PENGARUH PESTISIDA NABATI TAPAK LIMAN (Elephantopus scaber L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA ULAT TRITIP (Plutella xylostella)
TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh
Insiwi Purwianshari NIM 13308141049
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Jika kamu tidak dapat menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Saya persembahkan karya ini untuk kedua orang tua hebat,
PENGARUH PESTISIDA NABATI TAPAK LIMAN (Elephantopus scaber L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA ULAT TRITIP (Plutella xylostella)
TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.) Oleh
Insiwi Purwianshari NIM 13308141049
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi dosis penyemprotan ekstrak daun tapak liman terhadap mortalitas hama ulat tritip, pemendekan fase larva menjadi pupa, tingkat kerusakan tanaman sawi, berat basah tanaman sawi, dan dosis pestisida nabati yang paling efektif untuk pengendalian hama ulat tritip.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ekstrak tapak liman. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali, dengan rincian P0 (kontrol air), P1 (ekstrak tapak liman 2,5%), P2 (ekstrak tapak liman 5%), P3 (ekstrak tapak liman 7,5%), P4 (ekstrak tapak liman 10%), dan P5 (pestisida sintetik). Analisis data menggunakan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
Berdasarkan data pengamatan, aplikasi ekstrak tapak liman berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat tritip, rata-rata mortalitas tertinggi pada dosis 10%. Aplikasi ekstrak tapak liman berpengaruh nyata terhadap pemendekan fase larva instar IV, dengan rata-rata persentase tertinggi 56% pada dosis 2,5%. Aplikasi ekstrak tapak liman menyebabkan penurunan persentase kerusakan tanaman sawi, kerusakan terendah pada dosis 10%. Aplikasi ekstrak tapak liman juga berakibat pada peningkatan berat basah tanaman sawi sebesar 40,24 gram.
THE EFFECTS OF “TAPAK LIMAN” (Elephantopus scaber L.) BOTANICAL
PESTICIDE TO THE PEST ON TRITIP CATERPILLAR (Plutella xylostella)
CONTROL IN LETTUCE PLANTS (Brassica juncea L.)
By
Insiwi Purwianshari NIM 13308141049
ABSTRAC
This research aimed to investigate the effects of “tapak liman” extract dosage variance to the “tritip” caterpillar pest mortality, the shortness of larvae-to-pupa phase, the spoiling degree of lettuce plants, the wet weight of lettuce plants, and the most effective dosage of botanical pesticide to control “tritip” caterpillar pest. This research was an experiment research using Complete Random Design, which included a control group and a treatment group using “tapak liman”extracts. Each treatment was repeated 5 times, they were: P0 (water control), P1 (“tapak liman” extract 2,5%), P2 (“tapak liman” extract 5%), P3 (“tapak liman”extract 7,5%), P4 (“tapak liman” extract 10%), and P5 (shynthetic pesticide). Data analysis was done using Anova Test and continued using Duncan Test. Based on the observation data, applying “tapak liman” extracts had affected on “tritip” caterpillar pest mortality, with the highest average at 10% dosage. Applying “tapak liman” extracts had an obvious effect on the shortness of larvae phase in star IV, with the highest average 56% at the 2,5% dosage. Besides, applying “tapak liman” extracts reduced the spoiling lettuce plants, with the lowest spoiling at the 10% dosage. Furthermore, applying “tapak liman” extracts also affected on the increasing of lettuce wet weight for 40,24 grams.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi (TAS) ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Allah SWT atas seluruh nikmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan TAS.
2. Bapak Purwanto dan Ibu Siti Fatimah, selaku orang tua penyusun yang selalu memberikan dukungan, doa, dan motivasi dari awal perkuliahan hingga selesainya TAS ini.
3. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., sekalu rektor Universitas Negeri Yogyakarta
4. Dr. Hartono, M.Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang memberikan persetujuan pelaksanaan TAS.
5. Dr. Paidi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi dan Ketua Program Studi Biologi beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini. 6. Dr. Tien Aminatun, S.Si., M.Si., selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta. 7. dr. Tutiek Rahayu, M.Kes., selaku dosen penasehat akademik yang selalu
memberi masukan yang positif mengenai masalah perkuliahan dari awal hingga penyusunan TAS ini.
9. Prof. Dr. IGP Suryadarma, selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan tugas akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya penyusunan skripsi ini.
10. Taufiqurrahmad Isnanto, selaku adik yang telah banyak membantu dalam penyusunan TAS.
11. Sahabat tercinta, Andrie Kurnia Saputra Setyawan, Rizky Wulandari, dan Diva Aprilia Afifah, yang selalu menyemangati, memberikan banyak motivasi, semangat, berbagi suka duka, dan banyak membantu sampai dengan selesainya TAS ini. Tetap menjadi orang-orang terbaik di hidupku.
12. Rizky, Ismi, Wida, tim skripsi yang banyak membantu dan berbagi ilmu dalam proses penyusunan TAS.
13. CV. TOM, yang banyak membantu dalam mencari hama Plutella xylostella selama penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.
14. Teman-teman Biologi E 2013, yang telah banyak menemani dan membantu saya dalam proses penyusunan TAS.
15. Semua pihak, secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini atas bantuan dan perhatiannya selama penyusunan TAS.
Akhirnya, semoga segala bantuan yang telah diberikan semua pihak di atas menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah dan Tugas Akhir Skripsi ini menjadi informasi bermanfaat bagi pembaca ataupun pihak lain yang membutuhkannya.
