• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Analisis Statistik Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III

Hasil analisis statistik variasi dosis pada aplikasi pestisida nabati tapak liman terhadap mortalitas larva ulat tritip instar III disajikan pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Rata-Rata Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan I Dosis Ekstrak Tapak Liman Rata-rata presentase mortalitas ± SD

0% 2,5% 5% 7,5% 10% 0,60 ± 0,55a 1,20 ± 1,30ab 1,80 ± 0,45b 0,80 ± 0,45ab 0,60 ± 0,55a Total 1,00 ± 0,81

Keterangan : huruf yang sama menunjukkan rata-rata mortalitas sama.

Aplikasi ekstrak tapak liman yang pertama (Tabel 4) menunjukkan rata-rata mortalitas larva ulat tritip instar III tertinggi pada kelompok perlakuan dosis 5% yaitu 1,80 ekor dengan standar deviasi sebesar 0,44, sedangkan rata-rata mortalitas larva terendah pada kelompok perlakuan dosis 10% yaitu 0,60 ekor dengan standar deviasi 0,55. Penurunan rata-rata mortalitas larva disebabkan karena larva belum menunjukkan kecenderungan dosis tinggi menyebabkan mortalitas tinggi. Oleh sebab

itu, larva belum menunjukkan akumulasi dampak senyawa saponin dan flavanoid di dalam tubuhnya.

Tabel 5. Rata-Rata Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan II Dosis Ekstrak Tapak Liman Rata-rata mortalitas ± SD

0% 2,5% 5% 7,5% 10% 2,00 ± 1,41a 2,20 ± 1,30a 2,40 ± 1,14a 2,60 ± 1,14a 2,80 ± 1,30a Total 2,40 ± 1,19

Keterangan : huruf yang sama menunjukkan rata-rata mortalitas sama.

Aplikasi ekstrak tapak liman yang ke dua (Tabel 5), menunjukkan rata-rata mortalitas larva ulat tritip instar III tertinggi pada kelompok perlakuan dosis 10% yaitu 2,80 ekor dengan standar deviasi sebesar 1,30, sedangkan rata-rata mortalitas larva terendah pada kelompok perlakuan dosis 2,5% yaitu 2,20 ekor dengan standar deviasi 1,30. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudah terdapat respon larva ulat tritip instar III terhadap saponin dan flavanoid yaitu semakin tinggi dosis perlakuan, maka semakin tinggi rata-rata mortalitas larva. Peningkatan dosis pestisida nabati ekstrak tapak liman, berbanding lurus dengan peningkatan bahan racun sehingga daya bunuh semakin tinggi untuk membunuh larva, sesuai dengan pendapat Sari, dkk (2013: 564). Hasil rata-rata mortalitas pengamatan pertama, ke dua, dan ke tiga setelah aplikasi ekstrak mengalami peningkatan, karena terjadi akumulasi dampak senyawa kimia saponin dan flavonoid di dalam tubuh larva ulat tritip instar III. Menurut Hartono (2011), saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan, memiliki karakteristik berupa buih. Hal tersebut sesuai dengan penelitian,

bahwa terdapat buih tebal pada permukaan ekstrak tapak liman. Sesuai dengan Carino dan Rejesus (1982), saponin masuk ke dalam tubuh larva ulat tritip instar III melalui kulit menjadi racun kontak dan menimbulkan efek sistemik. Senyawa masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah sasaran (Hidayati, dkk, 2013: 98). Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga. Terjadinya interaksi antara saponin dengan membran sel menyebabkan saponin mampu berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol, yang mengganggu permeabilitas membran sitoplasma, kebocoran materi intraseluler, dan lisis sel (Maisaroh, 2007). Jika sel lisis maka jaringan-jaringan yang ada pada sel tersebut rusak dan tidak bisa saling berhubungan dengan jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan larva mati (Widodo, 2005).

Selain berfungsi sebagai racun kontak, saponin berfungsi sebagai racun perut (Carino dan Rejesus, 1982). Racun perut berfungsi untuk membunuh serangga dengan merusak sistem pencernaan. Akumulasi dampak saponin menyebabkan aktivitas enzim protease menurun di dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan (Shahabuddin dan Flora, 2009: 152).

Senyawa flavanoid merupakan racun kontak, karena masuk melalui membran sel sehingga mempengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama. Menurut Sastrodihardjo (1992), di dalam haemolimfa terdapat protein, jika protein terdenaturasi oleh flavonoid maka bahan makanan tidak bisa disalurkan dari alat pencernaan ke seluruh jaringan tubuh larva, sehingga larva ulat tritip instar III ATP dan mati (Hidayati, dkk, 2013: 98).

