• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, antara lain bagi:

a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dapat dijadikan acuan dalam arahan pengembangan kawasan transmigrasi di wilayah yang lain.

b. Pemerintah Daerah, dapat diajukan acuan dalam pengembangan wilayahnya yang berpotensi untuk pengembangan pertanian (agribisnis).

c. Masyarakat, dapat memahami dan berpartisipasi dalam pengembangan kawasan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya.

d. Ilmu Wilayah, sebagai informasi dan referensi bagi para mahasiswa untuk penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan penerapan konsep agropolitan di kawasan transmigrasi.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian. Kawasan transmigrasi dan masyarakatnya

semakin berkembang

Partisipasi dan aspirasi masyarakat Pembangunan atau peningkatan sarana dan prasarana Pengembangan komoditas unggulan Kawasan transmigrasi yang

kurang berkembang Aksesibilitas rendah Produksi tidak dapat dipasarkan Kelembagaan kurang mendukung pengembangan kawasan transmigrasi Masalah kepemilikan lahan

Penerapan konsep agropolitan di kawasan transmigrasi

Lahan tidak subur

Partisipasi dan aspirasi masyarakat yang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyelenggaraan Program Transmigrasi di Indonesia dan Permasalahannya

Wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu besar, penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang antara daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kerawanan sosial ataupun kerusakan lingkungan. Adanya penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang tersebut menyebabkan pembangunan wilayah yang tidak merata, sehingga ada kecenderungan wilayah yang telah berkembang menjadi makin berkembang dan sebaliknya wilayah yang tertinggal menjadi semakin tertingal. Daerah atau wilayah yang tertinggal dengan penduduk terpencar-pencar dalam kelompok kecil sulit berkembang. Untuk itu perlu diatur melalui penyelenggaraan transmigrasi (Undang-Undang No. 15, 1997).

Program Transmigrasi telah dilaksanakan sejak zaman kolonial Belanda dengan apa yang disebut sebagai kolonisasi dari penduduk yang dipindahkan dari Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung pada tahun 1905 (Ramadhan et al., 1993). Dipilihnya Gedong Tataan, antara lain karena letaknya dekat dengan jalan raya dan tidak jauh dari pelabuhan, tanahnya datar, mempunyai banyak sumber air, cukup baik untuk pembukaan sawah-sawah baru. Istilah kolonisasi ini pada era setelah kemerdekaan diganti menjadi transmigrasi (Utomo, 2005). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1997, transmigrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk secara sukarela dan berencana untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi.

Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan transmigrasi adalah kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai wilayah untuk pengembangan permukiman transmigrasi (WPT). Permukiman transmigrasi adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran.

Yang dimaksud dengan WPT seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 15 tahun 1997 adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Lokasi Permukiman Transmigrasi adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Seperti halnya kawasan pedesaaan, kawasan transmigrasi mempunyai kegiatan utama pertanian. Yulia (2005) menyatakan bahwa kawasan transmigrasi adalah kawasan budidaya intensif untuk menampung perpindahan penduduk secara menetap dalam jumlah besar dengan susunan fungsi-fungsi sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi.

Penduduk yang dapat menjadi atau mendapat kesempatan ikut serta dalam program transmigrasi, adalah:

a. Penduduk bermasalah, yang memiliki tekad dan semangat untuk melakukan peningkatan kesejahteraannya, tetapi mengalami keterbatasan dalam mendapatkan peluang kerja dan usaha.

b. Penduduk yang relatif berpotensi dan telah mendapatkan kesempatan kerja dan usaha, tetapi lebih ingin meningkatkan kesejahteraannya.

c. Penduduk yang telah mampu mengembangkan diri, tetapi ingin lebih meningkatkan mutu kehidupannya lebih baik lagi.

