REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH
(A SociologicalStudyof Literature)
Tesis
Oleh A K M A L
Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2014
i
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk MencapaiMagister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
A K M A L
Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MEGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2014
ii
ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
Yang disusun dan diajukan oleh
AKMAL
Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 11 November 2014
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia
Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
iii
Judul : Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis
dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah (Sebuah telaah Sosiologi Sastra)
Nama : A k m a l
NIM : 04.07.750.2012
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konsentrasi : -
Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 11 November 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 21 Januari 2015
Tim Penguji:
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. ... (Ketua/Pembimbing/Penguji)
Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. ... (Sekretaris/Penguji)
Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. ... (Penguji)
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. ... (Penguji)
iv
Nama : Akmal
Nomor Pokok : 04.07.750.2012
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagaian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 21 Januari 2015
Yang menyatakan,
Matrai 6000
v
AKMAL, 2014 Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel
Athirah Karya Alberthiene Endah. Tesis Megister Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. (Dibimbing oleh Muhammad Rapi Tang sebagai Ketua Komisi dan Abdul Rahman Rahim sebagai Anggota).
Penelitian sosiologi sastra novel Athirahkarya Alberthiene Endah bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur novel Athirah yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra dan (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel
Athirah.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Data dalam penelitian ini adalah unsur struktur yang membangun novel Athirah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi kematian(maut), cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terungkap dalam novel
Athirah. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Athirah karya
Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta , Desember 2013 cetakan pertama setebal 404 halaman. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research) dan teknik simak catat. Penelitian ini menggunakan beberapa tahap pengolahan data, yaitu deskripsi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan evaluasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel
Athirah,diperlihatkan adanya hubungan antarunsur yang membangun
karya sastra dari dalam karya sastra tersebut. Rangkaian kejadian yang disusun menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokohmembentuk sebuah jalinan peristiwa sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya.latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh tersebut dihubungkan oleh latar tempat. Sedangkan, kehidupan sosial budaya Bugis yang terefleksikan dalam novel ini adalah masalahmaut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Kehidupan sosial tersebut direfleksikan dalam pristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Disarankan kepada penikmat sastra agar novel ini dibaca karena di dalamnya dipaparkan mengenai perjuangan seorang ibu dan sosok dibalik kesuksesan Jusuf Kalla. Layak dibaca oleh para generasi muda agar
vi
AKMAL,2014 Reflection of Bugis Social Culture Life in Athirah
Novel Created by Albhertine Endah. Thesis of Magister Laguage
Education and Indonesian Literature the Program of the Post Graduate for Makassar Muhammadiyah University. (Guided by Muhammad Rapi Tang as the commision chief and Abdul Rahman Rahim as a member).
The research of the literature sociology Athirah novel created by Alberthine Endah has aimed (1) is it to describe the structure of Athira novel that contains plot, figure, background theme and massage wich are used as the beginning step of analisyis for the literature sociology and (2) it is to describe the life of the social culture Bugis society that has been expressed in Athirah novel.
This research is the leabrary reseach kind of descriptive with the qualitatif approaching. Data in this reseach is the structure element in building the Athirah novel and the life of social culture for the Bugis society include the death, love, tragedy, hopeness, dedication, and the transendental cases have been expressed in the Athirah novel. The data source in this reseach is the Athira novel created by Alberthiene Endah. Noura Books Edition Jakarta, December 2013 the first edition as 440 pages. The technical collecting data in this reseach is the library reseach and the tecnical of gatherin record. This reseach uses some stages of processing data, namely, the data description, the data classification, data interpretation, and evaluation.
The result of this research shows that in the Athirah novel has shown us there is relationship between the element that build literature creation the series of events which are arranged to use cronology plot and the cartain stages the story is arrange with flashback need doers involved in it. Event by event which has been undergone by the doers it well from on event relation so iti can from a plot. Here is place of relationship between a plot and figure because the plot will not be formed without the figures narrated and moved in the series of its story. A place setting has played an important role in arranging a plot. A story plot formed because the events have been undergone by its figures and the figures are related by a setting place. While the life of Bugis social culture has been reflected in this novel is death, love, tragedy, hopeness, dedication and the transendental cases. The social life is reflected in the events undegone by its figures. It is suggested to the literature users in order this novel can be read because in novel has been explained abaut the struggle of a mothers and the succes of Yusuf Kalla. It is suitable read by the young generation in order to take its benefit. It is hoped to the youth to respect a mother and take a good example.
vii
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, menganugerahi
kesehatan dan keselamatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam
Novel Athirah Karya Albertthiene Endah”. Menyadari bahwa dalam
menyelesaikan tesis ini, berbagai macam kesulitan yang penulis alami,
tetapi dengan bekal keyakinan, ikhtiar yang maksimal dan tawakkal
kepada-Nya akhirnya tesis ini selesai sesuai rencana.
Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M. S.,
sebagai pembimbing I dan Dr. Rahman Raahim, M. Hum., sebagai
pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam merampungkan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said. DM, M.Pd., sebagai Penguji I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai Penguji II
yang memberikan saran dan kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M. Pd., sebagai Rektor Unismuh Makassar dan Prof. Dr. H. M.Ide Said. DM, M.Pd., sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar. Terima kasih pula kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
serta para karyawan yang telah memudahkan pelayanan administrasi
kepada penulis selama ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada seluruh tenaga pengajar pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan
segalanya kepada penulis, baik dalam bentuk material serta doa tulusnya.
Juga kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis
untuk meraih kesuksesan. Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang
diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah, Swt.
