• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra meninjau karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978: 2). Karya sastra merupakan refleksi kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di masyarakat sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, dalam analisis sosiologi sastra ini akan dijabarkan bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat setempat yang terefleksikan dalam novel Athirah. Latar sosial budaya dalam novel ini adalah kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial yang digambarkan dalam novel ini adalah kehidupan sosial masyarakat yang

sangat majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan tingkat ekonomi yang berbeda.

Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan (Santosa, 1993:40). Masalah-masalah dasar kehidupan sosial budaya masyarakat adalah masalah-masalah yang sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kematian (maut), cinta, pengharapan, tragedi, pengabdian, arti dan tujuan hidup, serta hal-hal transendental. Penelitian ini difokuskan pada masalah kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terefleksikan dalam novel Athirah yang meliputi kematian, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental.

1. Kematian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maut berarti mati atau kematian terutama tentang manusia (Moeliono, 1990:518). Pengertian mati dapat dijelaskan dengan tiga hal, yaitu:

a) Kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad b) Terputusnya hubungan antara roh dan badan

c) Terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85). Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat menentukan kapan, dimana dan apa sebab datangnya kematian tersebut. Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam sesuai dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:

a. Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai makna rohaniah.

b. Orang yang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap bahwa kematian adalah peristriwa alamiah yang tidak ada makna rohaninya.

c. Orang yang merasa keberatan atau takut untuk mati karena terpukau oleh dunia materi.

d. Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).

Persoalan maut di lukiskan dalam novel Athirah dengan peristiwa meninggalnya Athirah karena komplikasi penyaki diabetes dan sirosis atau pengerasan hati yang menderanya. Pertolongan medis dengan operasi pun tak mampu lagi menyelamatkan nyawa Athirah.

“Pada dini hari 19 Januari 1982, Emma kami bawa pulang. Berbagai selang yang terpasang di tubuhnya dilepas. Halim menangis dan mengangkat tabung oksigen di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan, kami membaca doa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Inna

lillahi wa inna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenang dalam

usia 56 tahun, tepat di muka ruamah. Tempat yang paling dicintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang masa hidupnya di Makassar”. (Alberthiene Endah, 2013: 377)

Kematian Athirah semakin mengharu biru, Haji Kalla seakan tidak sanggup menerima kenyataan ini. Ia larut dalam sedih dan duka yang dalam. Banyak orang mengatakan bahwa sejak kepergian Athirah, cahaya di wajah Pak Haji Kalla telah hilang, bahkan mati. Ia tidak pernah lagi tersenyum apalagi tertawa. Betul-betul merasakan kehilangan, ia berkabung tanpa pernah berjedah. Matanya terus-menerus nanar dan menerawang. Pikiranya hanya tertuju pada sosok Athirah. Sekan ada penyesalan besar di sana atas penghianatan cinta yang di lakukannya terhadap Athirah.

Persoalan maut yang diceritakan dalam Novel Athirah juga tentang kematian Haji Kalla yang cukup mengagetkan. Hanya berselang tiga bulan setelah Athirah wafat, tepatnya pada bulan April 1982, Haji Kalla pun menyusul istrinya tercinta. Rasa sakit dan kepedihan yang dialaminya sepeninggalan Athirah benar-benar menyayat, hidupnya tak bergaira lagi, tak bisa lepas dari bayang sosok seorang Athirah.

2. Cinta

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali, sayang benar, kasih sekali, atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan) (Moeliono, 1990:168). Kata cinta selain mengandung unsur perasaan aktif juga menyatakan tindakan yang aktif pengertiannya sama dengan kasih sayang sehingga jika seseorang mencintai orang lain berarti orang tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap orang lain tersebut (Sulaeman, 1998:49). Seseorang yang mencintai

harus mempunyai beberapa sikap, antara lain harus memeriksa tepat tidaknya suatu tindakan dan bertanya-tanya bagaimanakah ia semestinya memberi bentuk kepada cinta dalam situasi yang konkret. Selain itu, sikap lain yang seolah-olah merupakan prasyarat untuk dapat disebut mencintai adalah kesetiaan, kesabaran, kesungguhan, dan memberi kepercayaa (Leenhouwers, 1988:246).