Sebagai salah satu program pembangunan, program transmigrasi sampai dengan tahun 2005 telah membangun 2.744 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT). Sebagian dari UPT-UPT tersebut telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan, berupa 235 kecamatan dan 66 kabupaten yang terus tumbuh dan berkembang dengan berbagai infrastruktur dan dinamikanya masing-masing (Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian, 2004). Namun demikian, tidak semua desa-desa eks UPT tersebut berkembang sesuai dengan yang diharapkan dan sebagian diantaranya tidak tumbuh dan berkembang dengan baik bahkan banyak yang telah menurun.

Penurunan kondisi ini disebabkan antara lain karena ketidaksiapan Pemerintah Daerah untuk memelihara dan melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada akhirnya desa-desa eks UPT yang demikian belum memberikan kontribusi yang nyata dalam peningkatan pembangunan di daerah. Karena itu saat ini diperlukan adanya revitalisasi pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kawasan transmigrasi agar kawasan transmigrasi berkembang dan selanjutnya terbentuk pusat pertumbuhan (Deputi Bidang Kawasan Transmigrasi, 2000).

Kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi diharapkan terus meningkat sehingga mampu menumbuh-kembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara mandiri dan terpadu dengan rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menjadi Kota Terpadu Mandiri (Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, 2006). Kota Terpadu Mandiri dirancang dengan pendekatan WPT/LPT pada kawasan yang sudah terdapat pembangunan transmigrasi atau kawasan potensial yang belum ada pembangunan transmigrasi.

Kota Terpadu Mandiri (KTM) adalah kawasan transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2006). Tujuan pembangunan KTM adalah :

a. Menciptakan sentra-sentra agribisnis dan agroindustri yang mampu menarik investasi swasta untuk menumbuh-kembangkan kegiatan ekonomi transmigran dan penduduk sekitar, serta membuka peluang usaha dan kesempatan kerja.

b. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran dan penduduk sekitar.

c. Meningkatkan kemudahan transmigran dan penduduk sekitar untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

Sasaran pembangunan KTM adalah (a) peningkatan investasi budidaya dan industri pertanian, jasa dan perdagangan, (b) peningkatan produktivitas transmigran dan penduduk sekitarnya, (c) peningkatan pendapatan asli daerah,

(d) peningkatan efektivitas pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan. (e) perluasan kesempatan kerja, dan (f) peningkatan jaringan infrastruktur.

Untuk mewujudkan KTM ini perlu dukungan kegiatan usaha transmigran yang berada di belakangnya. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan KTM perlu melakukan pembangunan WPT yang dapat mendorong tumbuhnya suatu kota. Konsep pengembangan WPT menyebutkan bahwa WPT akan terdiri atas sejumlah Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan setiap SKP akan terdiri dari beberapa UPT atau desa di mana masing-masing hirarki permukiman memiliki pusat, Desa Utama untuk setiap SKP dan Pusat Desa untuk setiap UPT atau desa. Dengan demikian KTM akan membawahi Desa-Desa Utama dan Desa Utama akan membawahi Pusat-Pusat Desa di mana antar Pusat Desa dengan Desa Utama dan antar Desa Utama dengan KTM akan terhubungkan dengan jaringan transportasi baik darat ataupun air/sungai.

2.2. Pola Usaha Pokok Dalam Pembangunan Transmigrasi

Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integrasi permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (Undang-Undang No. 15, 1997). Untuk memenuhi hal tersebut maka dikembangkan tiga jenis transmigrasi, yaitu:

a. Transmigrasi umum, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah.

b. Transmigrasi swakarsa berbantuan, yaitu jenis transmigrasi yang dirancang oleh pemerintah bekerjasama dengan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran.

c. Transmigrasi swakarsa mandiri, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan baik melalui kerjasama dengan badan usaha maupun sepenuhnya dikembangkan transmigran atas arahan pemerintah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi No. 124 tahun 1990 ditetapkan pola permukiman dan pengembangan usaha pokok transmigrasi yang meliputi: (a) Pola Tanaman Pangan, (b) Pola Tanaman Perkebunan, (c) Pola

