• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan pengembangan kawasan transmigrasi kaliorang Di Kabupaten Kutai Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan pengembangan kawasan transmigrasi kaliorang Di Kabupaten Kutai Timur"

Copied!
272
0
0

Teks penuh

(1)

KAWASAN TRANSMIGRASI KALIORANG

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR

NURHARYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Bogor, Januari 2007 Transmigrasi Kaliorang di Kabupaten Kutai Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

NURHARYADI NRP A 253050054

(3)

Dalam rangka pembangunan wilayah tidak semua desa bentukan transmi

rtujuan untuk menganalisis tingkat perkembangan desa, kegiata

der melipu

nunjukkan bahwa desa Bukit Makmu

kelapa sawit berindikasi untuk dikemb

eywords : Transmigrasi, tingkat perkembangan desa, komoditas unggulan, Kabupaten Kutai Timur. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO sebagai Ketua Komisi, dan SANTUN R.P. SITORUS sebagai Anggota Komisi.

grasi berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengembangan kawasan transmigrasi diantaranya berlokasi di wilayah yang sulit dijangkau, produksi yang tidak dapat dipasarkan, lahan yang tidak subur dan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang kurang mendukung pengembangan usaha.

Penelitian ini be

n usaha pertanian dan pengembangan komoditas unggulan, partisipasi dan aspirasi masyarakat serta menyusun arahan pengembangan kawasan. Berdasarkan tujuan analisis tingkat perkembangan desa diturunkan hipotesis, yaitu semakin lama umur desa transmigrasi dan semakin dekat desa transmigrasi dengan pusat pelayanan maka desa transmigrasi tersebut memiliki hirarki yang lebih tinggi.

Data yang digunakan terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekun ti data publikasi BPS, penempatan transmigran, arahan pengembangan wilayah Kabupaten Kutai Timur dan peta kawasan transmigrasi Kaliorang. Data primer adalah partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam pengembangan kawasan. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Analisis Skalogram dan Regresi, (2) Analisis Location Quotient, (3) Shift-Share Analysis, dan(4)Analisis Deskriptif.

Analisis tingkat perkembangan desa me

r mempunyai tingkat perkembangan desa/hirarki tertinggi. Jarak desa dari pusat pelayanan (simpang Kaliorang Kaubun) mempunyai korelasi yang nyata dengan tingkat perkembangan desa. Semakin jauh desa-desa dari pusat pelayanan semakin rendah tingkat perkembangan desa.

Komoditas padi sawah, kakao, dan

angkan sebagai komoditas unggulan. Namun, saat ini hanya kelapa sawit yang memungkinkan untuk dikerjasamakan dengan investor. Warga berkeinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan ini terutama dalam pengembangan komoditas unggulan, yaitu kelapa sawit untuk diusahakan di Lahan Usaha II melalui kemitraan dengan investor yang difasilitasi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur dalam pengembangan kawasan ini adalah ditetapkannya kawasan transmigrasi Kaliorang sebagai bagian dari pengembangan kawasan agropolitan Sangsaka dengan komoditas yang direncanakan dikembangkan adalah padi, jagung, nenas, jati, dan kelapa sawit. Sarana prasarana terutama transportasi merupakan kendala utama, karena itu dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan agribisnis subsistem produksi diperlukan adanya dukungan pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan dan moda transportasinya.

K

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari be

Hak cipta dilindungi

(5)

KAWASAN TRANSMIGRASI KALIORANG

NURHARYADI

Tesis

Sebagai salah satu sya

uk memperoleh gelar

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR

rat unt

Magister Sains

(6)

ama : Nurharyadi

RP : A 253050054

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr Endriatmo Soetarto, MA N

N

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Diketahui:

Ketua Program Studi

Ilm h

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS

anggal Ujian : 13 Desember 2006 anggal Lulus :

Anggota

u Perencanaan Wilaya

(7)

anjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya,

staf di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, penulis

sih dan penghargaan rjasa dalam kehidupan penulis;

embimbing dan

3. uji Luar Komisi;

lmu Perencanaan 5. Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi 6. usat Data dan Informasi Ketransmigrasian, Departemen Tenaga Kerja

7. 05 yang selalu kompak dan solid.

da istri dan anak-anak

maaf apabila terdapat kekhilafan

Bogor, Januari 2007 Nurharyadi Alhamdulillah penulis p

sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Arahan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kaliorang di Kabupaten Kutai Timur.

Sebagai

berkeinginan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan pelaksanaan pembangunan di bidang ketransmigrasian. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para perumus kebijakan pembangunan dibidang ketransmigrasian dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimaka yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak dan Ibu yang sangat be

2. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai Ketua Komisi P

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan, masukan dan dorongannya selama penelitian dan penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik;

Ir. Atang Sutandi, M.Si, PhD sebagai Peng

4. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi I Wilayah IPB;

Pusbindiklatren penulis;

Kepala P

dan Transmigrasi yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan belajar;

Rekan-rekan PWL 20

Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepa

atas pengertian dan dukungannya sehingga memberikan kekuatan tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Tak ada gading yang tak retak, mohon dalam penelitian ini dan semoga bermanfaat.

assalamu’alaikum Wr. Wb. W

(8)

005, penulis mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan

S di Departemen Transmigrasi pasangan Ahmad Soebandi dan Siti Zulaikah. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994.

Pada tahun 2

S2 pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan dari Pusbindiklatren, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai PN

(9)

DAFTAR TABEL ……….………... iv

DAFTAR GAMBAR ……….…………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….... 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ……… 6

1.4. Hipotesis ………..………...……… 6

1.5. Kerangka Pemikiran ………...……… 6

1.6. Manfaat Penelitian ………..……… 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyelenggaraan Program Transmigrasi di Indonesia dan ermasalahannya ..………... P 9 2.2. Pola Usaha Pokok Dalam Pembangunan Transmigrasi …….. 12

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan ilayah ………... W 14 2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi ………...… 20

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 30

3.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ……….…… 30

3.3. Teknik Analisis Data ……….……….. 32

3.3.1. Analisis Skalogram dan Regresi …..……… 32

3.3.2. Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah ... 35

3.3.3. Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah .…... 36

3.3.4. Analisis Deskriptif ...…... 38

(10)

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Wilayah Administrasi, Letak Geografis, dan Aksesibilitas .... 41

4.2. Perkembangan Penduduk dan Perekonomian ... 43

4.3. Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan ... 45

4.4. Satuan Peta Lahan dan Kesesuaian Lahan ... 46

4.5. Penggunaan Lahan ... 50

BAB V. TINGKAT PERKEMBANGAN DESA 5.1. Analisis Skalogram Berdasarkan Sarana/Prasarana Dasar ... 52

5.2. Analisis Skalogram Menggunakan Indeks Perkembangan Desa ... 52

BAB VI. ANALISIS KEGIATAN USAHA PERTANIAN DAN PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN 6.1. Pengusahaan Tanaman Pangan ... 57

6.2. Pengusahaan Tanaman Perkebunan ... 61

6.3. Pengusahaan Tanaman Buah-Buahan ... 64

6.4. Pengembangan Komoditas Unggulan ... 66

6.4.1. Tanaman Pangan ... 66

6.4.2. Tanaman Perkebunan ... 67

6.4.3. Tanaman Buah-Buahan ... 69

6.5. Orientasi Pemasaran Hasil Produksi ... 69

BAB VII. PARTISIPASI DAN ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI 7.1. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan ... 71

7.2. Aspirasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan ... 75

7.2.1. Pengembangan Kegiatan Usaha dan Perekonomian .... 75

7.2.2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Transportasi ... 78

(11)

KAWASAN TRANSMIGRASI KALIORANG

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR

NURHARYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Bogor, Januari 2007 Transmigrasi Kaliorang di Kabupaten Kutai Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

NURHARYADI NRP A 253050054

(13)

Dalam rangka pembangunan wilayah tidak semua desa bentukan transmi

rtujuan untuk menganalisis tingkat perkembangan desa, kegiata

der melipu

nunjukkan bahwa desa Bukit Makmu

kelapa sawit berindikasi untuk dikemb

eywords : Transmigrasi, tingkat perkembangan desa, komoditas unggulan, Kabupaten Kutai Timur. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO sebagai Ketua Komisi, dan SANTUN R.P. SITORUS sebagai Anggota Komisi.

grasi berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengembangan kawasan transmigrasi diantaranya berlokasi di wilayah yang sulit dijangkau, produksi yang tidak dapat dipasarkan, lahan yang tidak subur dan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang kurang mendukung pengembangan usaha.

