• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik Novel

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini terlebih dahulu akan mengkaji karya sastra dengan pendekatan struktural. Pendekatan struktural berarti menganalisis unsur-unsur intrinsik karya sastra. Analisis unsur intrinsik adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam dan mencari keterjalinan antarunsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.

Dalam penelitian ini unsur intrinsik yang akan dikaji adalah unsur alur, penokohan, latar, tema, dan manat sebagai unsur yang paling dominan membagun karya tersebut.

1. Alur

Dilihat dari segi penyusunan peristiwanya, novel Athirah ini menggunakan alur kronologis yaitu ceritanya mengalir dari tahapan satu ke tahapan berikutnya secara berurutan. Tapi pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flahback) yaitu ditarik ke belakang untuk mengenang masah lalu.

Di awal cerita dalam novel ini mengisahkan tentang masa kecil Jusuf bersama emma (Athirah, ibu Jusuf) di Makassar. Jusuf adalah anak

beruntung yang lahir dari keluarga berkecukupan secara materi. Ia dibesarkan berlumuran cinta dengan kehidupan orang tua yang sempurna. Bapaknya seorang saudagar yang memiliki kantor berlantai empat. Kemajuan bisnisnya yang pesat membuat orang tua Jusuf banyak mengenal orang penting di Makassar. Kehidupan Jusuf memang dinilai sempurna sejak matanya melihat dunia. Oleh karena itu, ia sangat jarang merasakan gelisah, apalagi dirundung duka. Bahkan jika kesedihan datang menyapanya, hawa kegembiraan berlimpah ruah dengan segera membersihkan perasaanya. Ia memang nyaris tak pernah berduka. Pada suatu hari, ia merasakan sesuatu yang tak enak, sesuatu yang seperti hadir sebagai pertanda. Ibu, yang selama ini dikenalnya sebagai perempuan yang tentram mendadak mengalirkan gelombang gelisah. Pertanda ia dikalahkan ketakutan. Ada sesuatu yang menganjal perasaannya ketika melihat perubahan pada gaya hidup suaminya. Tentang hal tersebut bisa kita lihat dalam kutipan berikut.

“Bapakmu aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir tiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah.” Emma menarik tirai tenunan sustra berwarna gading dengan corak garis putih yang sangat lembut. Aku melihat sesuatu yang tak terlihat. Ibuku gelisah dalam ketenangan yang kentara diciptakan dengan susah pbapak. “Apa kau melihat perubahan itu Jusuf? Aku masih tercenung. Awal percakapan yang belum kumengerti arahnya. Usai mengucapkan kalimat itu, ia tertunduk di kursi tamu. Empasan tubuhnya jelas terdengar.

Aku percaya, jika tak berkata-kata, perempuan akan

menunjukkan amarah dengan bebunyian benda. Ibuku, yang kupanggil Emma, menunjukkanitu dengan suara empasan lembut tubuhnya di jok kursi empuk. Aku tak pernah melihatnya emosi. Usiaku 14 tahun saat itu. Makassar sedang diguyur cahaya matahari yang membakar kulit, sudah lebih dari sebulan tak turun

hujan. Tapi aku melihat kilat yang lebih terik di mata emma.” (Alberthiene Endah, 2013:11)

Setelah menyaksikan sikap suaminya itu, wajah Athirah semakin membatu, matanya lurus terhunus ke depan. Jusuf sangat mengenal hati ibunya. Ia tidak pernah membiarkan kulitnya membiaskan emosi sedikit pun. Apalagi matanya. Ia orang yang sangat lurus. Inilah pertama kalinya Jusuf menyaksikan wajah emmanya berbeda. Pertama kali terlihat ada rona keberatan di wajahnya. Pandangan jauh menembus pikirannya sendiri. Akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran Athirah benar terjadi. Suaminya mengambil keputusan untuk menikah lagi. Keputusan sang suami benar-benar menjadi tamparan buat Athirah dan anak-anaknya. Seakan mereka tak sanggup menerima kenyataan itu.