Makassar, November 2014
ix
Halaman
HALAMAN JUDUL ...... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ...... xii
DAFTAR GAMBAR... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv
DAFTAR ISTILAH ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
viii
D. Manfaat Kajian ... 12
E. Definisi Istilah ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14
A. Tinjauan Hasil Penelitian ... 14
B. TinjauanTeoridan Konsep ... 16
C. Kerangka Pikir ……... 44
BAB III METODE KAJIAN ... 46
A. Pendekatandan Jenis Penelitian ... 46
B. Sumber Data ... 48
C. Objek Kajian ... 48
D. Teknik Pengumpulan Data... 48
E. Teknik Pengolahan Data ... 49
F. Teknik Penarikan Kesimpulan ... 50
G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian ... 50
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Analisis Unsur Intrinsik Novel ... 52
B. Analisis Sosiologi Sastra... 87
C. Pembahasan Hasil Penelitian... 101
BAB V KESIMPILAN DAN SARAN ... 108
A. Kesimpulan.... ... 108
B. Saran... 111
viii
RIWAYAT HIDUP ... 114
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
xiii
DAFTAR GAMBAR
Bagan Teks Halaman
xiv
Lamiran Teks Halaman
1. Sinopsis Novel Athirah ... 110
xv
antagonis : tokoh yang suka menentang tokoh utama dalam
cerita.
daeng : panggilan keakraban orang (bangsawan) Bugis.
eksplorasi : penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh
pengetahuan lebih banyak.
ekstrinsik : bagian yang berasal dari luar, bukan merupakan bagian yang tidak terpisahhkan dari inti.
emma : panggilan akrab anak terhadap ibudikalangan orang
Bugis.
flash back : kilas balik.
genre :ragam, jenis.
intrinsik : bagian yang terkandung di dalamnya, bagian dari inti.
kronologis : berdasarkan urutan waktu.
kuliner : tentang makanan.
NU : Nahdatul Ulama.
NV : Naamloze Vennootschaap (Perseroan Terbatas)
protagonis :tokoh utama berwatak baik dalam cerita.
refleksi : gerakan, pantulan, di luar kesadaran sebagai
awaban ataukegiatan yang datang dari luar.
sosiologi : ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan
masyarakat.
tragedi : peristiwa yang menyedihkan.
transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak.
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastrawan tidak lepas dari status sosial tertentu, sedangkan
sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai
medianya, dan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Dengan demikian,
tidak jarang karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan
sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dan masyarakat.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
mempengaruhi masyarakat. Bahkan, seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di satu zaman, sementara
sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial
tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya
dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang ada
dalam masyrakat. Ia mengungkap masalah-masalah manusia dan
kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra
melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang,
kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Melalui karya sastra,
pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung,
Karya sastra merupakan sebuah potret terhadap kenyataan sosial
yang ditangkap oleh pengarang melalui indra penghayatannya terhadap
kehidupan di sekitarnya yang selanjutnya diolah dalam tungku imajinasi
dan dituangkan dalam mangkuk kreativitas. Sastra membaca fakta yang
ada sehingga “karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang
mengalami proses pengolahan oleh pengarang” (Sumardjo, 1982: 30)
Sastra menjadi dinamika sosial dalam persentuhannya antara
pengarang dengan masyarakat. Perubahan demi perubahan membentuk
konstruksi sosial yang lahir dari persoalan hidup manusia. Pengarang
mengungkapkan berbagai macam masalah yang dialami, ataupun yang
dilihat di lingkungan dia berada termasuk dalam lingkungan sosial budaya.
Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya sastra jenis novel. Sebagai
salah satu bentuk karya sastra dan merupakan pengungkapan
pengalaman pengarang yang tersusun dalam bentuk narasi, novel lahir
dan hadir dari proses kreatif pengarang.
Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah
masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat
berdasarkan desakan-desakan emosional ataupun rasional dari
masyarakat. Jadi, jelas bahwa kesusastraan bisa dipelajari berdasar
disiplin ilmu sosial juga, dalam hal ini Sosiologi Sastra (Sumardjo, 1982: 12).
Karya sastra tidak hanya sebagai media alternatif yang dapat
menghubungkan kehidupan manusia pada masa lampau, masa kini, dan
masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke
arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam
kaitan ini Wallek mengemukakan bahwa dalan aliran kritik Hegel dan
Taine, kebebasan sejarah dalam kehidupan sosial disamakan dengan
kehidupan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran sekaligus juga
merupakan kebenaran sejarah dan kehidupan sosial sebab karya sastra
adalah dokumen karena merupakan monumen (Wallek, 1989).
Dari peryataan-peryataan di atas dapat dikatakan bahwa karya
sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi
pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan refleksi kehidupan,
yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi problem kehidupan
yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian
hasil olahan tersebut disajikan kepada pembaca. Dengan demikian
pembaca dapat merenungkan dan menghayati kenyataan dan
masalah-masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra, sehingga memberikan
respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut.
Sauatu karya sastra dianggap baik bila memenuhi syarat yang
telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus ada dalam karya sastra adalah
aspek dari dalam yang membangun karya sastra (intrinsik) dan aspek dari
luar yang membangun karya sastra (ekstrinsik). Kedua aspek ini memiliki
peran yang vital dalam melahirkan sebuah karya sastra yang bermutu.
Isi novel adalah rekaan situasi tempat sastrawan menjalani
Sujiman (1988) bahwa pengarang dengan daya imajinasi yang mampu
menyusun pengalaman yang dirasakan dan dilihat dalam lingkungan
kehidupannya maka terciptalah sebuah karya sastra. Novel banyak
menampilkan berbagai problem kehidupan, pengalaman, dan gambaran
manusia dalam kehidupan ini. Pengarang dengan kepekaannya mencoba
mencernakan, menghayati problem kehidupan, dan gambaran manusia
tersebut kemudian menyusunnya kembali melalui teknik dan gaya bahasa.
Sebagai bentuk karya fiksi, novel menawarkan sebuah dunia
berupa model kehidupan yang diidealkan dan dibangun dengan berbagai
unsur intrinsiknya, seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, amanat,
dan gaya bahasa semuanya bersifat imajiner. Selain itu, novel juga
menawarkan berbagai permasalahan manusia dalam kehidupannya.