Yogyakarta, Mei 2017 Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
SURAT PERNYATAAN... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRAC ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Perumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
G. Batasan Oprasional ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pestisida Nabati ... 9
B. Tapak Liman (Elephantopus scaber L.) ... 14
1. Sinonim ... 14
2. Klasifikasi ... 15
3. Nama Daerah ... 15
4. Morfologi Tanaman ... 15
5. Khasiat ... 16
6. Kandungan Kimia ... 16
a) Saponin ... 16
b) Flavanoid ... 19
c) Minyak atsiri ... 19
C. Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella) ... 20
1. Klasifikasi ... 20
2. Biologi dan Siklus Hidup Hama Ulat Tritip... 21
a) Telur ... 22
c) Pupa ... 25
d) Dewasa/imago ... 25
3. Aktivitas Makan Hama Ulat Tritip ... 26
4. Gejala Serangan Hama Ulat Tritip ... 27
D. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 28
1. Klasifikasi ... 28
2. Deskripsi dan Morfologi Tanaman Sawi ... 29
a) Daun ... 29
b) Akar ... 29
c) Batang ... 30
d) Bunga ... 30
e) Buah ... 30
3. Syarat Tumbuh ... 30
4. Kandungan Gizi Tanaman Sawi... 31
5. Produktifitas Tanaman Sawi ... 32
6. Hama Penyerang Tanaman Sawi ... 32
a) Agrotis ipsilon ... 32
b) Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell)... 32
c) Ulat Kremeng atau tritip (Plutella xylostella) ... 33
d) Spodoptera litura ... 33
e) Kutu daun Aphis sp ... 33
f) Siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris) ... 34
g) Sumpil ... 34
E. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) ... 34
1. Pengendalian Hama Ulat Tritip dengan Pestisida Nabati ... 37
2. Organisme Penganggu Tanaman (OPT) ... 41
F. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis ... 42
G. Kerangka Berpikir ... 45
H. Hipotesis ... 48
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 49
B. Rancangan Penelitian ... 49
C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51
D. Objek Penelitian ... 51
E. Alat dan Bahan ... 51
1. Alat ... 51
2. Bahan... 52
F. Variabel Penelitian ... 52
G. Prosedur Kerja ... 52
1. Persiapan Media Semai ... 52
2. Penyemaian Biji Sawi ... 53
4. Penanaman Sawi ... 53
5. Penyiapan Hama Ulat Tritip... 54
6. Pembuatan Ekstrak Pestisida Nabati ... 54
a) Pembuatan starter ekstrak tapak liman ... 54
b) Pembuatan konsentrasi ekstrak tapak liman ... 55
7. Pembuatan Larutan Pestisida Kimia sebagai Kontrol Positif ... 55
8. Aplikasi Larva Ulat Tritip Instar III ... 55
9. Aplikasi Pestisida Nabati pada Tanaman Sawi ... 56
10.Panen ... 56
H. Teknik Analisis Data ... 56
1. Mortalitas Hama Ulat Tritip ... 56
2. Penghitungan Jumlah Pupa ... 56
3. Berat Basah Tanaman Sawi ... 57
4. Tingkat Kerusakan Tanaman Sawi ... 57
I. Teknik Analisis Data ... 57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III pada Tanaman Sawi ... 58
1. Jumlah Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III ... 58
2. Analisis Statistik Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III ... 60
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III ... 65
B. Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III pada Tanaman Sawi ... 67
1. Jumlah Larva Ulat Tritip Instar III yang menjadi Pupa ... 67
2. Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III yang menjadi Pupa ... 70
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa ... 72
4. Uji Duncan Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa ... 74
C. Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Tingkat Kerusakan Daun Sawi ... 76
1. Tingkat Kerusakan Daun Sawi ... 76
D. Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Berat Basah Tanaman Sawi ... 81
1. Berat Basah Tanaman Sawi ... 81
2. Analisis Statistik Berat Basah Tanaman Sawi ... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
DAFTAR TABEL
1. Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Sawi ... 31
2. Luas Panen, Produksi, dan Rata-Rata Hasil Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2014 ... 32
3. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III ... 58
4. Rata-Rata Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan I... 60
5. Rata-Rata Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan II ... 61
6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan I... 65
7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III Pengamatan II ... 66
8. Data Hasil Pengamatan Jumlah Pupa Ulat Tritip ... 67
9. Hasil Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan I ... 70
10. Hasil Analisis Statistik Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan II ... 71
11. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan I ... 72
12. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan II ... 73
13. Uji Duncan Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan I ... 74
14. Uji Duncan Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Pemendekan Fase Larva Ulat Tritip Instar III menjadi Pupa Pengamatan II ... 75
15. Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Tingkat Kerusakan Daun Sawi... 76
17. Hasil Analisis Statistik Berat Basah Tanaman Sawi ... 83
DAFTAR GAMBAR
1. Tapak Liman ... 14
2. Ulat Tritip ... 20
3. Siklus Hidup Hama Ulat Tritip ... 22
4. Fase Telur Ulat Tritip ... 22
5. Larva Ulat Tritip ... 23
6. Larva Ulat Tritip Instar III ... 23
7. Pupa Muda Ulat Tritip ... 25
8. Imago ... 26
9. Serangan Hama Ulat Tritip ... 28
10. Tanaman Sawi ... 29
11. Kerangka Berpikir ... 47
12. Layout Pot Rancangan Acak Lengkap ... 50
13. Siklus Hidup Ulat Tritip Setelah Aplikasi Pestisida Nabati Tapak Liman ... 69
14. Tanaman Sawi Saat Akan Dipanen ... 78
15. Kerusakan Tanaman Sawi Oleh Larva Ulat Tritip Instar III ... 79
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Ulat Tritip Instar III, Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Pupa Ulat Tritip, Tabel Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Tapak Liman terhadap Tingkat Kerusakan Daun Sawi, dan Tabel Hasil Rata-Rata Berat Basah Tanaman Sawi ... 94