Larva ulat tritip instar III yang terkena paparan saponin akan terhambat dalam pertumbuhan dan penyerapan makannya. Jika dalam proses penyerapan makanan terganggu maka nutrisi yang diperoleh larva instar III hanya sedikit, sehingga perkembangan larva terhambat. Apabila daya makan berkurang, maka energi yang dihasilkan hanya sedikit. Energi yang digunakan untuk detoksifikasi diperoleh dari energi yang seharusnya untuk pertumbuhan dan perkembangan, akibatnya pertumbuhan larva instar III akan terganggu dan menyebabkan kematian larva. Larva instar III yang mati ditunjukkan dengan ciri-ciri tubuhnya mengering, warna menjadi hitam, dan ukuran tubuhnya menyusut (Hidayati, dkk, 2013: 98).

Semakin tinggi dosis, kandungan senyawa kimia juga semakin banyak. Peningkatan dosis berbanding lurus dengan peningkatan bahan racun, sehingga daya bunuh semakin tinggi untuk membunuh larva (Purba, 2007; Sari, dkk, 2013: 564). Menurut Sastrodihardjo, dkk (1992), senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam ekstrak tapak liman dapat mempengaruhi sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama (Siahaya dan Rumthe, 2014: 115). Senyawa yang terkandung di dalam ekstrak tapak liman tidak membunuh larva ulat tritip instar III secara langsung. Akan tetapi, secara bertahap dengan menghambat aktivitas makan dan menghambat pertumbuhan larva. Adanya aplikasi ekstrak, dapat mengurangi intensitas serangan larva ulat tritip instar III.

Setelah aplikasi pestisida nabati ekstrak tapak liman menyebabkan perubahan perilaku pada larva yang tadinya bergerak lambat hanya untuk memakan sawi, setelah aplikasi ekstrak menjadi bergerak aktif. Hal tersebut dikarenakan larva mencari

tempat berlindung di sisi daun yang tidak tersemprot ekstrak. Namun, setelah beberapa saat, larva ulat tritip instar III tidak bergerak lagi. Meskipun sudah tidak ada aktivitas memakan daun lagi, tetapi larva masih menempel pada daun sawi. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Surtikanti (1981), bahwa peracunan pada serangga dapat mengakibatkan gangguan syaraf yang berakibat pada perilaku serangga menjadi abnormal sehingga larva akan lumpuh dan mati.

Kandungan senyawa yang ada di dalam ekstrak tapak liman merupakan senyawa sekunder yang mempengaruhi sistem syaraf, perilaku berupa penarik/pemikat, penolak (repellent), dan mengurangi nafsu makan (antifeedant). Dari penjelasan di atas, pestisida nabati ekstrak tapak liman merupakan pestisida nabati nonsistemik karena setelah diaplikasikan pada tanaman sawi, tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman sehingga larva ulat tritip instar III menghentikan aktivitas makan. Djojosumarto (2008: 42) menyatakan bahwa, biopestisida nonsistemik bekerja dengan cara mencegah makan (antifeedant), penolak (repellent) dan pengganggu alami.

Menurut cara masuk pestida nabati ke dalam tubuh serangga, senyawa saponin dan flavanoid dalam ekstrak tapak liman berfungsi sebagai antifeedan, racun kontak, dan racun perut (Syakir, 2011: 11-12). Racun kontak adalah biopestisida yang masuk melewati kulit dan terserap melalui dinding atau kulit tubuh serangga (Natadisastra dan Ridad, 2009: 356). Racun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem syaraf yang dapat mengganggu aktivitas serangga (Trizelia, 2001; Petrusdan Ismaya, 2014: 168). Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut

(Djojosumarto, 2008: 43). Racun perut dapat membunuh serangga khususnya dengan merusak atau mengabsorbsi sistem pencernaan (Dantje, 2015: 185). Racun lambung (racun perut/stomach poison) adalah biopestisida yang membunuh serangga sasaran dengan masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, biopestisida dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf serangga) (Djojosumarto, 2008: 42). Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tumbuhan tapak liman merupakan kelompok tumbuhan insektisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali serangga.

3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Ekstrak Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III

Hasil uji Anova satu arah pengaruh dosis ekstrak tapak liman terhadap mortalitas larva ulat tritip instar III ditunjukkan oleh Tabel 6 dan 7.

Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan I

ANOVA Mortalitas

Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Group 5.200 4 1.300 2.407 .083 Within Group 10.800 20 .540

Total 16.000 24

Keterangan: α = 0,05 (taraf kepercayaan 95%).

Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada rata-rata mortalitas larva menurut dosis ekstrak tapak liman yang sudah aplikasikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh harga signifikasi sebesar 0,083 (p>0,05).

Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan II

ANOVA Mortalitas

Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Group 2.000 4 .500 .312 .866 Within Group 32.000 20 1.600

Total 34.000 24

Keterangan: α = 0,05 (taraf kepercayaan 95%).

Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada rata-rata mortalitas larva menurut dosis ekstrak tapak liman yang sudah aplikasikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh harga signifikasi sebesar 0,866 (p>0,05).

Rata-rata mortalitas larva ulat tritip instar III menurut dosis ekstrak tapak liman yang telah diaplikasikan (Tabel 6 dan 7), menunjukkan bahwa kenaikan dosis pestisida nabati ekstrak tapak liman secara statistik antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian, berdasar hasil pengukuran dosis pestisida nabati ekstrak tapak liman berpengaruh terhadap mortalitas larva ulat tritip instar III.

B. Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa pada Tanaman Sawi

1. Jumlah Larva Ulat Tritip Instar III yang menjadi Pupa

Data hasil pengamatan jumlah pupa ulat tritip setelah aplikasi dosis pestisida nabati ekstrak tapak liman ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 8. Data Hasil Pengamatan Jumlah Pupa Ulat Tritip Pe rla ku an Dosis Pembentukan pupa pengamatan ke-1 27 Oktober 2016 Pembentukan pupa pengamatan ke-2 29 Oktober 2016 Pembentukan pupa pengamatan ke-3 31 Oktober 2016 Jumlah Pupa % Pupa 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 P0 0% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 P1 2,5% 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 0 0 0 0 0 14 56 P2 5% 2 1 2 1 1 0 0 2 2 2 0 0 0 0 0 13 52 P3 7,5% 1 1 2 1 1 0 1 2 2 1 0 0 0 0 0 12 48 P4 10% 1 1 1 2 1 2 0 0 1 2 0 0 0 0 0 11 44 P5 Sintetik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan :

P0 : Kontrol negatif (air/0%)

P1 : Tanaman sawi dengan perlakuan dosis pestisida nabati 2,5 % P2 : Tanaman sawi dengan perlakuan dosis pestisida nabati 5 % P3 : Tanaman sawi dengan perlakuan dosis pestisida nabati 7,5 % P4 : Tanaman sawi dengan perlakuan dosis pestisida nabati 10 % P5 : Kontrol positif (pestisida sintetik)

Berdasarkan Tabel 8, pembentukan pupa tertinggi pada dosis 2,5% sebesar 56% dan terendah pada dosis 10% sebesar 44%. Peningkatan dosis ekstrak tapak liman pada penyemprotan pertama, ke dua, dan ke tiga menyebabkan pemendekan fase larva menjadi pupa dan jumlah pupa semakin menurun. Pembentukan pupa berbanding terbalik dengan jumlah mortalitas larva, karena larva yang masih bertahan hidup akan memaksimalkan pertumbuhan metamorfosisnya. Hal ini disebabkan

adanya tekanan saponin dan flavanoid yang merupakan senyawa metabolit sekunder dari tanaman tapak liman.

Ulat tritip mempunyai siklus hidup yang sempurna sehingga disebut holometabola (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96). Siklus hidup ulat tritip dimulai dari telur kemudian berubah menjadi larva (instar I, instar II, instar III, dan instar IV), pupa, dan imago. Rukmana (1994), menyebutkan bahwa siklus hidup larva ulat tritip instar III untuk berubah menjadi pupa membutuhkan waktu 6 hari. Sesuai dengan Herlinda, dkk (2004), sebelum menjadi pupa, larva instar III yang berlangsung selama 2-3 hari harus melewati instar IV terlebih dahulu yang berlangsung selama 3-4 hari baru setelah itu menjadi pupa. Namun, dalam penelitian, sebelum genap 6 hari larva ulat tritip instar III sudah berubah menjadi pupa. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi pemendekan fase larva ulat tritip instar III menjadi pupa karena tekanan, yang disebabkan oleh penyemprotan ekstrak tapak liman. Untuk mengurangi tekanan terhadap saponin dan flavanoid, larva memaksimalkan pertumbuhannya dengan melakukan metamorfosi dini.

Metamorfosis dini pada larva ulat tritip instar III dipengaruhi oleh kandungan minyak atsiri yaitu Precocene I dan precocene II yang berfungsi sebagai anti hormon juvenil. Namun metamorfosis tidak menghasilkan bentuk imago, karena Precocene I dan precocene II menyebabkan tergganggunya proses pergantian kulit serangga. Keadaan tersebut mengakibatkan pupa mengalami kecacatan sehingga terjadi kematian pada pupa (Prijono, 1999). Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan,

aplikasi pestisida nabati tapak liman berpengaruh terhadap percepatan pembentukan pupa ulat tritip.