Meskipun bersifat imajiner, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil
kerja lamunan belaka, tetapi penghayatan dan perenungan terhadap
hakikat hidup dan kehidupan yang dilakonkan dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.
Novel berisi dasar cerita yang melukiskan cita-cita, ajaran moral,
lukisan masyarakat dan sebagainya. Sebuah karya sastra ditulis oleh
pengang dengan menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Dari
novel yang berisi penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan
Pendekatan sosiologi bertolak dari pandangan bahwa sastra
merupakan citraan atau refleksi masyarakat. Melalui sastra, pengarang
mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka
ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah
sastra yang dilakukan berfokus pada segi sosial kemasyarakatan yang
terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang
menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan. Dalam
perkembangannya pendekatan sosiologis diharapkan pada telaah
nilai-nilai. Hal tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra
berkaitan dengan hakikat situasi dalam sejarah. Karya sastra menyajikan
persoalan-persoalan interpretasi yang tidak terpecahkan, yang berkaitan
dengan tata nilai dan struktur dari kondisi sosial dan historis yang terdapat
dalam kehidupan manusia.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak pada
orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca. Karya sastra dapat dilihat hubungannya dengan
kenyataan, yaitu sejauh mana karya sastra itu merefleksikan atau
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup
luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang
diacu karya sastra.
Teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk
menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau yang disalin
menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya,
hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubngan antara
selera masyarakat dengan kualitas suatu ciptaan karya sastra, dan
hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan
karyanya. Karena itu, teori-teori sosiologi yang digunakan untuk
menganalisis sebuah ciptaan sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi
pengarang, dunia, pengalaman batin, dan budaya tempat karya sastra itu
dilahirkan.
Wellek dan Warren (1989:53) membagi telaah menjadi tiga klasifikasi, yaitu:
a. Sosiologi Pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni memasalahkan suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan.
c. Sosiologi sastra: yakni yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh masyarakat.
Nilai kehidupan sosial budaya harus bersifat lokal dan kontekstual
sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya.
Sejalan dengan ini, seharusnya kehidupan sosial budaya masyarakat
Bugis mencerminkan karakteristik masyarakat yang memiliki pradaban
yang tinggi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk
terefleksikan dalam sebuah karya sastra. Novel sebagai salah satu bentuk
karya sastra akan digunakan sebagai objek kajian dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Adapun novel yang akan dianalisis berjudul
“Athirah” karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta bulan
Desember tahun 2013, cetakan pertama.
Novel ini terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Jusuf Kalla dan
ibundanya. Dalam kisah ini bercerita tentang ketegaran sososk seorang
ibu yang harus menerima kennyataan, suaminya kawin lagi. Ia terpaksa
harus menjadi ibu sekaligus bapak dari kesepuluh anaknya. Juga tentang
tanggung jawab seorang Jusuf sebagai anak laki-laki tertua bersaudara
dalam mendampingi ibunya setelah bapaknya memutuskan untuk
berpoligami. Dalam kisah ini diceritakan tentang pengalaman terberat
seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan ibundanya
menahan pedih atas peristiwa yang menekan itu. Persoalan terbesar
anak-anak keluarga poligami adalah, apakah harus berpihak kepada
bapak atau kepada ibu? Atau, berpura-pura tak ada masalah dan
memihak pada diri sendiri. Dari kisah perjalanan hidup yang dilalui Jusuf
membuatnya kuat. Awalnya batinya memang terasa berongga, seakan
belum mampu menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Namun,
lama-kelamaan ia pun sudah terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong,
keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Jusuf semakin jauh
ada kekompakan yang lahir secara alamiah. Dari Nur sampai Farida,
semua berada dalam kebersamaan yang penuh harmoni.
Dalam kisah ini juga diceritakan tentang awal ketertarikan Jusuf
kepada Mufidah. Perjalanan cintanya dengan Mufidah bergulir beriringan
dengan kedewasaanya dalam memahami persoalan Bapak dan
Emmanya. Kisah bapaknya yang berpoligami dijadikan sebagai pelajaran
terindah dari Tuhan. Dari peristiwa itu, ia mendapat pelajaran dahsyat
tentang makna cinta, kesetiaan, dan keikhlasan. Dijadikanya kesabaran
sebagai benteng pertahanan dari guncangan hidup.
Albertine Endah adalah penulis kelahiran Bandung, Jawa Barat
ini, menyelesaikan studi sarjananya pada Jurusan Sastra Belanda di
Universitas Indonesia. Ia adalah seorang pekerja sastra budaya yang
produktif. Awal kariernya sebagai penulis dimulai di majalah Hidup pada
tahun 1993, kemudian menjadi redaktur di majalah Femina tahun 1994
hingga 2004. Tahun 2004 hingga 2009 menjadi pemred majalah Prodo.
Sejak tahun 2003, puluhan biografi telah ditulisnya di antaranya:
Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa: Berpolitik dengan Nurani, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal, Djoko Susanto: Langkah Sukses Membangun Alfamart, Jokwi: Mempin Kota Menyentuh Jakarta, dan lain-lain. Penulis juga membuat buku edukasi populer: 1001 Masalah Transportasi Indonesia, There Is No Shorcut to Succes, Menulis Fiksi Itu Seksi, Penari Legong Peliatan, Mendidik dengan Hati, Al Firdaus, Pendidikan Menerobos Jiwa. Sejumlah novel best seller yang telah
ditulisnya di antaranya: Jodoh Monica, Dicintai Jo, Cewek Matre, I Love
My Boss, Nyonya Jetset, Rockin Girls, dan Jangan Beri Aku Narkoba.