“Aku syok. Tak tahu apakah aku lebih layak marah atau sedih. Aku tak bisa merumuskan perasaanku. Yang pasti, aku terluka. Luka yang tak pernah kubayangkan ada dalam hidupku. Aku pernah beberapa kali terjatuh. Bahkan, pernah sobek pahaku saat tinggal di Bone sebelum kami pindah ke Makassar. Aku pernah berkelahi dengan kawanku. Pernah besitegang dengan Nur. Tapi sakit hati dan fisik yang kurasakan tidak sengilu saat kudengar Bapak hendak menikah lagi. Entahlah, itu seperti bumbu siluman tak kentara yang harus menekan-nekan ulu hatiku tanpa henti sejak aku terbangun tidur hingga hendak beranjak tidur. Benar-benar sebuah perasaan yang menyiksa. Aku mengenal kata poligami. Tapi tidak kubayangkan itu akan menjadi bagian dari sejarah keluargaku.” (Alberthiene Endah, 2013:22)

Sejak pernikahan bapaknya, Jusuf seakan dipaksa untuk menjadi dewasa, bahkan lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Ia melewati waktunya yang penuh bumbu emosi. Sebagai anak laki-laki tertua, ia harus mendampingi ibunya yang sakit hati.

Alur mengalami sorot balik sejenak ketika diceritakan kisah tentang latar belakang ibunya. Bahwa, sesungguhnya kisa poligami sudah terjadi dalam kehidupan ibunda Jusuf. Karena Athirah, ibu Jusuf lahir dari istri keempat dari bapaknya.

“sesungguhnya kisah poligami sudah terjadi dalam kehidupan Emma. Bahkan, sejarah poligami yang mengantarnya hadir di dunia. Emma lahir dari istri keempat laki-laki dari Bukaka. Kakekku. “ibumu lahir dari rahim kesabaran,” tutur seorang tetua, dulu saat aku masih berusia di bawah sepuluh tahun.” (Alberthiene Endah, 2013:30)

Sorot balik juga terjadi ketika Jusuf mengenang kembali kampung halamannya di Bone. Kampung yang memanjakan penduduknya dengan segalah kekayaan alamnya. Warga Bone tidak ada yang hidup miskin asal mereka mau bekerja.

“Bone pada tahun ’20-an sebagai surga yang memenjara penduduknya. Semua orang tak ingin pergi dari tempat sedamai itu. Alam Bone memelihara penduduknya dengan kasih. Tak ada yang merasa miskin karena laut dan tanah memberi anugerah. Para petarung nasib bermimpi bisa menginjak Makassar. Tapi, Bone memiliki magnetnya tersendiri. Tak pernah bersalah untuk ditinggalkan.” (Alberthiene Endah, 2013:31)

Lebih jauh lagi, sorot balik kisah Jusuf diceritakan tentang kehidupan kakeknya (Muhammmad) yang berpoligami, bahkan Kerra nenek Jusuf adalah istri keempat dari pernikahan Muhammmad. Sebuah pernikahan yang sangat kontroversial karena mendapat cibiran dari orang-orang sekampung, tak terkecuali tiga istri Muhammmad yang lain.

“Pertengahan 1923. Muhammmad dan Kerra menikah dengan resepsi yang sangat sederhana. Hujatan yang terlalu deras membuat Muhammmad menghindari pesta besar yang ia inginkan. Ia sangat mencintai Kerra. Tak ingin istri keempatnya sakit hati. Itu adalah pernikahan yang sulit. Muhammmad

memberi Kerra sebuah rumah kecil. Letaknya berdempetan dengan rumah-rumah para istri Muhammad yang lain. Sebuah kehidupan suram yang tajam.” (Alberthiene Endah, 2013:35) Alur kembali maju ketika dinceritakan tentang kelanjutan kisah kehidupan Jusuf, tentang pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami. Ia menyaksikan kehidupan ibunya menahan pedih atas peristiwa itu. Sejak pernikahan bapaknya itu, Jusuf merasakan semangat hidup di rumahnya semakin redup. Meskipun dirundung kesedihan, Athirah tak menampakkan perasaan itu pada anak-anaknya. Namun, Jusuf tetap menangkap perasaan ibunya walau dunia selalu melihat kebahagiaanya.

“Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari tu, ia dikenal sebagai perempuan kuat, dan ingin terus seperti itu. Ia ingin melewati hari yang tidak pernah ada jejak sakit hati. Kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013:39)

Sorot balik dalam novel ini kembali berkisah tentang kehidupan Athirah yang diwarnai oleh tekanan sekaligus kemenangan mental, dan pelajaran itulah yang mewarnai kehidupanya saat ini. Ia sangat meresapai bagaimana ibundanya, Mak Kerra, mengandung, melahirkan, dan membesarkan dirinya. Sebuah kisah hidup yang dinilainya tidak mudah untuk dijalani. Ia menjadi pengikut jejak Mak Kerra. Pantang mengeluhkan nasib.

“Kehidupan yang tidak mudah. Ia menjadi pengikut Mak Kerra. Pantang mundur dalam hidup. Jika mungkin, terus menjadi kuat. Pernikahannya dengan Bapak sebetulnya telah menjadi kapal yang berlayar dengan sangat jaya. Siapa sangka kapal itu kemudian tersangkut di celah karang. Kejayaan itulah yang sempat didongengkan orang tuaku. Bapak bercerita. Emma

berkisah. Keduanya bangga akan masa lalu mereka.” (Alberthiene Endah, 2013:57)

Setiap kali orang tua Jusuf bercerita tentang bagaimana mereka mengawali biduk rumah tangganya, maka saat itu pula tergambar betapa kukuhnya mereka. Tidak setitik pun Jusuf menyangka bahwa suatu hari ketangguhan pernikahan orang tuanya akan menemukan titik yang melukai. Persoalan besar bagi anak-anak keluarga poligami adalah, apakah harus berpihak kepada ayah atau kepada ibu? Atau berpura-pura tidak ada masalah, dan memihak diri sendiri. Namun, Jusuf tidak sanggup memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut. “Kehilangan” Bapak membuatnya sedih. Tapi jauh lebih sedih tatkala muncul “perlawanan”

Emma. Dan, sama sedihnya ketika ia menyadari kalau ia sesungguhnya

hendak melawan.

Alur maju kemudian berlanjut, meskipun maslah demi masalah yang dijalani Jusuf, ia tetap memusatkan perhatian pada sekolah, kesempatan tak akan disia-siakan. Apalagi dukungan dari bapaknya masih tetap kuat.

“Memasuki tahun 1958 aku berusaha memusatkan perhatianku pada sekolah. Aku baru masuk SMA Negeri 1 Makassar, dan tak ingin kusia-siakan waktuku. Aku ingin kuliah. Bapak telah memberikan sinyal itu. Jika aku berhasil mengambil kuliah ekonomi di Universitas Hasanuddin, ia akan sangat bangga. Perusahaanya, katanya, tak akan mencari-cari pemimpin yang lebih layak daripada aku. Akulah tumpuan harapannya.” (Alberthiene Endah, 2013:68)

Pada saat ini Jusuf berjuang untuk memahami arti sebuah ketentraman. Ledakan emosi tak ada lagi. Ibunya, ia, dan

saudara-saudaranya sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun sebelumnya dan sudah mulai bisa meniti hari tanpa persoalan berarti. Persoalan-persoalan yang pernah hadir sebagi bumerang, kini sedikit demi sedikit sudah mulai dilupakan meskipun jejaknya susah untuk dihapus.

Alur sorot balik kemudian muncul lagi saat Jusuf mengenang kembali masa kecil di kampung halamanya di Bone. Subuah kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh keluarga Jusuf.

“Sekarang aku berlari pada masa kecilku. Lagi-lagi Bone. Watampone. Pasar Bajoe tempat bapak berjualan. Ah, pengalaman masa kecil itu. Benar kata Nur, aku dibesarkan oleh kedua tangan halus yang menempatkan aku di tempat terhormat, terindah, sesempurna mungkin. Emma. Aku mengenang kampung halamanku pada masa kecil sebagai sebuah surga. Bone pada tahun ’40-an. Masih sangat kuingat rumah panggung yang indah di desa kami. Berjejer rapi, dipisahkan satu sama lain oleh kebun-kebun mini. Setiap pagi bukan hanya suara alam yang membangunkan kami, melainkan juga teriakan orang-orang. Bukan, mereka bukan sedang bertengkar. Rumah-rumah orang Bone tidak saling berimpitan seperti di Jawa. Itu sebabnya antar penghuni rumah saling menyapa dengan berteriak, agar terdengar. Aku mendengar suara teriakan itu sebagai bagian dari seni kehidupan di desa kami.” (Alberthiene Endah, 2013:74) Alur cerita kemudian berlanjut, saat itu Jusuf sudah mulai merasa tenang, ia berupaya untuk tidak banyak lagi mempertanyakan tentang persoalan Bapak dan Emmanya. Hal tersebut dapat di simak dalam kutipan berikut.

“Memasuki tahun 1959 adalah masa ketika aku mulai menghirup rasa tenang. Kubiarkan diriku terlontar-lontar secara alami dalam pertempuran emosi. Kuajari diriku untuk tidak banyak mempertanyakan tentang persoalan Bapak dan Emma. Aku belajar semakin giat. Dan, beberapa kali dalam seminggu aku bertandang ke kantor Bapak di jalan Pelabuhan. Aku berbaur

dengan pegawai-pegawai Bapak dan melakukan apa saja yang dapat kulakukan. Aku juga ikut ajakan Bapak untuk menemaninya bertemu dengan relasi-relasi bisnisnya. Aku melihatnya bernegosiasi dan merasakan degup menyenangkan kehidupan berdagang.” (Alberthiene Endah, 2013:125)

Dari catatan keberhasilan orang tua Jusuf, ia mengusir jauh-jauh perasaan buruk sangka. Ia hanya menyerap energi positif agar bisa belajar banyak dari kantor bapaknya. Pelajaran tentang pembukuan, pembuatan surat-surat dagang, perizinan, dan juga teknik-teknik dagang. Bahkan tak jarang ia menangkap pandangan penuh cahaya simpati dari karyawan-karyawan bapaknya. Salah satunya adalah Daeng Rahmat. Ia adalah karyawan yang cukup dekat dengan Jusuf. Banyak nasihat serta semangat yang didapatkan Jusuf dari wejangan Daeng Rahmat.

Kemudian diceritakan tentang kedatangan seorang perempuan asal Sumatra, namanya ibu Mela, ia adalah rekan bisnis ibu Athirah. Untuk keperluan bisnis di Makassar ia menyewa mobil dari ibu Athirah. Memang ada beberapa mobil yang dioprasikan sebagai taksi gelap dengan sewa perjam. Kehadiran ibu Mela biasanya selalu memprovokasi ibu Athirah dengan kondisinya sebagai istri yang di madu.

“Hei, Athirah! Kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua dari suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yang kau pegang dan lain-lain juga menguntungkan. Tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apakah kau tak gunda memikirkan itu?” (Alberthiene Endah, 2013:136)

Kalimat provokatif dari bu Mela tak mampu menyulut ketegaran dan kesabaran Athirah. Jawaban bijak dari Athirah membuat tawa ibu Mela

yang melengking-lengking itu menjadi redah. Memang saat itu Athirah telah menemukan kejernihan hatinya, seluruh masalahnya dikelola dengan baik.

Kisah kemudian berlanjut, sekitar tahun 1960-an seolah telah menjadi gelombang baru dalam hidup Jusuf. Gelombang yang menggairahkan kerena ia sudah disibukkan dengan urusan bisnis. Mengurus toko yang dipercayakan oleh bapaknya. Tiap hari agendanya sudah terjadwal.

“Sepulang sekolah, langsung tancap gas menuju Jalan Pelabuhan. Menunggui toko atau sekadar memantau operasional. Sore aku sudah berada di rumah kembali. Pada waktu-waktu tertentu aku ikut Daeng Rahmat ke pelabuhan, mengurus pengambilan barang-barang impor yang dipesan perusahaan Bapak. Berkecimpung di tengah pekerja-pekerja pelabuhan dan kaum saudagar. Dan, pada akhir pekan aku leluasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku. Aku melewatkan kelas 1 SMA di Sekolah Menegah Islam. Tapi aku pinda ke SMA Negeri 2 Makassar. Aku menikmati hariku!” (Alberthiene Endah, 2013:161) Tidak lama Jusuf sekolah di SMA 2 sebab, kemudian muncul kebijakan untuk memekarkan sekolah karena muridnya sudah terlalu banyak. Mereka yang bernomor urut ganjil di absen dipindahkan ke sekolah baru, SMA negeri 3 dan Jusuf ternyata masuk dalam kategori itu.

