• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR KAJIAN EVALUASI PERATURAN DAERAH PEMANTAUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR KAJIAN EVALUASI PERATURAN DAERAH PEMANTAUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAPORAN

AKHIR

KAJIAN

EVALUASI

PERATURAN

DAERAH

PEMANTAUAN

PELAKSANAAN

PERATURAN

DAERAH

NOM O R

11

TAHUN

2015

TENTANG

LEMBAGA

KESEJAHTERAAN

SOSIAL

SEKRETARIAT

DEWAN

PERWAKILAN

RAKYAT

DAERAH

DAERAH

ISTIMEWA

YOGYAKARTA

(3)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

KATA PENGANTAR

Laporan Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial ini disusun guna memenuhi kewajiban penyusun kepada Bagian Legislasi Sekretariat DPRD DI Yogyakarta selaku Pihak Pemberi Kerja. Laporan ini merupakan laporan lengkap kajian, yang dapat dijadikan justifikasi bagi pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti kesimpulan adanya kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap Perda No. 11/2015 tersebut di atas.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak pemberi kerja atas kepercayaannya untuk melaksanakan kajian ini. Penyusun juga menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak keterbatasan. Atas segala masukan dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan laporan ini, diucapkan terima kasih.

Yogyakarta, Juli 2018

Tim Penyusun

(4)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan ... 3

1.3 Waktu dan Tempat ... 3

1.4 Keluaran ... 3

1.5 Metodologi ... 3

1.5.1 Kerangka Pikir... 3

1.5.2 Tahapan Pelaksanaan ... 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 4

2.1 Paradigma Kesetaraan ... 4

2.2 Negara Hukum Kesejahteraan sebagai Payung Kesejahteraan Sosial ... 9

2.3 Sistem Hukum sebagai Potret Kesejahteraan Sosial ... 13

BAB III URGENSI PERDA DIY NO. 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL ... 17

3.1. Tinjauan Sosio-Ekonomi Munculnya Perda DIY Tentang LKS... 17

3.2. Tinjauan Perundang-undangan... 31

BAB IV ANALISIS SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS TERHADAP PERATURAN DAERAH DIY NO. 11 TAHUN 2015 LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL ... 35

4.1 Analisis Deskriptif LKS di DIY Pasca Implementasi Perda LKS ... 35

4.1 Analisis Sosioekonomi LKS ... 39

4.1 Analisis Yuridis Perda LKS ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 61

5.1 Kesimpulan... 61

5.2 Rekomendasi ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(5)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Rumah Tangga Sasaran Berdasarkan Kategori Kemiskinan Dan Tahun Pendataan Tahun 2005 – 2011

(dalam juta RT) ... 19 Tabel 3.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Berdasarkan

Kelompok Sasaran Tahun 2011 ... 20 Tabel 3.3 Estimasi Prosentase Jenis Orang Dengan Disabilitas, 2011 ... 24 Tabel 3.4 Jumlah Penderita Cacat di DIY, 2008 – 2013 (orang) ... 28 Tabel 3.5 Penyandang Tuna Sosial dan Jumlah Penghuni Panti Asuhan

dan Panti Wredha di DIY, 2010 – 2013 (orang) ... 29 Tabel 4.1 Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial di DIY ... 36 Tabel 4.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di DIY dengan

trend penurunan ... 37 Tabel 4.3 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di DIY dengan trend

kenaikan ... 38

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Pikir ... 1 Gambar 1.2 Tahapan Pelaksanaan Kajian... 2 Gambar 3.1 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di

Indonesia, 1996-2008... 18 Gambar 3.2 Persentase Balita Terlantar Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006

dan Tahun 2009... 21 Gambar 3.3 Proporsi Anak Terlantar Tahun 2003, 2006 dan 2009 ... 22 Gambar 3.4 Persentase Lansia Telantar Menurut Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan, Tahun 2003, 2006, dan 2009 ... 23 Gambar 3.5 Belanja Pemerintah untuk Fungsi Perlindungan Sosial 2007-2012.. 25 Gambar 3.6 Rekapitulasi Pegawai Kemensos Berdasarkan Pendidikan 2012... 26 Gambar 3.7 Jumlah Orang Miskin DIY Berdasarkan Desa-Kota, 2010-2013 ... 30 Gambar 4.1 Tekanan LKS oleh Keharusan Profesionalisme dan

Kemandirian... 41 Gambar 4. 2 Kedudukan Perda No 11 tahun 2015 Tentang LKS... 48

(6)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lembaga Kesejahteraan Sosial, selanjutnya disingkat LKS, adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bentukan masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. LKS menyediakan pelayanan dalam bentuk rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial untuk mengupayakan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Berdasarkan data Dinas Sosial Pemerintah DIY, diperkirakan terdapat 372 LKS yang beroperasi di DIY pada tahun 2017. Ratusan LKS tersebut menangani berbagai macam permasalahan kesejahteraan sosial di DIY, mulai dari persoalan fakir miskin, orang terlantar, kelompok difabel, tuna susila, gelandangan-pengemis (gepeng), dan sebagainya.

Menggunakan perspektif kritis ekonomi pembangunan, kehadiran LKS sebenarnya merespon dampak negatif pembangunan yang menonjolkan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, namun cenderung mengabaikan karakteristik manusia dan kehidupannya. Bentuk pembangunan seperti ini dikarakteristikkan dengan tingkat produksi dan efisiensi operasional yang tinggi serta menuntut adanya sumber daya manusia produktif yang memiliki modal, berpendidikan dan berkeahlian, serta memiliki kondisi fisik dan mental yang normal. Pola pembangunan seperti inilah yang mengakibatkan tercerabutnya eksistensi kelompok masyarakat lain di luar karakter yang dibutuhkan dalam berproduksi,

(7)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

misalnya kelompok masyarakat miskin, orang terlantar, penyandang disabilitas, tuna sosial, korban bencana, korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Proses seperti inilah yang selanjutnya menghambat terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial kelompok masyarakat tersebut dan, selanjutnya, menghalangi pelaksanaan fungsi sosialnya. Bahkan, jika tidak dikelola dengan baik, persoalan ini dapat berkembang menjadi konflik multidimensional yang kontraproduktif dengan pencapaian tujuan pembangunan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, LKS mengupayakan pemberdayaan bagi kelompok masyarakat yang tercerabut kesempatannya dari pembangunan sehingga mereka dapat ikut serta dalam proses pembangunan dan menikmati kue hasil pembangunan.

Dalam konteks penyelanggaraan LKS sebagai sebuah organisasi, salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan LKS dalam aktivitasnya adalah lingkungan kelembagaan organisasi.1 Lingkungan kelembagaan

(institutional environment), yang mencakup aturan-aturan dan mekanisme penegakannya, akan sangat mempengaruhi keberlanjutan sebuah organisasi (North, 2003). Salah satu aturan utama dalam penyelenggaraan LKS di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Peraturan Daerah DIY Nomor 11 Tahun 2015 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial. Bagaimanakah implementasi peraturan daerah ini di lingkup praktek operasional penyelenggaraan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat DIY dan sejauh mana Perda ini sesuai dengan regulasi yang mendasarinya menjadi beberapa pertanyaan basis untuk mengkaji efektivitas dan menyempurnakan Perda DIY No. 11 Tahun 2015 tentang LKS ini.

Berangkat dari kebutuhan untuk mengevaluasi efektivitas dan menyempurnakan Peraturan Daerah DIY tentang Lembaga Kesejahteraan

1 Kelembagaan, yang mencakup aturan-aturan formal (undang-undang, hukum adat, peraturan), kendala-kendala informal (konvensi, norma-norma perilaku dan pedoman perilaku), serta penegakannya (mekanisme monitoring, insentif, dan sanksi), merupakan aturan main yang mengkerangkai interaksi masyarakat (North, 2003).