Novel Jangan Beri Aku Narkoba mendapat penghargaan khusus dari BNN
dan meraih juara pertama nasional Adikarya IKAPI award 2005.
Pada tahun 2009, penulis novel “Athirah” ini mendapatkan
anugerah wanita inspiratif She Can Award. Dan tahun 2011, penulis
menggelar warkshop penulisan nasional Wordisme, yang diikuti 500
peserta dari seluruh Indonesia. Wordisme menjadi komunitas produktif
menggelar acara untuk membina bakat penulisan. Saat ini Alberthine
Endah aktif dengan sejumlah proyek penulisan biografi, menjadi
pembicara di berbagai seminar penulisan, dosen tamu diberbagai
universitas, dan sesekali aktif dalam pekerjaan film.
Novel Athirah ini menarik untuk diteliti karena novel ini
mengungkapkan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang
kompleks. Dari kisah cerita ini kita diajak untuk menyimak kisah sedih,
cinta, kekonyolan, kejahatan, keputusasaan, kebanggaan, kebahagiaan,
kepasrahan, dan ketidakadilan. Hal yang paling menarik dari novel ini
adalah meskipun penulis bukan orang yang berlatar belakang orang
Bugis, tapi keberaniannya dalam mengangkat tema kehidupan sosial
budaya Bugis harus diapresiasi. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi
Selatan yang ditulis oleh penulis nasional dan diterbitkan oleh penerbit
nasional pula yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel
terbitkan oleh penerbit lokal juga. Oleh karena itu, kehadiran novel Athirah
ini merupakan salah satu wadah untuk penguatan kembali nilai-nilai sosial
budaya dan kearifan lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari
generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan
meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan
zaman.
Saya kira dengan menghadirkan novel Athirah ini merupakan salah
satu cara yang dilakukan oleh penulisnya agar kita mau sejenak
menengok dan mengapresiasi nilai kehidupan sosial budaya lokal. Ini bisa
kita simak dari kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel ini yang sarat
dengan nuansa budaya khas Bugis. Begitu juga pesan-pesan moral dalam
bahasa yang sederhana sangat jelas tergambar. Novel ini pada
hakikatnya merupakan konsep imajinatif penulisnya dipadukan dengan
cerita perjalan hidup bapak Jusuf Kalla yang berhasil menggambarkan
latar sosial budaya masyarakat Bugis dengan hidup, gaya bahasanya
mengalir, karakter tokoh-tokohnya yang kuat, sehingga membuka
cakrawala pembacanya. Hal ini menyebabkan kisah dalam novel tersebut
terasa hidup dan benar-benar terjadi.
Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Kajian terhadap karya
sastra dengan pendekatan sosiologi sastra sangatlah penting. Melalui
pendekatan sosiologi sastra diharapkan dapat menjembatani hubungan
pembaca, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang
dapat diterima oleh masyarakat. Metode yang digunakan dalam sosiologi
sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian
dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala-gejala sosial yang
di luar sastra (Damono, 1978:2).
Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada penelitian
sastra yang mengupas novel Athirah, baik dengan pendekatan sosiologi
sastra ataupun dengan pendekatan lain. Beberapa hal di atas merupakan
alasan yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini diberi judul
Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel “Athirah” Karya Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi: alur,
penokohan, latar, tema dan amanat novel tersebut?
2. Bagaimanakah pengambaran kehidupan sosial budaya
C. Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah.
Dengan demikian, tujuan kajian merupakan jawaban terhadap rumusan
masalah. Adapun tujuan kajian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi alur,
penokohan, latar, tema dan amanat yang digunakan sebagai
langkah awal dalam analisis sosiologi sastra.
2. Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang
terungkap dalam novel Athirah.
D. Manfaat Kajian
Dalam pengkajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Kegunaah yang diharapkan dalam
pengkajian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat meperkaya khasanah
penelitian sastra Indonesia khususnya novel melalui pendekatan
sosiologi sastra sehingga pembaca dapat mengetahui hubungan
sastra dengan masyarakat.
2. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan
penggambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi
maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal transendental
ekses-ekses negatif akibat globalisasi biasa diminimalkan. Oleh
karena itu kajian ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk
mengungkap dan memberikan penguatan kembali nilai-nilai
kehidupan sosial budaya Bugis.
E. Definisi Istilah
Dalam kajian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan untuk
menghindari kesalahfahaman. Istilah-istilah yang akan dijelaskan adalah
sebagai berikut:
a. Refleksi kehidupan adalah, pantulan respon pengarang dalam
menghadapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui
kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil olahan tersebut disajikan
kepada pembaca.
b. Sosial budaya adalah, segalah sesuatu yang dihasilkan atau
diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan kehidupan dalam
14
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian
Penelitian dengan kajian sosiologi sastra telah dilakukan oleh
beberapa peneliti di antaranya: Shintya Junarso : 2008 (tenaga teknis
Balai Bahasa Jawa Tengah) dengan judul penelitiannya Refleksi Kaum
Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Dari hasil
penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa Novel dapat merefleksikan
perasaan, pikiran, dan keinginan manusia. Novel juga dapat bercerita tentang
situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial.
Penelitian yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada
masa sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi
sastra. Lewat novel Laskar Pelangi Andrea Hirata mengungkapkan
kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan hidup yang
mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa masih banyak
masyarakat Belitong yang hidup dalam kemiskinan, padahal pulau yang
mereka diami adalah pulau yang dianugrahi kekayaan timah berlimpah.
Penelitian ini mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan
sebenarnya yang terjadi di masyarakat.