2. Hasil Analisis Statistik ... 95
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Tanaman sawi (Brasicca juncea L.) merupakan salah satu sumber makanan
nabati yang biasa dikonsumi oleh masyarakat Indonesia (Nurshanti, 2010: 89). Sawi
mengandung gizi yang cukup lengkap, sangat baik untuk mempertahankan kesehatan
tubuh (Cahyono, 2003; Nurshanti, 2010: 87). Sawi merupakan sayuran yang
digemari oleh masyarakat Indonesia, konsumennya mulai dari golongan masyarakat
kelas bawah hingga golongan masyarakat kelas atas (Kurniadi, 1992; Nurshanti,
2010: 87). Tanaman sawi tidak lepas dari Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
yaitu Agrotis ipsilon, ulat krop kubis, ulat tritip (Plutella sp), Spodoptera litura, kutu
daun Aphis sp, siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris), dan sumpil. Hama
ulat pemakan daun, ulat tritip (Plutella xylostella) merupakan salah satu hama paling
banyak menyerang tanaman sayur-sayuran dan menyebabkan kerusakan sekitar
12,5% (Sriniastuti, 2005; Nurshanti, 2010: 87). Kerugian besar bahkan kegagalan
panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik. Hama ini
menempati kedudukan sebagai hama utama. Kehilangan hasil akibat serangan hama
ulat tritip cukup tinggi dapat mencapai 100% (Pracaya, 1991; Luhukay, dkk, 2013:
164-165). Pada banyak komoditas pertanian penting, hama tanaman merupakan
faktor pembatas bagi program peningkatan produksi. Sampai saat ini upaya
pengendalian secara konvensional sering dilakukan oleh kebanyakan petani Indonesia
penyemprotan yang tinggi (Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 92). Penggunaan
pestisida paling banyak pada tanaman holtikutura, khususnya tanaman sayuran yang
justru hasilnya langsung dikonsumsi manusia baik dalam bentuk yang sudah dimasak
atau masih mentah (Untung, 1993: 3). Penggunaan pestisida sintetik dapat
menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan lingkungan. Selain mempunyai
spektrum luas, tidak hanya membunuh hama sasaran, pestisida sintetik juga dapat
membunuh parasitoid, predator, dan hama bukan sasaran yang berarti dapat
mengganggu keseimbangan alami (Untung, 1996; Mulyaningsih, 2010: 92). Selain
itu, dapat menimbulkan resistensi, resurjensi, peledakan hama kedua, dan keracunan
pada manusia (Sheiton, dkk, 1995; Mulyaningsih, 2010: 92).
Banyaknya penggunaan pestisida sintetik yang kurang bijaksana, maka
dilakukan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang bertujuan untuk mengurangi
penggunaan pestisida sintetik sehingga menghasilkan produk pertanian yang bebas
bahan kimia. Pada hakikatnya, PHT dititikberatkan pada pengendalian yang tidak
mengganggu keseimbangan alami, yaitu pada ekosistem pertanian agar terjaga
keseimbangan antara populasi hama dan populasi musuh alaminya (Permadi, 1993;
Mulyaningsih, 2010: 92). Penggunaan pestisida nabati sebagai agensia hayati
semakin memperoleh perhatian besar, dengan dibuatkannya kebijakan pemerintah
tentang PHT diperkuat oleh Inpres No. 3/1986 dan UU No. 2/1992 (Sistem Budidaya
Tanaman). UU No. 12/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang sangat
berat bagi siapa saja yang menyalahgunakan penggunaan pestisida sintetik baik
Salah satu cara pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida nabati
(Petrus dan Ismaya, 2014: 163). Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari
tumbuhan, yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi OPT, tidak
mencemari lingkungan, dan biaya yang dikeluarkan lebih terjangkau di kalangan
petani di Indonesia. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alam (
Bio-degredable), sehingga residu pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan
(Haryono, 2012: 1). Menurut Harjono (1999), daya kerjanya selektif, residu cepat
terurai, tidak beracun, tidak menimbulkan pencemaran (air, tanah, udara. dan
tanaman), tidak menimbulkan kekebalan serangga, murah, dan mudah didapatkan.
Oleh sebab itu, penggunaan pestisida nabati merupakan solusi untuk permasalahan di
atas.
Alam telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk
menanggulangi serangan hama pada tanaman. Tanaman tapak liman merupakan salah
satu tanaman yang mengandung beberapa senyawa kimia. Pada daun tapak liman
banyak mengandung saponin dan flavanoid (Asmaliyah, dkk, 2010: 50). Menurut
Harborne (1987) di dalam daun tapak liman juga terkandung minyak atsiri (Monalisa,
2010: 12). Saponin merupakan racun kontak dan racun perut. Saponin dapat
mengurangi daya makan dan menyebabkan terganggunya permeabilitas membran
sitoplasma yang berakibat pada kebocoran materi intraseluler dan menyebabkan lisis
sel (Maisaroh, 2007). Flavonoid berfungsi menghambat pertumbuhan larva (Karimah,
2006; Kurniawan, dkk, 2013: 206). Menurut Sastrodihardjo, dkk (1992), flavanoid
(Siahaya dan Rumthe, 2014: 115). Minyak atsiri berfungsi sebagai anti hormon
juvenil. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat di dalam tanaman tapak liman
efektif untuk mengendalikan hama. Pestisida nabati dengan menggunakan ekstrak
tapak liman juga telah diteliti oleh Asikin (2013: 1), mengenai Ekstrak Tapak Liman
(Elephantopus scaber L.) sebagai Biopestida terhadap Hama Ulat Grayak.
B. Identifikasi Masalah
1. Tanaman sawi banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, dalam
budidayanya tidak terlepas dari OPT. Bagaimana pengendalian OPT pada
tanaman sawi ?
2. Untuk membasmi OPT para petani menggunakan pestisida sintetik.
Penggunaan pestisida sintetik banyak menimbulkan dampak negatif yaitu
pencemaran lingkungan, resistensi hama, timbulnya resurjensi hama, letusan
hama kedua, dan keracunan pada manusia. Bagaimana cara pengendalian hama
yang bebas pestisida sintetik ?
3. Penggunaan pestisida nabati merupakan pengendalian hama yang ramah
lingkungan. Dapatkah pestisida nabati digunakan untuk mengendalikan OPT ?