Lebih jauh lagi, diceritakan tentang awal Jusuf mulai menaruh hati kepada perempuan. Di SMA 3 ini ia mengagumi sosok perempuan yang muncul dan menyita perhatiannya. Meski dirasakannya masih berupa gelagat tapi hatinya sudah tersedot dengan cepat. Inilah awal Jusuf mengagumi sosok Mufidah.

“Gadis itu tengah duduk di bangku koridor, berdua dengan temannya. Mereka mengobrol. “Yang kiri kan?” Anwar meyakinkan. Kami berdiri di balik rimbun pohon Palem. “Ya yang berambut sebahu itu...” “Astaga” Abdullah menepuk pundakku. “Itu, kan, Mufidah! Bodoh sekali kau ini, Jusuf! Dia adik kelas kita dari sekolah lama. Ikut pindah ke sini karena nomor urutnya ganjil, sama dengan kita.” Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat-ingat. Ya, barangkali aku pernah melihatnya. Tapi tidak semengesankan saat aku melihatnya di SMA 3. Atau, baru sekarang hatiku memiliki mata? “Dia memang cantik, Jusuf! Orangnya halus sekali...” Abdullah mendesis.” (Alberthiene Endah, 2013:177)

Sosok Mufidah betul-betul membuat Jusuf jadi penasaran, ia mencari data-data tentang dia, mulai dari data biasa hingga data yang sangat pribadi. Jusuf memanfaatkan temanya untuk mengumpulkan data. Jadilah Abdullah, anwar, dan Abduh sebagai pemburu data yang gesit tentang Mufidah. Setelah data dianggap cukup, mereka berpresentasi.

Perjuangan memburu gadis impian terkadang memang sangat berat, apalagi respon baliknya masih nihil. Itulah pengalaman Jusuf dalam mengejar Mufidah. Berbagai terik yang ia lakonkan untuk mendapat simpati dari Mufida. Namun, hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, malahan tanda-tanda penolakan yang nyaris lebih nampak. Tapi, Jusuf tidak pernah mengendorkan perasaan. Upayanya untuk mengenal Mufidah masih menggebu-gebu.

Alur mengalami sorot balik sejenak ketika cerita beralih pada saat Athirah menghadiri resepsi pernikahan anak sahabatnya, Daeng Rusdi. Namun, suaminya tidak dapat mendampingi karena ada urusan bisnis di luar kota. Padahal, kebiasaan orang Makassar dalam acara-acara resmi, termasuk resepsi pernikahan pasangan suami istri akan hadir berdua.

Kala itu Athirah merasa canggung hadir tanpa suaminya. Tawaran Jusuf untuk menemani Ibunya disambut hangat oleh Athirah.

“Jika Emma mau, aku bersedia menemani, tak mengapa kita datang berdua. Yang penting hati Daeng Rusdi senang. Kita jelaskan saja bahwa bapak sedang ke luar kota. Aku memberi usul. Emma menatapku dan tersenyum lembut. “Emma juga tadi memikirkan itu. Daripada kita datang ke rumah Daeng Rusdi untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa hadir di resepsi, lebih baik kita usahakan hadir pada hari bahagia itu. Betul katamu, tak mengapa kita datang berdua....” Aku mengangguk dan tersenyum. Kami telah menjadi dua orang yang saling menguatkan.” (Alberthiene Endah, 2013: 212)

Alur kembali berjalan maju saat Jusuf menyadari bahwa sikap Mufidah yang tidak serta merta menerima cintanya itu wajar. Ia memaklumi kalau setiap perempuan harus memahami betul karakter dari laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Jusuf sangat memahami betul, karena ia banyak belajar dari kondisi ibunya.

“Jadi, aku sama sekali tak marah kepada Mufidah. Ia benar. Laki-laki memang tak sepenuhnya bisa diyakini. Cinta yang sangat kuat dengan fondasi yang kukuh di awal tak menjamin munculnya kesetiaan yang abadi. Setiap perempuan boleh angkuh memutuskan kepada siapa cinta dan kepercayaan hendak diberikan. Kubiarkan hatiku untuk tak bergejolak ketika ia terlihat berlari ke dalam kelas saat aku melewati lorong depan kelasnya. Ia menghindar dariku. Juga, aku tak lagi menghampirinyadalam jarak dekat saat ia mengeluarkan sepedanya dari dalam barisan parkir saat pulang sekolah. Aku menatapnya saja dari jauh. Ia melihatku, lalu mengayuh sepedanya lebih cepat. Tak apa. Mufidah. Ia benar dalam sikapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 219)

Jusuf juga sangat paham kalau Mufidah bukanlah seorang yang bisa begitu saja didekati. Jadilah Jusuf bertarung dengan hasratnya sendiri. Ia menjaga sikap, mengatur jarak dan memperhitungkan waktu dan kesempatan. Ia tak ingin karena perlakuanya hingga Mufidah tidak

simpatik kepadanya. Jusuf ingin betul-betul mendapatkan Mufidah dengan caranya sendiri yang tak umum diperagakan oleh laki-laki lain yang kasmaran. Jusuf membiarkan waktu berjalan dengan tenang untuk segera

mendapatkan Mufidah. Suatu waktu Jusuf memberanikan diri

mengunjungi rumah Mufidah dengan segala perasaan ia siap untuk menerima risiko, termasuk jika kedatangannya harus di tolak oleh keluarga Mufidah. Selama di rumah Muufidah, Jusuf disambut dengan baik oleh Mufidah, juga oleh bapak Mufidah menghargai kedatangan Jusuf layaknya sebagai seorang tamu. Respon ini membuat hati Jusuf legah. Saat ini Jusuf mengayu dua perasaan utama, menjaga hati ibunya dan merebut hati Mufidah. Ia tak ingin kehilangan orang tua yang dikasihi dan gadis yang dicintainya itu.

Alur kemudian beralih pada cerita tentang kondisi ekonomi perusahaan dagang Haji Kalla yang agak memburuk, nilai tukar rupiah turun. Bahkan situasi ini mengguncang perekonomian Indonesia. Ada hal yang unik, karena usaha transportasi yang dikendalikan ibu Athirah justru mengalami peningkatan pendapatan, begitu pula dengan bisnis kain sutra dan berlian cukup meraup keuntungan setiap hari. Saat itu memang sedang terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, semua kota-kota besar di Indonesia turut dialiri ketegangan.

Selanjutnya diceritakan tentang pengalaman Jusf selama kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dari segi akademik Jusuf memang termasuk mahasiswa berprestasi. Sementara Mufidah sendiri

setamatnya dari SMA ia masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI). Padahal Jusuf sangat berharap Mufida bisa kuliah di Unhas juga. Meskipun demikian, selalu saja ada jalan untuk dapat bertemu dengan Mufidah. Kebetulan saat itu Jusuf menjadi asisten Pak Rudi dengan mata kuliah statistik. Meskipun tugas utama Pak Rudi adalah dosen Unhas tetapi ia juga mengajar di beberapa kampus lain termasuk di UMI. Kesempatan itu digunakan oleh Jusuf untuk mengambil alih tugas Pak Rudi di UMI.

“Telah kudapat kepastian bahwa aku akan membantu Pak Rudi mengajar para mahasiswa tingkat satu di UMI. Mahasiswa baru. Bisa dipastikan, salah satu yang akan kuajar adalah kelas tempat Mufidah berada. Ya Tuhan, aku sangat gemetar. Sekian lama kuburuh Mufidah dengan susah payah, bahkan bisa berdekatan dengannya saja sangat sulit, kini aku akan mengajarnya! Ini jalan yang luar biasa.” (Alberthiene Endah, 2013: 292)

Kedekatan Jusuf dengan Mufidah memang sudah intens, tapi Jusuf belum mendapatkan kepastian akan perasaanya kepada Mufidah. Jusuf berupaya untuk mendapatkan jawaban itu, namun ia tidak mau terkesan terburu-buru. Jusuf memberanikan diri untuk mengajak Mufidah jalan-jalan, bukan main senangnya saat Mufidah merespon keinginan Jusuf. Dipilihnya Pantai Losari sebagai tujuan. Setelah menikmati panorama pantai, Jusuf kemudian memilih Restoran Malabar untuk mencicipi kuliner Losari. Saat itulah Jusuf meggunakan kesempatan untuk

Dokumen terkait