Ardiyonsih Pramudya : 2012 (Mahasiswa Program Pascasarjana,
“Problem Sosial Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari” (Kajian
Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Peneliti menyimpulkan bahwa (1)
problem sosial yang terdapat dalam novel orang-orang proyek adalah
kemiskinan, korupsi, pelanggaran terhadap norma masyarakat, pencurian,
dan permasalahan birokrasi; (2) tanggapan pembaca mengenai novel
menyimpulkan bahwa novel ini sangat menarik, tokoh yang sangat
dikagumi dalam novel adalah Kabul, nilai pendidikan yang menonjol dalam
novel adalah kejujuran, tanggung jawab dan tolong menolong, serta
problem sosial dalam novel yang dominan adalah korupsi dan
penyelewengan yang terjadi selama pelaksanaan proyek; dan (3) nilai
pendidikan yang terdapat dalam novel adalah kejujuran, kerendahan hati,
kedamaian, tanggung jawab, kasih sayang, tolong menolong, budaya,
agama dan toleransi.
Yelmi Andriani : 2011 (Masiswa Fakultas Sastra Universitas
Andalas) dalam penelitiannya yang berjudul “Perubahan Sosial dalam
Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi” (Suatu Tinjauan Sosiologi
Sastra). Ia menyimpulkan bahwa bardasarkan analsis ditemukan,
bentuk-bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam
novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2)
perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan terhadap konsep
Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi
dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai
dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak
dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.
Kajian struktural novel pernah dilakukan oleh Nairawati : 2011 (mahasiswa
STIM-YAPIM Maros) dengan judul Studi tentang Alur Cerita Novel
Pohon-Pohon Rindu Karya Dul Abdul Rahman dengan Pendekatan struktural,
hanya saja kajian ini terbatas pada alur ceritanya saja. Hasil kajiannya
menunjukkan bahwa alur cerita novel ini adalah alur maju dilihat dari
urutan-urutan peristiwa dalam cerita.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Hakikat dan Fungsi Novel
Hakikat novel adalah cerita, tanpa cerita novel tidak diakui
keberadaanya. Cerita dalam novel diolah berdasarkan pada imajinasi.
Imajinasi dalam hal ini bukan sekadar lamunan atau laporan pandangan
mata pengarang belaka, melainkan imajinasi yang didasarkan atas
pengalaman, pengetahuan, dan penalaran pengarang. Imajinasi yang
menajamkan pada penanganan secara intens dan relevan dalam
menginterpretasikan kehidupan ini.
Secara etimologis, kata novel berasal dari kata noellus yang
diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika
dibandingkan dengan jenis sastra lainya seperti puisi dan drama, maka
Novel memang merupakan jenis sastra yang bersifat fiktif, namun
demikian ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata
dan lebih dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin
pembaca atau pengalaman manusia (Damono 1978:2). Novel
menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar
biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang
mengalih pada jurusan nasib kehidupan mereka. Suatu peralihan jurusan
dalam masa seakan-akan seluruh kehidupan mereka memadu kesilaman
dan keakanan yang tiba-tiba terdampar di depan kita (Jassin: 1985:78).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan salah satu jenis cerita rekaan berbentuk prosa yang
hakikatnya adalah sebuah hasil eksplorasi, renungan, dan ungkapan
pengarang dalam sebuah cerita naratif yang berisi lakuan tokoh-tokoh
yang mengalami banyak peristiwa dan konflik sehingga mengakibatkan
perubahan nasib para tokohnya.
Novel sebagai salah satu genre sastra berfungsi memberikan
hiburan kepada pembacanya. Horace (dalam Wellek dan Werren,
1989:25) mengatakan bahwa sastra hendaknya berciri dulce et utile, yang
berarti menyenangkan dan berguna. Dulce artinya menyenangkan, yaitu
memberikan hiburan kepada pembaca. Adapun utile artinya berguna,
yaitu dapat mengajarkan sesuatu kepada pembaca, meberikan
pengetahuan, mendidik pengalaman batin pembaca, dan memperkaya
Selain itu fungsi sastra menurut Ariestoteles dalam karyanya The
Poetics, berfungsi sebagai katarsis, yaitu pembebasan jiwa kepada
pembaca, membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Mengekspreikan
emosi, berarti melepaskan diri dari emosi itu (Wellek dan Werren: 1989:
34). Dengan demikian, fungsi novel adalah untuk memberikan hiburan,
memberikan pelajaran tentang kehidupan, dan sebagai alat untuk
pembersihan jiwa (katarsis) pembacanya.
Novel banyak menceritakan tentang keadaan sosial budaya
sekelompok masyarakat dalam sebuah daerah ataupun sebuah Negara.
Novel juga seiring menceritakan tentang keadaan hidup suatu kaum,
perkembangan zaman, agama, dan pendidikan. Tak jarang juga novel
banyak didasarkan pada kisah nyata seseorang yang dianggap pantas
untuk dijadikan sebuah cerita.
2. Teori Unsur Sastra
Dalam penelitian karya sastra, analisis terhadap unsur intrinsik
atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya
sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Analis karya sastra
secara sosiologis, untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang berada
di luar karya sastra, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap teksnya
untuk mengetahui strukturnya (Damono, 1978: 2). Demikian juga hal itu
dilakukan terhadap analisis karya sastra lain secara semiotik, psikologis,
struktur ini sukar dihindari dan memang bertujuan untuk memungkinkan
mendapat pengertian dan analisis yang optimal (Teeuw, 1984:61)
Pendekatan struktural yaitu telaah atau pengkajian terhadap karya
sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang dimaksud ialah pendekatan
yang mencoba menguraikan dan fungsi masing-masing unsur karya
sastra sebagai sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Struktur
mengandung pengertian relasi timbal balik antar bagian-bagiannya dan
atara bagian dan keseluruhannya.