Perikanan, (d) Pola Budidaya Hutan/Hutan Tanaman Industri, dan (e) Pola Jasa/Industri. Dalam pelaksanaannya, pola permukiman dan pengembangan usaha transmigrasi ini diarahkan dengan mekanisme transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Pangan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usahatani tanaman pangan dengan tipe lahan berupa lahan kering dan lahan basah. Tanaman pangan yang dikembangkan meliputi tanaman padi-padian, palawija dan hortikultura.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Perkebunan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usaha tanaman perkebunan. Dalam pelaksanaannya dikenal adanya Perusahaan Inti dan dan Plasma (transmigran).

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Perikanan dalam pelaksanaannya terbagi atas pola usaha tani nelayan dan tambak. Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok tani nelayan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari menangkap dan atau mengumpulkan ikan. Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok tani tambak adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari budidaya tambak.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Budidaya Hutan/Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar pendapatan transmigrannya bersumber dari budidaya hutan tanaman. Pengelolaannya berdasarkan atas asas kelestarian, asas manfaat, dan asas perusahaan.

Permukiman transmigrasi pola Jasa adalah penyelenggaraan transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha pada dan memperoleh pendapatan dari usaha jasa yang diberikan. Sedangkan pola permukiman transmigrasi di daerah industri adalah permukiman transmigrasi yang

sejak awal dirancang untuk transmigran guna melakukan usaha industri dan atau usaha pokok tertentu secara berkesinambungan di zona industri.

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional (Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang). Klasifikasi konsep wilayah seperti dinyatakan oleh Rustiadi et al. (2005) terdiri dari wilayah homogen, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah fungsional diklasifikasikan demikian karena menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan.

Dalam konsep wilayah fungsional dikenal adanya wilayah nodal yang didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/ permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan untuk membuka isolasi wilayah, menambah tenaga kerja (petani), mendukung ketahanan pangan, pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang Undang no 15 tahun 1997 wilayah pengembangan transmigrasi adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Menurut Dewi (2003) adanya pergeseran orientasi pembangunan transmigrasi ke arah pengembangan wilayah menyebabkan permukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuhkembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan transmigrasi harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian.

Kebijakan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah (a) mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi pertumbuhan UPT/desa setempat sebagai bagian dari kawasan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi pengembangan manajemen di tingkat kawasan, pengembangan prasarana, sarana dan berbagai fasilitas di kawasan untuk pengembangan berbagai kegiatan usaha dari hulu sampai hilir, (b) keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya (Yulia, 2005).

Sebagai wilayah baru yang baru dibuka aktifitas ekonomi penduduknya terutama berkaitan dengan pertanian baik itu tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Perencanaan penggunaan lahan mencakup dua dimensi, yaitu dimensi konservasi ekologi dan ekonomi yang sering saling berkontradiksi (Lier, 1998). Berkaitan dengan adanya konflik antara dua dimensi tersebut maka para perencana memberikan arahan bahwa tindakan konservasi ekologi dalam keberlanjutan pembangunan harus terintegrasi dalam bentuk kebijakan, program aksi, pembiayaan beserta segala aktifitas yang menyertainya baik untuk perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.

Menurut Murdoch (2000) dalam pembangunan masyarakat desa selain mempunyai keterkaitan vertikal juga mempunyai keterkaitan horisontal, yaitu dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat secara ekonomi pedesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam ekonomi nasional maupun internasional melalui peningkatan infrastruktur dan penurunan tarif sehingga aktifitas ekonomi di daerah pedesaan menjadi lebih dinamis. Dalam hal ini format pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor non pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.