Abdul Kadir Muhammad (1988:29) mengungkapkan bahwa cinta kasih adalah perasaan kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung jawab. Tanggung jawab artinya adalah akibat yang baik, positif, berguna, saling menguntungkan, menciptakan keserasian,keseimbangan, dan kebahagiaan. Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria dan wanita, cinta antarsesama manusia, cinta antara manusia dan Tuhan, dan cinta antara manusia dengan lingkungannya (Muhammad, 1988:30).

Cinta adalah bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia. Perasaan cinta adalah anugerah dari Tuhan yang datangnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang mencintai sesuatu akan merasa senang terhadap sesuatu itu dan apabila yang dicintainya itu meninggalkannya, ia akan merasa kehilangan.

Cinta memang sesuatu yang tak pernah habis untuk di bicarakan. Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level kasta terendah cinta merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan

tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tidak pernah lekang oleh waktu.

Dalam novel Athirah kembali mengulas dan tentang cinta. Akan tetapi, dalam novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Cinta diartikan sebagai keinginan untuk berkorban melindungi serta mengayomi orang yang dicintai. Perasaan cinta tak selalu diaktualkan dengan pacaran sebagaimana presepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu sebagaimana kisah cinta antara Jusuf dan Mufidah.

Dalam novel ini juga terungkap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan cinta. Di antaranya kisah cinta antara Jusuf dan Mufidah. Cinta yang terjalin di antara mereka bukanlah sesuatu yang tanpa melewati tantangan. Status sosial, keinginan, adat istiadat, dan karakter yang dimiliki oleh setiap orang terkadang menjadi alasan untuk mengakhiri hubungan cinta antara sepasang kekasih. Tapi, oleh Jusuf dan Mufidah, dengan kekuatan cinta dan perjuangan, mereka dapat melewatinya. Cinta mereka adalah cinta yang tulus. Cinta yang mereka jalani adalah keinginan untuk memberi tanpa mengharap pamrih dari yang dicintainya. Oleh karena itu, keagungan cinta mereka sangat layak untuk ditunjukkan dengan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Itulah makna cinta yang dapat dipetik dari dari kisah cinta Jusuf dan Mufidah dalam novel Athirah ini.

3. Tragedi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti peristiwa yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah suatu peristiwa menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh setiap manusia.

Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia

mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan bermacam-macam. Ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, sebagai langkah awal untuk

mencapai kenikmatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat (Sulaeman, 1989:66).

Seseorang yang tegar akan menganggap kejadian yang menyedihkan itu sebagai suatu cobaan yang harus dilewati dan mencari hikmah dari kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan pedoman dalam menjalani hidup selanjutnya agar kejadian yang menyedihkan itu tidak terulang atau dapat ditanggulangi. Sedangkan seseorang yang lemah dan tidak tegar dalam menghadapi cobaan dan rintangan akan menganggap kejadian itu sebagai suatu bencana dan seringkali terjerumus pada hal-hal

yang menyimpang dari norma agama maupun sosial. Pada tahap selanjutnya, tragedi akan berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan seseorang.