Dengan demikian, makna penuh sebuah kesatuan itu hanya dapat
dipahami sepenuhnya apabila makna menyeluruh sebuah kesatuan
sepenuhnya dan unsur-unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah
struktur. Unsur-unsur yang dimaksud dalam struktur ini meliputi alur,
penokohan, latar, tema, dan amanat. Unsur-unsur inilah yang akan
dianalisis dalam kajian ini disertai analisis keterjalinan antar unsur-unsur
tersebut.
a. Alur
Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur adalah merupakan
perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan
kerangka utama cerita. Dalam pengertian, suatu jalur tempat lewatnya
memecahkan konflik di dalamnya. Alur mengatur bagaimana
tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang
digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu
kesatuan waktu. (Semi 1993: 43).
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu. Alur berisi urutan peristiwa atau kejadian yang
dihubungkan oleh hubungan sebab akibat. Peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lainnya (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 1995: 119). Foster menambahkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi merupakan penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Sifat
hierarkis ini menunjukan bahwa antara peristiwa yang satu dengan yang
lainnya tidak sama kepentingannya, keutamaannya, dan fungsionalitasnya. Unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita
adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116). Roland
Barthes membagi golongan peristiwa (menurut kepentingannya) menjadi
dua, yaitu peristiwa utama (mayor events) dan peritiwa pelengkap (minor
events) (dalam Nurgiyantoro, 1995:120). Pengertian ini hampir senada
dengan ungkapan Luxenmburg yang mengatakan bahwa pengembangan
plot dalam peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa
fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.
a. Peristiwa fungsional, adalah peristiwa yang menentukan
perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan
b. Peristiwa kaitan, adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan
peritiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian plot. Peristiwa
kaitan ini berbeda dengan peristiwa fungsional, sehingga tidak
mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan ini hanyalah
sebagai perantara di antara peritiwa-peristiwa penting.
c. Peristiwa acuan, adalah peristiwa yang mengacu pada unsur lain.
Misalnya berhubungan dengan permasalahan perwatakan atau
suasana batin seorang tokoh (dalam Nurgiyantoro, 1995: 118-119).
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan
adanya aksi dan aksi balasan (wellek dan Warren, 1989: 285). Konflik
menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh
itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu akan menimpah dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam
Nurgiyantoro, 1995: 122).
Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis antara
lain:
a. Konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut
psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa
perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga
dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukakannya.
b. Konflik antara orang-orang atau seseorang dengan masyarakat,
berupa konflik tokoh, dan kaitannya dengan
permasalahan-permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap
lingkungan sosial mengenai berbagai masalah, misalnya
pertentangan ideologi, pemerkosaan hak, dan lain-lainnya. Itulah
sebabnya, dikenal dengan konflik ideologis, konflik keluarga, konflik
sosial, dan sebagainya.
c. Konflik antar manusia dan alam, konflik jenis ini sering disebut
sebagai phisical or element conflict ‘konflik alamiah’, yang biasanya
muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan
serta membudidayakan alam sekitar sebagaimana mestinya
(Sayuti,2000:42).
Konflik dalam sebuah karya sastra bila telah mencapai puncak
menyebabkan terjadinya klimaks. Klimaks adalah saat konflik telah
mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu merupaka sesuatu yang
tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntunan dan
kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh
tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal
(keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana
permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem,
barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam
pengertian yang luas) tokoh utama cerita akan ditentukan (Stanton dalam
Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan
alur menjadi lima bagian, antara lain:
a. Tahap penyituasian, merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian
informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik, merupakan tahap awal munculnya
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c. Tahap peningkatan konflik, merupakan tahap dimana konflik yang
muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,
eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antarkepentingan semakin tidak dapat dihindari.
d. Tahap klimaks, konflik dan ataupun pertentangan-pertentangan yang
terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intesitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin
saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap penyelesian, konflik yang telah mencapaiklimaks diberi
penyelesaian. Ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,
sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi
jalan keluar, dan cerita diakhiri. (Stantondalam Nurgiyantoro, 1995:
Dari segi urutan pengisahan, alur terdiri dari dua jenis, yaitu alur
dengan urutan kronologis dan alur dengan urutan nonkronologis.
a. Alur kronologis (alamiah) adalah alur yang mempunyai urutan dari
awal hingga akhir secara alamiah. Dengan kata lain alur bergerak
dari awal hingga akhir secara berurutan logis.
b. Alur nonkronologis adalah alur yang tidak menurut pada urutan
alamiah. Dengan kata lain alur yang tidak bergerak secara berurutan
atau plastis. Dalam alur nonkronologis terdapat jenis penahapan plot,
yaitu:
1) Plot sorot balik (flash back) adalah urutan kejadian cerita dimulai
dari tahap tengah atau akhir peristiwa sebagai awal cerita
kemudian berjalan ke depan kemudian kembali ke belakang
sebagai akhir cerita.
2) Plot campuran (gabungan) adalah penahapan plot yang sulit
ditetapkan penahapan yang pasti, karena peristiwa-peristiwa yang
terjadi meloncat berganti-ganti dan perkembangannya lebih tidak
kronologis.
Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa alaur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang
ada dalam cerita yang berurutan dan membangun dasar cerita baik
secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah
b. Tokoh dan Penokohan
Dalam suatu karya sastra, masalah penokohan merupakan suatu
hal yang kehadirannya amat penting dan bahkan menentukan, karena
tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan.
Suatu karya fiksi tidak akan mungkin ada tanpa adanya tokoh yang
bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993: 36).
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam
Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan berarti cara pengarang menampilkan
tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita
yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan
watak tokoh-tokoh itu (Nurgiyantoro, 1995:165).
Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke
dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksudkan adalah sebagi
berikut:
a. Dimensi fisik (fisiologis), yaitu ciri-ciri badan. Misalnya:
1) Usia (tingkat kedewasaan)
2) Jenis kelamin
3) Keadaan tubuh
4) Ciri-ciri muka
5) Ciri khas yang spesifik
Misalnya:
1) Status sosial
2) Pekerjaan, jabatan, dan peranan dalam masyarakat
3) Tingkat pendidikan
4) Pandangan hidup, kepercayaan, agama, dan ideologi
5) Aktivitas sosial, organisasi, dan kesenangan
6) Suku, bangasa, dan keturunan.
c. Dimensi psikologis (psikis), yaitu latar belakang kejiwaan, sifat dan
karakternya. Misalnya:
1) Mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan
2) Tempramen, keinginan, dan perasaan pribadi.