Penelitian ini be

n usaha pertanian dan pengembangan komoditas unggulan, partisipasi dan aspirasi masyarakat serta menyusun arahan pengembangan kawasan. Berdasarkan tujuan analisis tingkat perkembangan desa diturunkan hipotesis, yaitu semakin lama umur desa transmigrasi dan semakin dekat desa transmigrasi dengan pusat pelayanan maka desa transmigrasi tersebut memiliki hirarki yang lebih tinggi.

Data yang digunakan terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekun ti data publikasi BPS, penempatan transmigran, arahan pengembangan wilayah Kabupaten Kutai Timur dan peta kawasan transmigrasi Kaliorang. Data primer adalah partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam pengembangan kawasan. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Analisis Skalogram dan Regresi, (2) Analisis Location Quotient, (3) Shift-Share Analysis, dan(4)Analisis Deskriptif.

Analisis tingkat perkembangan desa me

r mempunyai tingkat perkembangan desa/hirarki tertinggi. Jarak desa dari pusat pelayanan (simpang Kaliorang Kaubun) mempunyai korelasi yang nyata dengan tingkat perkembangan desa. Semakin jauh desa-desa dari pusat pelayanan semakin rendah tingkat perkembangan desa.

Komoditas padi sawah, kakao, dan

angkan sebagai komoditas unggulan. Namun, saat ini hanya kelapa sawit yang memungkinkan untuk dikerjasamakan dengan investor. Warga berkeinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan ini terutama dalam pengembangan komoditas unggulan, yaitu kelapa sawit untuk diusahakan di Lahan Usaha II melalui kemitraan dengan investor yang difasilitasi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur dalam pengembangan kawasan ini adalah ditetapkannya kawasan transmigrasi Kaliorang sebagai bagian dari pengembangan kawasan agropolitan Sangsaka dengan komoditas yang direncanakan dikembangkan adalah padi, jagung, nenas, jati, dan kelapa sawit. Sarana prasarana terutama transportasi merupakan kendala utama, karena itu dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan agribisnis subsistem produksi diperlukan adanya dukungan pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan dan moda transportasinya.

K

(14)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari be

Hak cipta dilindungi

(15)

KAWASAN TRANSMIGRASI KALIORANG

NURHARYADI

Tesis

Sebagai salah satu sya

uk memperoleh gelar

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR

rat unt

Magister Sains

(16)

ama : Nurharyadi

RP : A 253050054

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr Endriatmo Soetarto, MA N

N

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Diketahui:

Ketua Program Studi

Ilm h

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS

anggal Ujian : 13 Desember 2006 anggal Lulus :

Anggota

u Perencanaan Wilaya

(17)

anjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya,

staf di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, penulis

sih dan penghargaan rjasa dalam kehidupan penulis;

embimbing dan

3. uji Luar Komisi;

lmu Perencanaan 5. Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi 6. usat Data dan Informasi Ketransmigrasian, Departemen Tenaga Kerja

7. 05 yang selalu kompak dan solid.

da istri dan anak-anak

maaf apabila terdapat kekhilafan

Bogor, Januari 2007 Nurharyadi Alhamdulillah penulis p

sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Arahan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kaliorang di Kabupaten Kutai Timur.

Sebagai

berkeinginan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan pelaksanaan pembangunan di bidang ketransmigrasian. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para perumus kebijakan pembangunan dibidang ketransmigrasian dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimaka yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak dan Ibu yang sangat be

2. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai Ketua Komisi P

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan, masukan dan dorongannya selama penelitian dan penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik;

Ir. Atang Sutandi, M.Si, PhD sebagai Peng

4. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi I Wilayah IPB;

Pusbindiklatren penulis;

Kepala P

dan Transmigrasi yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan belajar;

Rekan-rekan PWL 20

Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepa

atas pengertian dan dukungannya sehingga memberikan kekuatan tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Tak ada gading yang tak retak, mohon dalam penelitian ini dan semoga bermanfaat.

assalamu’alaikum Wr. Wb. W

(18)

005, penulis mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan

S di Departemen Transmigrasi pasangan Ahmad Soebandi dan Siti Zulaikah. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994.

Pada tahun 2

S2 pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan dari Pusbindiklatren, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai PN

(19)

DAFTAR TABEL ……….………... iv

DAFTAR GAMBAR ……….…………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….... 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ……… 6

1.4. Hipotesis ………..………...……… 6

1.5. Kerangka Pemikiran ………...……… 6

1.6. Manfaat Penelitian ………..……… 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyelenggaraan Program Transmigrasi di Indonesia dan ermasalahannya ..………... P 9 2.2. Pola Usaha Pokok Dalam Pembangunan Transmigrasi …….. 12

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan ilayah ………... W 14 2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi ………...… 20

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 30

3.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ……….…… 30

3.3. Teknik Analisis Data ……….……….. 32

3.3.1. Analisis Skalogram dan Regresi …..……… 32

3.3.2. Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah ... 35

3.3.3. Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah .…... 36

3.3.4. Analisis Deskriptif ...…... 38

(20)

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Wilayah Administrasi, Letak Geografis, dan Aksesibilitas .... 41

4.2. Perkembangan Penduduk dan Perekonomian ... 43

4.3. Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan ... 45

4.4. Satuan Peta Lahan dan Kesesuaian Lahan ... 46

4.5. Penggunaan Lahan ... 50

BAB V. TINGKAT PERKEMBANGAN DESA 5.1. Analisis Skalogram Berdasarkan Sarana/Prasarana Dasar ... 52

5.2. Analisis Skalogram Menggunakan Indeks Perkembangan Desa ... 52

BAB VI. ANALISIS KEGIATAN USAHA PERTANIAN DAN PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN 6.1. Pengusahaan Tanaman Pangan ... 57

6.2. Pengusahaan Tanaman Perkebunan ... 61

6.3. Pengusahaan Tanaman Buah-Buahan ... 64

6.4. Pengembangan Komoditas Unggulan ... 66

6.4.1. Tanaman Pangan ... 66

6.4.2. Tanaman Perkebunan ... 67

6.4.3. Tanaman Buah-Buahan ... 69

6.5. Orientasi Pemasaran Hasil Produksi ... 69

BAB VII. PARTISIPASI DAN ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI 7.1. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan ... 71

7.2. Aspirasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan ... 75

7.2.1. Pengembangan Kegiatan Usaha dan Perekonomian .... 75

7.2.2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Transportasi ... 78

(21)

BAB VIII. ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN

8.1. Permasalahan Pengembangan ... 80

8.1.1. Kegiatan Usaha Ekonomi ... 80

8.1.2. Sarana dan Prasarana Transportasi ... 83

8.1.3. Penerangan ... 84

8.2. Pengembangan Pertanian ... 84

8.3. Pengembangan Desa, Prasarana Transportasi, dan Ekonomi.. 89

8.4. Pengembangan Sumberdaya Manusia ... 91

8.5. Arahan Pengembangan Wilayah oleh Pemerintah Daerah ... 92

8.6. Kebijakan Pembangunan Transmigrasi ... 93

BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan ... 96

9.2. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ………..………….…... 98

(22)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Aspek, Variabel, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data ... 31 2. Skalogram Kecamatan X ...… 32 3. Hasil Analisis Skalogram Berdasarkan Jumlah dan Jenis

arana/Prasarana ...