4. Alam telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat digunakan untuk
menanggulangi serangan hama. Tanaman tapak liman mengandung beberapa
senyawa kimia. Dapatkah digunakan untuk mengendalikan hama ulat tritip ?
5. Daun tapak liman mempunyai kandungan saponin, flavanoid, dan minyak atsiri.
6. Hama ulat tritip merupakan hama penyerang tanaman sawi yang menjadi
konsumsi masyarakat. Bagaimana cara pengendalian hama ulat tritip yang
ramah lingkungan ?
7. Seberapa besar mortalitas yang ditimbulkan dari penggunaan ekstrak tapak
liman sebagai pestisida nabati ?
8. Daun tapak limanmempunyai kandungan saponin, flavanoid, dan minyak atsiri.
Dapatkah digunakan untuk memperpendek fase larvaulat tritip menjadi pupa?
9. Daun tapak liman mempunyai kandungan saponin, flavanoid, dan minyak atsiri.
Dapatkah digunakan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama ulat
tritip pada tanaman sawi ?
10. Bagaimana pengaruh efektifitas ekstrak tapak liman dalam pengendalian hama
ulat tritip pada tanaman sawi ?
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, penelitian ini
dibatasi pada pengaruh pemberian variasi dosis ekstrak tapak liman terhadap
mortalitas hama ulat tritip, pemendekan fase larva ulat tritip menjadi pupa, tingkat
kerusakan tanaman sawi, berat basah tanaman sawi, dan dosis pestisida nabati yang
paling efektif dengan membandingkan masing-masing dosis perlakuan.
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap
2. Bagaimana pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap
pemendekan fase larva ulat tritip menjadi pupa ?
3. Bagaimana pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap berat
basah tanaman sawi ?
4. Bagaimana pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap tingkat
kerusakan tanaman sawi ?
5. Berapakah dosis pestisida nabati tapak liman yang paling efektif terhadap
pengendalian hama ulat tritip ?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap
mortalitas hama ulat tritip.
2. Mengetahui pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap
pemendekan fase larva ulat tritipmenjadi pupa.
3. Mengetahui pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap berat
basah tanaman sawi.
4. Mengetahui pengaruh variasi dosis pestisida nabati tapak liman terhadap tingkat
kerusakan tanaman sawi.
5. Mengetahui dosis pestisida nabati tapak liman yang paling efektif terhadap
pengendalian hama ulat tritip.
1. Bagi Petani dan Masyarakat
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat mengenai
kandungan yang terdapat di dalam daun tapak liman terhadap pengendalian
hama ulat tritip padatanaman sawi.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan kajian mengenai
manfaat dan kandungan daun tapak liman terhadap pengendalian hama ulat
tritip padatanaman sawi.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat dan petani agar
menerapkan penggunaan pestisida nabati khususnya tanaman tapak liman
dalam pengendalian hama ulattritippada tanaman sawi.
d. Dapat mengurangi dampak negatif dari pencemaran lingkungan akibat
penggunaan pestisida sintetik.
2. Bagi Saintis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi
para saintis dalam mengembangkan penelitian yang berkaitan dengan pestisida
nabati untuk pengendalian hama ulattritippada tanaman sawi.
G. Batasan Oprasional
1. Tanaman sawi yang akan diinfeksi oleh larva ulat tritip adalah tanaman sawi
jenis Brassica juncea L. yang berumur 21 hari setelah tanam.
3. Hama ulat tritip yang digunakan adalah Plutella xylostella larva instar III
dengan kisaran panjang 7 mm, lebar 0,75 mm, dan berwarna hijau.
4. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, salah satunya
tapak liman.
5. Bagian tanaman tapak liman yang digunakan adalah daun yang tidak terlalu tua
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pestisida Nabati
Perlindungan tanaman merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya
menekan kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan oleh OPT. Penggunaan
pestisida sebagai salah satu komponen pengendalian OPT sebaiknya diterapkan
secara bijaksana. Hal ini berkaitan dengan dampak negatif yang ditimbulkan berupa
resurgensi, resistensi, matinya populasi musuh alami, dan pencemaran lingkungan
melalui residu yang ditinggalkan serta terjadinya keracunan pada manusia (Petrus dan
Ismaya, 2014: 163).
Sampai saat ini penggunaan pestisida sintetik paling banyak pada tanaman
holtikutura, khususnya tanaman sayuran yang justru hasilnya langsung dikonsumsi
manusia, baik dalam bentuk yang sudah dimasak atau masih mentah (Untung, 1993:
3). Pengendalian hama oleh petani masih tergantung pada penggunaan pestisida
sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat.
Namun, petani cenderung menggunakan pestisida sintetik dengan takaran yang
berlebihan, sehingga penggunaan pestisida sintetik perlu dikelola dan dikendalikan
secara efektif dan aman bagi lingkungan (Julaily, dkk, 2013; Petrus dan Ismaya,
2014: 163). Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi
yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013; Afifah, dkk, 2015: 2).
Dampak penggunaan pestisida sintetik diantaranya :
1. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida sintetik
Karena hama terus-menerus mendapatkan tekanan oleh pestisida maka melalui
proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani (Untung, 1996: 12).
2. Timbulnya resurjensi hama
Dampak pestisida sintetik yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya
resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya hama setelah hama tersebut
memperoleh perlakuan pestisida sintetik tertentu. Apabila pada peristiwa resistensi
hama menjadi lebih tahan terhadap pestisida sehingga sulit untuk dimusnahkan, tetapi
pada peristiwa resurjensi justru populasi hama tersebut semakin meningkat setelah
memperoleh penyemprotan pestisida. Dengan adanya sifat resurjensi ini penggunaan
pestisida tidak hanya sia-sia tetapi malah sangat membahayakan (Untung, 1996:
12-13).
3. Letusan hama ke dua
Setelah perlakuan pestisida sintetik tertentu secara intensif ternyata hama
sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan
menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak
membahayakan (Untung, 1996: 13). Upaya untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, sudah saatnya dikembangkan penggunaan pestisida nabati yang merupakan
sendiri serta relatif cukup aman bagi lingkungan. Pestisida nabati merupakan produk
alam yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bioaktif seperti senyawa
sekunder. Jika diaplikasikan ke sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem syaraf,
terganggunya sistem reproduksi, keseimbangan hormon, perilaku berupa
penarik/pemikat, penolak, mengurangi nafsu makan, dan terganggunya sistem
pernafasan (Hidayat, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 163).
Menurut Haryono (2012: 1), pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari
tumbuhan, sedangkan arti pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan
untuk mengendalikan populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di
alam (Bio-degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak
signifikan. Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga, misal: dengan bau yang
menyengat.
2. Antifeedan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.
3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4. Menghambat reproduksi serangga betina.
5. Racun syaraf.
6. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
7. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap
serangga.
Pestisida nabati terbuat dari sari bagian tanaman yang mengandung senyawa
metabolit sekunder tertentu. Bagian tanaman yang dapat digunakan yaitu bunga,
buah, biji, kulit batang, daun, dan akar (Afifah, dkk, 2015: 2). Indonesia dikenal
dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (Mega-biodiversity)
terbesar kedua di dunia setelah Brazil, termasuk memiliki sejumlah tanaman yang
dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida, baik yang langsung digunakan atau
dengan ekstraksi sederhana dengan air, ekstraksi dengan pelarut organik lainnya
ataupun dengan cara penyulingan, tergantung kepada tujuan dari formula yang akan
dibuat (Rusli dkk, 1993; Sambodo, 2010: 6).
Kemampuan air dalam mengekstrak bahan aktif yang bersifat insektisidal dari
tumbuhan umumnya terbatas, karena senyawa aktif tersebut merupakan senyawa
organik yang kesetimbangan polarnya cenderung tidak polar dan karena keterbatasan
air dalam mensuspensiakan kandungan senyawa aktif (Rusli dkk, 1993; Sambodo,
2010: 6). Ekstrak air mempunyai kecenderungan tidak lama. Pada penelitian ekstrak
biji air mimba setelah tiga hari mengalami penurunan pH hingga 4,2, pada kondisi pH
tersebut terjadi fermentasi yang menyebabkan bau busuk. Hal senada dikatakan
bahwa proses fermentasi yang menyebabkan bau busuk pada ekstrak air daun dan biji
mimba sudah terjadi pada 60 jam setelah ekstraksi (Priyadi, 1999; Sambodo, 2010:
6).
Pengendalian hayati memberikan keuntungan yang paling utama yakni tidak
mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah hanya tingkat
secara kimiawi. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari penggunaan pestisida
nabati.
1. Kelebihan
a. Mudah dan cepat terdegradasi oleh sinar matahari,
b. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun perut dan syaraf) dan
bersifat selektif,
c. Dapat digunakan untuk mengendalikan OPT yang telah resisten terhadap
pestisida sintetik,
d. Fitotoksisitas rendah,
e. Aman terhadap manusia, hewan, dan lingkungan, dan
f. Relatif murah dan mudah dibuat oleh petani.
2. Kelemahannya:
a. Cepat terurai dan daya tahannya relatif lambat sehingga perlu aplikasi lebih
sering,
b. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga),
c. Kurang praktis dibanding dengan pestisida sintetik yang sudah siap dalam
kemasan,
d. Tidak ada keseragaman bahan, dan
e. Tidak tahan lama disimpan.
(Siswantodan Elna, 2012 : 108).
Penggunaan pestisida nabati sebagai agensia hayati semakin memperoleh
menimbulkan resistensi, resurjensi, dan peledakan hama kedua (Sheiton, dkk, 1995;
Mulyaningsih, 2010: 2).
B. Tapak Liman (Elephantopus scaber L.)
Tanaman tapak liman (Elephantopus scaber L.) merupakan gulma dan belum
dibudidayakan. Pada tempat-tempat tertentu sering ditemukan dalam jumlah banyak
terutama di lapangan rumput. Tanaman ini berasal dari Amerika di daerah tropik dan
memiliki keanekaragaman yang kecil.
Gambar 1. Tapak Liman
Sumber : Dokumentasi pribadi
1. Sinonim
Asterocephalus cochinchinensis soreng, Scabiosa cochinchinensis Lour
2. Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiosperma
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Elephantopus
Jenis : Elephantopus scaber L.
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
3. Nama Daerah
Tapak liman dan tutup bumi.
4. Morfologi Tanaman
Tanaman tapak liman termasuk terna tegak dengan rimpang yang menjalar,
tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang kaku, berambut panjang dan rapat, dan
bercabang. Daun berkumpul di bawah, membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar
telur sungsang, panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan
daun agak berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak, berbentuk bulat telur
dan sangat tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala
berbentuk jorong, lanset, sangat tajam, dan berselaput. Empat daun pembalut
dibagian dalam panjang 10 mm berambut rapat. Panjang mahkota bunga 7 mm
sampai 9 mm, berbentuk tabung, berwarna putih, ungu, kemerahan, dan ungu pucat.
Buah merupakan buah longkah, panjang 4 mm, berambut; berambut kasar, melebar
5. Khasiat
Daun tapak liman berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk, obat sariawan
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), obat demam, peluruh kencing (diuretik)
sedangkan akar dapat digunakan untuk mengobati malaria (Mardisiswojo dan
Sudarsono, 1985).
6. Kandungan Kimia
Bagian tanaman tapak liman yang banyak mengandung senyawa metabolit
sekunder adalah daun. Daun yang biasa yang digunakan adalah daun-daun yang tidak
terlalu tua dan tidak terlalu muda (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985). Menurut
Asmaliyah, dkk, (2010: 50), di dalam daun tapak liman terkandung senyawa saponin,
flavonoid, dan polifenol. Tapak liman dikenal mengandung sejumlah senyawa kimia
seperti lipid, fitokimia, farmakeutik, dan pigmen. Sebagai contoh etil heksadekanoat,
etil l-19, 12-oktadekadienoat, etil-(Z)-9-oktadekanoat, etil dekanoat,
deoxyelephantopin (iso-17,19-dihidrodeoxyelephantopin dan
17,19-dihidrodeoxyelephantopin), isodeoxyelephantopin, elephantopin, triterpen,
stigmasterol, stigmasterol glukosida, epifriedelinol dan lupeol (Avani & Neeta, 2005;
Monalisa, 2010: 12). Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri
adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12).
a) Saponin
Saponin diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: saponin steroid dan saponin
karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal
sebagai saraponin. Saponin steroid diekskresikan setelah konjugasi dengan asam
glukoronida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintesis dari obat
kortikosteroid. Contoh senyawa saponin steroid diantaranya Asparagosides
(Asparagus officinalis), Avenocosides (Avena sativa), Disogenin (Dioscorea
floribunda dan Trigonella foenum graceum). Sedangkan, saponin triterpenoid
tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dihidrolisis menghasilkan
suatu aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah
dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah
turunan-amyirine. Contoh senyawa triterpen steroid adalah Asiaticoside (Centella
asiatica), Bacoside (Bacopa monneira), dan Cyclamin (Cyclamen persicum).
Menurut Hartono (2011: 1), saponin adalah jenis glikosida yang banyak
ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Ketika
saponin direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat
bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin
memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan iritasi pada selaput lendir (Hartono,
2011: 1). Jika senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh serangga akan menjadi racun
kontak dan racun perut (Carino dan Rejesus, 1982). Racun kontak masuk ke
dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk,
racun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem syaraf sehingga dapat
mengganggu aktivitas serangga (Trizelia, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 168).
saponin memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan
efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui
epikutikula serangga, senyawa tersebut masuk ke dalam jaringan di bawah integumen
menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan
kutikula. Hal tersebut menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak
kehilangan air (Cottrell, 1987; Hidayati, dkk, 2013: 98).
Saponin dapat merendahkan tegangan permukaan. Terjadinya interaksi antara
saponin dengan membran sel karena sifat aktif saponin pada permukaan sel mampu
berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol. Kondisi tersebut menyebabkan
terganggunya permeabilitas membran sitoplasma yang berakibat pada kebocoran
materi intraseluler dan menyebabkan lisis sel (Maisaroh, 2007). Jika sel lisis maka
jaringan-jaringan yang ada pada sel rusak dan tidak bisa saling berhubungan dengan
jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan
larva mati (Widodo, 2005).
Selain masuk melalui kutikula, dapat juga melalui makanan yang berpengaruh
terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi, di antaranya menyebabkan
iritasi membran mukosa pada kerongkongan (Widodo, 2005; Kurniawan, dkk, 2013:
205-206). Saponin dapat menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang
berakibat pada terganggunya sistem pencernaan, terhambatnya perkembangan dan
menyebabkan kematian jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi (Widodo,
2005). Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan
dalam proses penyerapan makanan terganggu maka nutrisi yang diperoleh ulat tritip
hanya sedikit sehingga menakibatkan kematian.
b) Flavanoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon, umumnya tersebar
di dunia tumbuhan. Flavonoid adalah pigmen tanaman untuk memproduksi warna
bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada kelopak yang digunakan untuk
menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir ada pada semua bagian tumbuhan
termasuk buah, akar, daun, dan kulit luar batang (Mirna, dkk, 2013: 51).
Flavonoid merupakan senyawa fenol, bekerja dengan cara mendenaturasi
protein (Hidayati, dkk, 2013: 98). Sastrodihardjo (1992), senyawa flavonoid dapat
mempengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama.
Senyawa tersebut merupakan racun kontak, karena masuk melalui membran sel
sehingga memengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan
hama. Menurut Sastrodihardjo (1979), di dalam hemolimfa terdapat protein, jika
protein terdenaturasi oleh flavonoid maka bahan makanan tidak bisa disalurkan dari
alat pencernaan ke seluruh jaringan tubuh larva, sehingga larva akan kekurangan ATP
dan mengakibatkan kematian (Hidayati, dkk, 2013: 98).
c) Minyak atsiri
Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah
satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid
(Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12). Secara kimia terdapat 40 konstituen utama
sesqueterpenoid (13,95 %), dan 8 jenis senyawa chromene (71,05%). Dari 8 jenis
senyawa chromene, terdapat Precocene I (6,7-dimetoksi-2,2-dimetilchromene) dan
Precocene II (7-metoksi-2,2-dimetilchromene) (Adeleke, dkk, 2002; Susanto, 2010:
4). Senyawa Precocene I dan precocene II yang terkandung di dalam ekstrak tapak
liman berfungsi sebagai anti hormon juvenil menyebabkan tergganggunya proses
pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati dan mengalami
metamorfosis dini (Prijono, 1999).
C. Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella)
Hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia,
ternak, dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan
kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau
hasilnya yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis
(Dadang, 2006).
1. Klasifikasi
Gambar2. Ulat Tritip
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella L.
2. Biologi dan Siklus Hidup Hama Ulat Tritip
Di Indonesia, hama ulat tritip merupakan hama utama pada tanaman kubis
(Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Ulat ini sering disebut hama bodas,
hama kracang, hama wayang dan ulat tritip (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96).
Ulat daun ini dikenal dengan nama diamondback moth merupakan serangga
kosmopolit yang dapat hidup di daerah tropik, sub tropik, dan yang beriklim sedang
(Kalshoven, 1981; Irawati, 2000: 27). Hama ini bersifat polifag, khususnya pada
famili Cruciferae, diantaranya kubis, lobak, kubis bunga, dan kubis tunas.
Ulat tritip mempunyai siklus hidup yang sempurna sehingga disebut juga
holometabola. Siklus hidup pada ulat tritip yaitu telur – larva – pupa – imago. Telur,
larva, dan pupa hidup pada inang, sedangkan imagonya hidup pada inang atau
tanaman lain yang berdekatan dengan inang (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih,
Gambar3. Siklus Hidup Ulat Tritp
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
a) Telur
Gambar4. Fase Telur Ulat Tritip
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
Telur diletakkan di balik daun secara terpisah satu persatu, kadang-kadang
dua-dua atau tiga-tiga butir perkelompok (Rukmana,1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Telur
berbentuk oval dengan ukuran lebar 0,26 mm, panjang 0,49 mm dan berwarna
kuning cerah saat baru diletakkan dan berwarna lebih tua saat menjelang menetas 2-8 hari
2-8 hari 10-13 hari
(Setiawati, 1996; Mulyaningsih, 2010: 96). Stadium telur berkisar antara 2 sampai 8
hari.
b) Larva
Larva terdiri dari empat instar (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010:
96). Panjang setiap instar larva tidak lebih dari 1,7 mm untuk larva instar I, tidak
lebih dari 3,5 mm untuk larva instar II, dan instar III dan IV panjang badannya tidak
lebih dari 7 mm dan 11,2 mm berturut-turut (Capinera, 2000; Wardhani, 2004: 9).
Gambar 5 Gambar 6
(5) Larva Ulat Tritip (6) Larva Ulat Tritip Instar III
Sumber: (5) http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm, (6) Dokumentasi pribadi
Menurut Herlinda, dkk (2004), instar I (yang baru menetas) berkisar 3-4 hari,
berwarna hijau pucat, kepalanya berwarna hitam cenderung pasif, makan daun kubis
dengan cara membuat lubang galian ke dalam jaringan permukaan bawah daun dan
membuat liang-liang korokan ke dalam jaringan parenkim sambil memakan daun.
Larva instar II berkisar 1-2 hari, berwarna hijau tua dengan kepala berwarna hitam,
kemudian larva ke luar dari liang-liang korokan yang transparan dan makan jaringan
IV berkisar 3-4 hari (Herlinda, dkk, 2004). Instar III dan IV, memiliki ciri kepala
berwarna hijau sampai coklat, memakan bagian bawah daun lebih banyak dari
instar-instar sebelumnya (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Secara
keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda, dkk, 2004). Pada
ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12 hari dan di bawah
ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010:
96).
Larva selalu berada di bawah permukaan daun dan di antara vena daun.
Selanjutnya larva memakan jaringan bawah daun dengan membentuk seperti jendela
pada bagian bawah daun, tetapi tidak memakan vena daun. Larva ini lebih suka
memakan daun yang masih muda dan lebih banyak ditemukan bergerombol di
sekitar titik tumbuh (Shelton, dkk, 1993; Mulyaningsih, 2010: 96). Jika serangan
parah tanaman tidak dapat membentuk krop dan akhirnya tanaman mati. Umumnya
pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab dibutuhkan energi yang
cukup banyak untuk pertumbuhan, bergerak dan cadangan makanan sewaktu
pembentukan pupa (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 96).
Instar II sampai IV berperilaku lincah, jika terganggu akan menggeliat jatuh
dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang sutera (Rukmana, 1997;
Mulyaningsih, 2010: 96). Larva akan naik kembali pada daun melalui benang
sutranya apabila keadaan sudah aman (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010:
permukaan bawah daun yang terlindung untuk menghindari sinar matahari (Permadi,
1993).
c) Pupa
Gambar7. Pupa Muda Ulat Tritip
Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm
Pembentukan pupa mula-mula dibuat dari bagian dasar, bagian sisinya,
kemudian tutupnya yang masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan
pernafasan. Pupa muda berwarna hijau dan setelah 24 jam berubah menjadi coklat
kehitaman (Suyanto, 1994; Mulyaningsih, 2010: 97). Pupa berukuran panjang 5-6
mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. Pupa terselubungi kokon dengan stadium pupa
6-7 hari pada ketinggian 1100-1200 m dpl dan 4 hari di bawah ketinggian 250 m dpl
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97).
d) Dewasa/imago
Gambar8. Imago
Sumber:http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth.htm 24 jam
Imago berwarna coklat keabu-abuan, imago jantan berukuran lebih kecil
dibandingkan imago betina dengan warna lebih cerah, warna sayap betina agak pucat
dan aktif pada malam hari (Ashari, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Imago berupa
ngengat kecil dengan ukuran panjang 8-10 mm. Ketika sayapnya menutup (saat tidak
terbang), sepanjang bagian punggung ngengat terdapat satu ciri tertentu, yaitu 3
bentuk segi empat “diamond back moth” (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih,
2010: 97). Imago betina mampu bertelur 180-320 butir yang diletakkan di bawah
permukaan daun, mengelompok atau terpisah pada tanaman lain. Satu imago betina
dapat meletakkan telur pada bermacam-macam tanaman Cruciferae (Pracaya, 1993;
Mulyaningsih, 2010: 97). Cara penyebarannya berpindah-pindah dari satu tanaman
ke tanaman lain atau antar daerah yang berdistribusi sangat jauh dengan bantuan
hembusan angin (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 97). Ngengat kecil lebih suka
beristirahat di bawah permukaan daun, pada bagian tanaman yang “protective”
baginya (Shelton, dkk, 1995; Mulyaningsih, 2010: 97). Lama hidup ngengat betina
berkisar antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari,
dengan rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat betina antara
18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur yang diproduksi setiap ngengat betina
dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, umur, dan kondisi makan larva (Mau dan
Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97).