3) Kecakapan dan keahlian khusus (Waluyo, 1994: 171)
Ketiga dimensi tokoh tersebut dalam suatu karya fiksi tampil
bersama-sama, artinya tokoh yang muncul selain digambarkan secara fisik
juga secara psikis, dan sosiologis.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi
tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan
pimpinan disebut tokoh utama atau tokoh sentral. Sedangkan tokoh
bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita.
Berdasarkan pembangunan konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh
karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedangkan tokoh antagonis
Jika dilihat dari segi perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua jenis,
yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleks.
a. Tokoh sederhana atau tokoh datar, adalah tokoh yang kurang
mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu
sisi saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana adalah
semua tipe tokoh yang suda biasa, yang suda familiar, atau yang
stereitip dalam fiksi.
b. Tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah yang dapat dilihat semua sisi
kehidupannya. Dibandingkan denga tokoh datar, tokoh bulat memiliki
sifat lifelike karena tokoh ini tidak hanya menunjukkan gabungan sikap
dan obsesi yang tunggal.
Menurut Atar Semi ada dua macam cara memperkenalkan tokoh
dalam fiksi yaitu:
1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkat tentang watak
atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh-tokoh
tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.
2. Secara dramatik, yaitu perwatakan yang tidak diceritakan secara
langsung, tetapi itu disampaikan melalui:
a. Pilihan nama tokoh
b. Penggambaran fisik dan postur tubuh, cara berpakaian, tingkah
laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan, dan sebagainya.
c. Dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kehadiran tokoh dalam suatu fiksi sangatlah penting karena dengan
keberadaan tokoh-tokohnyalah yang pada akhirnya membentuk plot atau
alur cerita.
c. Latar
Latar atau setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa
terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang diamati
(Semi, 1993:46). Sedangkan menurut Kenny (dalam Nurgiyatoro
1995:105) berpendapat bahwa latar dalam fiksi tidak terbatas pada
penempatan lokasi-lokasi tertentu dan sesuatu yang bersifat fisik saja,
akan tetapi juga berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai
yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
Suatu cerita rekaan di samping membutuhkan tokoh dan alur juga
membutuhkan latar sebagi landas tumpu atau tempat berpijak cerita agar
cerita menjadi konkret dan jelas. Dalam sebuah cerita, latar atau setting
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada tempat hubungan
waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam
cerita yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyanto, 1995: 216).
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat
yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu
yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan
jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan
dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai
lokasi. Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca
terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam
suasana cerita. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap.
Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan
penamaan terhadap diri tokoh.
Menurut Sayuti bahwa ada empat elemen unsur yang membentuk
latar fiksi, yaitu :
a. Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya
topografi, scenery (pemandangan) tertentu, dan bahkan detail-detail
interior sebuah kamar atau ruangan.
b. Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.
c. Waktu terjadinya action ‘tindakan’ atau peristiwa termasuk priode
historis, musim, tahun, dan sebagainya.
d. Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah
fiksi, latar atau setting akan menginformasikan tentang sistuasi (ruang,
waktu, dan suasana) cerita sebagaimana adanya.
d. Tema
Dalam membuat cerita rekaan, biasanya seorang pengarang tidak
hanya sekadar menyampaikan ceritanya saja, tetapi juga lebih dari itu ia
ingin mengemukakan gagasan pokok atau ide yang biasanya disebut
tema. Tidak akan lahir sebuah karya sastra tanpa mengusung sebuah
tema. Ini berarti bahwa tema merupakan suatu unsur yang wajib dalam
setiap karya sastra.
Tema merupakan suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau
amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993: 42). Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah
karya novel (Nurgiyantoro, 1995: 70)
Sebagai gagasan pokok dalam sebuah cerita, tema mengikat
unsur-unsur lain. Unsur-unsur intrinsik tersebut harus mencerminkan atau
mendukung tema tersebut, karena tema menjiwai keseluruhan unsur
intriksik lainya.
Keberadaan tema dalam sebuah fiksi ada kalanya dinyatakan
secara eksplisit dengan dijadikan sebagi judul cerita, dana ada dinyatakan
secara sibolis. Namun, lebih sering dijumpai tema dinyatakan secara
kejadian-kejadian yang dilukiskan dalam cerita. Tema lebih merupakan sebagai
sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara
eksplisit, simbolis, ataupun implisit. Jadi, di dalam tema terkandung sikap
pengarang terhadap subjek atau pokok cerita.
Tema yang dinyatakan secara eksplisit (tema yang tersurat dalam
cerita) dan tema yang dinyatakan secara simbolis (tema yang dinyatakan
melalui simbol atau lambang-lambang tertentu) tidak memiliki masalah
dalam usaha menafsirkan tema cerita. Akan tetapi tema yang dinyatakan
secara implisit, usaha untuk menafsirkan tema bukanlah merupakan
pekerjaan yang mudah. Penafsiran terhadap tema yang implisit harus
dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang ada secara keseluruhan
membentuk cerita itu.
Sami (1993: 43) berpendapat bahwa cara menentukan tema
tentulah dengan bimbingan cerita itu sendiri. Kita harus mulai dengan
menemukan kejelasan tentang tokoh dan perwatakannya , situasinya, dan
alur cerita. Kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan: Apakah
motivasi tokoh, apa problemnya, dan apa keputusan yang diambilnya.
Adalah tepat bila menjajaki tema dengan melalui konflik sentral, ini akan
menjurus kepada sesuatu yang hendak kita cari.