S 33

4. Struktur Data Aktivitas ...…. 35 5. Struktur Tabel LQ ...…... 36 6. Matriks Tujuan, Analisis, Data Yang Dibutuhkan, dan Hasil Yang

iharapkan …...

D 39

7. Desa-Desa Transmigrasi di Kecamatan Kaliorang dan Kaubun ... 41 8. Penempatan Transmigran dan Perkembangan Penduduk ... 43 9. Curah Hujan dan Hari Hujan di Kawasan Transmigrasi Kaliorang . 45 10. Satuan Peta Lahan, Macam Tanah, Kesesuaian Lahan, dan Faktor

embatas ………..

P 49

11. Luas Desa dan Penggunaannya ... 50 12. LuasPencadangan Areal untuk Transmigrasi dan Pemanfaatannya 51 13. Hirarki Desa-Desa Berdasarkan Analisis Skalogram Sarana/

rasarana Dasar ...

P 53

14. Hirarki Desa-Desa Berdasarkan Analisis Skalogram Indeks erkembangan Desa ...

P 54

15. Keragaan Pengusahaan Tanaman Pangan ……….. 57 16. Nilai Perhitungan LQ dan LI untuk Komoditas Tanaman

angan di Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur ...

P 58

17. Luas Panen Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan di aliorang dan Kutai Timur tahun 2002 dan 2004/2005 ...

K 59

18. Nilai Shift-share Analysis Pengusahaan Komoditas Tanaman angan di Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur ...

P 60

19. Keragaan Pengusahaan Tanaman Perkebunan ……….. 61 20. Nilai Perhitungan LQ dan LI untuk Komoditas Tanaman

erkebunan di Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur ...

P 62

21. Luas Tanam Pengusahaan Komoditas Tanaman Perkebunan i Kaliorang dan Kutai Timur tahun 2002 dan 2004/2005 ...

d 62

(23)

Perkebunan di Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur ... 63 23. Nilai Shift-share Analysis Pengembangan Komoditas Tanaman

Perkebunan di Kawasan Agropolitan Sangsaka, Kabupaten Kutai imur ...

T 64

24. Keragaan Pengusahaan Tanaman Buah-Buahan …….……... 65 25. Nilai Perhitungan LQ dan LI untuk Komoditas Tanaman

uah-Buahan di Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur ...

B 66

26. Sebaran Desa dan Potensi Lahan untuk Pengembangan Padi awah ...

S 67

27. Asal Pengetahuan Masyarakat Akan Adanya Kebijakan

(24)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ………... 8 2. Bagan Alir Kegiatan Penelitian ...…... 40 3. Peta Administratif Kawasan Transmigrasi Kaliorang ...….. 42 4. Lahan Usaha II yang Berupa Semak Belukar atau Padang

lang-Alang ...…...

A 76

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skalogram Hirarki Desa-Desa di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Berdasarkan Jenis dan Jumlah Sarana/Prasarana

asar ...

D 104

2. Skalogram Hirarki Desa-Desa di Kawasan Transmigrasi aliorang Berdasarkan Indeks Perkembangan ...

K 108

3. Hasil Analisis Regresi antara Hasil Analisis Skalogram (Indeks Perkembangan Desa) dengan Umur Desa Transmigrasi dan Jarak Desa Transmigrasi dari Pusat Pelayanan (Simpang

aliorang Kaubun) ...

K 113

4. Satuan Peta Lahan di Kawasan Transmigrasi Kaliorang ... 114 5. Peta Hirarki Perkembangan Desa Berdasarkan Analisis

kalogram Sarana/Prasarana Dasar ...

S 115

6. Nilai Analisis Shift-share Pengembangan Komoditas Tanaman Perkebunan di Kawasan Agropolitan Sangsaka, Kabupaten

(26)

1.1. Latar Belakang

Program Transmigrasi telah dilaksanakan sejak zaman kolonial Belanda

dengan apa yang disebut sebagai kolonisasi dari penduduk yang dipindahkan dari

Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung pada

tahun 1905 (Ramadhan et al., 1993). Program ini kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia mengingat adanya ketimpangan persebaran penduduk

terutama antara pulau Jawa dengan pulau non Jawa dengan tujuan bukan hanya

semata-mata geografis, berubah menjadi program pembangunan wilayah dan

menjadi salah satu program integrasi nasional (Utomo, 2005).

Pembangunan transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral

dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat

pembangunan terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal yang

sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat

sekitarnya. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15

tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, yang menyebutkan bahwa tujuan

pembangunan transmigrasi adalah (a) meningkatkan kesejahteraan transmigran

dan masyarakat sekitarnya, (b) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah,

dan (c) memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

Transmigrasi sebagai salah satu program pembangunan terutama

diarahkan kepada pembangunan pertanian, yaitu peningkatan produksi pertanian

yang dilakukan dengan pembukaan lahan-lahan baru atau ekstensifikasi. Soetarto

(2004) menyatakan bahwa pembangunan pertanian yang didukung oleh kebijakan

agraria yang kontekstual memiliki arti yang strategis bagi penanggulangan

kemiskinan, karena jumlah rakyat yang menjadi pekerja di tiap jenis pertanian

selalu lebih besar daripada perusahaan swasta dan negara. Karena itu diperlukan

adanya regulasi untuk memastikan akses petani terhadap sumberdaya yang

krusial, terutama lahan usahatani. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sistem hak

penguasaan tanah mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi,

(27)

kemiskinan dan dalam membuka kesempatan berusaha/bekerja bagi golongan

miskin. Hasil penelitian Reyes (2002) menunjukkan adanya Agrarian Reform

mempunyai suatu dampak yang positif, yang telah mendorong peningkatan

pendapatan per kapita (12,2%) dan mengurangi kemiskinan (47,6% menjadi

45,2%) dari tahun 1990 sampai 2000.

Sejalan dengan hal tersebut maka pada program transmigrasi yang menjadi

peserta transmigran diutamakan adalah penduduk yang mengalami keterbatasan

dalam mendapatkan kesempatan kerja dan peluang usaha. Di daerah transmigrasi,

peserta transmigran mendapatkan lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta

rumah dengan status hak milik dan berbagai bantuan lainnya dari pemerintah

seperti catu pangan dan sarana produksi pertanian seperti yang tertuang dalam

Peraturan Pemerintah RI no 2 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.

Dengan berbagai bantuan ini diharapkan transmigran dapat mengembangkan pola

usaha pokok yang ditetapkan dengan usaha primer sehingga kesejahteraannya

dapat meningkat dibandingkan dengan pada saat masih di daerah asalnya.

Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi

merupakan usaha menumbuh kembangkan wilayah yang memiliki potensi

sumberdaya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara

terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program

transmigrasi. Sebagai salah satu program pembangunan, program transmigrasi

sampai dengan tahun 2005 telah membangun kurang lebih 2.744 Unit

Permukiman Transmigrasi (UPT). Sebagian dari UPT-UPT tersebut telah

mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan di 235 kecamatan

dan 66 kabupaten yang terus tumbuh dan berkembang dengan berbagai

infrastruktur dan dinamikanya masing-masing (Pusat Data dan Informasi

Ketransmigrasian, 2004). Namun demikian, tidak semua desa-desa eks UPT

tersebut berkembang sesuai dengan yang diharapkan dan sebagian diantaranya

tidak tumbuh dan berkembang dengan baik. Menurut Deputi Bidang Kawasan

Transmigrasi (2000), faktor penyebab timbulnya permasalahan di desa-desa eks

UPT antara lain:

a. Penerapan teknologi belum sesuai dengan kondisi sumberdaya alam yang

(28)

b. Kualitas sumberdaya manusia masih rendah.

c. Kesempatan kerja dan peluang usaha di pedesaan terbatas.

d. Sarana dan prasarana terbatas.

e. Kelembagaan yang ada di desa belum berfungsi.

f. Tidak terdapat pasar di wilayah tersebut.

Luasan lahan usaha yang diusahakan transmigran secara umum belum

optimal yaitu 0,48 ha untuk Lahan Pekarangan (LP), untuk Lahan Usaha I (LU I)

0,4 ha dan hanya 0,31 ha untuk Lahan Usaha II (LU II). Oleh karena itu usaha

pembukaan lahan dan perluasan usahatani perlu mempertimbangkan kemampuan

transmigran dalam menggarap lahan atau memberikan bantuan tenaga kerja

seperti pemberian tenaga ternak, mesin-mesin pertanian (Sitorus dan Pribadi,

2000). Untuk LU II pada umumnya baru dibuka jika ada penyediaan dana oleh

pemerintah atau ada kerjasama dengan pihak swasta untuk pembukaan dan

penyiapan lahannya. Menurut Delam et al. (2000) lahan transmigran yang terluas belum dibuka adalah LU II yang disebabkan karena adanya keterbatasan tenaga

kerja dan modal.

Desa-desa transmigrasi yang tidak berkembang tersebut sebagai wilayah

pedesaan dengan basis ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian mengalami

ketimpangan pembangunan dengan wilayah sekitarnya. Menurut Anwar (2005)

adanya ketimpangan dalam pembangunan antara perkotaan dan perdesaan ini

menyebabkan ekonomi sektor perdesaan menjadi semakin terspesialisasi dalam

produksi primer termasuk aktifitas pertanian secara luas: pangan, hortikultura,

perkebunan, perikanan dan kehutanan guna menyediakan kebutuhan penduduk,

terutama yang tumbuh di kawasan perkotaan.

Menurut Ibrahim (2004) kebijakan pembangunan dari atas atau pemerintah

pusat dijadikan akar permasalahan kegagalan pembangunan di Indonesia termasuk

yang dihadapi Departemen Transmigrasi. Diperlukan paradigma baru

pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat lokal yang

diharapkan akan mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi di tingkat lokal.

Kunci keberhasilan dari pendekatan pengembangan komunitas yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup adalah partisipasi aktif dari semua pihak

(29)

Akhir-akhir ini berkembang suatu pendekatan pembangunan pedesaan

dengan konsep agropolitan. Pengembangan agropolitan ditujukan untuk

meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung

tumbuhnya industri agro-processing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar (Rustiadi dan Hadi, 2006). Segala

aktifitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan dengan

menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang

mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di pedesaan yang umumnya

mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar.

Menurut Pranoto (2005) program prioritas yang dibutuhkan dalam pengembangan

agropolitan adalah peningkatan sumberdaya manusia pertanian yang berkualitas,

peningkatan produktivitas usahatani, pasar dan pemasaran, kemitraan usaha,

pembangunan agroindustri dan peningkatan kinerja lembaga penunjang sistem

usahatani.

Menurut Utomo (2005) di wilayah-wilayah transmigrasi lama perlu

dikembangkan pusat-pusat agroindustri/industri pedesaan yang pada akhirnya

akan menyerap tenaga kerja muda di pedesaan dan akan memacu pertumbuhan

wilayah. Untuk tujuan tersebut, pemerintah daerah juga harus membangun

infrastruktur dan akses pasar, sehingga akan terjadi harmonisasi pembangunan

wilayah.

Sumardjo (2004) menyatakan bahwa di daerah-daerah transmigrasi

merupakan wilayah agraris yang tersedia produk transmigran dan masyarakat di

sekitarnya yang mempunyai keunggulan komparatif. Di daerah tersebut berpotensi

menjadi kawasan agrobase development, yaitu pengembangan sektor perekonomian berbasis pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu, kawasan

transmigrasi potensial menjadi wilayah pengembangan kawasan agropolitan, yaitu

terintegrasinya kota pertanian dan desa-desa sentra produksi yang tumbuh dan

berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis-agroindustri.

Menurut Sitorus dan Nurwono (1998), upaya untuk mempercepat

pertumbuhan wilayah dimana sektor pertanian merupakan tulang punggung

wilayah yang mantap diperlukan adanya mobilisasi potensi-potensi pembangunan

(30)

dinyatakan bahwa penerapan konsep agropolitan dan pertumbuhan pusat-pusat

pertumbuhan wilayah dalam bentuk kota-kota tani merupakan pilihan strategi

pengembangan wilayah yang tepat dikembangkan dalam pembangunan

transmigrasi skala besar secara terencana dan konsisten. Apabila konsep

agropolitan akan digunakan dalam program pembangunan transmigrasi dan

masyarakat sekitar permukiman transmigrasi maka gagasan agropolitan dapat

diusulkan dibangun pada: (1) lokasi yang baru sama sekali (WPT) atau (2) pada

lokasi yang sedang tumbuh. Pada lokasi yang sedang tumbuh, di sini sifatnya

memanfaatkan lokasi-lokasi lama yang dinilai mempunyai prospek pertumbuhan

ekonomi yang baik.

Salah satu kawasan transmigrasi yang dikembangkan adalah kawasan

transmigrasi Kaliorang yang merupakan bagian integral dari wilayah

pengembangan agropolitan Sangsaka (Sangkulirang, Sandaran dan Kaliorang) di

Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi transmigrasi di

kawasan transmigrasi Kaliorang meliputi 13 Unit Permukiman Transmigrasi

(UPT) dengan desain awal pengembangan pertanian pola usaha pokok tanaman

pangan lahan kering di LP dan LU I serta tanaman kelapa hibrida di LU II.

Penempatan transmigran dilaksanakan dari tahun 1986 sampai dengan 1999

dengan jumlah penempatan sebanyak 3.540 Keluarga.

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan transmigrasi tidak semuanya dapat berkembang sebagaimana

yang diharapkan. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengembangan kawasan

transmigrasi diantaranya UPT-UPT berlokasi di wilayah-wilayah yang sulit

dijangkau karena terbatasnya prasarana jalan dan transportasi yang

mengakibatkan aksesibilitas ke kawasan transmigrasi yang rendah sehingga

produksi para transmigran tidak dapat dipasarkan.

Masalah lain yang terjadi adalah adanya lahan transmigrasi yang tidak

subur, sarana dan prasarana sosial ekonomi (kelembagaan) yang kurang

mendukung pengembangan usaha transmigran dan adanya masalah kepemilikan

lahan seperti adanya klaim kepemilikan kembali oleh penduduk setempat,

tuntutan ganti rugi dan adanya kepemilikan beberapa sertifikat yang berbeda nama

(31)

formal sering terjadi hanya papan nama saja dan aktif jika ada kegiatan dari

pemerintah. Kawasan transmigrasi yang bermasalah ini seringkali ditinggalkan

oleh warganya untuk mencari penghidupan di wilayah sekitarnya sehingga

menjadi semak belukar dan tidak berkembang.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan

dalam pengembangan kawasan transmigrasi Kaliorang, dirumuskan tujuan

penelitian, yaitu:

1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah (desa-desa) dan struktur

hirarkinya berdasarkan struktur hirarki pusat-pusat aktifitas termasuk

infrastrukturnya.

2. Menganalisis kegiatan usaha pertanian dan pengembangan komoditas

unggulan di kawasan transmigrasi.

3. Menganalisis partisipasi dan aspirasi masyarakat terhadap pengembangan

kawasan transmigrasi.

4. Menyusun arahan pengembangan kawasan transmigrasi.

1.4. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian analisis tingkat perkembangan wilayah

(desa-desa) diturunkan hipotesis yaitu semakin lama umur desa transmigrasi dan

semakin dekat desa transmigrasi dengan pusat pelayanan maka desa transmigrasi

tersebut memiliki hirarki yang lebih tinggi.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pembukaan kawasan transmigrasi pada awalnya ditujukan untuk

menghasilkan produksi pertanian. Untuk menghasilkan produksi pertanian,

peserta transmigran mendapatkan lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta

rumah dengan status hak milik dan berbagai bantuan lainnya dari pemerintah.

Peningkatan produksi pertanian diharapkan dari waktu ke waktu semakin

meningkat dan dapat meningkatkan perekonomian desa-desa dan masyarakat di

kawasan transmigrasi tersebut. Ternyata seringkali dengan berkembangnya

kawasan transmigrasi tersebut yang ditandai dengan peningkatan produksi

(32)

buruk, lahan transmigrasi yang tidak subur, sarana dan prasarana sosial ekonomi

(kelembagaan) yang kurang mendukung pengembangan usaha transmigran dan

adanya masalah kepemilikan lahan.

Akhir-akhir ini berkembang suatu pendekatan pembangunan pedesaan

dengan konsep agropolitan. Penerapan konsep agropolitan ternyata juga

menyentuh desa-desa di kawasan transmigrasi. Pengembangan kawasan

transmigrasi sebagai bagian dari kawasan agropolitan selain didukung oleh

pengembangan sarana dan prasarana fisik juga harus didukung oleh adanya

kelembagaan di tingkat petani.

Sebagai bagian dari pengembangan kawasan agropolitan maka

pengembangan pertanian dilakukan dengan pengembangan komoditas unggulan

yang bertumpu pada sumberdaya domestik di kawasan tersebut dan

pengembangannya di wilayah sekitarnya. Selain itu diperlukan partisipasi dan

aspirasi masyarakat dalam pengembangan kawasan sehingga dapat disusun arahan

pengembangan kawasan tersebut agar semakin berkembang. Kerangka pikir

penelitian tertera pada Gambar 1.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak,

antara lain bagi:

a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dapat dijadikan acuan dalam

arahan pengembangan kawasan transmigrasi di wilayah yang lain.

b. Pemerintah Daerah, dapat diajukan acuan dalam pengembangan wilayahnya

yang berpotensi untuk pengembangan pertanian (agribisnis).

c. Masyarakat, dapat memahami dan berpartisipasi dalam pengembangan

kawasan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya.

d. Ilmu Wilayah, sebagai informasi dan referensi bagi para mahasiswa untuk

penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan penerapan konsep

(33)
[image:33.595.69.555.81.676.2]

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian. Kawasan transmigrasi dan masyarakatnya

semakin berkembang

Partisipasi dan aspirasi masyarakat Pembangunan atau

peningkatan sarana dan prasarana

Pengembangan komoditas unggulan Kawasan transmigrasi yang

kurang berkembang

Aksesibilitas rendah

Produksi tidak dapat dipasarkan

Kelembagaan kurang mendukung

pengembangan kawasan transmigrasi

Masalah kepemilikan

lahan

Penerapan konsep agropolitan di kawasan transmigrasi

Lahan tidak subur

Partisipasi dan aspirasi masyarakat yang

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyelenggaraan Program Transmigrasi di Indonesia dan Permasalahannya

Wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu besar,

penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang antara daya dukung

alam dan daya tampung lingkungan, apabila tidak ditangani dengan baik dapat

menimbulkan kerawanan sosial ataupun kerusakan lingkungan. Adanya

penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang tersebut

menyebabkan pembangunan wilayah yang tidak merata, sehingga ada

kecenderungan wilayah yang telah berkembang menjadi makin berkembang dan

sebaliknya wilayah yang tertinggal menjadi semakin tertingal. Daerah atau

wilayah yang tertinggal dengan penduduk terpencar-pencar dalam kelompok kecil

sulit berkembang. Untuk itu perlu diatur melalui penyelenggaraan transmigrasi

(Undang-Undang No. 15, 1997).

Program Transmigrasi telah dilaksanakan sejak zaman kolonial Belanda

dengan apa yang disebut sebagai kolonisasi dari penduduk yang dipindahkan dari

Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung pada

tahun 1905 (Ramadhan et al., 1993). Dipilihnya Gedong Tataan, antara lain karena letaknya dekat dengan jalan raya dan tidak jauh dari pelabuhan, tanahnya

datar, mempunyai banyak sumber air, cukup baik untuk pembukaan sawah-sawah

baru. Istilah kolonisasi ini pada era setelah kemerdekaan diganti menjadi

transmigrasi (Utomo, 2005). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1997,

transmigrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk secara sukarela dan

berencana untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah

Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi.

Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang,

kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan

transmigrasi adalah kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai wilayah untuk

pengembangan permukiman transmigrasi (WPT). Permukiman transmigrasi

adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang

(35)

Yang dimaksud dengan WPT seperti tertuang dalam Undang-Undang No.

15 tahun 1997 adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan

permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Lokasi Permukiman Transmigrasi

adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk

mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau sedang berkembang

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Seperti halnya kawasan pedesaaan, kawasan transmigrasi mempunyai

kegiatan utama pertanian. Yulia (2005) menyatakan bahwa kawasan transmigrasi

adalah kawasan budidaya intensif untuk menampung perpindahan penduduk

secara menetap dalam jumlah besar dengan susunan fungsi-fungsi sebagai tempat

permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk

menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi.

Penduduk yang dapat menjadi atau mendapat kesempatan ikut serta dalam

program transmigrasi, adalah:

a. Penduduk bermasalah, yang memiliki tekad dan semangat untuk melakukan

peningkatan kesejahteraannya, tetapi mengalami keterbatasan dalam

mendapatkan peluang kerja dan usaha.

b. Penduduk yang relatif berpotensi dan telah mendapatkan kesempatan kerja

dan usaha, tetapi lebih ingin meningkatkan kesejahteraannya.

c. Penduduk yang telah mampu mengembangkan diri, tetapi ingin lebih

meningkatkan mutu kehidupannya lebih baik lagi.

Sebagai salah satu program pembangunan, program transmigrasi sampai

dengan tahun 2005 telah membangun 2.744 Unit Permukiman Transmigrasi

(UPT). Sebagian dari UPT-UPT tersebut telah mendorong perkembangan daerah

menjadi pusat pemerintahan, berupa 235 kecamatan dan 66 kabupaten yang terus

tumbuh dan berkembang dengan berbagai infrastruktur dan dinamikanya

masing-masing (Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian, 2004). Namun demikian,

tidak semua desa-desa eks UPT tersebut berkembang sesuai dengan yang

diharapkan dan sebagian diantaranya tidak tumbuh dan berkembang dengan baik

(36)

Penurunan kondisi ini disebabkan antara lain karena ketidaksiapan

Pemerintah Daerah untuk memelihara dan melanjutkan pembangunan yang telah

dilaksanakan sebelumnya. Pada akhirnya desa-desa eks UPT yang demikian

belum memberikan kontribusi yang nyata dalam peningkatan pembangunan di

daerah. Karena itu saat ini diperlukan adanya revitalisasi pemberdayaan

masyarakat dan pengembangan kawasan transmigrasi agar kawasan transmigrasi

berkembang dan selanjutnya terbentuk pusat pertumbuhan (Deputi Bidang

Kawasan Transmigrasi, 2000).

Kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi diharapkan terus meningkat

sehingga mampu menumbuh-kembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara

mandiri dan terpadu dengan rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menjadi

Kota Terpadu Mandiri (Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan

Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, 2006). Kota Terpadu Mandiri dirancang

dengan pendekatan WPT/LPT pada kawasan yang sudah terdapat pembangunan

transmigrasi atau kawasan potensial yang belum ada pembangunan transmigrasi.