Inovasi dan proses pembelajaran di daerah pedesaan dapat dinyatakan sebagai berikut:

a. Adanya kandungan lokal/alami yang tinggi dalam frekuensi keterkaitan di pedesaan, misalnya petani yang menghasilkan suatu komoditas kemudian di proses di daerah pedesaan itu juga menjadi berbagai komoditas. Hal ini dilakukan juga dalam bentuk pewilayahan komoditas, misalnya daging unggas di distrik A dan daging sapi di distrik B.

b. Keterkaitan pedesaan yang ada kepada keterkaitan pertanian yang lebih mapan dengan adanya organisasi serupa koperasi dengan kepercayaan/trust

diantara para anggota kelompok.

c. Keterkaitan di pedesaan karena adanya kepadatan penduduk yang rendah menyebabkan memelihara hubungan diantara mereka agar tetap utuh.

Strategi lain dalam pengembangan wilayah baru adalah melalui demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Dalam demand side strategy tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang dipindahkan ke wilayah baru. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah.

Program transmigrasi merupakan kasus yang sangat menarik dari demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Pada tahap pertama penduduk masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Tahap kedua dengan adanya penyuluhan, masuk dalam stadia subsisten biasanya lahan pekarangan dan lahan usaha sudah diusahakan. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan akan masuk ke dalam stadia marketable surplus.

Hal ini mengisyaratkan perlunya industri pengolahan, karena itu diharapkan telah masuk ke dalam stadia industri pertanian dalam skala kecil. Dengan adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk menjual hasil pertanian. Karena itu income akan meningkat dan untuk meningkatkan konsumsi non pertanian.

Selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil. Hal tersebut akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan permintaan barang mewah. Terakhir masuk dalam kelas stadia industri umum. Oleh karena itu daerah transmigrasi tidak hanya tergantung sektor pertanian saja.

Kerugian dalam sistem ini adalah membutuhkan waktu yang lama karena setiap stadia berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara berpikir. Sedangkan keuntungannya adalah bahwa pada umumnya strategi ini sangat stabil, tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.

Menurut Anwar (2005) menyatakan bahwa strategi pengembangan wilayah ini juga harus didasarkan atas prinsip keterkaitan antar wilayah-wilayah yang dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi) yang disertai pengembangan institusional yaitu disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah.

Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi merupakan usaha menumbuh-kembangkan wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program transmigrasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah transmigrasi ini hanyalah model pengelolaan atau pengembangan usaha ekonomi atas komoditi unggulan suatu kawasan/wilayah tertentu sebagaimana istilah kawasan agropolitan, kawasan andalan, kawasan pariwisata dan lainnya. Untuk mengembangkan komoditas sesuai dengan pola usahanya, kepada peserta transmigrasi dibagikan lahan usaha. Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi no. 124 tahun 1990 untuk transmigrasi pola usaha tanaman pangan lahan kering dibagikan berupa lahan seluas 2,00 ha yang terdiri dari LP (0,25 ha), LU I (0,75 ha) dan LU II (1,0 ha) .

Menurut Sitorus et al. (2000b) pengusahaan lahan di lokasi transmigrasi dapat dinyatakan sudah optimal bila seluruh lahan yang dibagikan yaitu LP (0,5 ha), LU I (0,5 ha) dan LU II (1 ha) sudah diusahakan oleh transmigran untuk budidaya pertanian yang hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja produktif dengan pekerjaan sebelumnya sebagai petani atau PNS/Pensiunan serta dengan memperbanyak sarana-sarana penunjang pertanian diantaranya hand sprayer.

Sebagian besar transmigran umum dengan pola usaha pokok tanaman pangan lahan kering belum mampu membuka LU II secara swadaya sampai tahun ke 4 atau ke 5. Berdasarkan data UPT tahun 1998/1999 luas LU II yang diusahakan per kepala keluarga (KK) UPT rata-rata provinsi adalah sebesar 0,31 ha/KK (Sitorus et al., 2000b).