(8)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Sosial tersebut, Bagian Legislasi Sekretariat DPRD Provinsi DIY melalui Tim Kajian Perda Lembaga Kesejahteraan Sosial melakukan suatu kajian untuk menganalisis efektivitas penyelenggaraan Perda dan merumuskan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan Peraturan Daerah DIY Nomor 11 Tahun 2015 Tentang LKS tersebut.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah untuk mengevaluasi apakah peraturan daerah (perda) tersebut masih relevan dengan kondisi di lapangan saat ini dan kerangka hukum terkait.

1.3 Waktu dan Tempat

Penyusunan kajian evaluasi ini dilakukan selama 3 bulan dengan memanfaatkan informasi dari berbagai pemangku kepentingan yang menjadi subjek penyelenggaraan Perda LKS, khususnya yang berada di wilayah operasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.4 Luaran

Luaran kegiatan adalah laporan kajian hasil evaluasi keberadaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial.

1.5 Metodologi

1.5.1 Kerangka Pikir

Kerangka pikir disusun untuk memastikan adanya kesepahaman terhadap tujuan dan cara kajian ini diwujudkan. Secara umum dapat dijelaskan bahwa Kajian Evaluasi Peraturan Daerah (Perda) No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana perda tersebut di atas mampu menjadi payung hukum dalam penyelenggaraan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dua hal utama yang menjadi pertimbangan mengapa evaluasi ini diperlukan adalah:

(9)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

1. Berkaitan dengan aspek penyelenggaraan aturan dan konteks kewilayahan objek perda, perda tentang LKS ini mulai diundangkan pada tahun 2015, artinya sampai saat ini berusia 3 tahun. Dalam penyelenggaraannya, perda ini berhadapan dengan konteks dan latar belakang kehidupan masyarakat (baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan), perubahan-perubahan di masyarakat, serta banyak organisasi (baik pemerintah ataupun non-pemerintah) yang terkait dengan penyelenggaraan perda tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan kompleksitas yang tinggi dalam praktek operasionalnya sehingga mendorong munculnya sejumlah permasalahan sekaligus alternatif- alternatif model pembelajaran. Berbagai kompleksitas, permasalahan, dan alternatif model pembelajaran lapangan ini perlu dikaji sebagai basis untuk mengoptimalkan praktek penyelenggaraan perda LKS ke depan.

2. Sehubungan dengan regulasi terkait, munculnya peraturan yang memayungi atau terkait, secara langsung maupun tidak langsung (di tingkat nasional maupun daerah), memunculkan kebutuhan untuk melakukan evaluasi terhadap isi Perda ini. Lebih jauh lagi diperlukan komparasi antara Perda LKS yang berlaku di DIY dan yang berlaku di daerah lain sehingga memungkinkan adopsi praktek baik dari pengaturan di daerah lain yang relevan dengan kondisi DIY.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa kajian evaluasi perda ini berfokus pada dua hal, yaitu: kebutuhan keberadaan dan relevansi isi dari perda penyelenggaraan lembaga kesejahteraan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebutuhan keberadaan perda bertujuan untuk mengetahui apakah, secara “praktis (sosioekonomis)”, perda tentang LKS ini masih relevan dengan kondisi DIY saat ini dan bagaimanakah sebaiknya mekanismenya ke depan agar semakin berfungsi optimal. Sedangkan, relevansi isi bertujuan untuk mengetahui apakah isi pasal per pasal dari perda ini, secara “hukum”, sesuai dengan apa yang

(10)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

dimandatkan oleh regulasi-regulasi yang secara hirarki berada di atasnya, kerangka hukum kesejahteraan sosial, serta juga telah mempertimbangkan praktik baik aturan hukum yang mendasari kegiatan LKS di berbagai wilayah Indonesia yang relevan untuk diterapkan di DIY.

Analisis yang akan digunakan dalam kajian ini adalah kajian terhadap aspek sosioekonomi dan hukum. Terkait aspek sosioekonomi, perda ini akan mengkaji beberapa hal berikut ini:

1. Kesesuaian dengan konteks lokal kehidupan masyarakat serta karakteristik dan identitas daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Kesesuaian dengan kondisi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di DIY. Untuk mendapatkan informasi terkait kedua hal tersebut, dokumen yang dapat dijadikan acuan, antara lain, adalah dokumen Laporan Kinerja Tahunan Dinas Sosial, Analisis Kesejahteraan Sosial, dan sejumlah data pendukung terkait LKS di DIY.

3. Kesesuaian Perda LKS dengan paradigma kesetaraan berbasis kapabilitas, dimana dalam paradigma ini, LKS menyelenggarakan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial melalui peningkatan akses terhadap kapabilitas yang mereka miliki.

Pada aspek hukum, beberapa hal berikut akan menjadi pertimbangan dalam melakukan analisis perda ini, antara lain:

1. Kesesuaian Perda dengan payung hukum/regulasi/peraturan terkait yang diberlakukan setelah Perda tentang LKS ini berlaku, baik peraturan yang ditetapkan pada skala nasional maupun daerah, serta kerangka hukum kesejahteraan sosial.

2. Kesesuaian kata dan frasa pasal per pasal dalam Perda dengan bahasa hukum dan kerangka hukum kesejahteraan sosial yang tepat. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan terjadinya intrepetasi ganda (multitafsir) dalam implementasinya.

(11)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

3. Praktek baik dari pengaturan penyelenggaraan LKS di berbagai wilayah. Untuk mendapatkan informasi terkait kedua hal tersebut, dokumen yang dapat dijadikan acuan, antara lain, adalah perda tentang LKS di berbagai provinsi lain di Indonesia.

Diharapkan, dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut, kajian ini dapat memberikan informasi terkait revisi atau tinjau ulang dari perda LKS di DIY. Gambar berikut menyajikan kerangka pikir dari kajian ini.

(12)

7 Kajian E v alu asi Per atu ran Da er ah No . 1 1 /2 0 1 5 T en tan g L em b ag a Kesejah ter aan So sial G am bar 1.1 K er ang ka Pik ir

REG

U

LASI

PEN

YEL

EN

G

G

ARA

AN

LKS

DI

W

IL

A

Y

A

H

P

R

O

V

IN

SI

D

.I

.

Y

O

G

Y

A

K

A

R

TA

P

ER

D

A

No.

11

/2

01

5

PEN

YEL

ENG

G

AR

AAN

OPE

RASI

ONA

L

PERU

B

AH

AN

REG

U

LASI

TERKAIT

LKS

AS P EK HUKU M AS P EK SO SI O EK O N O M IKe sesuaia n den gan kontek s k ehi dupa n lo kalKe sesuaia n den

gan paradigma

k ese tar aa n b ero rien tas i pen in gk at an k apa b ili tasKe sesuaia n P erda den gan sis tem huk u m terk ait da n k era n gk a huk um k esej ah tera an so si alKe sesuaia n de n ga n baha sa huk um

PERDA

No.1

1/

20

15

PERLU

REVI

SI

EV

A

LU

A

SI

AK

OM

O

DI

R

PE

RU

B

A

H

AN

A

P

A

TI

D

A

K

?