Kota Terpadu Mandiri (KTM) adalah kawasan transmigrasi yang

pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang

mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang

berkelanjutan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2006). Tujuan

pembangunan KTM adalah :

a. Menciptakan sentra-sentra agribisnis dan agroindustri yang mampu menarik

investasi swasta untuk menumbuh-kembangkan kegiatan ekonomi

transmigran dan penduduk sekitar, serta membuka peluang usaha dan

kesempatan kerja.

b. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran dan penduduk

sekitar.

c. Meningkatkan kemudahan transmigran dan penduduk sekitar untuk

memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

Sasaran pembangunan KTM adalah (a) peningkatan investasi budidaya

dan industri pertanian, jasa dan perdagangan, (b) peningkatan produktivitas

(37)

(d) peningkatan efektivitas pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan. (e)

perluasan kesempatan kerja, dan (f) peningkatan jaringan infrastruktur.

Untuk mewujudkan KTM ini perlu dukungan kegiatan usaha transmigran

yang berada di belakangnya. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan KTM perlu

melakukan pembangunan WPT yang dapat mendorong tumbuhnya suatu kota.

Konsep pengembangan WPT menyebutkan bahwa WPT akan terdiri atas sejumlah

Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan setiap SKP akan terdiri dari beberapa

UPT atau desa di mana masing-masing hirarki permukiman memiliki pusat, Desa

Utama untuk setiap SKP dan Pusat Desa untuk setiap UPT atau desa. Dengan

demikian KTM akan membawahi Desa-Desa Utama dan Desa Utama akan

membawahi Pusat-Pusat Desa di mana antar Pusat Desa dengan Desa Utama dan

antar Desa Utama dengan KTM akan terhubungkan dengan jaringan transportasi

baik darat ataupun air/sungai.

2.2. Pola Usaha Pokok Dalam Pembangunan Transmigrasi

Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah meningkatkan kemampuan

dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan

mewujudkan integrasi permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial

budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (Undang-Undang

No. 15, 1997). Untuk memenuhi hal tersebut maka dikembangkan tiga jenis

transmigrasi, yaitu:

a. Transmigrasi umum, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya

diselenggarakan oleh pemerintah.

b. Transmigrasi swakarsa berbantuan, yaitu jenis transmigrasi yang dirancang

oleh pemerintah bekerjasama dengan badan usaha sebagai mitra usaha

transmigran.

c. Transmigrasi swakarsa mandiri, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya

merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan baik melalui kerjasama

dengan badan usaha maupun sepenuhnya dikembangkan transmigran atas

arahan pemerintah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi No. 124 tahun 1990

ditetapkan pola permukiman dan pengembangan usaha pokok transmigrasi yang

(38)

Perikanan, (d) Pola Budidaya Hutan/Hutan Tanaman Industri, dan (e) Pola

Jasa/Industri. Dalam pelaksanaannya, pola permukiman dan pengembangan

usaha transmigrasi ini diarahkan dengan mekanisme transmigrasi umum dan

transmigrasi swakarsa.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Pangan adalah

permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar

transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usahatani tanaman

pangan dengan tipe lahan berupa lahan kering dan lahan basah. Tanaman pangan

yang dikembangkan meliputi tanaman padi-padian, palawija dan hortikultura.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Perkebunan

adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar

transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usaha tanaman

perkebunan. Dalam pelaksanaannya dikenal adanya Perusahaan Inti dan dan

Plasma (transmigran).

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Perikanan dalam

pelaksanaannya terbagi atas pola usaha tani nelayan dan tambak. Permukiman

transmigrasi dengan usaha pokok tani nelayan adalah permukiman transmigrasi

yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan

memperoleh pendapatan dari menangkap dan atau mengumpulkan ikan.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok tani tambak adalah permukiman

transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya

berusaha dan memperoleh pendapatan dari budidaya tambak.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Budidaya Hutan/Hutan

Tanaman Industri (HTI) adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal

dirancang untuk sebagian besar pendapatan transmigrannya bersumber dari

budidaya hutan tanaman. Pengelolaannya berdasarkan atas asas kelestarian, asas

manfaat, dan asas perusahaan.

Permukiman transmigrasi pola Jasa adalah penyelenggaraan transmigrasi

yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha pada

dan memperoleh pendapatan dari usaha jasa yang diberikan. Sedangkan pola

(39)

sejak awal dirancang untuk transmigran guna melakukan usaha industri dan atau

usaha pokok tertentu secara berkesinambungan di zona industri.

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

aspek administratif atau aspek fungsional (Undang-Undang nomor 24 tahun 1992

tentang Penataan Ruang). Klasifikasi konsep wilayah seperti dinyatakan oleh

Rustiadi et al. (2005) terdiri dari wilayah homogen, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan

bahwa faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan

faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah fungsional

diklasifikasikan demikian karena menekankan perbedaan dua

komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki

keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak

terpisahkan dalam kesatuan.

Dalam konsep wilayah fungsional dikenal adanya wilayah nodal yang

didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu ”sel

hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/

permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang yang mempunyai

sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Sedangkan konsep wilayah

perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat

tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah

yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah

perencanaan.

Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan untuk membuka isolasi

wilayah, menambah tenaga kerja (petani), mendukung ketahanan pangan,

pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam

Undang Undang no 15 tahun 1997 wilayah pengembangan transmigrasi adalah

wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman

transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai

(40)

Menurut Dewi (2003) adanya pergeseran orientasi pembangunan

transmigrasi ke arah pengembangan wilayah menyebabkan permukiman

transmigrasi didesain untuk ditumbuhkembangkan menjadi pusat-pusat

pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan transmigrasi harus

terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan

dengan penekanan usaha di sektor pertanian.

Kebijakan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah

(a) mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam

satuan kawasan dengan memberikan pelayanan dan subsidi untuk kebutuhan

pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi pertumbuhan UPT/desa

setempat sebagai bagian dari kawasan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan

meliputi pengembangan manajemen di tingkat kawasan, pengembangan

prasarana, sarana dan berbagai fasilitas di kawasan untuk pengembangan berbagai

kegiatan usaha dari hulu sampai hilir, (b) keterkaitan fungsional dengan kawasan

sekitarnya (Yulia, 2005).

Sebagai wilayah baru yang baru dibuka aktifitas ekonomi penduduknya

terutama berkaitan dengan pertanian baik itu tanaman pangan, hortikultura dan

perkebunan. Perencanaan penggunaan lahan mencakup dua dimensi, yaitu

dimensi konservasi ekologi dan ekonomi yang sering saling berkontradiksi (Lier,

1998). Berkaitan dengan adanya konflik antara dua dimensi tersebut maka para

perencana memberikan arahan bahwa tindakan konservasi ekologi dalam

keberlanjutan pembangunan harus terintegrasi dalam bentuk kebijakan, program

aksi, pembiayaan beserta segala aktifitas yang menyertainya baik untuk

perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.

Menurut Murdoch (2000) dalam pembangunan masyarakat desa selain

mempunyai keterkaitan vertikal juga mempunyai keterkaitan horisontal, yaitu

dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat secara ekonomi pedesaan

secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam ekonomi nasional

maupun internasional melalui peningkatan infrastruktur dan penurunan tarif

sehingga aktifitas ekonomi di daerah pedesaan menjadi lebih dinamis. Dalam hal

ini format pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi)

(41)

Inovasi dan proses pembelajaran di daerah pedesaan dapat dinyatakan sebagai

berikut:

a. Adanya kandungan lokal/alami yang tinggi dalam frekuensi keterkaitan di

pedesaan, misalnya petani yang menghasilkan suatu komoditas kemudian di

proses di daerah pedesaan itu juga menjadi berbagai komoditas. Hal ini

dilakukan juga dalam bentuk pewilayahan komoditas, misalnya daging

unggas di distrik A dan daging sapi di distrik B.

b. Keterkaitan pedesaan yang ada kepada keterkaitan pertanian yang lebih

mapan dengan adanya organisasi serupa koperasi dengan kepercayaan/trust

diantara para anggota kelompok.

c. Keterkaitan di pedesaan karena adanya kepadatan penduduk yang rendah

menyebabkan memelihara hubungan diantara mereka agar tetap utuh.

Strategi lain dalam pengembangan wilayah baru adalah melalui demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Dalam demand side strategy tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang

dipindahkan ke wilayah baru. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan

meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya

peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan

jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah.

Program transmigrasi merupakan kasus yang sangat menarik dari demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Pada tahap pertama penduduk masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Tahap kedua dengan adanya penyuluhan,

masuk dalam stadia subsisten biasanya lahan pekarangan dan lahan usaha sudah

diusahakan. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan akan masuk

ke dalam stadia marketable surplus.

Hal ini mengisyaratkan perlunya industri pengolahan, karena itu

diharapkan telah masuk ke dalam stadia industri pertanian dalam skala kecil.

Dengan adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan

hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk menjual hasil pertanian.

(42)

Selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil.

Hal tersebut akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan permintaan barang

mewah. Terakhir masuk dalam kelas stadia industri umum. Oleh karena itu

daerah transmigrasi tidak hanya tergantung sektor pertanian saja.

Kerugian dalam sistem ini adalah membutuhkan waktu yang lama karena

setiap stadia berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur

kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan

evolusi/perombakan cara berpikir. Sedangkan keuntungannya adalah bahwa pada

umumnya strategi ini sangat stabil, tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di

luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur

kelembagaan yang mantap.

Menurut Anwar (2005) menyatakan bahwa strategi pengembangan

wilayah ini juga harus didasarkan atas prinsip keterkaitan antar wilayah-wilayah

yang dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah

dengan membangun berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan,

pelabuhan, jaringan komunikasi) yang disertai pengembangan institusional yaitu

disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong

keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah.

Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi

merupakan usaha menumbuh-kembangkan wilayah yang memiliki potensi

sumberdaya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara

terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program

transmigrasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah

transmigrasi ini hanyalah model pengelolaan atau pengembangan usaha ekonomi

atas komoditi unggulan suatu kawasan/wilayah tertentu sebagaimana istilah

kawasan agropolitan, kawasan andalan, kawasan pariwisata dan lainnya. Untuk

mengembangkan komoditas sesuai dengan pola usahanya, kepada peserta

transmigrasi dibagikan lahan usaha. Berdasarkan Keputusan Menteri

Transmigrasi no. 124 tahun 1990 untuk transmigrasi pola usaha tanaman pangan

lahan kering dibagikan berupa lahan seluas 2,00 ha yang terdiri dari LP (0,25 ha),

(43)

Menurut Sitorus et al. (2000b) pengusahaan lahan di lokasi transmigrasi dapat dinyatakan sudah optimal bila seluruh lahan yang dibagikan yaitu LP

(0,5 ha), LU I (0,5 ha) dan LU II (1 ha) sudah diusahakan oleh transmigran untuk

budidaya pertanian yang hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah

tenaga kerja produktif dengan pekerjaan sebelumnya sebagai petani atau

PNS/Pensiunan serta dengan memperbanyak sarana-sarana penunjang pertanian

diantaranya hand sprayer.

Sebagian besar transmigran umum dengan pola usaha pokok tanaman

pangan lahan kering belum mampu membuka LU II secara swadaya sampai tahun

ke 4 atau ke 5. Berdasarkan data UPT tahun 1998/1999 luas LU II yang

diusahakan per kepala keluarga (KK) UPT rata-rata provinsi adalah sebesar

0,31 ha/KK (Sitorus et al., 2000b).

Menurut Sitorus dan Susetio (2000) selain ketersediaan tenaga kerja yang

kurang, belum diusahakannya LU II disebabkan karena keterbatasan modal dan

sulitnya lahan untuk diolah. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut

diperlukan pengadaan peralatan pengolahan tanah seperti traktor tangan dan

mesin. Selain itu bantuan ternak seperti kerbau dan sapi dapat membantu

kekurangan tenaga kerja sekaligus dapat menyuburkan tanah dan meningkatkan

pendapatan transmigran.

Menurut Sitorus dan Pribadi (2000) luas lahan tidur sangat beragam di tiap

UPT, ini menunjukkan bahwa selain ketidakmampuan transmigran untuk

membuka lahan secara swadaya, juga terdapat faktor-faktor lain yang menjadi

penyebab adanya lahan tidur misalnya tersedianya sumber mata pencaharian lain

di luar usahatani yang lebih menguntungkan seperti menjadi buruh,

mengumpulkan hasil hutan, tambang, industri, jasa dan sebagainya. Hal ini

menyebabkan transmigran kurang tertarik untuk menggarap lahannya atau

curahan waktu yang disediakan transmigran untuk menggarap lahan usahanya

belum maksimal.

Menurut Delam et al. (2000) walaupun UPT-UPT sudah diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak ditemui banyak lahan terutama

LU II yang belum diusahakan. Belum dibukanya LU II, karena masih berupa

(44)

pengembangan tanaman perkebunan membutuhkan biaya besar yang sulit diatasi

oleh transmigran secara perorangan. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan

tenaga kerja dan modal. Salah satu upaya mengatasi kesulitan ini adalah dengan

melakukan kerjasama dengan pihak swasta/investor. Dalam rangka usaha

pengembangan tanaman perkebunan perlu peningkatan sumberdaya manusia

melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan khususnya yang berkaitan dengan

teknik budidaya tanaman perkebunan.

Meskipun di daerah transmigrasi dibangun pola tanaman pangan,

komoditas padi dan tanaman pangan lainnya ternyata bukan merupakan komoditas

unggulan yang bisa diandalkan transmigran (Najiyati, 2003). Tampaknya

transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif di

LU II. Sedangkan padi dan tanaman pangan lainnya dinilainya sebagai komoditas

sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di UPT Pagar

Banyu, transmigran enggan menanam tanaman pangan karena lahan yang kurang

subur, topografi bergelombang-berbukit dan adanya serangan hama babi. Dengan

kondisi LU II seperti itu serta memperhatikan peluang pasar yang terbatas di

lokasi, transmigran memilih karet atau kelapa sawit sebagai komoditas unggulan

untuk dikelola secara kooperatif. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan

dalam pengusahaan LU II berupa keterbatasan modal, tenaga kerja dan

ketersediaan bibit yang berkualitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyono et al. (2002) luasan lahan yang diusahakan transmigran di Mesuji SP 6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba

Ayu SP 7 menunjukkan bahwa lahan usaha terutama LP dan LU I telah

diusahakan dengan baik, sedangkan LU II pada umumnya belum diusahakan

karena tenaga kerja yang belum mencukupi dan modal yang terbatas. Selain itu

transmigran menunggu adanya investor yang berkeinginan menanam modalnya

maupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan

(kelapa sawit, karet dan lainnya).

Modal merupakan unsur utama dalam usahatani yang berorientasi bisnis.

Terbatasnya modal menjadi kendala di hampir seluruh daerah transmigrasi pola

(45)

kawasan transmigrasi antara lain dari petani sendiri dan dari dunia usaha termasuk

bank dan perusahaan yang bersedia bermitra usaha. Minat investor

mengembangkan usaha pertanian melalui sistem kemitraan cukup besar.