Menurut Sitorus dan Susetio (2000) selain ketersediaan tenaga kerja yang kurang, belum diusahakannya LU II disebabkan karena keterbatasan modal dan sulitnya lahan untuk diolah. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut diperlukan pengadaan peralatan pengolahan tanah seperti traktor tangan dan mesin. Selain itu bantuan ternak seperti kerbau dan sapi dapat membantu kekurangan tenaga kerja sekaligus dapat menyuburkan tanah dan meningkatkan pendapatan transmigran.

Menurut Sitorus dan Pribadi (2000) luas lahan tidur sangat beragam di tiap UPT, ini menunjukkan bahwa selain ketidakmampuan transmigran untuk membuka lahan secara swadaya, juga terdapat faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adanya lahan tidur misalnya tersedianya sumber mata pencaharian lain di luar usahatani yang lebih menguntungkan seperti menjadi buruh, mengumpulkan hasil hutan, tambang, industri, jasa dan sebagainya. Hal ini menyebabkan transmigran kurang tertarik untuk menggarap lahannya atau curahan waktu yang disediakan transmigran untuk menggarap lahan usahanya belum maksimal.

Menurut Delam et al. (2000) walaupun UPT-UPT sudah diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak ditemui banyak lahan terutama LU II yang belum diusahakan. Belum dibukanya LU II, karena masih berupa hutan maka untuk memanfaatkan lahan dengan kondisi demikian sebagai usaha

pengembangan tanaman perkebunan membutuhkan biaya besar yang sulit diatasi oleh transmigran secara perorangan. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan tenaga kerja dan modal. Salah satu upaya mengatasi kesulitan ini adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta/investor. Dalam rangka usaha pengembangan tanaman perkebunan perlu peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan khususnya yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman perkebunan.

Meskipun di daerah transmigrasi dibangun pola tanaman pangan, komoditas padi dan tanaman pangan lainnya ternyata bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan transmigran (Najiyati, 2003). Tampaknya transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif di LU II. Sedangkan padi dan tanaman pangan lainnya dinilainya sebagai komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di UPT Pagar Banyu, transmigran enggan menanam tanaman pangan karena lahan yang kurang subur, topografi bergelombang-berbukit dan adanya serangan hama babi. Dengan kondisi LU II seperti itu serta memperhatikan peluang pasar yang terbatas di lokasi, transmigran memilih karet atau kelapa sawit sebagai komoditas unggulan untuk dikelola secara kooperatif. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan dalam pengusahaan LU II berupa keterbatasan modal, tenaga kerja dan ketersediaan bibit yang berkualitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyono et al. (2002) luasan lahan yang diusahakan transmigran di Mesuji SP 6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP 7 menunjukkan bahwa lahan usaha terutama LP dan LU I telah diusahakan dengan baik, sedangkan LU II pada umumnya belum diusahakan karena tenaga kerja yang belum mencukupi dan modal yang terbatas. Selain itu transmigran menunggu adanya investor yang berkeinginan menanam modalnya maupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan (kelapa sawit, karet dan lainnya).

Modal merupakan unsur utama dalam usahatani yang berorientasi bisnis. Terbatasnya modal menjadi kendala di hampir seluruh daerah transmigrasi pola tanaman pangan dalam mengembangkan usahataninya pada LU II (Najiyati et al., 2001). Sumber modal yang bisa diharapkan untuk mengembangkan LU II di

kawasan transmigrasi antara lain dari petani sendiri dan dari dunia usaha termasuk bank dan perusahaan yang bersedia bermitra usaha. Minat investor mengembangkan usaha pertanian melalui sistem kemitraan cukup besar.

Adanya kerjasama kemitraan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola dalam investasi agribisnis diharapkan dapat memberikan posisi lebih baik bagi transmigran sehingga menjadi lebih leluasa dalam mengusahakan lahannya, menambah kemampuan teknologi dan memperoleh nilai tambah lebih besar terutama apabila petani dapat menjadi bagian dari pelaku dalam semua kegiatan

Dokumen terkait