YA

TI

D

A

K

PERDA

No.1

1/

20

15

M

A

SI

H

RE

LE

VA

N

(13)

8 Kajian E v alu asi Per atu ran Da er ah No . 1 1 /2 0 1 5 T en tan g L em b ag a Kesejah ter aan So sial 1.5.2 T ah ap an Pe lak san aan Ta ha pa n p elaksa n aa n ke giata n studi , se ba ga im an a digamba rka n p ada be ri kut. G am ba r 1.2 Tah ap an Pe laksanaan K aj ian

1

TA H A P PE R SI A PA N

2

TA H A P PE NGUM PUL A N &

3

TA H A P A N A LI SI S & FOR M UL A SI

4

KE SI M PU LA N & R EK O M EN D A SI 4 a. R apat Ko ordi nas i den gan Pem ber i Ker ja b. Meny us un ren can a ke rj a c. Ko ord in as i a. Identi fi ka si r eg ul as i d an dokum en terk ai t b. Pen gum pul an data s ekun der dan F GD c. Identif ika si kon di si eks is ti ng a. A nal is is a spek s in erg is ita s dan aktu ali ta s b. Form ul as i dari ha si l a nali si s a. Pen ari kan k es im pulan terk ai t keb ut uh an keb era daan perda dan kes es ua ian is i b. Pen yus unan reko m en das i ti ndak lanj ut kaj ian LA PORA N F INA L

(14)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Tahapan pelaksanaan studi dijabarkan sebagai berikut: a. Tahap Persiapan

Tahap ini diawali koordinasi dengan tim pemberi kerja. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui maksud dan tujuan dari kajian sekaligus juga menjelaskan rincian pelaksanaan kajian, terutama menyangkut tata kelola, cara penyampaian pelaporan serta monitoring dan evaluasi pekerjaan. Selanjutnya, tim pelaksana menyusun rencana kerja dan melakukan koordinasi pelaksanaan.

b. Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data

Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan yang harus dilakukan oleh tim pelaksana, mulai dari melakukan identifikasi regulasi (nasional dan daerah) terkait penyelenggaraan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan selanjutnya mengumpulkan data serta melakukan identifikasi kondisi sekarang (existing

condition) penyelenggaraan LKS di DI Yogyakarta.

c. Tahap Analisis dan Formulasi Hasil

Sesuai dengan namanya, maka pada tahap ini tim pelaksana berfokus untuk melaksanakan analisis data dan melakukan formulasi dari informasi yang didapatkan dari hasil analisis.

d. Tahap Kesimpulan dan Rekomendasi

Beradasarkan hasil formulasi sebelumnya, tim pelaksana menetapkan kesimpulan dari hasil kajian ini dan juga menyusun rekomendasi tindak lanjut dari kajian ini.

Keluaran dari semua tahap di atas akan disusun menjadi buku laporan secara utuh.

(15)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kesetaraan

Dalam pencapaian kesetaraan pendapatan, ada dikotomi paradigma besar yang saling bertolak belakang tentang bagaimana mencapainya, yaitu paradigma sosialis dan paradigma pasar (Rahardjo, 1983). Dalam paradigma sosialis, kesetaraan pendapatan adalah semua penduduk mendapatkan pendapatan yang sama. Hal ini akan mencegah rasa iri hati dari sesama bahwa ada orang lain yang memiliki pendapatan lebih banyak daripada lainnya. Paradigma pasar memberikan definisi kesetaraan pendapatan, dimana seseorang mendapatkan pendapatannya tergantung dari sumbangannya terhadap suatu proses produksi. Bagi kelompok individu yang sumbangsihnya besar, wajar jika kelompok ini mendapatkan pendapatan yang lebih banyak karena dia lebih produktif. Sementara itu, bagi yang kontribusinya lebih sedikit dibanding dengan yang lainnya, maka kelompok ini harus ikhlas bahwa pendapatannya lebih sedikit karena. Kedua paradigma ini tidak pernah bertemu dalam suatu titik pemahaman. Bahkan, upaya mencari titik tengah di antara keduanyapun tidak pernah dilakukan dengan sukses.

Diantara keduanya, paradigma neoklasik tampaknya lebih mudah diterima konsepnya dan biasanya dianggap lebih adil, hanya saja sulit mewujudkannya. Asumsi dasar yang melandasi paradigma ini adalah adanya kebebasan memilih, kesempatan yang sama dalam menggunakan semua barang yang telah tersedia, dan masyarakatnya rasional (Just et al, 2005). Asumsi paling penting di sini adalah para individunya rasional yang berarti, dalam memilih, seseorang akan memilih yang paling baik bagi dirinya. Jika hal ini menyangkut pekerjaan, seseorang akan memilih pekerjaan yang paling cocok untuk dirinya karena akan menghasilkan pendapatan yang paling tinggi yang berasal dari kontribusi pendapatan. 10

(16)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Seseorang akan mendapatkan kesejahteraannya jika pilihan berkonsumsi, berproduksi, ataupun berinteraksi dengan lainnya telah mencapai titik optimum, tidak mungkin mendapatkan lebih baik lagi dan tidak merugikan orang lain. Jika ingin mendapatkan lebih baik lagi, hal tersebut akan mengurangi kesejahteraan orang lain (pareto optimum).

Namun demikian, paradigma neoklasik ini tidak menjamin bahwa kesejahteraan dan kesetaraan akan datang dengan sendirinya. Meskipun asumsi-asumsi yang disertakan telah dipenuhi semua, ada satu elemen penting yang seharusnya dipenuhi yaitu akses ke pilihan yang diinginkannya. Elemen ini tidak dimasukkan ke dalam asumsi karena dianggap elemen ini telah tersedia sebagaimana yang terjadi di negara- negara maju tapi tidak tersedia di negara-negara sedang berkembang. Menurut Sen (1980), pengaturan sosial yang menjamin individu mendapatkan pilihan yang cocok bagi dirinya tidak akan pernah bisa optimum jika tidak mengatur tentang kebebasan akses ke pilihannya. Sayangnya, kebebasan akses ke pilihannya untuk melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu dihadapkan pada terbatasnya pilihan yang ada. Pilihan- pilihan yang tersedia dalam masyarakat inilah yang disebut kapabilitas masyarakat (Sen, 2004). Di negara-negara maju, kapabilitas masyarakat dalam memilih sangatlah besar. Sedangkan untuk negara-negara sedang berkembang, kapabilitas tersebut lebih sedikit. Hal ini yang kemudian menyebabkan ketimpangan dalam pendapatan di antara negara-negara di dunia. Bagi masyarakat yang terstratifikasi dengan ketat, kapabilitas tiap stratifikasi tentu berbeda yang kemudian menghasilkan perbedaan pendapatan. Di sinilah menurut Sen terjadinya kebingungan atas ketimpangan pendapatan. Bagi pandangan neo klasik, ketimpangan pendapatan itu nyata dan bisa diidentifikasi secara statistik. Namun, menurut Sen (1980), ketimpangan tersebut pasti terjadi secara alamiah karena adanya ketimpangan kapabilitas. Ketimpangan ini tidak serta merta dapat dianggap terjadinya ketidaksetaraan pendapatan. Bagaimana bisa

(17)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

membandingkan pendapatan antar golongan masyarakat kalau secara kapabilitas telah terjadi perbedaan pula. Kesetaraan pendapatan harus pula dilihat dari besarnya kapabilitas golongan-golongan masyarakat untuk melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu (doing and being). Ketimpangan pendapatan baru mendapatkan justifikasinya ketika kapabilitas semua golongan adalah sama dan menghasilkan perbedaan pendapatan yang signifikan. Ekspansi kapabilitas dapat dilakukan dengan memperbanyak pilihan-pilihan bagi masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsinya (functionings).

Persoalan berikutnya adalah kebebasan mendapatkan akses kepada kapabilitas tersebut. Persoalan akses inilah yang menjadi sumber ketidakoptimuman kesejahteraan bagi semua. Keterbatasan akses berarti keterbatasan pilihan yang selanjutnya dapat menghambat optimalitas penggunaan kapabilitas seseorang yang selanjutnya menghalangi pencapaian kesejahteraan yang maksimum.

Persoalan aksesibilitas ini yang kemudian dapat menjelaskan mengapa usaha mencapai kesetaraan selalu gagal. Sen (1980) menyarankan untuk meredefinisikan kembali soal kesetaraan yang kenyataannya di negara sedang berkembang tidak pernah tercapai. Menurut Sen, kesetaraan yang hakiki bukanlah definisi yang mati seperti yang dijelaskan dalam buku teks di negara-negara maju. Kesetaraan menjadi bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh berbagai nilai, kelembagaan, dan kapabilitas dimana perbedaan opini terhadap suatu kesetaraan menjadi tajam. Suatu masyarakat akan merasa telah mencapai kesetaraan dalam kehidupan sosialnya tetapi dianggap oleh masyarakat lain sebagai belum tercapainya kesetaraan yang benar. Fungsi-fungsi sosial dalam suatu masyarakat menjadi penting dalam mendefinsikan kembali arti kesetaraan. Namun demikian, aksesibilitas yang luas akan menyebabkan definisi kesetaraan dalam masyarakat di negara sedang berkembang mengalami kedekatan dengan definisi kesetaraan di masyarakat yang telah maju.

(18)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Penghalangan akses ke potensi kapabilitas akan mengurangi optimalitas kesejahteraan masyarakat. Bagi para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang tidak diberikan akses kepada kapabilitas sosial yang setara akan selalu terbelakang dalam mendapatkan kesejahteraannya. Kalau hal ini diterima maka definisi kesetaraan bagi PMKS tentu tidak sama dengan kesetaraan bagi orang-orang yang tidak mengalami masalah kesejahteraan sosial. Bagi penduduk yang memiliki keterbatasan akses seperti orang-orang yang memiliki disabilitas, keterlantaran, terkena bencana alam, atau bahkan mengalami kemiskinan yang kronis, definisi kesetaraan mereka seharusnya lebih longgar. Sebagai penganut sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus selalu diupayakan terutama pada PMKS. Tugas pemerintah seperti yang termaktub di dalam pasal 34 UUD 1945 memaksa pemerintah untuk menghilangkan halangan para PMKS dalam mendapatkan akses ke sumber daya ataupun fungsi-fungsi sosial lainnya.

Intepretasi pada penghilangan halangan tersebut dimanifestasikan dengan pengadaan pekerjaan sosial. Tujuan utama pekerjaan sosial adalah melakukan pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya adalah membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Secara konseptual, pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan- persoalan struktural (Suharto, 2007). Dilihat dari tingkatannya, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu: 1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering

didefinisikan sebagai fakir miskin yaitu kelompok yang secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

2. Kelompok miskin (poor) yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.

(19)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

3. Kelompok rentan (vulnerable group) yaitu kelompok yang dikategorikan bebas dari kemiskinan, namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) yang masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya.

Pada dasarnya penanganan kesejahteraan sosial dalam pekerjaan sosial memiliki dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah person in

environment yang berarti pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan

kemampuan PMKS dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Pendekatan kedua adalah person in situation yaitu intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan PMKS yang tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya.

Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab PMKS dan sumber-sumber penyelesaiannya dalam kaitannya dengan lingkungan PMKS. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Contoh dari prndekatan pertama ini adalah program kesejahteraan sosial yang telah dan sedang dikembangkan oleh Kemensos, seperti:

1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh LKS.

2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial. Pendekatan kedua melihat PMKS dalam konteks situasinya. Strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisasi dan self-

determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki

masalah dan kemampuan unik. Program pengentasan kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. Program kesejahteraan sosial dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi:

1. Strategi kedaruratan seperti bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.

(20)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

2. Strategi kesementaraan seperti bantuan stimulan untuk usaha- usaha ekonomis produktif.

3. Strategi pemberdayaan seperti program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak, dan remaja.

4. Strategi “penanganan bagian yang hilang” yang meliputi program- program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya.

2.2 Negara Hukum Kesejahteraan sebagai Payung Kesejahteraan

Sosial

Indonesia adalah salah satu bentuk negara kesejahteraan (Welfare State). Negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang. Pasal 28 H Perubahan Kedua Undang- Undang Dasar 1945 pada ayat (1), (2), dan (3) mengatur setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upaya kesejahteraan sosial dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bidang ekonomi dengan mengedepankan prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.

Negara hukum kesejahteraan di Indonesia adalah negara Pancasila. Menurut Sudjito (2014), pembentukan konsep negara hukum Indonesia didasarkan pada cita-cita hukum atau Rechtsidee Pancasila. Pancasila selain sebagai Rechtsidee juga merupakan way of life bagi bangsa dan negara Indonesia. Memposisikan dan mengamalkan Pancasila sebagai way

(21)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

of life, menyiratkan pesan moral dan amanah bahwa bagi siapapun

pembuat hukum maupun kebijakan (decision makers) agar dalam proses pembuatannya senantiasa berkiblat ke arah tercapainya tujuan negara. Keseluruhan perundang-undangan wajib memperhatikan dan merengkuh dimensi kebangsaan, keutuhan seluruh wilayah tanah air, kesejahteraan umum, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berkontribusi kepada dunia internasional demi terwujudnya ketertiban, terjaganya kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Seharusnya, bangunan kehidupan bernegara hukum yang secara fisik-organis beraneka ragam, perlu dipandang sebagai sistem komposit, yaitu terdiri atas komponen jiwa-raga, lahir-batin, material-spiritual, sosial-ekologi, nasional-internasional yang saling berkaitan dan bergantungan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan hukum berdasarkan Pancasila untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang- wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan secara luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.

Negara Hukum Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung ide negara kesejahteraan

(welfare state). Pasal 1 Ayat (3) Perubahan Keempat Undang-Undang

dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan asas Indonesia sebagai negara hukum yang berbunyi sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki tujuan hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian dan kesejahteraan rakyat.

Teks negara kesejahteraan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara

(22)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).

Konsep rechtstaat secara resmi dicabut melalui Amandemen UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 yang memuat istilah rechstaat dicabut dari UUD 1945 dan istilah negara hukum dinetralkan. Pasal 1 ayat (3) hanya menyebut “Negara Indonesia adalah negara hukum” tanpa embel-embel

rechstaat yang diletakkan dalam kurung. Dengan demikian negara hukum

Indonesia bukan hanya rechstaat tetapi juga sekaligus the rule of law (Mahfud, 2010).

Kesejahteraan (welfare) sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Konsep negara kesejahteraan ini dinamakan oleh Muhammad Hatta sebagai konsep negara “pengurus” (Yamin, 1959). Gagasan negara kesejahteraan muncul pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya pada era golden age pasca Perang Dunia II. Pencetus teori

welfare state, R. Kranenburg (1989), menyatakan bahwa:”negara harus

secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.

Praktek negara di dunia pada umumnya yang menggunakan konsep negara kesejahteraan (welfare state), negara dituntut untuk memperluas tanggung jawab kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi “negara intervensionalis” abad dua puluh. Negara perlu, bahkan harus, melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat (Asshidiqie, 1994). Peraturan Perundang-undangan merupakan alat atau sarana untuk tercapainya cita-cita dan tujuan Negara yaitu Kesejahteraan Masyarakat (Welfare State). Hal ini didasarkan pada pola perkembangan pembangunan suatu bangsa, ketika suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan (welfare state) tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui

(23)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat (Rajagukguk, 2000). Pada periode ini negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup.

Mengacu kepada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPPP), maka kerangka hukum kesejahteraan sosial dapat ditelusuri mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sampai dengan peraturan daerah kabupaten kota serta peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah, termasuk kementerian tertentu.

Relevansi secara substantif UUD 1945 dengan persoalan kesejahteraan sosial sejalan dengan pemikiran bahwa UUD 1945, di samping sebagai konstitusi politik juga disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19 (Jimly, 1994).

Negara Kesejahteraan bertugas mempromosikan kesejahteraan rakyat dengan melindungi tatanan sosial di mana keadilan sosial, ekonomi dan politik, menginformasikan semua lembaga dalam kehidupan berbangsa, membuat ketentuan yang efektif untuk mengamankan hak untuk bekerja, pendidikan, dan bantuan publik dalam kasus ketenagakerjaan dan aspek lain sesuai dengan batas kemampuan ekonomi negara tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, tugas negara adalah mengarahkan kebijakannya untuk mengamankan sarana yang memadai penghidupan bagi semua warga negara, mendistribusikan kepemilikan, dan kontrol dari sumber daya material dari masyarakat sebagai sarana untuk mengabdi pada kepentingan umum; dan untuk menghindari konsentrasi kekayaan dan sarana produksi yang merugikan kepentingan umum.

(24)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

2.3 Sistem Hukum sebagai Potret Kesejahteraan Sosial

Definisi Sistem Hukum

Hukum merupakan sistem berarti hukum merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Singkatnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum (Mertokusumo, 2005).

Lebih lanjut beliau mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan lain, tetapi kait mengait dengan bagian-bagian lainnya. Setiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Kesatuan di dalamnya tidak menghendaki adanya konflik atau kontradiksi. Apabila sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.

Tetley (1999) mendefinisikan “legal system“ refers to the nature and

content of the law generally, and the structures and methods whereby it is legislated upon, adjudicated upon and administered, within a given jurisdiction.

Bellefroid mengemukakan bahwa sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu berdasarkan atas asas-asas tertentu. Sistem hukum termasuk dalam ilmu hukum dogmatis/ilmu yang menguraikan isi dari pada hukum yang berlaku sekarang, yang menjelaskan pengertian-pengertian peraturan hukum dan mengatur serta menyusun peraturan hukum menurut asas dalam suatu sistem hukum (Dhaniswara, 2009).

(25)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Badrulzaman (1983) mengemukakan bahwa sistem hukum menurutnya adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.

Unsur-unsur Sistem Hukum

Friedman (2009) mengemukakan gagasan bahwa secara sistem hukum terdiri dari substansi ( aturan yang berlaku, formal dan informal, sah dan tidak sah ), prosedur ( tatacara penyelesaian sengketa, menerobos hukum, dll) struktur ( kerangka sistem hukum, organisasi pengadilan, badan-badan administrasi, komposisi legislatif) dan budaya hukum. Budaya hukum dalam arti nilai dan sikap sangat penting. Berpikir tentang hukum laksana sebuah mesin. Mesin memiliki struktur, program output, dan petunjuk bagaimana menghidupkan dan mematikan, bagaimana cara menggunakan, kapan memperbaiki atau memukul dengan palu semuanya bergantung kepada keputusan orang-orang yang ada di sana yakni pekerja dan pemilik pabrik. Sikap, nilai dan pendapat mereka adalah apa yang akan mereka putuskan untuk dilakukan. Sulit menyanggah bahwa budaya dalam arti ini adalah sesuatu yang krusial dalam sistem hukum. Setiap orang memiliki budaya hukum masing-masing dan mungkin tidak ada satupun di dunia ini yang sama persis.

Pendapat lain mengenai unsur-unsur dari sistem hukum adalah Rasjidi (2003) yang menemukan 9 komponen yakni :

1. Masyarakat hukum, adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity) yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. 2. Budaya hukum, adalah tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur

kehidupan suatu masyarakat hukum.

3. Filsafat hukum, yakni hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum. Diartikan juga sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum.

4. Ilmu hukum, yakni pengujian dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum.

(26)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

5. Konsep hukum, yakni garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum, yang pada hakekatnya merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, design pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.

6. Pembentukan hukum, sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, serta oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. 7. Bentuk hukum, merupakan hasil dari proses pembentukan hukum.

Secara umum diklasifikasikan dalam 2 golongan; tertulis dan tidak tertulis.

8. Penerapan hukum, meliputi 3 komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini. Umumnya meliputi lembaga- lembaga administratif dan judiciil.

9. Evalusi hukum, merupakan konsekuensi dari pandangan ahli-ahli hukum Utilitarianis yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu diterapkan. Hukum yang buruk akan mengakibatkan akibat-akibat yang buruk, sedangkan hukum yang baik akan melahirkan akibat-akibat yang baik.

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem yang tidak dapat lepas atau berdiri sendiri dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Di dalam suatu sistem termuat adanya berbagai komponen, berbagai kegiatan yang merupakan fungsi dari setiap komponen, adanya saling keterhubungan serta ketergantungan antar komponen, adanya keterpaduan (integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada kawasan di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi dari semua komponen tersebut mengarah, berorientasi ke pencapaian tujuan sistem yang telah ditetapkan. Peraturan

(27)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

perundang-undangan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya harus saling terkait, selaras,dan tidak tumpang tindih sehingga dapat membentuk suatu sistem hukum yang efektif bergerak dinamis sekaligus komprehensif dalam suatu kesatuan sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Apabila keterkaitan dan keselarasan antar peraturan perundangundangan tersebut tidak terwujud dan terjadi tumpang tindih serta terjadi keadaan bertolakbelakangnya peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain niscaya tujuan hukum tersebut tidak akan tercapai (Nugroho, 2009)

(28)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

BAB III

URGENSI PERDA DIY NO. 11 TAHUN 2015

TENTANG LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL

3.1. Tinjauan Sosio-Ekonomi Munculnya Perda DIY Tentang LKS

Permasalahan sosial dalam masyarakat akan selalu menjadi perhatian negara tidak hanya karena kepedulian negara terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat tetapi juga karena adanya kewajiban negara untuk memenuhi amanat UUD 1945 pasal 34 tentang tanggung jawab negara kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Penerapan atas konstitusi ini tidak selamanya berjalan lancar. Dengan mengadakan kementerian sosial, pemerintah diharapkan dapat menerapkan pasal 34 UUD 1945 tersebut dengan seksama. Hal ini berarti, kementerian sosial harus menyelenggarakan semua yang berkenaan dengan penyelesaian masalah-masalah sosial termasuk penyediaan para tenaga kerja sosialnya. Permasalahan sosial yang bisa diidentifikasi adalah kemiskinan, keterlantaran, kedisabilitasan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/atau orban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Namun demikian, permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia bukanlah masalah yang kecil, mengingat banyaknya populasi penduduk dan luasnya wilayah Indonesia. Semakin lama mulai disadari bahwa penanganan masalah sosial tidak bisa serta merta diselesaikan oleh kementerian sosial namun juga memerlukan bantuan dari masyarakat. Secara budaya, permasalahan sosial banyak diselesaikan oleh keluarga sendiri. Hanya saja, untuk masyarakat yang tercabut dari akar keluarganya, dan itu jumlahnya banyak, peran keluarga menjadi nihil. Diperlukan peran pemerintah maupun masyarakat yang perduli terhadap masyarakat yang memiliki masalah sosial tersebut.

(29)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Semenjak tahun 1998, jumlah masyarakat yang menghadapi permasalahan sosial meningkat cukup tajam. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat cukup signifikan setelah tahun 1998. Terlihat bahwa angka kemiskinan meningkat dari 34,01 juta penduduk miskin pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta penduduk miskin, suatu peningkatan penduduk miskin yang luar biasa dalam dua tahun sebesar 45,5 persen. Semenjak itu, penurunan penduduk miskin tidaklah mudah.

Sumber: BPS (2008)

Gambar 3.1 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1996-2008

Sampai dengan tahun 2008 penurunan jumlah penduduk miskin hanya sampai pada angka 34,96 juta orang atau 15,42% dari populasi Indonesia. Diperlukan waktu 10 tahun lebih untuk bisa mencapai tingkat penduduk miskin yang setara dengan tahun 1996. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa kerja keras pemerintah dalam menurunkan jumlah penduduk miskin berdampak sedikit. Di samping itu, banyak perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya menjadi penyokong utama para LSM (lembaga swadaya masyarakat) kehilangan bisnisnya akibat krisis multidimensional Indonesia pada tahun 1998 yang mengakibatkan para LSM yang fokus

(30)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

pada lembaga kesejahteraan sosial kehilangan sumber dana untuk menyokong kegiatan sosialnya. Hal itu diduga menyebabkan penurunan kemiskinan pada masa itu berjalan lambat.

Antara 2005 sampai dengan 2011 jumlah rumah tangga sasaran miskin menurut kementerian sosial menurun. Pada Tabel 3.1 menunjukkan penurunan tersebut dimana jumlah rumah tangga yang mengalami kemiskinan turun dari 8,2 juta rumah tangga pada 2005 menjadi 3,8 juta rumah tangga di 2011. Begitu pula dengan rumah tangga sangat miskin menunjukkan penurunan jumlah. Hanya saja, rumah tangga hampir miskin naik dari 6,9 juta rumah tangga di 2005 menjadi 9,2 juta rumah tangga di 2011. Secara total, terjadi penurunan jumal rumah tangga miskin dari 19,1 juta rumah tangga menjadi 15,5 juta rumah tangga. Dari Tabel 3.1 dapat diduga bahwa selama 6 tahun terjadi peningkatan pendapatan di rumah tangga miskin sehingga banyak di antaranya yang meningkat statusnya meskipun tetap pada kategori miskin. Dengan menurunnya total jumlah rumah tangga miskin menunjukkan peningkatan ekonomi nasional Indonesia berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah rumah tangga dalam kategori miskin.

Tabel 3.1 Jumlah Rumah Tangga Sasaran Berdasarkan Kategori

Kemiskinan Dan Tahun Pendataan Tahun 2005 – 2011 (dalam juta RT) Rumah Tangga Sasaran (RTS) 2005 2007 2011 Sangat Miskin 3,9 2,9 2,5 Miskin 8,2 6,8 3,8 Hampir Miskin 6,9 7,6 9,2 Total 19,1 17,5 15,5 Sumber: Kemensos (2012) 25

(31)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Tabel 3.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Berdasarkan

Kelompok Sasaran Tahun 2011

Kelompok Sasaran Jenis PMKS Jumlah

1. Kemiskinan Fakir Miskin , Wanita Rawan Sosial Ekonomi

2,5 juta RTSM

2. Ketelantaran Anak Telantar, Anak Balita Telantar, Lanjut Usia Telantar

7.191.551

3. Kecacatan Orang dengan Kecacatan , Anak dengan Kecacatan

2.126.785

4. Keterpencilan Komunitas Adat Tepencil 213.08 KK 5. Ketunaan dan

Penyimpangan Perilaku

Tuna Susila, Pengemis, Gelandangan, Bekas Warga Binaan Lapas, ODHA, Korban NAPZA

3.872.287 Jiwa

6. Korban Bencana Korban Bencana Alam , Korban Bencana Sosial

1.416.744 KK

7. KTK,

Eksploitasi dan Diskriminasi

Korban Tindak Kekerasan, Pekerja Migran Bermasalah Sosial

889.987 Jiwa

Sumber: Kemensos (2012)

Persoalan-persoalan sosial lainnya yang dihadapi Indonesia cukup banyak. Gambaran umum tentang jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang dihadapi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2. Hanya masalah KTK (korban tindak kekerasan) dan keterpencilan yang jumlah PMKSnya kurang dari satu juta. Selebihnya di atas satu juta dimana angka paling tinggi adalah jumlah ketelantaran disusul oleh masalah ketunaan dan penyimpangan perilaku. Memerlukan biaya yang sangat besar yang harus dikeluarkan pemerintah dalam rangka mengurangi masalah-masalah PMKS tersebut.

(32)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Sumber: Kemensos (2012)

Gambar 3.2 Persentase Balita Terlantar Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006 dan Tahun 2009

Menurut Kemensos (2012), jumlah balita yang ditelantarkan pada tahun 2011 adalah 1.224.168 balita yang berarti terjadi kenaikan kasus ini jika dibandingkan dengan tahun 2009 dimana jumlah balita yang ditelantarkan sebanyak 1.186.941 balita. Dalam Gambar 3.2 menunjukkan bahwa balita laki-laki lebih banyak ditelantarkan daripada balita perempuan. Dari gambar tampak bahwa persoalan penelantaran balita turun cukup banyak dari tahun 2006 dan tahun 2009. Prosentase balita yang ditelantarkan dibanding dengan jumlah balita yang dilahirkan adalah 8,09% untuk balita laki-laki dan 7,38% untuk balita perempuan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, jumlah balita yang ditelantarkan menjadi 5,82% untuk balita laki- laki dan 5,71% untuk balita perempuan. Turunnya jumlah balita yang ditelantarkan adalah sesuatu yang menggembirakan sehingga kesejahteraan balita dapat dikatakan menaik.

Jumlah anak yang ditelantarkan menurut Kemensos (2012) tercatat 3.176.462 anak pada tahun 2009 dan turun menjadi 3.115.777 anak pada tahun 2011. Penelantaran anak paling banyak terjadi pada anak dengan 27

(33)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

orang tua yang lengkap. Sekitar 83,28% dari anak terlantar memiliki orang tua yang lengkap dan 16,72% memiliki hanya ibu saja, ayah saja, atau yatim piatu. Dari angka-angka tersebut menunjukkan banyaknya orang tua yang tidak bertanggungjawab pada pemeliharaan anak-anak mereka. Dilihat dari kelompok usia, anak-anak yang ditelantarkan kebanyakan berada di usia 13 sampai 15 tahun yaitu sebesar 7,67% di tahun 2003 menjadi 6,7% pada tahun 2006 dan 6,05% dari populasi pada tahun 2009.

Sumber: Kemensos (2012)

Gambar 3.3 Proporsi Anak Terlantar Tahun 2003, 2006 dan 2009

Jumlah orang tua terlantar pada tahun 2009 adalah sebesar 2.851.606 orang (Kemensos, 2012). Dilihat dari pendidikannya, paling banyak terlantar adalah orang tua dengan pendidikan yang kurang dari SD. Bisa jadi mereka yang tidak pernah sekolah atau pernah merasakan pendidikan SD tapi cuma sebentar. Pada Gambar 3.4 menunjukkan timpangnya jumlah orang tua terlantar berdasarkan pendidikan. Sekitar 90 persen dari orang tua terlantar adalah berpendidikan setara tidak bersekolah atau pernah merasakan SD. Statistik tersebut menunjukkan rawannya orang tua dengan pendidikan rendah untuk ditelantarkan masyarakat atau keluarganya. Penelantaran tersebut diduga berkaitan dengan golongan 28

(34)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

pendapatan keluarganya yang termasuk rendah. Rendahnya pendapatan tidak dapat menyokong perawatan orang tua di saat mereka renta sehingga yang terjadi adalah pelantaran orang tua.

Sumber: Kemensos (2012)

Gambar 3.4 Persentase Lansia Telantar Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Tahun 2003, 2006, dan 2009

Untuk para penyandang disabilitas, Kemensos (2012) memperkirakan jumlahnya adalah sekitar 2.126.785 orang. Diperkirakan proporsi orang yang mengalami tuna daksa adalah yang terbesar di antara para penyandang disabilitas yaitu sebesar 33,74% (lihat Tabel 3.3). Berikutnya berturut-turut adalah penyandang tuna netra (15,93%), tuna grahita (13,68%), tuna rungu (10,52%), tuna laras (8,52%), tuna wicara (7,12%), tuna daksa dan grahita (7,03%), tuna rungu dan wicara (3,46%). Perkiraan dari kemensos tentang proporsi jenis orang dengan disabilitas (kecacatan) berdasarkan laporan dari dinas sosial daerah maupun LKS setempat. Diduga masih banyak penyandang disabilitas yang ada di masyarakat yang tidak melaporkan keadaan anggota masyarakat dengan disabilitas karena faktor malu memiliki anggota keluarga yang demikian.

(35)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Tabel 3.3 Estimasi Prosentase Jenis Orang Dengan Disabilitas, 2011

No. Jenis Orang

Dengan Kecacatan % No.

Jenis Orang Dengan

Kecacatan %

1 Tuna Netra 15,93 5 Tuna Daksa (Cacat 33,74

2 Tuna Rungu 10,52 6 Tuna Grahita 13,68

3 Tuna Wicara 7,12 7 Tuna Daksa dan

Grahita 7,03

4 Tuna Rungu dan

Wicara 3,46 8 Tuna Laras 8,52

Total 100

Sumber: Kemensos (2012)

Dari data-data yang telah disampaikan di atas menunjukkan besarnya masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Peran pemerintah amat penting dalam mengurangi beban mereka. Alokasi dana pemerintah untuk belanja perlindungan sosial sejak 2007 sampai dengan 2012 dapat dilihat di Gambar 3.5. Dari data tersebut tampak bahwa alokasi dana untuk bantuan sosial menaik dari sekitar 3 trilyun rupiah di 2007 sampai dengan sekitar 6 trilyun rupiah di 2012. Dibandingkan dengan total APBN saat itu, pengeluaran bantuan sosial tidak lebih dari satu persen. Dengan permasalahan sosial yang makin meningkat sebagai dampak dari krisis multidimensional 1998 yang pengaruhnya panjang dan juga mulai tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan masalah sosial menjadi makin serius. Di satu sisi dampak berkepanjangan dari krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan posisi mental dari berkecukupan menjadi miskin, di satu sisi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga mengejutkan banyak orang yang secara mental menganggap masih miskin tetapi terjadi peningkatan pendapatan. Shock masyarakat dari dua tekanan yang berbeda menyebabkan persoalan sosial menjadi lebih menyedihkan. Bagi pemerintah, alokasi untuk bantuan sosial ataupun kementerian sosial yang hanya sekitar satu persen dari APBN tidaklah

(36)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

dapat mengurangi masalah sosial tersebut. Dilihat dari gambar tersebut, alokasi tersebut meningkat cukup signifikan, namun peningkatan ini disebabkan karena peningkatan APBN dan mempertahankan porsi alokasi yang sama dengan APBN sebelumnya.

Sumber: Kemenkeu (2012)

Gambar 3.5 Belanja Pemerintah untuk Fungsi Perlindungan Sosial 2007-2012

Alokasi untuk perlindungan sosial ternyata tidak diimbangi oleh tenaga sosial dari pemerintah. Total jumlah PNS kemensos pada saat itu sekitar 4500 orang yang tidak semuanya pekerja sosial. Dengan jumlah PNS sebesar ini tentu tidak cukup untuk bekerja mengatasi permasalahan sosial. Gambaran tersebut dapat dilihat dari Gambar 3.6 tentang jumlah PNS Kemensos 2012 didasarkan atas masa kerja.

(37)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Sumber: Kemensos (2012)

Gambar 3.6 Rekapitulasi Pegawai Kemensos Berdasarkan Pendidikan 2012

Hal ini tentu menyulitkan Kemensos pada saat itu karena dihadapkan pada masalah sosial yang makin banyak namun tidak memiliki cukup dana dan tenaga untuk mengatasinya. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah memerlukan bantuan dari pihak masyarakat karena dana terbatas yang dimiliki pemerintah untuk membiayai pengurangan masalah PMKS. Bentuk partisipasi masyarakat dalam mengurangi masalah PMKS adalah diizinkannya lembaga kesejahteraan sosial beroperasi.

Pada awalnya, jumlah LKS tidaklah terlalu banyak, apalagi banyak yang bertumbangan akibat adanya krisis multidimensional pada tahun 1998. Namun sejak 2004, banyak lembaga kesejahteraan sosial (LKS) asing terlibat dalam mengatasi masalah-masalah sosial di Indonesia yang terkait dengan bencana tsunami akhir 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam. Dari gambaran jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebut pemerintah memerlukan bantuan dari pihak non pemerintah untuk mengatasinya. Dengan makin banyaknya LKS asing dan mulai membaiknya perekonomian Indonesia, kegiatan LKS lokal mulai meningkat.

Dana dari para LKS saat itu mengandalkan bantuan asing yang saat 32

(38)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

memang perduli dengan situasi sosial Indonesia. Namun seiring dengan perkembangan saat itu, dana asing untuk mengatasi masalah sosial di Indonesia semakin sedikit mengingat status Indonesia sudah berubah dari negara miskin menjadi negara dengan pendapatan per kapita menengah bawah. Kenaikan pendapatan per kapita sampai dengan USD 3.500 per tahun menyebabkan para donor asing mengalihkan dananya ke negara- negara miskin lainnya. Bagi LKS yang sudah stabil mungkin tidak terlalu sulit untuk mengalihkan kebutuhan dananya dari asing ke lokal karena sudah memiliki jalur ke perusahaan swasta yang menginginkan alokasi corporate social responsibility (CSR) tanpa perlu repot menyelenggarakannya. Bagi LKS yang belum stabil, kondisi ini menyebabkan mereka menggunakan strategi kemitraan dengan pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan perlindungan sosial dimana dananya banyak berasal dari pemerintah.

Dari perubahan kondisi ini, LKS baru tetap bermunculan untuk membantu pemerintah. Bagi pemerintah hal ini sangat baik, namun dengan alasan disiplin penggunaan uang negara, dirasa sudah perlu untuk menertibkan para LKS untuk lebih professional dalam bermitra dengan pemerintah sehingga penggunaan dana sosial dari APBN bisa dipertanggungjawabkan dengan benar. Memang, peningkatan jumlah LKS memberikan dampak lain yang sebelumnya tidak terpikirkan. Banyak LKS didirikan tidak didasarkan atas motivasi sosial tetapi untuk mendapatkan alokasi dana dari pemerintah yang memang menyediakan sedikit dana dari APBN untuk mengatasi masalah sosial. Dengan motivasi seperti itu, banyak LKS didirikan tapi tidak disertai dengan kemampuan manajerial yang cukup untuk menjalankan LKS dengan benar. Hal ini menghalangi perkembangan LKS lainnya yang didirikan dengan motivasi sosial yang besar. Dana pemerintah diperebutkan tetapi tidak disertai laporan penggunaan yang akuntabel.

(39)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Menteri Sosial saat itu Salim Segaf Al Jufri mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial nomor 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS). Dalam Permen tersebut, dijelaskan tentang definisi dari LKS, jenis-jenis kemandiriannya, pendiriannya, ruang lingkup pelayanan, sumber dana, profesionalitasnya, pengembangannya, pengawasannya, evaluasinya, sangsinya, serta penghargaan dan dukungannya. Dengan munculnya Permen ini diharapkan para LKS yang sudah ada dan akan didirikan diwajibkan memiliki standar pelayanan dan juga menajemen yang baik sehingga tetap menjadi organisasi yang mengatasi persoalan sosial dalam masyarakat

Peraturan Menteri Sosial nomor 184 Tahun 2011 disadari merupakan aturan yang bersifat hybrid. Yang dimaksud dengan hybrid adalah aturan yang masih umum dan diperlukan penyesuaian-penyesuaian untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan kondisi, situasi, dan budaya yang berbeda di berbagai daerah. Untuk itu diperlukan satu peraturan daerah di masing-masing provinsi yang menerapkan Permen Sosial tersebut dan mengakomodasi kondisis daerah.

Tabel 3.4 Jumlah Penderita Cacat di DIY, 2008 – 2013 (orang)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tuna Netra 6.233 4.517 4.636 3.917 2.568 3.342 Tuna Rungu- Wicara 5.413 3.921 3.966 3.425 2.485 2.881 Tuna Daksa 13.225 11.244 11.389 9.831 7.772 8.703 Tuna Grahita 11.465 12.120 9.251 7.989 6.984 7.730 Penyakit Kronis 3.078 2.134 2.166 2.005 1.272 1.511 Ganda 1.805 2.345 2.330 1.943 1.217 1.453 Sumber: DIY Dalam Angka, 2013

(40)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

Peraturan Daerah DIY nomer 11 tahun 2015 merupakan terjemahan dari Permen Sosial no. 184 tahun 2011 untuk diterapkan di DIY. Isi dari Perda DIY tersebut pada intinya sama dengan Permen Sosial. Apa yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan, terjadi pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penyandang disabilitas cukup banyak. Tabel 3.4 menunjukkan bahwa penyandang cacat makin lama makin berkurang. Hanya saja sejak 2013 ada indikasi kenaikan sedikit. Dengan lain perkataan, jumlah penderita cacat di DIY tidaklah berkurang apalagi naik.

Tabel 3.5 Penyandang Tuna Sosial dan Jumlah Penghuni Panti Asuhan

dan Panti Wredha di DIY, 2010 – 2013 (orang)

2010 2011 2012 2013 Anak Terlantar 32.728 28.024 28.165 26.143 Balita Terlantar 4.353 2.842 2.569 2.443 Anak Jalanan 710 312 497 212 Gelandangan 515 377 360 360 Tuna Susila 1.164 724 166 158 Penghuni Panti Asuhan 3.930 4.162 3.456 3.417 Penghuni Panti Wredha 250 284 269 145

Sumber: DIY Dalam Angka, 2013

Jika dilihat dari masyarakat yang terlantar, jumlahnya ada penurunan. Dalam Tabel 3.5, jumlah anak terlantar berkurang dari angka 32.728 anak di tahun 2010 menjadi 26.143 anak di tahun 2013. Penurunannya sampai dengan lebih dari enam ribu anak. Sedangkan pada balita terlantar jumlah yang terlantar turun hamper 40% dari 4.353 balita menjadi 2.443 balita. Sedangkan penurunan anak jalanan lebih mengesankan lagi yaitu lebih dari 50% dalam empat tahun. Begitu pula dengan para gelandangan dan orang-orang tuna susila. Sedangkan jumlah penghuni panti asuhan dan panti wredha juga menurun. Penghuni panti asuhan menurun sedikit tetapi

(41)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

penghuni panti wredha menurun cukup banyak. Meskipun terjadi penurunan penyandang tuna sosial maupun jumlah penghuni panti asuhan dan wredha, persoalan sosial ini masih dianggap cukup besar.

Namun dalam jumlah orang miskin di DIY, polanya cenderung tetap. Pada Gambar 3.7 tampak bahwa orang miskin di DIY lebih banyak di perkotaan daripada di pedesaan. Selama empat tahun, jumlah mereka hanya sedikit berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah sosial di DIY masih cukup mengkhawatirkan.

70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 2010 2011 2012 2013

KOTA DESA TOTAL

Sumber: DIY Dalam Angka, 2013

Gambar 3.7 Jumlah Orang Miskin DIY Berdasarkan Desa-Kota, 2010-2013

Dengan mempertimbangkan data-data tersebut, persoalan sosial tersebut harus segera dikurangi. Bantuan dari LKS yang diinisiatifkan oleh masyarakat adalah penting. Namun demikian, semenjak adanya Permen Sosial no 184 Tahun 2011, para LKS perlu diatur dan juga diarahkan serta dikembangkan agar kerja para LKS tersebut akuntabel

(42)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

3.2. Tinjauan Perundang-undangan2

Dalam Penjelasan Umum Perda No 11 Tahun 2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial, eksistensi LKS di DIY terekam dengan jelas baik pendirian, cara bekerja maupun perkembangannya yang menjadi salah satu dasar pengaturan sebagai berikut:

“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Bab VII, Pasal 38 menegaskan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Peran ini dapat dilakukan oleh perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, lembaga kesejahteraan sosial asing. LKS menjadi salah satu penyelenggara kesejahteraan sosial. Sebenarnya keberadaan LKS sebagai penyelenggara pelayanan kesejahteraan sosial bukanlah hal yang baru, justru sebaliknya, pelayanan kesejahteraan sosial dipelopori oleh lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang dikelola oleh organisasi keagamaan, badan amal atau organisasi lain yang bekerja untuk pelayanan kemanusiaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, lembaga-lembaga sosial yang berafiliasi dengan lembaga keagamaan telah melakukan banyak pelayanan kepada orang-orang miskin, anak- anak yatim piatu, orang cacat dan para lanjut usia. Dalam perkembangannya semakin banyak lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Berkembangnya LKS tersebut dilatar belakangi oleh semakin besarnya alokasi sumber daya pemerintah yang dialokasikan dalam bidang pelayanan kesejahteraan sosial. Sejauh ini LKS sudah sangat berkembang dengan beragam latar belakang dan bidang layananya serta jenisnya. Hal ini dapat dimaknai sebagai perkembangan yang positif selama LKS mampu memberi kontribusi yang bermakna terhadap upaya pemerintah dalam melaksanakan mandatnya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan

2 DidasarkanpadaPenjelasanUmumPerdaDIY No11Tahun2015TentangLembagaKesejahteraanSosial.

(43)

Kajian Evaluasi Peraturan Daerah No. 11/2015 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial

bagi warga masyarakat. Ini berarti bahwa LKS akan menjadi aktor dan stakeholders yang kuat sehingga memperkuat pula modal sosial yang ada di masyarakat. Namun, memperhatikan perkembangan yang terjadi, trend perkembangan LKS justru banyak yang semakin bergantung pada sumber daya pemerintah. LKS yang tidak lagi menjalankan proyek sosial pemerintah kemudian tidak lagi bisa bertahan. Selain itu, kucuran dana yang cukup besar dari Pemerintah Pusat bukan kemudian membuat LKS mampu memperluas jangkauannya. Yang terjadi adalah justru bantuan kemudian tidak sesuai dengan kriteria target group yang dipersyaratkan. Bahkan, LKS harus kerja keras untuk mencari klien-klien baru yang dipaksakan sesuai dengan kriteria agar mereka bisa mengakses dana pemerintah tersebut. Akuntabilitas dalam pengelolaan dana juga belum terjaga dengan baik, sedangkan pengawasan dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sangat kurang.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, pada Bab VIII tentang Pendaftaran dan Perizinan Lembaga Kesejahteraan Sosial pasal 57 menyatakan bahwa LKS yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial wajib mendaftar kepada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial atau instansi di bidang sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya. Pengertian LKS itu sendiri didefinisikan di dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2011 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 1, “organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaran kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. LKS yang berbadan hukum adalah organisasi atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang berbentuk yayasan atau bentuk lainnya yang dinyatakan sebagai badan hukum. Sedangkan LKS tidak berbadan hukum adalah LKS yang belum dinyatakan sebagai badan hukum. LKS Asing adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang

Gambar

Tabel 3.1  Jumlah Rumah Tangga Sasaran Berdasarkan Kategori  Kemiskinan Dan Tahun Pendataan Tahun 2005 – 2011
Gambar 3.1   Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1996-2008
Tabel 3.1 Jumlah Rumah Tangga Sasaran Berdasarkan Kategori Kemiskinan Dan Tahun Pendataan Tahun 2005 – 2011  (dalam juta RT) Rumah Tangga  Sasaran (RTS)  2005  2007  2011  Sangat Miskin  3,9  2,9  2,5  Miskin  8,2  6,8  3,8  Hampir Miskin  6,9  7,6  9,2  T
Tabel 3.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Berdasarkan Kelompok Sasaran Tahun 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

(1) Pemerintah Daerah melalui perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, melakukan upaya terpadu dengan pelibatan peran serta

Peraturan Bupati Karawang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan Daerah dari Bupati Karawang Kepada Organisasi Perangkat Daerah

Angka total leukosit pada darah rusa yang berasal dari PIAT lebih tinggi dibandingkan dengan leukosit total rusa Chennai namun relatif lebih rendah dibanding leukosit rusa

Pada kajian yang dilakukan oleh Muwaffiq Jufri, 52 terdapat setidaknya dua kelemahan mendasar dari pola pengaturan hak dan kebebasan beragama dalam UUD NRI 1945

balik menggunakan pengontrol nonlinier seperti pengontrol information state ataupun pengontrol certainty equivalence tidak dapat diterapkan pada sistem nonlinier secara

Namun, audit CAO mengajukan pertanyaan yang Sah (legitimate) tentang kategorisasi resiko sosial dan lingkungan investasi Wilmar (kategori C dalam hal perusahaan

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pencarian inhibitor CAII baru berbasis senyawa bahan alam golongan fenolik dan senyawa analog kurkumin yang

Berdasarkan hasil evaluasi penataan kelembagaan perangkat daerah khusus bagi perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi penunjang urusan pemerintahan bidang keuangan