• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS TERHADAP

4.1 Analisis Sosioekonomi LKS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemerintah memerlukan LKS dari masyarakat dalam memberdayakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Fungsi dan peran LKS dalam konteks perluasan kapabilitas dan aksesibilitas PMKS amatlah besar bagi peningkatan kesejahteraannya. Dukungan akan peran besar LKS terhadap kesejahteraan PMKS perlu diberikan oleh masyarakat maupun pemerintah. Persoalan PMKS yang sangat beragam dan luas menjadikan kerja

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

pemerintah dan LKS juga tidak mudah. Keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menangani PMKS amat perlu dibantu oleh LKS yang diupayakan oleh masyarakat dan pemerintah. Dapat dibayangkan betapa luas area pengabdian LKS pada PMKS mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana membuat LKS-LKS yang ada dapat menjalankan fungsinya dengan benar sehingga tugas membukakan akses sumber-sumber daya yang ada. Dengan kata lain, apakah para LKS telah berfungsi dengan benar sehingga para PMKS dapat meningkat kesejahteraannya. Ada tiga fungsi dalam Perda No 11 tahun 2015 yang perlu dipenuhi oleh LKS yaitu pencegahan terjadinya masalah sosial, pemberian pelayanan sosial kepada PMKS, dan memperkuat nilai-nilai kesetiakawanan, kegotongroyongan, dan kerelawanan.

Bahwa para PMKS merupakan bagian dari masalah sosial, merupakan tugas tersendiri bagi LKS melalui layanan kepada para PMKS untuk tidak mempengaruhi pihak-pihak di luar PMKS untuk menimbulkan masalah sosial yang baru. Melokalisir permasalahan sosial yang berasal dari PMKS merupakan strategi untuk mencegah terjadinya masalah sosial. Perhatian para PMKS harus diarahkan kepada penyelesaian masalah mereka secara mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Hal ini bukan tindakan yang mudah tetapi layak untuk diperjuangkan.

Dengan memusatkan perhatian pada upaya agar PMKS dapat menyelesaikan persoalannya secara mandiri, LKS dapat melakukannya dengan memberikan pelayanan sosial kepada PMKS. Sebenarnya persoalan paling besar dalam menjalankan fungsi LKS adalah memberikan pelayanan sosial kepada PMKS. Cakupan pelayanan sosial itu amatlah luas yang besarnya meliputi enam macam yaitu kemiskinan, disabilitas, keterlantaran, ketunaan sosial, tindak kekerasan, maupun kebencanaan. Masing-masing jenis masalah sosial tersebut harus ditangani dengan cara yang berbeda.

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Lembaga

Kesejahteraan

Sosial

Profesio

nalisme

Keman

dirian

Gambar 4.1 Tekanan LKS oleh Keharusan Profesionalisme dan Kemandirian

Dari Perda nomor 11 tahun 2015, LKS dituntut untuk dapat melakukan dua hal yang bisa dikatakan bertentangan yaitu profesionalisme dan kemandirian (lihat Gambar 4.1). Di satu sisi, LKS haruslah profesional dalam menangani masalah-masalah sosial. Karena tiap masalah sosial memerlukan penanganan dan pendekatan yang berbeda, profesional disini dapat berarti mengerti bagaimana menangani tiap jenis masalah sosial seperti bagaimana mengatasi masalah kemiskinan, disabilitas, keterlantaran, ketunaan sosial, tindak kekerasan, maupun bencana. Untuk mengakomodasi profesionalisme tersebut, pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan untuk menjadi profesional di bidang kesejahteraan sosial. Hasilnya adalah sertifikasi dari peserta pendidikan tersebut. Namun demikian, tidak semua orang-orang yang berminat menjadi pekerja sosial profesional dapat akses ke pendidikan tersebut. Di samping berbiaya mahal, tempatnya juga terbatas. Disadari bahwa untuk menjadi profesional tidak hanya didapat melalui pendidikan formal tetapi juga informal seperti pengalaman lapangan yang panjang. Karena isu ini, pemerintah juga menyelenggarakan sertifikasi pekerja profesional tanpa perlu melalui pendidikan formal. Yang menjadi perhatian berikutnya

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

adalah waktu, tempat, dan biayanya dianggap jarang terjangkau. Banyak pekerja sosial yang sebenarnya berkualifikasi profesional dianggap sebagai relawan biasa karena tidak memiliki sertifikat yang dimaksud. Di sisi lain, LKS dituntut untuk mandiri. Mandiri di sini berarti mampu menyediakan sumber daya sendiri dalam melaksanakan tugas sosialnya. Selama ini, sebagian besar dari LKS mendapatkan sumber dananya dari pemerintah. Karena pemerintah kesulitan dalam menyediakan pekerja sosial profesionalnya, maka sebagian dari pekerjaan sosial diberikan ke LKS yang dianggap memiliki pekerja sosial profesional. Agar LKS terdorong untuk mandiri, dalam Perda nomor 111 tahun 2015 telah diatur dengan memberikan waktu sampai sembilan tahun untuk mandiri. Sanksinya adalah dihentikannya proses perpanjangan tanda daftar LKS. Sebenarnya, yang diatur dalam Perda tidaklah cukup untuk mendorong kemandirian LKS. Belum ada aturan yang baku berkenaan dengan pendirian LKS yang semua perangkatnya berasal dari LKS yang lama yang telah dihentikan perpanjangan tanda daftarnya. Hal ini dapat mendorong LKS yang belum mandiri untuk memperpanjang kondisi ketidakmandiriannya sepanjang tanda daftarnya masih berlaku. Aturan yang ada tidak mendorong LKS untuk mandiri. Untuk itu perlu difikirkan tentang mekanisme baru yang dapat mendorong LKS untuk segera mandiri. Mekanisme baru ini dapat ditentukan melalui aturan-aturan yang baru oleh pemerintah ataupun diberikan pelatihan kepada LKS tentang cara-cara memandirikan LKS.

Perda LKS diharapkan mampu mengubah LKS agar bisa mandiri, baik di bidang operasional maupun dalam menjalin kolaborasi dengan pihak eksternal guna mendukung terwujudnya kesinambungan organisasi dan pelayanan LKS. Diantaranya dalam hal pendanaan, jika LKS hanya bergantung dari pemerintah, LKS tidak akan bisa mencukupi kebutuhannya. Agar tidak bergantung pada pemerintah, LKS bisa mencari donatur non-pemerintah atau kerjasama pendanaan dari organisasi donor.

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Pada tingkatan yang lebih tinggi, harus ada usaha kreatif dan mandiri dari LKS untuk tidak bergantung pada donatur (baik pemerintah maupun non- pemerintah). Hal inilah yang akan menjamin keberlanjutan aktivitas mereka. Terkait dengan hal ini, perlu dirumuskan model pengelolaan dan pelayanan LKS yang berorientasi pada kemandirian dan keberlanjutan, misalnya melalui LKS yang menerapkan konsep kewirausahaan sosial atau bisnis sosial5—dimana LKS menjadi sarana menolong masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial dengan tidak hanya memberi bantuan cuma-cuma yang sifatnya charity, namun juga sekaligus memfasilitasi kelompok masyarakat tersebut untuk bisa berdaya dengan kekuatan dan kapabilitasnya sendiri.

Jika dua sisi dimensi persoalan LKS, profesionalisme dan kemandirian, dapat diselesaikan, diharapkan kinerja LKS menjadi lebih efektif dan efisien. Hambatan aksesibilitas para PMKS dapat terkurangi, kapabilitas sosial dapat meningkat, dan kesetaraan pendapatan maupun status sosial bagi PMKS dapat diperbaiki. Hal ini yang akan mendorong berkurangnya ketimpangan pendapatan secara signifikan antara PMKS dengan masyarakat lainnya.

Dalam menangani persoalan PMKS, diperlukan pemetaan dari PSKS (potensi dan sumber kesejahteraan sosial). Ada enam jenis PSKS yang utama:

1. Pekerja sosial masyarakat, yag merupakan warga masyarakat yang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial.

2. Organisasi sosial yang merupakan suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang

5 Bisnis sosial yang merupakan manifestasi kewirausahaan sosial merupakan perpaduan antara bisnis tradisional—yang mengedepankan proses penciptaan profit demi tercapainya keberlanjutan usaha— dan organisasi sosial (non-profit)—yang mengedepankan penciptaan manfaat sosial bagi masyarakat (European Commision, 2015; Volkova&Baltaca, 2013).

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial.

3. Karang Taruna yang merupakan organisasi sosial kepemudaan sebagai pengakomodasian pengembangan generasi muda, yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial.

4. Wahana kesejahteraan merupakan sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya.

5. Dunia usaha merupakan organisasi komersial seluruh lingkungan industri dan produksi barang/jasa termasuk BUMN dan BUMD serta kewirasusahaan berserta jaringannya yang dapat melakukan tanggung jawab sosialnya.

6. Keperintisan dan kepahlawanan yang telah berjuang mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, yang diakui dan disyahkan sebagai perintis kemerdekaan yang meliputi suami/isteri pahlawan, anak kandung, maupun anak angkat yang diangkat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Keenam jenis PSKS tersebut merupakan potensi maupun sumber daya untuk penanganan masalah kesejahteraan sosial.

Dengan ketersediaan PSKS tersebut, LKS diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan PSKS melalui sinergi yang baik dengan catur pilar kesejahteraan social. Catur pilar atau empat penyangga utama lembaga kesejahteraan sosial terdiri dari pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan swasta. Pemerintah sebagai regulator memberikan aturan-aturan maupun kode etik yang harus dipenuhi oleh LKS. Pemerintah juga menyediakan infrastruktur pendukung atau pengembang sumber daya LKS (baik infrastruktur fisik, hardskills, maupun softskills).

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Masyarakat adalah inisiator program sosial sekaligus juga pelaku sebagai penderita, pendukung, dan penyedia jasa tenaga kerja sosial dimana mereka berasal. Perguruan tinggi berarti lembaga yang memberikan saran ataupun evaluasi sebuah kebijakan ekonomi ataupun yang berkaitan dengan LKS. Perguruan tinggi juga menjadi sumber pengetahuan (locus of

knowledge) serta pendamping dalam proses pengembangan LKS. Peran

swasta sangat penting untuk kegiatan lembaga-lembaga non profit karena kemampuan menyediakan dana yang sering tidak sedikit. Melalui mekanisme tanggung jawab sosialnya, swasta dapat berperan dalam pengembangan LKS.

Dalam Perda No. 11 tahun 2015 secara eksplisit maupun implisit tidak membicarakan tentang catur pilar tersebut. Padahal, penanganan PMKS dan pengelolaan PSKS dapat efektif jika peran catur pilar ini diperbesar dan tidak mengandalkan satu pilar saja dalam menyelesaikan persoalan PMKS. Keempat pilar tersebut terkadang tidak dapat disinergikan karena masing-masing pilar memiliki keegoannya sendiri-sendiri yang sulit untuk disinergikan. Maksud dari payung hukum di sini adalah adanya jalan bagi LKS untuk mensinergikan empat pilar tersebut tanpa perlu menghabiskan energi untuk melobi keempat unsur tersebut agar mau bersinergi. Dengan adanya payung hukum akan memaksa keempat pilar untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada LKS dalam rangka mengurangi masalah kesejahteraan sosial.

Disamping berbagai hal penting di atas, terdapat sejumlah poin penting yang perlu digarisbawahi terkait perkembangan LKS di DIY pasca pemberlakuan Perda DIY No. 11 Tahun 2015 tentang LKS, yaitu:

1. Perlu adanya tindak lanjut Perda LKS berupa penterjemahan ke petunjuk teknis yang lebih implementatif sebagai panduan operasional LKS. Sebagai contoh, perlu adanya petunjuk teknis yang mengatur tentang bagaimana menilai kualitas kelembagaan LKS sebagai sarana untuk menentukan apakah suatu LKS sudah atau belum mandiri.

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Dalam Perda no. 11 tahun 2015 meminta para LKS untuk sudah mencapai tipe A atau mandiri dalam sembilan tahun semenjak Perda ini diberlakukan. Apa yang diatur dalam Perda adalah waktu maksimum yang dibutuhkan, namun belum menjelaskan rasionalisasi pemilihan waktu tersebut dan tahapan-tahapan pencapaian selama 9 tahun tersebut. Petunjuk teknis lainnya yang juga perlu disampaikan adalah bentuk mekanisme pengawasan LKS yang digunakan, alat pengawasannya, serta indikator-indikator pengawasannya. Petunjuk teknis ini sebaiknya mempertimbangkan kesesuaiannya dengan Standar Nasional LKS yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Lembaga Kesejahteraan Sosial.

2. Perlu adanya pernyataan yang jelas dalam Perda LKS terkait fungsi dan kewenangan Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LK2S) atau Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) DIY sehingga terjadi sinergi dan kolaborasi yang optimal dalam koordinasi, pengawasan, dan pembinaan LKS di DIY. Disamping itu, perlu ditinjau mekanisme kolaborasi yang bisa dilakukan antara LK2S dan aparatur pemerintah yang berperan dalam pengelolaan LK2S, khususnya Dinas Sosial, dalam berbagai bentuk kegiatan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan LKS di DIY.

3. Adanya tantangan pengembangan SDM LKS. Tantangan pengembangan SDM LKS adalah ketersedian tenaga profesional di DIY yang masih terbatas, namun sebenarnya masih terbuka peluang yang besar untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas pekerja sosial yang tergabung dalam LKS. Upaya pengembangan SDM ini juga terkait dengan isu sertifikasi. Sejatinya, sertifikasi tenaga LKS merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan profosionalisme berdasarkan standar penilaian tertentu. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa sertifikasi ini diharapkan tidak sampai mengikis nilai-nilai kesetiakawanan dan kegotongroyongan, dan kerelawanan di

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

masyarakat. LKS sendiri pada dasarnya berakar pada praktek filantropi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, penyelenggaraan LKS, ke depan, cenderung akan berpedoman kepada kode etik praktek pekerjaan sosial yang dibuktikan dengan adanya sertifikat bagi pekerja sosial. Namun, permasalahannya tidak banyak LKS di DIY yang memiliki pekerja sosial tersertifikasi. Data profil Dinsos 2017 menunjukkan bahwa jumlah pekerja sosial profesional DIY tercatat sebanyak 1, pekerja sosial fungsional tercacat sebanyak 33 orang, dan pekerja sosial masyarakat sebanyak 4.960 orang. Jika ke depan sertifikasi pekerja sosial tetap harus dilakukan, untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi, pemerintah daerah perlu memfasilitasi proses sertifikasi tenaga LKS, baik dalam hal akses terhadap infrastruktur lembaga sertifikasi, dukungan pelatihan sertifikasi, ataupun dana subsidi untuk sertifikasi. Selain itu, standardisasi dan sertifikasi mungkin tidak harus sepenuhnya berfokus pada jenjang pendidikan, namun lebih menekankan pada hal yang lebih substantif, seperti kapasitas dalam mendampingi.

4. Perda LKS diharapkan mampu membawa LKS di DIY menjadi LKS yang profesional, inovatif, terorganisir, serta tetap mempertimbangkan konteks sosial untuk menjamin keberlanjutan LKS sendiri.

Dokumen terkait