Gambar13. Siklus Hidup Ulat Tritip Setelah Aplikasi Pestisida Nabati Tapak Liman Sumber : Dokumentasi pribadi dan

http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm

Pada kontrol positif larva ulat tritip instar III telah mengalami kematian, sehingga tidak bermetamorfosis menjadi pupa. Hal tersebut karena akumulasi zat aktif klorpirifos pada pestisida sintetik Dursban 200 EC (Budigunawan, 2004;

Seharusnya Instar III berkisar 2-3 hari dan Instar IV berkisar 3-4 hari (Herlinda, dkk, 2004) tetapi pada penelitian, perubahan larva menjadi pupa hanya memerlukan waktu 2 hari. Larva instar III memperpendek waktu hidupnya. Penelitian 2 hari Teori 10-13 hari Teori 2-8 hari

Imago tidak terbentuk, karena pupa mengalami

kematian

Pada penelitian, pembentukan pupa ulat tritipterjadi selama

24 jam Teori 24 jam Teori 7-47 hari Penelitian 24 jam

Hidayat, dkk, 2012: 4). Menurut Siburian (2013: 887), cara kerja klorpirifos yaitu sebagai racun kontak dan racun perut (lambung) yang menyebabkan tingginya mortalitas larva ulat tritip instar III sehingga tidak ditemukannya pupa pada kontrol positif, sedangkan pada kontrol negatif belum ada yang berubah menjadi pupa pada pengamatan ke tiga. Hal ini karena kontrol negatif hanya disemprot menggunakan air yang tidak memiliki zat aktif, sehingga tidak berpengaruh pada siklus hidup larva.

2. Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa

Analisis statistik pemendekan fase larva ulat tritip instar III setelah aplikasi ekstrak tapak liman ditunjukkan pada Tabel 9 dan 10.

Tabel 9. Hasil Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan I

Dosis Ekstrak Tapak Liman Rata-rata pembentukan pupa ± SD 0% 2,5% 5% 7,5% 10% 0,00±0.00a 1,40±0,55b 1,40±0,55b 1,20±0,45b 1,20±0,45b Total 1,04±0,67

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan rata-rata pembentukan pupa sama.

Aplikasi ekstrak pestisida nabati tapak liman yang pertama (Tabel 9), menunjukkan rata-rata pembentukan pupa ulat tritip tertinggi pada kelompok perlakuan dosis 2,5% yaitu 1,40 ekor dengan standar deviasi sebesar 0,55, dan terendah pada kelompok perlakuan dosis 10% yaitu 1,20 ekor dengan standar deviasi

0,45. Semakin tinggi dosis yang disemprotkan, maka semakin cepat membunuh larva dan larva semakin cepat berubah menjadi pupa.

Tabel 10. Hasil Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan II

Dosis Ekstrak Tapak Liman Rata-rata pembentukan pupa ± SD 0% 2,5% 5% 7,5% 10% 0,00±0,00a 2,80±1,09b 2,60±1,14b 2,40±1,14b 2,20±1,09b Total 1,00±1,38

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan rata-rata pembentukan pupa sama.

Aplikasi ekstrak pestisida nabati tapak liman yang ke dua (Tabel 10), rata-rata pembentukan pupa ulat tritip tertinggi pada kelompok perlakuan dosis 2,5% yaitu 2,80 ekor dengan standar deviasi sebesar 1,09, dan terendah pada kelompok perlakuan dosis 10% yaitu 2,20 ekor dengan standar deviasi 1,09. Semakin tinggi dosis yang disemprotkan, maka semakin cepat membunuh larva dan larva semakin cepat berubah menjadi pupa.

Hasil analisis statistik Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis yang disemprotkan, maka semakin cepat membunuh larva dan larva semakin cepat berubah menjadi pupa. Tekanan senyawa kimia yang dampaknya terakumulasi di dalam tubuh larva pada penyemprotan pertama, ke dua, dan ke tiga, menyebabkan penghambatan perkembangan dan pertumbuhan larva ulat tritip instar III, sehingga untuk dapat bertahan hidup larva memaksimalkan pertumbuhan dengan melakukan metamorfosis dini yang dipengaruhi oleh senyawa Precocene I dan precocene II.

Sesuai Prijono (1999), senyawa tersebut berfungsi sebagai anti hormon juvenil. Namun, metamorfosis tidak menghasilkan bentuk imago, karena senyawa tersebut menyebabkan tergganggunya proses pergantian kulit serangga, sehingga pupa ulat tritip yang terbentuk mengalami kecacatan dan akhirnya mati. Pada kontrol negatif dengan perlakuan air, belum ditemukan adanya larva yang berubah menjadi pupa. Hal ini dikarenakan air tidak mengandung zat kimia yang mempengaruhi siklus hidup ulat tritip. Pada kontrol positif, karena larva sudah mati semua, maka tidak ditemukan adanya larva yang berubah menjadi pupa. Kematian larva pada kontrol positif disebabkan oleh kandungan klorpirifos dari pestisida sintetis Dursban 200 EC yang berfungsi sebagai racun kontak dan racun perut, menyebabkan larva mengalami kematian (Siburian, 2013: 887).

3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman

Dokumen terkait