya akan mempersempit celah ruang Bowman. Dengan pewarnaan HE, endapan protein teramati berwarna merah tipis pada ruang Bowman sehingga akan mempersempit bahkan menutupi ruang Bowman.
Gambar 14. Terjadinya degenerasi hialin ( ) pada tikus kontrol (a), perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 g/kg bb (b) dan 1 g/kg bb (c).
Protein-protein tersebut selanjutnya akan memasuki tubulus dan akan terjadi reabsorpsi protein kembali menuju pembuluh darah. Menurut Carlton dan McGavin (1995) protein yang lolos dari glomerulus akan masuk ke tubulus dan mengalami reabsorpsi sehingga pada kondisi normal tidak ada protein yang dibuang melalui urin, sedangkan jika proses reabsorpsi tidak sempurna (ada protein yang tidak direabsorpsi) maka akan terjadi penumpukan protein di lumen tubulus. Penumpukan protein tersebut dapat terlihat dengan pewarnaan HE yang ditunjukan dengan keberadaan warna eosin yang lebih kuat dibanding sitoplasma sel tubulus.
4.5.3.3. Pembahasan umum
Pengukuran profil serum yang berhubungan dengan kerusakan ginjal meliputi urea, kreatinin, fosfor, kalsium, potasium dan klorida tidak menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal. Ini terlihat dari konsentrasi rata-rata setiap parameter (kecuali fosfor) pada tikus perlakuan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol baik pada kelompok jantan maupun betina. Hanya konsentrasi fosfor pada tikus jantan yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb dan pada tikus betina semua perlakuan yang nyata lebih rendah.
Pengamatan pada histologi glomerulus dan tubulus menunjukkan pada semua perlakuan dan kontrol telah terjadi lesio meskipun tidak berbeda nyata. Pada tubulus terjadinya lesio degenerasi hialin semakin menurun dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan. Sedangkan pada glomerulus terjadi peningkatan lesio endapan protein dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan, kondisi ini berbanding lurus dengan
terjadinya kenaikan pada konsentrasi urea dan kreatinin serum tikus perlakuan dengan semakin tingginya dosis yang diberikan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan tersebut mengindikasikan mulai terjadinya gangguan pada fungsi ginjal khususnya proses filtrasi glomerulus (glomerulus filtration rate
(GFR)).
Gangguan pada glomerulus dan tubulus tikus kontrol terjadi karena penurunan fungsi ginjal sebagai akibat penambahan usia tikus tersebut. Menurut Suckow et al. (2006) ginjal merupakan organ tikus yang paling mudah pengalami penurunan fungsi dengan bertambahnya umur pada pemberian pakan standar secara
ad libitum. Selain itu konsumsi tinggi protein juga akan meningkatkan konsentrasi urea pada serum, menurut Kaneko (1980) konsentrasi urea pada serum dipengaruhi oleh konsumsi nitrogen, protein yang masuk ke tubuh akan dimetabolisme dan amoniumnya diubah menjadi urea melalui jalur siklus urea. Sehingga semakin tinggi konsumsi protein maka keberadaan urea akan semakin banyak (Murray et al.
2003). Jika tubuh setiap hari mengkonsumsi protein dalam jumlah tinggi maka ginjal akan bekerja lebih keras untuk mengeluarkan kelebihan urea agar tidak meracuni tubuh dan jika proses tersebut berlangsung terus menerus maka akan merusak fungsi ginjal (Wagner et al. 2007).
Terjadinya degenerasi hialin pada tubulus yang menurun dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan, ini sejalan dengan pengukuran konsentrasi mineral-mineral Ca, P, K dan Cl pada serum yang konsentrasinya cenderung turun dan tidak menunjukkan adanya nilai yang berbeda nyata. Memang konsentrasi rata-rata fosfor semakin rendah pada tikus perlakuan, tetapi konsentrasi kalsium serum yang tetap normal dan tidak adanya literatur yang menyebutkan tentang keberadaan fitat, menunjukkan terjadinya penurunan fosfor bukan karena kerusakan ginjal (sehingga fosfor banyak dikeluarkan) ataupun rendahnya bioavalabilitas tetapi disebabkan pergerakan fosfor khususnya ke sel hepatosit untuk memenuhi kebutuhan ATP yang digunakan untuk regenerasi sel.
Terjadinya peningkatan endapan protein pada glomerulus tikus perlakuan ternyata tidak diikuti peningkatan degenerasi hialin pada tubulus. Padahal semakin banyak terjadi pengendapan pada glomerulus mengakibatkan semakin banyaknya protein yang akan masuk ke tubulus sehingga akan meningkatkan beban kerja
tubulus dalam mereabsorpsi protein. Oleh karena itu peningkatan gangguan pada glomerulus akan menyebabkan peningkatan gangguan pada tubulus seperti pada penelitian Harlina (2007). Ini menunjukkan terjadi perbaikan pada sel tubulus yang diakibatkan oleh pemberian ekstrak air buah murbei.
Menurut Palani et al. (2009) senyawa antioksidan berupa flavonoid yang ada pada suatu tanaman dapat memperbaiki sel-sel tubulus yang terlihat melalui pengamatan histologi, sedangkan menurut Ahmed (2010) pengaruh pemberian suatu tanaman dalam memperbaiki fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cara menangkap radikal bebas, sehingga tidak bereaksi dengan membran sel atau menstimulasi kerja enzim-enzim antioksidan pada ginjal seperti superoksida dismutase dan glutation peroksidase. Menurut Adeneye et al. (2008) senyawa flavonoid yang dapat memperbaiki fungsi ginjal adalah quesertin, ini berkaitan dengan kemapuan antioksidan senyawa ini. Hasil penelitian Devi dan Shymala (1999) menunjukkan pemberian quesertin pada tikus yang mengalami disfungsi ginjal dapat meningkatkan aktivitas enzim ATPase dan juga enzim antioksidan sehingga akan menurunkan disfungsi ginjal dibanding tikus kontrol.
Tidak adanya indikasi kerusakan ginjal berdasarkan analisis serum dan juga profil histologi pada glomerulus dan tubulus menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb selama 92 hari perlakuan tidak toksik terhadap ginjal tikus perlakuan. Memang pada glomerulus terjadi sedikit peningkatan lesio dengan semakin tinggi dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan, meskipun demikian terjadi perbaikan pada tubulus ginjal perlakuan yang dibuktikan dengan semakin rendahnya lesio degenerasi hialin dengan semakin meningkatnya dosis yang diberikan.