Tema fiksi umumnya di klasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
a. Tema physical (jasmaniah), merupakan tema yang cenderung
b. Tema organic (moral), berhubungan dengan moral manusia yang
wujudnya tentang hubungan antar manusia, antara pria dan wanita.
c. Tema social (sosial), meliputi hal-hal yang berada di luar pribadi.
Contoh: masalah politik, pendidikan, dan propaganda.
d. Tema egoic (egoik), merupakan tema yang menyangkut
reaksi-reaksi pribadi yang pada mumnya menentang pengaruh sosial.
e. Tema divine (ketuhanan), merupakan tema yang berkaitan dengan
kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sayuti,
2000:194).
Sebuah karya fiksi sangat jarang memiliki tema tunggal, biasanya
memiliki tema jamak. Kejemakan tema tersebut dapat dirincilagi menjadi
tema mayor dan tema minor. Dari bebeberapa pendapat tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari karya
sastra yang keberadaanya sangat penting karena bersifat menjiwai
keseluruhan karya sastra tersebut.
e. Amanat
Amanat tidak bisa lepas dari tema, karena amanat merupakan
jawaban-jawaban yang terkandung dalam tema. Amanat adalah suatu
ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan
Pendapat tersebut menujukkan bahwa amanat merupakan suatu
hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui
amanat pengarang ingin memberikan sesuatu yang positif. Dari amanat
pula diharapkan pembaca mengambil sesuatu manfaat dari cerita
tersebut.
Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan secara
implisit (tersirat). Implisit jika jalan ke luar atau ajaran moral itu disiratkan
di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika
pengarang pada tengah, atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran,
nasihat, peringatan, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan
gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1998:57).
Nurgiyantoro (1995:321) menyebut amanat dengan moral. Moral
merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembacan dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya
dimana makna tersebut disarankan lewat cerita.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai
kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral
dalam sebuah cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktisyang
dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh
kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral
bersifat praktis, sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan
modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan
dalam cerita tersebut dalam tokoh-tokohnya (Kenny dalam Nurgiyantoro,
1995:322).
Berdasarkan pengertian amanat tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan pengarang yang
disampaikan lewat karyanya sebagai alternatif dari pemecahan masalah.
Terdapat hubungan antara amanat dengan tema. Jika tema merupakan
ide sentral, maka amanat merupakan pemecahannya dan apabila tema
merupakan pemusatan pertanyaan, maka amanat merupakan pemusatan
jawabannya.
3. Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan
umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsisrkan
kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Di dalamnya ditelaah
gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma,
kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial,
perubahan-perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan
serta perwujudannya (Soekanto, 1981: 367). Sedangkan Sapardi Djoko
Damono secara singkat mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan
Sama halnya dengan sosiologi, sastra pun erat berhubungan
dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota
masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu
berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota
masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari
masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan bisa dipelajari
berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumarjo, 1982:14). Antara
sosiologi dan sastra sesuangguhnya berbagai masalah yang sama.
Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang
kait-mengait secara masuk akal. Dalam keseluruhan itu dilukiskan atau
dihadirkan suatu kenyataan yang ada di luar karya sastra (Luxemburg,
1982:55).
Sastra dipahami seperti halnya dengan sosiologi yang juga
berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang
memperjuangkan maslah-masalah yang sama, yaitu sosial budaya,
ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang
mempunyai objek manusia. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra
menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya
(Damono, 1978:7). Dengan kesamaan objek ini, maka pendekatan
Pendekatatan sosiologi sastra berangkat dari kenyataan bahwa
karya sastra itu tidak akan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat
yang melingkupinya, bagaimana dan apapun bentuknya. Pendekatan ini
meninjau karya sastara dengan pertimbangan segi-segi kemasyarakatannya
(Damono, 1978:2). Proses terciptanya karya sastra berhubungan erat
dengan berbagai peristiwa yang pernah, sedang, atau mungkin akan
terjadi di dalam masyarakat sehingga makna kehadiran sastra tidak hanya
dilihat dari teksnya, tetapi juga konteksnya.
Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai refleksi
kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai
kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Meskipun peristiwa
atau kenyataan yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat
mencerminkan kejadian yang ada di lingkungan pengarangnya, tetapi
lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan
karyanya tersebut. Sebab, diketahui bersama bahwa karya sastra tidak
mungkin dibuat tanpa tujuan. Pengarang mungkin membuat karya sastra
didasari oleh cita-citanya, cintanya, protes sosialnya, atau bahkan juga
oleh mimpi yang jauh dari gapaiannya. Seperti ungkapan Marx (dalam
Faruk,1994: 5) yang menyatakan bahwa manusia harus hidup lebih
dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka berpikir dan apa yang
mereka pikirkan, secara erat bertalian dengan bagaimana mereka hidup,
tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Lebih lanjut dikatakan
bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:
1. Faktor luar teks, gejala konteks sastra, teks itu sendiri tidak ditinjau.
Penulisan ini misalnya mengfokuskan pada kedudukan pengarang
dalam masarakat, penerbit dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini
dipelajari dalam sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari
menggunakan pendekatan ilmu sastra. Hal-al yang berkaitan
dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas , tetapi diteliti
dengan metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat
mempergunakan hasil-hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin
meneliti presepsi para pembaca.
2. Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan
masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya
tercermin di dalam sastra? Sastrapun dipakai sebagai sumber untuk
menganalisis sistem masyarakat. Peneliti tidak menentukan
bagaimana menapilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan
juga menilai pandangan pengarang (Luxemburg, 1984: 23).
Sehubungan dengan karya sastra dalam konteks pengarangnya,
(Ian Watt dalam Faruk, 1994:5) menemukan tiga macam klasifikasi dalam
sosiologi sastra yang berbeda yaitu:
1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial
sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra.