• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL ATHIRAH KARYA ALBERTHIENE ENDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL ATHIRAH KARYA ALBERTHIENE ENDAH"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH

(A SociologicalStudyof Literature)

Tesis

Oleh A K M A L

Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2014

(2)

i

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH

(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk MencapaiMagister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

A K M A L

Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MEGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2014

(3)

ii

ALBERTHIENE ENDAH

(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)

Yang disusun dan diajukan oleh

AKMAL

Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 11 November 2014

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia

Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

(4)

iii

Judul : Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis

dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah (Sebuah telaah Sosiologi Sastra)

Nama : A k m a l

NIM : 04.07.750.2012

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Konsentrasi : -

Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 11 November 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 21 Januari 2015

Tim Penguji:

Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. ... (Ketua/Pembimbing/Penguji)

Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. ... (Sekretaris/Penguji)

Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. ... (Penguji)

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. ... (Penguji)

(5)

iv

Nama : Akmal

Nomor Pokok : 04.07.750.2012

Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan bahwa sebagaian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang

lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 21 Januari 2015

Yang menyatakan,

Matrai 6000

(6)
(7)
(8)
(9)

v

AKMAL, 2014 Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel

Athirah Karya Alberthiene Endah. Tesis Megister Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. (Dibimbing oleh Muhammad Rapi Tang sebagai Ketua Komisi dan Abdul Rahman Rahim sebagai Anggota).

Penelitian sosiologi sastra novel Athirahkarya Alberthiene Endah bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur novel Athirah yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra dan (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel

Athirah.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Data dalam penelitian ini adalah unsur struktur yang membangun novel Athirah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi kematian(maut), cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terungkap dalam novel

Athirah. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Athirah karya

Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta , Desember 2013 cetakan pertama setebal 404 halaman. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research) dan teknik simak catat. Penelitian ini menggunakan beberapa tahap pengolahan data, yaitu deskripsi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan evaluasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel

Athirah,diperlihatkan adanya hubungan antarunsur yang membangun

karya sastra dari dalam karya sastra tersebut. Rangkaian kejadian yang disusun menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokohmembentuk sebuah jalinan peristiwa sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya.latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh tersebut dihubungkan oleh latar tempat. Sedangkan, kehidupan sosial budaya Bugis yang terefleksikan dalam novel ini adalah masalahmaut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Kehidupan sosial tersebut direfleksikan dalam pristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Disarankan kepada penikmat sastra agar novel ini dibaca karena di dalamnya dipaparkan mengenai perjuangan seorang ibu dan sosok dibalik kesuksesan Jusuf Kalla. Layak dibaca oleh para generasi muda agar

(10)
(11)

vi

AKMAL,2014 Reflection of Bugis Social Culture Life in Athirah

Novel Created by Albhertine Endah. Thesis of Magister Laguage

Education and Indonesian Literature the Program of the Post Graduate for Makassar Muhammadiyah University. (Guided by Muhammad Rapi Tang as the commision chief and Abdul Rahman Rahim as a member).

The research of the literature sociology Athirah novel created by Alberthine Endah has aimed (1) is it to describe the structure of Athira novel that contains plot, figure, background theme and massage wich are used as the beginning step of analisyis for the literature sociology and (2) it is to describe the life of the social culture Bugis society that has been expressed in Athirah novel.

This research is the leabrary reseach kind of descriptive with the qualitatif approaching. Data in this reseach is the structure element in building the Athirah novel and the life of social culture for the Bugis society include the death, love, tragedy, hopeness, dedication, and the transendental cases have been expressed in the Athirah novel. The data source in this reseach is the Athira novel created by Alberthiene Endah. Noura Books Edition Jakarta, December 2013 the first edition as 440 pages. The technical collecting data in this reseach is the library reseach and the tecnical of gatherin record. This reseach uses some stages of processing data, namely, the data description, the data classification, data interpretation, and evaluation.

The result of this research shows that in the Athirah novel has shown us there is relationship between the element that build literature creation the series of events which are arranged to use cronology plot and the cartain stages the story is arrange with flashback need doers involved in it. Event by event which has been undergone by the doers it well from on event relation so iti can from a plot. Here is place of relationship between a plot and figure because the plot will not be formed without the figures narrated and moved in the series of its story. A place setting has played an important role in arranging a plot. A story plot formed because the events have been undergone by its figures and the figures are related by a setting place. While the life of Bugis social culture has been reflected in this novel is death, love, tragedy, hopeness, dedication and the transendental cases. The social life is reflected in the events undegone by its figures. It is suggested to the literature users in order this novel can be read because in novel has been explained abaut the struggle of a mothers and the succes of Yusuf Kalla. It is suitable read by the young generation in order to take its benefit. It is hoped to the youth to respect a mother and take a good example.

(12)

vii

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., yang

senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, menganugerahi

kesehatan dan keselamatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

dengan judul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam

Novel Athirah Karya Albertthiene Endah”. Menyadari bahwa dalam

menyelesaikan tesis ini, berbagai macam kesulitan yang penulis alami,

tetapi dengan bekal keyakinan, ikhtiar yang maksimal dan tawakkal

kepada-Nya akhirnya tesis ini selesai sesuai rencana.

Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan

dan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M. S.,

sebagai pembimbing I dan Dr. Rahman Raahim, M. Hum., sebagai

pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing

dan mengarahkan penulis dalam merampungkan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said. DM, M.Pd., sebagai Penguji I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai Penguji II

yang memberikan saran dan kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan

(13)

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M. Pd., sebagai Rektor Unismuh Makassar dan Prof. Dr. H. M.Ide Said. DM, M.Pd., sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Makassar. Terima kasih pula kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

serta para karyawan yang telah memudahkan pelayanan administrasi

kepada penulis selama ini.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada seluruh tenaga pengajar pada Jurusan Pendidikan

Bahasa dan sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan

berbagai ilmu pengetahuan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan

segalanya kepada penulis, baik dalam bentuk material serta doa tulusnya.

Juga kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis

untuk meraih kesuksesan. Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang

diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah, Swt.

Makassar, November 2014

(14)

ix

Halaman

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ...... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

DAFTAR ISTILAH ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

(15)

viii

D. Manfaat Kajian ... 12

E. Definisi Istilah ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

A. Tinjauan Hasil Penelitian ... 14

B. TinjauanTeoridan Konsep ... 16

C. Kerangka Pikir ……... 44

BAB III METODE KAJIAN ... 46

A. Pendekatandan Jenis Penelitian ... 46

B. Sumber Data ... 48

C. Objek Kajian ... 48

D. Teknik Pengumpulan Data... 48

E. Teknik Pengolahan Data ... 49

F. Teknik Penarikan Kesimpulan ... 50

G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian ... 50

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Analisis Unsur Intrinsik Novel ... 52

B. Analisis Sosiologi Sastra... 87

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 101

BAB V KESIMPILAN DAN SARAN ... 108

A. Kesimpulan.... ... 108

B. Saran... 111

(16)

viii

RIWAYAT HIDUP ... 114

(17)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

(18)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Bagan Teks Halaman

(19)

xiv

Lamiran Teks Halaman

1. Sinopsis Novel Athirah ... 110

(20)

xv

antagonis : tokoh yang suka menentang tokoh utama dalam

cerita.

daeng : panggilan keakraban orang (bangsawan) Bugis.

eksplorasi : penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh

pengetahuan lebih banyak.

ekstrinsik : bagian yang berasal dari luar, bukan merupakan bagian yang tidak terpisahhkan dari inti.

emma : panggilan akrab anak terhadap ibudikalangan orang

Bugis.

flash back : kilas balik.

genre :ragam, jenis.

intrinsik : bagian yang terkandung di dalamnya, bagian dari inti.

kronologis : berdasarkan urutan waktu.

kuliner : tentang makanan.

NU : Nahdatul Ulama.

NV : Naamloze Vennootschaap (Perseroan Terbatas)

protagonis :tokoh utama berwatak baik dalam cerita.

refleksi : gerakan, pantulan, di luar kesadaran sebagai

awaban ataukegiatan yang datang dari luar.

sosiologi : ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan

masyarakat.

tragedi : peristiwa yang menyedihkan.

transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak.

(21)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastrawan tidak lepas dari status sosial tertentu, sedangkan

sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai

medianya, dan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Dengan demikian,

tidak jarang karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan

sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dan masyarakat.

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu

mempengaruhi masyarakat. Bahkan, seringkali masyarakat sangat

menentukan nilai karya sastra yang hidup di satu zaman, sementara

sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial

tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya

dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.

Karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang ada

dalam masyrakat. Ia mengungkap masalah-masalah manusia dan

kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra

melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang,

kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Melalui karya sastra,

pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung,

(22)

Karya sastra merupakan sebuah potret terhadap kenyataan sosial

yang ditangkap oleh pengarang melalui indra penghayatannya terhadap

kehidupan di sekitarnya yang selanjutnya diolah dalam tungku imajinasi

dan dituangkan dalam mangkuk kreativitas. Sastra membaca fakta yang

ada sehingga “karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang

mengalami proses pengolahan oleh pengarang” (Sumardjo, 1982: 30)

Sastra menjadi dinamika sosial dalam persentuhannya antara

pengarang dengan masyarakat. Perubahan demi perubahan membentuk

konstruksi sosial yang lahir dari persoalan hidup manusia. Pengarang

mengungkapkan berbagai macam masalah yang dialami, ataupun yang

dilihat di lingkungan dia berada termasuk dalam lingkungan sosial budaya.

Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya sastra jenis novel. Sebagai

salah satu bentuk karya sastra dan merupakan pengungkapan

pengalaman pengarang yang tersusun dalam bentuk narasi, novel lahir

dan hadir dari proses kreatif pengarang.

Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah

masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat

berdasarkan desakan-desakan emosional ataupun rasional dari

masyarakat. Jadi, jelas bahwa kesusastraan bisa dipelajari berdasar

disiplin ilmu sosial juga, dalam hal ini Sosiologi Sastra (Sumardjo, 1982: 12).

Karya sastra tidak hanya sebagai media alternatif yang dapat

menghubungkan kehidupan manusia pada masa lampau, masa kini, dan

(23)

masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke

arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam

kaitan ini Wallek mengemukakan bahwa dalan aliran kritik Hegel dan

Taine, kebebasan sejarah dalam kehidupan sosial disamakan dengan

kehidupan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran sekaligus juga

merupakan kebenaran sejarah dan kehidupan sosial sebab karya sastra

adalah dokumen karena merupakan monumen (Wallek, 1989).

Dari peryataan-peryataan di atas dapat dikatakan bahwa karya

sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi

pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan refleksi kehidupan,

yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi problem kehidupan

yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian

hasil olahan tersebut disajikan kepada pembaca. Dengan demikian

pembaca dapat merenungkan dan menghayati kenyataan dan

masalah-masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra, sehingga memberikan

respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut.

Sauatu karya sastra dianggap baik bila memenuhi syarat yang

telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus ada dalam karya sastra adalah

aspek dari dalam yang membangun karya sastra (intrinsik) dan aspek dari

luar yang membangun karya sastra (ekstrinsik). Kedua aspek ini memiliki

peran yang vital dalam melahirkan sebuah karya sastra yang bermutu.

Isi novel adalah rekaan situasi tempat sastrawan menjalani

(24)

Sujiman (1988) bahwa pengarang dengan daya imajinasi yang mampu

menyusun pengalaman yang dirasakan dan dilihat dalam lingkungan

kehidupannya maka terciptalah sebuah karya sastra. Novel banyak

menampilkan berbagai problem kehidupan, pengalaman, dan gambaran

manusia dalam kehidupan ini. Pengarang dengan kepekaannya mencoba

mencernakan, menghayati problem kehidupan, dan gambaran manusia

tersebut kemudian menyusunnya kembali melalui teknik dan gaya bahasa.

Sebagai bentuk karya fiksi, novel menawarkan sebuah dunia

berupa model kehidupan yang diidealkan dan dibangun dengan berbagai

unsur intrinsiknya, seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, amanat,

dan gaya bahasa semuanya bersifat imajiner. Selain itu, novel juga

menawarkan berbagai permasalahan manusia dalam kehidupannya.

Meskipun bersifat imajiner, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil

kerja lamunan belaka, tetapi penghayatan dan perenungan terhadap

hakikat hidup dan kehidupan yang dilakonkan dengan penuh kesadaran

dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.

Novel berisi dasar cerita yang melukiskan cita-cita, ajaran moral,

lukisan masyarakat dan sebagainya. Sebuah karya sastra ditulis oleh

pengang dengan menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Dari

novel yang berisi penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku

tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan

(25)

Pendekatan sosiologi bertolak dari pandangan bahwa sastra

merupakan citraan atau refleksi masyarakat. Melalui sastra, pengarang

mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka

ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah

sastra yang dilakukan berfokus pada segi sosial kemasyarakatan yang

terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang

menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan. Dalam

perkembangannya pendekatan sosiologis diharapkan pada telaah

nilai-nilai. Hal tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra

berkaitan dengan hakikat situasi dalam sejarah. Karya sastra menyajikan

persoalan-persoalan interpretasi yang tidak terpecahkan, yang berkaitan

dengan tata nilai dan struktur dari kondisi sosial dan historis yang terdapat

dalam kehidupan manusia.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak pada

orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada

pengarang dan pembaca. Karya sastra dapat dilihat hubungannya dengan

kenyataan, yaitu sejauh mana karya sastra itu merefleksikan atau

mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup

luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang

diacu karya sastra.

Teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk

menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau yang disalin

(26)

menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya,

hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubngan antara

selera masyarakat dengan kualitas suatu ciptaan karya sastra, dan

hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan

karyanya. Karena itu, teori-teori sosiologi yang digunakan untuk

menganalisis sebuah ciptaan sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi

pengarang, dunia, pengalaman batin, dan budaya tempat karya sastra itu

dilahirkan.

Wellek dan Warren (1989:53) membagi telaah menjadi tiga klasifikasi, yaitu:

a. Sosiologi Pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.

b. Sosiologi karya sastra: yakni memasalahkan suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan.

c. Sosiologi sastra: yakni yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh masyarakat.

Nilai kehidupan sosial budaya harus bersifat lokal dan kontekstual

sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya.

Sejalan dengan ini, seharusnya kehidupan sosial budaya masyarakat

Bugis mencerminkan karakteristik masyarakat yang memiliki pradaban

yang tinggi.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk

(27)

terefleksikan dalam sebuah karya sastra. Novel sebagai salah satu bentuk

karya sastra akan digunakan sebagai objek kajian dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra. Adapun novel yang akan dianalisis berjudul

“Athirah” karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta bulan

Desember tahun 2013, cetakan pertama.

Novel ini terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Jusuf Kalla dan

ibundanya. Dalam kisah ini bercerita tentang ketegaran sososk seorang

ibu yang harus menerima kennyataan, suaminya kawin lagi. Ia terpaksa

harus menjadi ibu sekaligus bapak dari kesepuluh anaknya. Juga tentang

tanggung jawab seorang Jusuf sebagai anak laki-laki tertua bersaudara

dalam mendampingi ibunya setelah bapaknya memutuskan untuk

berpoligami. Dalam kisah ini diceritakan tentang pengalaman terberat

seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan ibundanya

menahan pedih atas peristiwa yang menekan itu. Persoalan terbesar

anak-anak keluarga poligami adalah, apakah harus berpihak kepada

bapak atau kepada ibu? Atau, berpura-pura tak ada masalah dan

memihak pada diri sendiri. Dari kisah perjalanan hidup yang dilalui Jusuf

membuatnya kuat. Awalnya batinya memang terasa berongga, seakan

belum mampu menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Namun,

lama-kelamaan ia pun sudah terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong,

keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Jusuf semakin jauh

(28)

ada kekompakan yang lahir secara alamiah. Dari Nur sampai Farida,

semua berada dalam kebersamaan yang penuh harmoni.

Dalam kisah ini juga diceritakan tentang awal ketertarikan Jusuf

kepada Mufidah. Perjalanan cintanya dengan Mufidah bergulir beriringan

dengan kedewasaanya dalam memahami persoalan Bapak dan

Emmanya. Kisah bapaknya yang berpoligami dijadikan sebagai pelajaran

terindah dari Tuhan. Dari peristiwa itu, ia mendapat pelajaran dahsyat

tentang makna cinta, kesetiaan, dan keikhlasan. Dijadikanya kesabaran

sebagai benteng pertahanan dari guncangan hidup.

Albertine Endah adalah penulis kelahiran Bandung, Jawa Barat

ini, menyelesaikan studi sarjananya pada Jurusan Sastra Belanda di

Universitas Indonesia. Ia adalah seorang pekerja sastra budaya yang

produktif. Awal kariernya sebagai penulis dimulai di majalah Hidup pada

tahun 1993, kemudian menjadi redaktur di majalah Femina tahun 1994

hingga 2004. Tahun 2004 hingga 2009 menjadi pemred majalah Prodo.

Sejak tahun 2003, puluhan biografi telah ditulisnya di antaranya:

Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa: Berpolitik dengan Nurani, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal, Djoko Susanto: Langkah Sukses Membangun Alfamart, Jokwi: Mempin Kota Menyentuh Jakarta, dan lain-lain. Penulis juga membuat buku edukasi populer: 1001 Masalah Transportasi Indonesia, There Is No Shorcut to Succes, Menulis Fiksi Itu Seksi, Penari Legong Peliatan, Mendidik dengan Hati, Al Firdaus, Pendidikan Menerobos Jiwa. Sejumlah novel best seller yang telah

(29)

ditulisnya di antaranya: Jodoh Monica, Dicintai Jo, Cewek Matre, I Love

My Boss, Nyonya Jetset, Rockin Girls, dan Jangan Beri Aku Narkoba.

Novel Jangan Beri Aku Narkoba mendapat penghargaan khusus dari BNN

dan meraih juara pertama nasional Adikarya IKAPI award 2005.

Pada tahun 2009, penulis novel “Athirah” ini mendapatkan

anugerah wanita inspiratif She Can Award. Dan tahun 2011, penulis

menggelar warkshop penulisan nasional Wordisme, yang diikuti 500

peserta dari seluruh Indonesia. Wordisme menjadi komunitas produktif

menggelar acara untuk membina bakat penulisan. Saat ini Alberthine

Endah aktif dengan sejumlah proyek penulisan biografi, menjadi

pembicara di berbagai seminar penulisan, dosen tamu diberbagai

universitas, dan sesekali aktif dalam pekerjaan film.

Novel Athirah ini menarik untuk diteliti karena novel ini

mengungkapkan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang

kompleks. Dari kisah cerita ini kita diajak untuk menyimak kisah sedih,

cinta, kekonyolan, kejahatan, keputusasaan, kebanggaan, kebahagiaan,

kepasrahan, dan ketidakadilan. Hal yang paling menarik dari novel ini

adalah meskipun penulis bukan orang yang berlatar belakang orang

Bugis, tapi keberaniannya dalam mengangkat tema kehidupan sosial

budaya Bugis harus diapresiasi. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi

Selatan yang ditulis oleh penulis nasional dan diterbitkan oleh penerbit

nasional pula yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel

(30)

terbitkan oleh penerbit lokal juga. Oleh karena itu, kehadiran novel Athirah

ini merupakan salah satu wadah untuk penguatan kembali nilai-nilai sosial

budaya dan kearifan lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari

generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan

meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan

zaman.

Saya kira dengan menghadirkan novel Athirah ini merupakan salah

satu cara yang dilakukan oleh penulisnya agar kita mau sejenak

menengok dan mengapresiasi nilai kehidupan sosial budaya lokal. Ini bisa

kita simak dari kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel ini yang sarat

dengan nuansa budaya khas Bugis. Begitu juga pesan-pesan moral dalam

bahasa yang sederhana sangat jelas tergambar. Novel ini pada

hakikatnya merupakan konsep imajinatif penulisnya dipadukan dengan

cerita perjalan hidup bapak Jusuf Kalla yang berhasil menggambarkan

latar sosial budaya masyarakat Bugis dengan hidup, gaya bahasanya

mengalir, karakter tokoh-tokohnya yang kuat, sehingga membuka

cakrawala pembacanya. Hal ini menyebabkan kisah dalam novel tersebut

terasa hidup dan benar-benar terjadi.

Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan

segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Kajian terhadap karya

sastra dengan pendekatan sosiologi sastra sangatlah penting. Melalui

pendekatan sosiologi sastra diharapkan dapat menjembatani hubungan

(31)

pembaca, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang

dapat diterima oleh masyarakat. Metode yang digunakan dalam sosiologi

sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian

dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala-gejala sosial yang

di luar sastra (Damono, 1978:2).

Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada penelitian

sastra yang mengupas novel Athirah, baik dengan pendekatan sosiologi

sastra ataupun dengan pendekatan lain. Beberapa hal di atas merupakan

alasan yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini diberi judul

Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel “Athirah” Karya Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi: alur,

penokohan, latar, tema dan amanat novel tersebut?

2. Bagaimanakah pengambaran kehidupan sosial budaya

(32)

C. Tujuan Kajian

Tujuan kajian ini sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah.

Dengan demikian, tujuan kajian merupakan jawaban terhadap rumusan

masalah. Adapun tujuan kajian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi alur,

penokohan, latar, tema dan amanat yang digunakan sebagai

langkah awal dalam analisis sosiologi sastra.

2. Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang

terungkap dalam novel Athirah.

D. Manfaat Kajian

Dalam pengkajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

secara teoritis maupun secara praktis. Kegunaah yang diharapkan dalam

pengkajian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat meperkaya khasanah

penelitian sastra Indonesia khususnya novel melalui pendekatan

sosiologi sastra sehingga pembaca dapat mengetahui hubungan

sastra dengan masyarakat.

2. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan

penggambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi

maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal transendental

(33)

ekses-ekses negatif akibat globalisasi biasa diminimalkan. Oleh

karena itu kajian ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk

mengungkap dan memberikan penguatan kembali nilai-nilai

kehidupan sosial budaya Bugis.

E. Definisi Istilah

Dalam kajian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan untuk

menghindari kesalahfahaman. Istilah-istilah yang akan dijelaskan adalah

sebagai berikut:

a. Refleksi kehidupan adalah, pantulan respon pengarang dalam

menghadapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui

kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil olahan tersebut disajikan

kepada pembaca.

b. Sosial budaya adalah, segalah sesuatu yang dihasilkan atau

diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan kehidupan dalam

(34)

14

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Penelitian dengan kajian sosiologi sastra telah dilakukan oleh

beberapa peneliti di antaranya: Shintya Junarso : 2008 (tenaga teknis

Balai Bahasa Jawa Tengah) dengan judul penelitiannya Refleksi Kaum

Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Dari hasil

penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa Novel dapat merefleksikan

perasaan, pikiran, dan keinginan manusia. Novel juga dapat bercerita tentang

situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial.

Penelitian yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada

masa sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi

sastra. Lewat novel Laskar Pelangi Andrea Hirata mengungkapkan

kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan hidup yang

mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa masih banyak

masyarakat Belitong yang hidup dalam kemiskinan, padahal pulau yang

mereka diami adalah pulau yang dianugrahi kekayaan timah berlimpah.

Penelitian ini mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan

sebenarnya yang terjadi di masyarakat.

Ardiyonsih Pramudya : 2012 (Mahasiswa Program Pascasarjana,

(35)

“Problem Sosial Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari” (Kajian

Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Peneliti menyimpulkan bahwa (1)

problem sosial yang terdapat dalam novel orang-orang proyek adalah

kemiskinan, korupsi, pelanggaran terhadap norma masyarakat, pencurian,

dan permasalahan birokrasi; (2) tanggapan pembaca mengenai novel

menyimpulkan bahwa novel ini sangat menarik, tokoh yang sangat

dikagumi dalam novel adalah Kabul, nilai pendidikan yang menonjol dalam

novel adalah kejujuran, tanggung jawab dan tolong menolong, serta

problem sosial dalam novel yang dominan adalah korupsi dan

penyelewengan yang terjadi selama pelaksanaan proyek; dan (3) nilai

pendidikan yang terdapat dalam novel adalah kejujuran, kerendahan hati,

kedamaian, tanggung jawab, kasih sayang, tolong menolong, budaya,

agama dan toleransi.

Yelmi Andriani : 2011 (Masiswa Fakultas Sastra Universitas

Andalas) dalam penelitiannya yang berjudul “Perubahan Sosial dalam

Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi” (Suatu Tinjauan Sosiologi

Sastra). Ia menyimpulkan bahwa bardasarkan analsis ditemukan,

bentuk-bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam

novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2)

perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan terhadap konsep

Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi

dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai

(36)

dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak

dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.

Kajian struktural novel pernah dilakukan oleh Nairawati : 2011 (mahasiswa

STIM-YAPIM Maros) dengan judul Studi tentang Alur Cerita Novel

Pohon-Pohon Rindu Karya Dul Abdul Rahman dengan Pendekatan struktural,

hanya saja kajian ini terbatas pada alur ceritanya saja. Hasil kajiannya

menunjukkan bahwa alur cerita novel ini adalah alur maju dilihat dari

urutan-urutan peristiwa dalam cerita.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Hakikat dan Fungsi Novel

Hakikat novel adalah cerita, tanpa cerita novel tidak diakui

keberadaanya. Cerita dalam novel diolah berdasarkan pada imajinasi.

Imajinasi dalam hal ini bukan sekadar lamunan atau laporan pandangan

mata pengarang belaka, melainkan imajinasi yang didasarkan atas

pengalaman, pengetahuan, dan penalaran pengarang. Imajinasi yang

menajamkan pada penanganan secara intens dan relevan dalam

menginterpretasikan kehidupan ini.

Secara etimologis, kata novel berasal dari kata noellus yang

diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika

dibandingkan dengan jenis sastra lainya seperti puisi dan drama, maka

(37)

Novel memang merupakan jenis sastra yang bersifat fiktif, namun

demikian ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata

dan lebih dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin

pembaca atau pengalaman manusia (Damono 1978:2). Novel

menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar

biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang

mengalih pada jurusan nasib kehidupan mereka. Suatu peralihan jurusan

dalam masa seakan-akan seluruh kehidupan mereka memadu kesilaman

dan keakanan yang tiba-tiba terdampar di depan kita (Jassin: 1985:78).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan salah satu jenis cerita rekaan berbentuk prosa yang

hakikatnya adalah sebuah hasil eksplorasi, renungan, dan ungkapan

pengarang dalam sebuah cerita naratif yang berisi lakuan tokoh-tokoh

yang mengalami banyak peristiwa dan konflik sehingga mengakibatkan

perubahan nasib para tokohnya.

Novel sebagai salah satu genre sastra berfungsi memberikan

hiburan kepada pembacanya. Horace (dalam Wellek dan Werren,

1989:25) mengatakan bahwa sastra hendaknya berciri dulce et utile, yang

berarti menyenangkan dan berguna. Dulce artinya menyenangkan, yaitu

memberikan hiburan kepada pembaca. Adapun utile artinya berguna,

yaitu dapat mengajarkan sesuatu kepada pembaca, meberikan

pengetahuan, mendidik pengalaman batin pembaca, dan memperkaya

(38)

Selain itu fungsi sastra menurut Ariestoteles dalam karyanya The

Poetics, berfungsi sebagai katarsis, yaitu pembebasan jiwa kepada

pembaca, membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Mengekspreikan

emosi, berarti melepaskan diri dari emosi itu (Wellek dan Werren: 1989:

34). Dengan demikian, fungsi novel adalah untuk memberikan hiburan,

memberikan pelajaran tentang kehidupan, dan sebagai alat untuk

pembersihan jiwa (katarsis) pembacanya.

Novel banyak menceritakan tentang keadaan sosial budaya

sekelompok masyarakat dalam sebuah daerah ataupun sebuah Negara.

Novel juga seiring menceritakan tentang keadaan hidup suatu kaum,

perkembangan zaman, agama, dan pendidikan. Tak jarang juga novel

banyak didasarkan pada kisah nyata seseorang yang dianggap pantas

untuk dijadikan sebuah cerita.

2. Teori Unsur Sastra

Dalam penelitian karya sastra, analisis terhadap unsur intrinsik

atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya

sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Analis karya sastra

secara sosiologis, untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang berada

di luar karya sastra, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap teksnya

untuk mengetahui strukturnya (Damono, 1978: 2). Demikian juga hal itu

dilakukan terhadap analisis karya sastra lain secara semiotik, psikologis,

(39)

struktur ini sukar dihindari dan memang bertujuan untuk memungkinkan

mendapat pengertian dan analisis yang optimal (Teeuw, 1984:61)

Pendekatan struktural yaitu telaah atau pengkajian terhadap karya

sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang dimaksud ialah pendekatan

yang mencoba menguraikan dan fungsi masing-masing unsur karya

sastra sebagai sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama

menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Struktur

mengandung pengertian relasi timbal balik antar bagian-bagiannya dan

atara bagian dan keseluruhannya.

Dengan demikian, makna penuh sebuah kesatuan itu hanya dapat

dipahami sepenuhnya apabila makna menyeluruh sebuah kesatuan

sepenuhnya dan unsur-unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah

struktur. Unsur-unsur yang dimaksud dalam struktur ini meliputi alur,

penokohan, latar, tema, dan amanat. Unsur-unsur inilah yang akan

dianalisis dalam kajian ini disertai analisis keterjalinan antar unsur-unsur

tersebut.

a. Alur

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun

sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan

bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur adalah merupakan

perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan

kerangka utama cerita. Dalam pengertian, suatu jalur tempat lewatnya

(40)

memecahkan konflik di dalamnya. Alur mengatur bagaimana

tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang

digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu

kesatuan waktu. (Semi 1993: 43).

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Alur berisi urutan peristiwa atau kejadian yang

dihubungkan oleh hubungan sebab akibat. Peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lainnya (Stanton dalam

Nurgiyantoro, 1995: 119). Foster menambahkan peristiwa-peristiwa yang

terjadi merupakan penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Sifat

hierarkis ini menunjukan bahwa antara peristiwa yang satu dengan yang

lainnya tidak sama kepentingannya, keutamaannya, dan fungsionalitasnya. Unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita

adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116). Roland

Barthes membagi golongan peristiwa (menurut kepentingannya) menjadi

dua, yaitu peristiwa utama (mayor events) dan peritiwa pelengkap (minor

events) (dalam Nurgiyantoro, 1995:120). Pengertian ini hampir senada

dengan ungkapan Luxenmburg yang mengatakan bahwa pengembangan

plot dalam peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa

fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.

a. Peristiwa fungsional, adalah peristiwa yang menentukan

perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan

(41)

b. Peristiwa kaitan, adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan

peritiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian plot. Peristiwa

kaitan ini berbeda dengan peristiwa fungsional, sehingga tidak

mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan ini hanyalah

sebagai perantara di antara peritiwa-peristiwa penting.

c. Peristiwa acuan, adalah peristiwa yang mengacu pada unsur lain.

Misalnya berhubungan dengan permasalahan perwatakan atau

suasana batin seorang tokoh (dalam Nurgiyantoro, 1995: 118-119).

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan

adanya aksi dan aksi balasan (wellek dan Warren, 1989: 285). Konflik

menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan

yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh

itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih

peristiwa itu akan menimpah dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam

Nurgiyantoro, 1995: 122).

Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis antara

lain:

a. Konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut

psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa

perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga

dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukakannya.

b. Konflik antara orang-orang atau seseorang dengan masyarakat,

(42)

berupa konflik tokoh, dan kaitannya dengan

permasalahan-permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap

lingkungan sosial mengenai berbagai masalah, misalnya

pertentangan ideologi, pemerkosaan hak, dan lain-lainnya. Itulah

sebabnya, dikenal dengan konflik ideologis, konflik keluarga, konflik

sosial, dan sebagainya.

c. Konflik antar manusia dan alam, konflik jenis ini sering disebut

sebagai phisical or element conflict ‘konflik alamiah’, yang biasanya

muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan

serta membudidayakan alam sekitar sebagaimana mestinya

(Sayuti,2000:42).

Konflik dalam sebuah karya sastra bila telah mencapai puncak

menyebabkan terjadinya klimaks. Klimaks adalah saat konflik telah

mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu merupaka sesuatu yang

tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntunan dan

kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh

tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal

(keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana

permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem,

barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam

pengertian yang luas) tokoh utama cerita akan ditentukan (Stanton dalam

(43)

Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan

alur menjadi lima bagian, antara lain:

a. Tahap penyituasian, merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian

informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk

melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik, merupakan tahap awal munculnya

konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau

berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap peningkatan konflik, merupakan tahap dimana konflik yang

muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,

eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,

benturan-benturan antarkepentingan semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap klimaks, konflik dan ataupun pertentangan-pertentangan yang

terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita

mencapai titik intesitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin

saja memiliki lebih dari satu klimaks.

e. Tahap penyelesian, konflik yang telah mencapaiklimaks diberi

penyelesaian. Ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,

sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi

jalan keluar, dan cerita diakhiri. (Stantondalam Nurgiyantoro, 1995:

(44)

Dari segi urutan pengisahan, alur terdiri dari dua jenis, yaitu alur

dengan urutan kronologis dan alur dengan urutan nonkronologis.

a. Alur kronologis (alamiah) adalah alur yang mempunyai urutan dari

awal hingga akhir secara alamiah. Dengan kata lain alur bergerak

dari awal hingga akhir secara berurutan logis.

b. Alur nonkronologis adalah alur yang tidak menurut pada urutan

alamiah. Dengan kata lain alur yang tidak bergerak secara berurutan

atau plastis. Dalam alur nonkronologis terdapat jenis penahapan plot,

yaitu:

1) Plot sorot balik (flash back) adalah urutan kejadian cerita dimulai

dari tahap tengah atau akhir peristiwa sebagai awal cerita

kemudian berjalan ke depan kemudian kembali ke belakang

sebagai akhir cerita.

2) Plot campuran (gabungan) adalah penahapan plot yang sulit

ditetapkan penahapan yang pasti, karena peristiwa-peristiwa yang

terjadi meloncat berganti-ganti dan perkembangannya lebih tidak

kronologis.

Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa alaur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang

ada dalam cerita yang berurutan dan membangun dasar cerita baik

secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah

(45)

b. Tokoh dan Penokohan

Dalam suatu karya sastra, masalah penokohan merupakan suatu

hal yang kehadirannya amat penting dan bahkan menentukan, karena

tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan.

Suatu karya fiksi tidak akan mungkin ada tanpa adanya tokoh yang

bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993: 36).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam

Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan berarti cara pengarang menampilkan

tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita

yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan

watak tokoh-tokoh itu (Nurgiyantoro, 1995:165).

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke

dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksudkan adalah sebagi

berikut:

a. Dimensi fisik (fisiologis), yaitu ciri-ciri badan. Misalnya:

1) Usia (tingkat kedewasaan)

2) Jenis kelamin

3) Keadaan tubuh

4) Ciri-ciri muka

5) Ciri khas yang spesifik

(46)

Misalnya:

1) Status sosial

2) Pekerjaan, jabatan, dan peranan dalam masyarakat

3) Tingkat pendidikan

4) Pandangan hidup, kepercayaan, agama, dan ideologi

5) Aktivitas sosial, organisasi, dan kesenangan

6) Suku, bangasa, dan keturunan.

c. Dimensi psikologis (psikis), yaitu latar belakang kejiwaan, sifat dan

karakternya. Misalnya:

1) Mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan

2) Tempramen, keinginan, dan perasaan pribadi.

3) Kecakapan dan keahlian khusus (Waluyo, 1994: 171)

Ketiga dimensi tokoh tersebut dalam suatu karya fiksi tampil

bersama-sama, artinya tokoh yang muncul selain digambarkan secara fisik

juga secara psikis, dan sosiologis.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi

tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan

pimpinan disebut tokoh utama atau tokoh sentral. Sedangkan tokoh

bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita.

Berdasarkan pembangunan konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan

tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh

karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedangkan tokoh antagonis

(47)

Jika dilihat dari segi perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua jenis,

yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleks.

a. Tokoh sederhana atau tokoh datar, adalah tokoh yang kurang

mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu

sisi saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana adalah

semua tipe tokoh yang suda biasa, yang suda familiar, atau yang

stereitip dalam fiksi.

b. Tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah yang dapat dilihat semua sisi

kehidupannya. Dibandingkan denga tokoh datar, tokoh bulat memiliki

sifat lifelike karena tokoh ini tidak hanya menunjukkan gabungan sikap

dan obsesi yang tunggal.

Menurut Atar Semi ada dua macam cara memperkenalkan tokoh

dalam fiksi yaitu:

1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkat tentang watak

atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh-tokoh

tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.

2. Secara dramatik, yaitu perwatakan yang tidak diceritakan secara

langsung, tetapi itu disampaikan melalui:

a. Pilihan nama tokoh

b. Penggambaran fisik dan postur tubuh, cara berpakaian, tingkah

laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan, dan sebagainya.

c. Dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya

(48)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kehadiran tokoh dalam suatu fiksi sangatlah penting karena dengan

keberadaan tokoh-tokohnyalah yang pada akhirnya membentuk plot atau

alur cerita.

c. Latar

Latar atau setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa

terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang diamati

(Semi, 1993:46). Sedangkan menurut Kenny (dalam Nurgiyatoro

1995:105) berpendapat bahwa latar dalam fiksi tidak terbatas pada

penempatan lokasi-lokasi tertentu dan sesuatu yang bersifat fisik saja,

akan tetapi juga berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai

yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

Suatu cerita rekaan di samping membutuhkan tokoh dan alur juga

membutuhkan latar sebagi landas tumpu atau tempat berpijak cerita agar

cerita menjadi konkret dan jelas. Dalam sebuah cerita, latar atau setting

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada tempat hubungan

waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam

cerita yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyanto, 1995: 216).

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat

yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu

yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan

(49)

jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan

dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai

lokasi. Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut

biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya

atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca

terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam

suasana cerita. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup,

adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap.

Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan

penamaan terhadap diri tokoh.

Menurut Sayuti bahwa ada empat elemen unsur yang membentuk

latar fiksi, yaitu :

a. Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya

topografi, scenery (pemandangan) tertentu, dan bahkan detail-detail

interior sebuah kamar atau ruangan.

b. Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.

c. Waktu terjadinya action ‘tindakan’ atau peristiwa termasuk priode

historis, musim, tahun, dan sebagainya.

d. Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional

(50)

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah

fiksi, latar atau setting akan menginformasikan tentang sistuasi (ruang,

waktu, dan suasana) cerita sebagaimana adanya.

d. Tema

Dalam membuat cerita rekaan, biasanya seorang pengarang tidak

hanya sekadar menyampaikan ceritanya saja, tetapi juga lebih dari itu ia

ingin mengemukakan gagasan pokok atau ide yang biasanya disebut

tema. Tidak akan lahir sebuah karya sastra tanpa mengusung sebuah

tema. Ini berarti bahwa tema merupakan suatu unsur yang wajib dalam

setiap karya sastra.

Tema merupakan suatu gagasan sentral yang menjadi dasar

suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau

amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993: 42). Tema dapat

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah

karya novel (Nurgiyantoro, 1995: 70)

Sebagai gagasan pokok dalam sebuah cerita, tema mengikat

unsur-unsur lain. Unsur-unsur intrinsik tersebut harus mencerminkan atau

mendukung tema tersebut, karena tema menjiwai keseluruhan unsur

intriksik lainya.

Keberadaan tema dalam sebuah fiksi ada kalanya dinyatakan

secara eksplisit dengan dijadikan sebagi judul cerita, dana ada dinyatakan

secara sibolis. Namun, lebih sering dijumpai tema dinyatakan secara

(51)

kejadian-kejadian yang dilukiskan dalam cerita. Tema lebih merupakan sebagai

sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara

eksplisit, simbolis, ataupun implisit. Jadi, di dalam tema terkandung sikap

pengarang terhadap subjek atau pokok cerita.

Tema yang dinyatakan secara eksplisit (tema yang tersurat dalam

cerita) dan tema yang dinyatakan secara simbolis (tema yang dinyatakan

melalui simbol atau lambang-lambang tertentu) tidak memiliki masalah

dalam usaha menafsirkan tema cerita. Akan tetapi tema yang dinyatakan

secara implisit, usaha untuk menafsirkan tema bukanlah merupakan

pekerjaan yang mudah. Penafsiran terhadap tema yang implisit harus

dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang ada secara keseluruhan

membentuk cerita itu.

Sami (1993: 43) berpendapat bahwa cara menentukan tema

tentulah dengan bimbingan cerita itu sendiri. Kita harus mulai dengan

menemukan kejelasan tentang tokoh dan perwatakannya , situasinya, dan

alur cerita. Kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan: Apakah

motivasi tokoh, apa problemnya, dan apa keputusan yang diambilnya.

Adalah tepat bila menjajaki tema dengan melalui konflik sentral, ini akan

menjurus kepada sesuatu yang hendak kita cari.

Tema fiksi umumnya di klasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

a. Tema physical (jasmaniah), merupakan tema yang cenderung

(52)

b. Tema organic (moral), berhubungan dengan moral manusia yang

wujudnya tentang hubungan antar manusia, antara pria dan wanita.

c. Tema social (sosial), meliputi hal-hal yang berada di luar pribadi.

Contoh: masalah politik, pendidikan, dan propaganda.

d. Tema egoic (egoik), merupakan tema yang menyangkut

reaksi-reaksi pribadi yang pada mumnya menentang pengaruh sosial.

e. Tema divine (ketuhanan), merupakan tema yang berkaitan dengan

kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sayuti,

2000:194).

Sebuah karya fiksi sangat jarang memiliki tema tunggal, biasanya

memiliki tema jamak. Kejemakan tema tersebut dapat dirincilagi menjadi

tema mayor dan tema minor. Dari bebeberapa pendapat tersebut di atas

dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari karya

sastra yang keberadaanya sangat penting karena bersifat menjiwai

keseluruhan karya sastra tersebut.

e. Amanat

Amanat tidak bisa lepas dari tema, karena amanat merupakan

jawaban-jawaban yang terkandung dalam tema. Amanat adalah suatu

ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang

berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan

(53)

Pendapat tersebut menujukkan bahwa amanat merupakan suatu

hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui

amanat pengarang ingin memberikan sesuatu yang positif. Dari amanat

pula diharapkan pembaca mengambil sesuatu manfaat dari cerita

tersebut.

Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan secara

implisit (tersirat). Implisit jika jalan ke luar atau ajaran moral itu disiratkan

di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika

pengarang pada tengah, atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran,

nasihat, peringatan, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan

gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1998:57).

Nurgiyantoro (1995:321) menyebut amanat dengan moral. Moral

merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada

pembacan dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya

dimana makna tersebut disarankan lewat cerita.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan

hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai

kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral

dalam sebuah cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktisyang

dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh

pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh

(54)

kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral

bersifat praktis, sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan

modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan

dalam cerita tersebut dalam tokoh-tokohnya (Kenny dalam Nurgiyantoro,

1995:322).

Berdasarkan pengertian amanat tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan pengarang yang

disampaikan lewat karyanya sebagai alternatif dari pemecahan masalah.

Terdapat hubungan antara amanat dengan tema. Jika tema merupakan

ide sentral, maka amanat merupakan pemecahannya dan apabila tema

merupakan pemusatan pertanyaan, maka amanat merupakan pemusatan

jawabannya.

3. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan

umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsisrkan

kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Di dalamnya ditelaah

gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma,

kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial,

perubahan-perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan

serta perwujudannya (Soekanto, 1981: 367). Sedangkan Sapardi Djoko

Damono secara singkat mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah

objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan

(55)

Sama halnya dengan sosiologi, sastra pun erat berhubungan

dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota

masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu

berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota

masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari

masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan bisa dipelajari

berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumarjo, 1982:14). Antara

sosiologi dan sastra sesuangguhnya berbagai masalah yang sama.

Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang

kait-mengait secara masuk akal. Dalam keseluruhan itu dilukiskan atau

dihadirkan suatu kenyataan yang ada di luar karya sastra (Luxemburg,

1982:55).

Sastra dipahami seperti halnya dengan sosiologi yang juga

berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang

memperjuangkan maslah-masalah yang sama, yaitu sosial budaya,

ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang

mempunyai objek manusia. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa

sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra

menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan

cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya

(Damono, 1978:7). Dengan kesamaan objek ini, maka pendekatan

(56)

Pendekatatan sosiologi sastra berangkat dari kenyataan bahwa

karya sastra itu tidak akan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat

yang melingkupinya, bagaimana dan apapun bentuknya. Pendekatan ini

meninjau karya sastara dengan pertimbangan segi-segi kemasyarakatannya

(Damono, 1978:2). Proses terciptanya karya sastra berhubungan erat

dengan berbagai peristiwa yang pernah, sedang, atau mungkin akan

terjadi di dalam masyarakat sehingga makna kehadiran sastra tidak hanya

dilihat dari teksnya, tetapi juga konteksnya.

Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai refleksi

kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai

kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Meskipun peristiwa

atau kenyataan yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat

mencerminkan kejadian yang ada di lingkungan pengarangnya, tetapi

lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan

karyanya tersebut. Sebab, diketahui bersama bahwa karya sastra tidak

mungkin dibuat tanpa tujuan. Pengarang mungkin membuat karya sastra

didasari oleh cita-citanya, cintanya, protes sosialnya, atau bahkan juga

oleh mimpi yang jauh dari gapaiannya. Seperti ungkapan Marx (dalam

Faruk,1994: 5) yang menyatakan bahwa manusia harus hidup lebih

dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka berpikir dan apa yang

mereka pikirkan, secara erat bertalian dengan bagaimana mereka hidup,

(57)

tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Lebih lanjut dikatakan

bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

1. Faktor luar teks, gejala konteks sastra, teks itu sendiri tidak ditinjau.

Penulisan ini misalnya mengfokuskan pada kedudukan pengarang

dalam masarakat, penerbit dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini

dipelajari dalam sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari

menggunakan pendekatan ilmu sastra. Hal-al yang berkaitan

dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas , tetapi diteliti

dengan metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat

mempergunakan hasil-hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin

meneliti presepsi para pembaca.

2. Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan

masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya

tercermin di dalam sastra? Sastrapun dipakai sebagai sumber untuk

menganalisis sistem masyarakat. Peneliti tidak menentukan

bagaimana menapilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan

juga menilai pandangan pengarang (Luxemburg, 1984: 23).

Sehubungan dengan karya sastra dalam konteks pengarangnya,

(Ian Watt dalam Faruk, 1994:5) menemukan tiga macam klasifikasi dalam

sosiologi sastra yang berbeda yaitu:

1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial

sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra.

Gambar

Tabel    Teks          Halaman

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini test yang digunakan adalah test perbuatan (Praktik) yaitu test kemampuan memperaktikan kembali tari bedana dari hasil penggunaan media audio visual

Tujuan observasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data penelitian aktivitas peserta didik dalam menerapkan nilai-nilai afektif pada pembelajaran tari bedana di SMA

Hasil observasi awal yang dilakukan, diperoleh beberapa jenis obat yang berinteraksi antara lain captopril dengan antasida (minor), amlodipin dengan simvastatin

penurunan tingkat kecemasan yang berarti. Hasil Analisis Bivariat.. Hasil Cross Tabulation Data Demografi Responden Kelompok Sebelum Pemberian Intervensi Terapi Dzikir

di bawah 4 menit. Sedangkan untuk waktu retensi di atas 4 menit diperoleh kelimpahan yang kecil. Pada fraksi 2, terdapat puncak pada waktu retensi 4,15 menit yang sama

Dari hasil penelitian mengenai atribut produk yang diinginkan konsumen, dapat disimpulkan ada 4 atribut yang merepresentasikan keinginan konsumen terhadap produk

pada penderita diare anak di Puskesmas Rawat Inap kota Pekanbaru yaitu sebanyak 10 orang (10,41%) yang lebih banyak didapat pada anak laki-laki dengan usia 1-3 tahun..

Salah satu bentuk dari kualitas organik adalah dengan adanya label, seperti halnya produk berlabel halal yang dikonsumsi oleh umat muslim yang telah dikeluarkan oleh