Tragedi yang terlukis alam novel Athirah ini di antaranya adalah tragedi yang menimpa Athirah dan anak-anak atas perkawinan kedua yang dilakukan oleh suaminya. Mereka tak menyangka hal itu akan terjadi dalam keluarganya. Untung saja Athirah adalah sosok perempuan yang cukup kuat, diterimanya peristiwa itu dengan ikhlas dan sabar, “ia mengalah tapi bukan kalah”. Itulah realitas yang harus ia terima meski dalam hati terasa berat. Tentang tragedi itu dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salahsatu dari orang tua menahan pedih atas peristiwa menekan itu. Kadan tak kupikirkan lukaku sendiri. Lebih sedih memikirkan luka seorang yang menjadi payung hidupku. Emma. Sejak bapak menikah lagi, rumah kami redup tapi ibuku adalah perempuan pemantik cahaya. Aku bisa menagkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya. Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari itu, ia dikenal sebagai perempuan yang kuat, dan ia ingin terus seperti itu.ia ingin melewati hari yang tak pernah ada jejak sakit hati. kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika mereka membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013: 39)

Tragedi selanjutnya yang terjadi selajutnya adalah saat perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang berwisata dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari. Pulau yang sering dijadikan tujuan wisata masyarakat Makassar. Kejadian itu membuat panik Jusuf. Ia tidak ikut dengan ibunya saat itu, karena banyak

pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Trgadi tersebut dapat di simak dalam kutipan berikut.

“Aku berlari tak tentu arah. Kuhampiri kerumunan demi kerumunan yang berpencar bagai pulau-pulau kecil. Di antara bising tangis dan teriakan panik aku berusaha mencari orang-orang yang kucintai. “Emmaaaaaa!” Aku mulai kesetanan. “Jusuf” Ya Allah, suara itu. “Jusuf!” Aku menoleh cepat. Diantara kerumunan dipenuhi perempuan paru baya kulihat ibuku. Emma duduk memeluk Zohra dan Farida. Tubuh mereka basa kuyup. “Emmaaa!” Aku menyeruduk cepat. Kupeluk mereka dengan erat. Aku menangis. Entah berapa lama. Tubuh basah mereka terasa dingin. “Emma, aku takut sekali!” Emma bisa menyelamatkan dirinya, padahal ia tak bisa berenang. Ia menemukan sebatang kayu yang mengapung saat perahu terbalik. Dengan kayu itu ia, Zohra, dan Farida berpegangan.” (Alberthiene Endah, 2013: 256) Tragedi yang lain adalah tragedi yang menimpa Jusuf. Saat pertama kali ia menyatakan perasaanya kepada Mufidah, ia mendapat penolakan dengan alasan latar belakan keluarga yang berpoligami. Jusuf stres memikirkan hal itu. Sejak kejadian itu ia tampak tak menikmati hidup, perjalananya ke Bone saat itu terasa hambar. Ia terus terobsesi dengan kata-kata Mufidah. Tentang hal tersebut tergambar dalam cuplikan berikut. “Skuter telah menyusuri jalan depan rumahnya. Dan, berhenti. Mufidah turun dengan tenang. Tubuhnya sedikit oleng. Ia tidak langsung masuk, tapi berhenti di sisiku dan memandangku. “Jusuf.” Ia menatapku. “ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu.... Maaafkan aku....” Suara mufidah berhenti bersamaan dengan gerakannya yang sangat cepat. Ia berlari menuju pintu. Cepat sekali. Lalu, menghilang. Aku mematung tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahakan tak berpikir sampai ke sana. Tapi itulah jawaban Mufidah. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah. Aku masih mematung beberapa lama. Sesuatu yang perih menggigit perasaanku. Nyerih sekali.” (Alberthiene Endah, 2013: 307).

4. Harapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harapan berarti sesuatu yang dapat diharapkan atau keinginan supaya menjadi kenyataan (Moeliono, 1990:297). Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi (Sulaeman, 1998:81).

Menurut macamnya, ada harapan yang optimis (besar harapan) dan harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Harapan yang pesimistis mempunyai tanda-tanda yang rasional bahwa sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman,1998:82).

Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan kepribadian seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang yang mempunyai kepribadian kuat akan berbeda dengan orang yang berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak merugikan dirinya atau orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman, 1998:82). Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki harapan. Manusia memilki sesuatu keinginan yang diharapkan bisa terwujud di masa yang akan datang.