Adanya kerjasama kemitraan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola

dalam investasi agribisnis diharapkan dapat memberikan posisi lebih baik bagi

transmigran sehingga menjadi lebih leluasa dalam mengusahakan lahannya,

menambah kemampuan teknologi dan memperoleh nilai tambah lebih besar

terutama apabila petani dapat menjadi bagian dari pelaku dalam semua kegiatan

agribisnis dari hulu sampai hilir (Dewi, 2003).

Menurut Najiyati et al. (2001) adanya kerjasama kemitraan ini diduga sebagai upaya untuk berbagi resiko dengan petani. Melalui sistem kemitraan,

diharapkan kegagalan usaha yang diakibatkan oleh penjarahan dan sengketa lahan

dapat dihindari karena petani merasa turut memiliki unit usaha dari keseluruhan

subsistem yang dikelola. Jenis komoditas yang banyak diminati investor adalah

komoditas perkebunan terutama kelapa sawit.

2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi

Pada awalnya kaidah pembangunan di dunia menyatakan bahwa

kebahagiaan dan rasa sejahtera manusia datang dengan sendirinya dari kegigihan

mengusahakan pertumbuhan ekonomi akibat pertumbuhan industri yang cepat

yang dipusatkan di beberapa kota dan dari sini manfaatnya akan menyebar ke

pelosok wilayah nasional (Friedmann dan Douglass, 1976). Adanya kaidah ini

menyebabkan terjadinya hyperurbanization, pusat penduduk dan kegiatan modern, pengangguran, perbedaan pendapatan dan kemiskinan serta kekurangan

makanan yang terus menerus. Akibat kegagalan dari kaidah pusat pertumbuhan

ini maka kemudian dikembangkan siasat pembangunan pedesaan yang dipercepat

dengan tujuan diantaranya mengubah daerah pedesaan dengan cara

memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota yang telah disesuaikan pada

lingkungan pedesaan dan memperluas hubungan sosial di pedesaan sampai keluar

batas-batas desanya sehingga terbentuk suatu sosio ekonomi dan politik yang

lebih luas atau agropolitan district.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) konsep pengembangan agropolitan

(46)

sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan

sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah

selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah

pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian mengalami

produktivitas yang nilai tukarnya terus menurun akibat beberapa permasalahan. Di

sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima

beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat

permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal dan penyakit) dan lingkungan seperti

pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman.

Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi

pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri

agro-processing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar. Tacoli (1998) menyatakan bahwa program

pembangunan pedesaan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi

pertanian tanpa diikuti dengan kegiatan non pertanian seperti pemrosesan dari

bahan mentah/produksi pertanian dan pabrik keperluan pertanian seperti alat-alat

pertanian dan input-input pertanian lainnya akan menyebabkan marginalisasi

daerah pedesaan. Menurut Elistianto (2005) pengembangan agropolitan yang

dikembangkan oleh pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan

termasuk di dalamnya kegiatan pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan

infrastruktur komersial seperti pasar.

Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan

pedesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan

memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta

meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek

fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan

pedesaan ini adalah :

a. Meningkatkan produktivitas ekonomi pedesaan seperti dengan inovasi

teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan

(47)

organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi),

perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.

b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih

merata.

c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem

pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.

d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan

kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.

Pengembangan agropolitan di beberapa daerah ternyata juga terjadi di

kawasan transmigrasi, tentunya kawasan transmigrasi tersebut hanya merupakan

bagian dari kawasan agropolitan tersebut. Menurut Sitorus dan Nurwono (1998),

penerapan konsep agropolitan dan pertumbuhan pusat-pusat pertumbuhan wilayah

dalam bentuk kota-kota tani merupakan pilihan strategi pengembangan wilayah

yang tepat dikembangkan dalam pembangunan transmigrasi skala besar secara

terencana dan konsisten. Konsep ini sejalan dengan Harun (2006) yang

menyatakan bahwa penerapan konsep agropolitan akan sangat penting artinya

bagi pengembangan pembukaan wilayah frontier seperti pembangunan permukiman transmigrasi, karena dapat dimulai dalam awal pertumbuhan

wilayah.

Menurut Sitorus dan Nurwono (1998) apabila konsep agropolitan akan

digunakan dalam program pembangunan transmigrasi dan masyarakat sekitar

permukiman transmigrasi maka gagasan agropolitan dapat diusulkan dibangun

pada: (1) lokasi yang baru sama sekali (WPT) atau (2) pada lokasi yang sedang

tumbuh. Pada lokasi yang sedang tumbuh, di sini sifatnya memanfaatkan

lokasi-lokasi lama yang dinilai mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang baik.

Penerapan konsep agropolitan pada kawasan transmigrasi dicirikan oleh

hinterland (daerah belakang yang meliputi minimum 500.000 penduduk atau 100.000 kepala keluarga transmigran atau rumah tangga petani) yang dirintis

pembukaannya oleh Wilayah-Wilayah Pengembangan Partial Transmigrasi

(sekitar 10 WPP, daya tampung 1 WPP ± 10.000 KK) dengan jenis-jenis

perwilayahan komoditas pertaniannya yang jelas, sedangkan pusat-pusat

(48)

dilengkapi dengan berbagai jenis sarana dan prasarana yang menunjang untuk

kegiatan pertanian secara berjenjang (jelas hirarki kotanya). Kota tani sebagai

kutub pertumbuhan wilayah dalam wilayah agropolitan selain dianggap sebagai

pusat-pusat pertumbuhan wilayah pertanian, juga sebagai pusat administrasi

penetapan kebijakan-kebijakan pembangunan wilayah agropolitan dan

mempunyai hirarki/orde yang jelas.

Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan pada setiap jenjang kota tani

didasarkan pada pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru berupa orde-orde

pembangunan sebagai berikut:

a. Orde I yang berfungsi sebagai kota perdagangan yang berorientasi ekspor

yang dilengkapi dengan berbagai kegiatan tertier (jasa, perdagangan ekspor

impor, serta pendidikan dan perbankan) yang disesuaikan dengan kebutuhan

rantai tata niaga pertanian (processing, marketing dan exporting) sampai dengan pelabuhan tempat mengekspor hasil-hasil pertaniannya.

b. Orde II yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan kegiatan-kegiatan

ekonomi industri sekunder berupa industri pengolahan dan manufacturing

produk pertanian (pembuatan produk-produk pasar) yang dilengkapi dengan

kegiatan tertier (jasa, perdagangan, perbankan, pelatihan, pendidikan serta

penyiapa

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pikir Penelitian.
Tabel 1 Aspek yang Diteliti, Variabel, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data
Tabel  6 Matriks Tujuan, Analisis, Data yang Dibutuhkan, dan Hasil yang Diharapkan
Gambar 2  Bagan Alir Kegiatan Penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Juru Bor Seismik dapat

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menganalisis jumlah total mikrobia, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus pada tiap tahapan proses

Untuk itu, Pokja Studi Pengembangan Wisata Akuakultur Di Kab.Kayong Utara akan segera menindaklanjutinya dengan melakukan Pelelangan Ulang dan menayangkan pengumuman tersebut

Kesimpulan: 1) Sebagian besar keluarga yang membawa anggota keluarga berkunjung berobat memiliki beban keluarga sebanyak 47 orang (58,8%). 2) Sebagian besar keluarga

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini akan menganalisa tentang pengaruh intellectual capital, struktur kepemilikan dan

Faktor lain penyebab lebih rendahnya keuntungan yang diperoleh pada pola usaha pembibitan secara ekstensif adalah rataan bobot badan sapi akhir penelitian rendah yang disebabkan

Menurut WHO Task Force in Stroke and other Cerebrovaskular Disease adalah suatu Menurut WHO Task Force in Stroke and other Cerebrovaskular Disease adalah

Hasil pengkajian adaptasi ini menunjukkan bahwa rekomendasi dosis pupuk kandang dan pupuk kimia yang diberikan pada tanaman krisan di Kecamatan Pakem, sesuai untuk