Harapan yang dimiliki oleh manusia dilukiskan dalam novel

Athirah lewat harapan para tokohnya. Di antaranya adalah harapan Jusuf

yang sangat besar untuk menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidup. Berbagai upaya yang telah dilalui oleh Jusuf untuk mewujudkan harapan ini. Perjuangannya untuk mewujudkan harapan ini sangat luar biasa. Apalagi ia harus menghapus image negatif tentang poligami yang menyelimuti keluarga Jusuf. Gambaran tentang beratnya perjuangan Jusuf untuk mewujudkan harapanya dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Pengakuan Mufidah begitu melukai perasaanku. Bukan, bukan aku marah kepadanya. Tidak. Ia sangat berhak mengucapkan pemikiran orang tuanya. Ya, orang tua mana yang mau putrinya memiliki potensi untuk di madu? Untuk dilukai perasaannya? Aku bisa menerima, orang tuanya khawatir jika menikah denganku, aku akan meniru jejak Bapak, menikah lagi dan membiarkan Mufidah terluka. Tapi, yang tidak bisa aku terima, aku tidak diberi kesempatan untuk mengatakan bahwa aku berbeda dengan Bapak. Aku Jusuf Kalla, anak laki-laki yang telah melihat perjalan seorang perempuan untuk sembuh dari sakit hatinya. Dan, tak pernah ingin kubuat penyebab sakit hati seperti itu. Amat tak ingin.” (Alberthiene Endah, 2013: 313)

Inilah yang membuat Jusuf memiliki harapan besar untuk menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidupnya. Meskipun ia berasal dari keluarga dengan latar belakang poligami, tapi bagi Jusuf, itu cukup dijadikan pelajaran berharga. Dari situ ia paham betapa sakitnya perempuan yang dimadu dan betapa susahnya ia untuk bangkit dari keterpurukannya.

Dalam novel ini juga digambarkan bagaimana harapan besar Haji Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usahanya. Sejak awal Jusuf sudah

ditempa dengan kiat-kiat memajukan usaha. Ia banyak belajar dari Bapak dan karyawan bapaknya.

“Memasuki paruh kedua dasawarsa ’60-an, rencana Bapak melebarkan sayap usaha mulai teralisasi satu demi satu. Payung usahanya NV Hadji Kalla, terus menguat. NV kependekan dari Namlozee Venonschap atau perseroan terbatas. Lewat payung inilah kreativitas Bapak membesarkan usaha tak kenal letih. Emma mengatakan setelah kondisi ekonomi tanag air berangsur-angsur membaik, bapak tak mau membuang kesempatan untuk membenahi keadaan. Jaringan usahanya mulai merambah bidang produksi tekstil dan konstruksi. Bshksn, Bapak juga telh mulai membicarakan mimpinya. Ia ingin menjemput kesempatan menjadi diler mobil untuk wilayahSulawesi Selatan. Bila mungkin, lebih luas lagi. Industri otomotif segera berkembang di Indonesia, kata Bapak. Kemajuan negara dan peningkatan ekonomi akan menciptakan kebutuhan yang tinggi pada kendaraan bermotor. Aku mengamini semua harapan Bapak. Aku tahu semua harapanya berporos pada satu hal: kesejahtraan keluarga. Selain juga, segenap karyawan tentu saja.” (Alberthiene Endah, 2013: 31-312)

5. Pengabdian

Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses, perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh, dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai, berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapat diartikan pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam, antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,

dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93). Timbulnya suatu pengabdian berawal dari rasa percaya akan sesuatu hal untuk mengabdi. Kepercayaan yang demikian akan menimbulkan ketulusan sikap dalam pengabdian. Setiap pengabdian akan menuntut pengorbanan, baik besar maupun kecil.

Pengabdian manusia dapat bermacam-macam, antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan, alam, dan lain-lain (Sulaeman, 1998:93).

Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga yang kedua. Gambaran tentang pengabdian ini dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Aku berusaha membangun perasaan yang baik di rumah. Kulayangkan pikiranku kepada banyak anak yang malang. Yang kehilangan orang tua. Yang berada dalam kehidupan yang tak tentu arah. Aku masih jauh lebih beruntung. Orang tuaku lengkap walau ada peristiwa yang harus meninggalkan jejak luka. Tetapi pada 1958 adalah masa aku berjuang keras untuk mengartikan apa itu ketentraman. Ya. Apa arti ketentraman.rumah kami hening tanpa ada keributan. Kami juga berlaku sama sehari-hari. Tak ada yang meledakkan emosi. Kami, Emma, aku, dan saudara-saudaraku sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun sebelumnya dan mulai bisa menitihari tanpa persoalan berarti." (Alberthiene Endah, 2013: 69)

Selain pengabdian Jusuf, dalam novel ini digambarkan juga pengabdian yang ditunjukan oleh Athirah kepada suaminya. Meskipun ia dimadu, tetapi penghargaan kepada suaminya tetap ia jalankan dengan ikhlas. Tentang gambaran ini dapat di simak dalam kutipan berikut.

“Pertemuanku dengan Bapak seperti sebuah lembaran baru menuju fase lanjutan dari kehidupan kami yang diwarnai awan poligami. Tidak hanya siang itu ternyata Bapak berkunjung. Aku kemudian mulai melihatnya terbiasa datang pada siang hari dan lama-lama baring di kamar Emma. Nur mengatakan Bapak sedang banyak pikiran. Aku percaya, sebabkulihat letih di wajahnya. Emma tak banyak bicara tentang Bapak. Ia menambahkan ritual baru dengan menghidangkan santap siang khusus bagi Bapak, sebuah kebiasaan yang telah menghilang selama beberapa tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 259)

Masalah pengabdian juga ditunjukkan oleh Mufidah. Sebagai bentuk tanggung jawab kepada keluarganya, Mufidah memilih kuliah sambil bekerja demi meringankan beban keuangan orang tuanya. Tentang pengabdian Mufidah ini tergambar dalam kutipan berikut.

“Sebuah info muncul lagi. Mufidah mengambil kuliah sore. Sebab, pagi hari ia bekerja di BNI ’46. Cekatan sekali Mufidah. Memang kudengar bank terkemuka itu membuka banyak lowongan pekerjaan. Gadis itu rupanya memilih untuk memanfaatkan kesempatan itu sambil terus melanjutkan pendidikannya. Aku tahu, Mufidah pasti ingin membantu perekonomian keluarganya.” (Alberthiene Endah, 2013: 291)

6. Hal-hal Transendental

Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono, 1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari hal-hal yang

bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin dalam novel Athirah. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat pada kebiasaan

nomor 2 yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Ia membawa gelisa ibu dalam doa-doanya. Hal tersebut tergambar dalam petikan berikut.

“Aku membawa gelisah Emma dalam shalatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Mataku terbang di permmukaan karpet berwarna hijau tua yang melapisi masjid besar itu. Masjid Raya, yang dibangun menjadi lebih besar oleh campur tangan Bapak dan kawan-kawan pedagang. Aku selalu merasakan mesjid ini bagai rumahku. Karpet hijau tua itu bagai kerabat yang mengenal baik diriku. Kumaki diriku yang kurang cakap menebak isi kepala Emma. Apa yang bisa kuterjemahkan dari keterangannya?” (Alberthiene Endah, 2013: 16)

Dari kutipan tersebut tergambar jelas tentang ketergantungan hamba dengan penciptanya. Seluruh masalah Jusuf bermuara pada doa-doa yang ia panjatkan dalam shalatnya. Di situlah tumpuan terakhir segalah permasalahan hidup dilabuhkan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam novel

Athirah, terefleksikan tentang kehidupan sosial budaya masyarakat.

Beberapa diantara kehidupan sosial budaya yang terefleksikan adalah maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental.

Dokumen terkait