Serangga akan menghadapi dua hal untuk memulai aktivitas makan, yang
pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding
stimulant) dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis
makanan dan menjaga aktivitas makan dan yang ke dua adalah pendeteksian
kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai
penghambat makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali (Dadang
dan Kanju, 2000: 30).
4. Gejala Serangan Hama Ulat Tritip
Ulat tritip biasanya menyerang tanaman pada saat berumur 2-6 minggu
(Rukmana, 1994; Siahaya dan Rumthe, 2014: 113). Hama ulat tritip memakan
daun-daun baik pada tanaman yang masih muda maupun tanaman yang sudah tua (Trizelia,
2002; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Mula-mula larva akan merusak daun dengan cara
menggigit mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian bawah
daun rusak, epidermis bagian atas terlihat putih transparan. Setelah daun tersebut
tumbuh dan melebar, lapisan epidermis akan robek sehingga daun tampak berlubang
(Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Gejala serangan oleh hama ini
khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang
baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang galian pada permukaan
bawah daun, selanjutnya larva membuat lorong (gerekan) ke dalam jaringan parenkim
sambil memakan daun.
Larva instar II, keluar dari liang gerekan yang transparan dan memakan
Larva instar III dan IV memakan seluruh bagian daun sehingga meninggalkan ciri
yang khas, yaitu tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang
daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Mulyaningsih, 2010: 97-98). Tingkat
populasi larva ulat tritip tertinggi terjadi pada tanaman yang berumur 6 sampai 8
minggu setelah tanam. Tingkat populasi larva yang tinggi dapat mengakibatkan
serangan yang sangat berat pada tanaman. Serangan larva ini terjadi secara eksplosif
pada musim kemarau, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai seratus
[image:46.612.278.435.347.457.2]persen (Pracaya, 1993; Mulyaningsih, 2010: 97-98).
Gambar 9. Serangan Hama Ulat Tritip Sumber : Dokumentasi pribadi
D. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) 1. Klasifikasi
Menurut Tina, dkk (1994), klasifikasi tanaman sawi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rhoeadales
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
(Nurshanti, 2010: 90).
Gambar 10. Tanaman Sawi Sumber : Dokumentasi pribadi
2. Deskripsi dan Morfologi Tanaman Sawi
Sawi termasuk jenis tanaman sayuran dan tergolong kedalam tanaman semusim
(berumur pendek).
a. Daun
Daun tanaman sawi berbentuk bulat dan lonjong, lebar dan sempit, tidak
berbulu, berwarna hijau muda, hijau keputih-putihan sampai hijau tua. Daun memiliki
tangkai daun panjang dan pendek, sempit atau lebar berwarna putih sampai hijau,
bersifat kuat dan halus. Pelepah daun tersusun saling membungkus dengan
pelepah-pelepah daun yang lebih muda tetapi tetap membuka. Daun memiliki tulang-tulang
daun yang menyirip dan bercabang-cabang (Kurniadi, 1992; Nurshanti, 2010: 90).
b. Akar
Tanaman sawi memiliki sistem perakaran akar tunggang (radix primaria)
seluruh arah pada kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi menyerap
unsur hara dan air dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman
(Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 90).
c. Batang
Tanaman sawi memiliki batang (caulis) yang pendek dan beruas, sehingga
hampir tidak kelihatan. Batang berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang
berdirinya daun. Sawi umumnya berdaun dengan struktur daun halus dan tidak
berbulu. Daun sawi membentuk seperti sayap bertangkai panjang dan berbentuk pipih
(Rahmat, 2007; Nurshanti, 2010: 91).
d. Bunga
Bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi)
dan bercabang banyak. Setiap kuntum bunga terdiri dari empat helai kelopak, empat
helai mahkota berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik
yang berongga dua. Penyerbukan bunga sawi dapat berlangsung dengan bantuan
serangga lebah maupun bantuan manusia. Hasil penyerbukan ini akan membentuk
buah yang berisi biji (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91).
e. Buah
Buah sawi termasuk tipe buah polong yakni berbentuk memanjang dan
berongga (Haryanto, 2003; Nurshanti, 2010: 91).
3. Syarat Tumbuh
Sawi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, akan tetapi keadaan alam
dengan baik. Tanaman sawi dapat tumbuh di tempat yang berhawa panas maupun
hawa dingin, tetapi dapat tumbuh baik dengan iklim yang kering pada suhu 15 – 20
o
C dan ketinggian 5 – 1200 mdpl. Tanah yang baik untuk ditanami sawi adalah tanah
gembur, banyak mengandung humus dan kaya akan bahan organik, jenis tanah
andosol dan regosol, memiliki pembuangan air yang baik dengan derajat keasaman
(pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 6 – 7 (Nurhayati,
dkk, 1984; Nurshanti, 2010: 92). Tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk akan
lebih baik tumbuh ditanam pada suasana yang lembab, dan tidak menyukai air yang
menggenang. Jarak tanam yang baik untuk tanaman sawi adalah 20x20 cm (Haryanto,
2003; Nurshanti, 2010: 92).
4. Kandungan Gizi Tanaman Sawi
Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang diterbitkan
oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zat-zat makanan yang
terkandung dalam setiap 100 gram berat basah sawi ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Sawi
Zat gizi Sawi
Protein (g) 2,3
Lemak (g) 0,3
Karbohidrat (g) 4,0
Ca (mg) 220,0
P (mg) 38,0
Fe (mg) 2,9
Vitamin A (mg) 1.940,0
Vitamin B (mg) 0,09
Vitamin C (mg) 102
5. Produktifitas Tanaman Sawi
Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Rata-Rata Hasil Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2014
No Komoditas Luas Panen
(Ha) Produksi (Ton)
Rata-Rata Hasil (Ton/Ha)
1 Kubis 63.116 1.435.833 22,75
2 Kembang kol 11.303 136.508 12,08 3 Petsai/Sawi 60.804 602.468 9,91
4 Kangkung 52.541 319.607 6,08
5 Bayam 45,325 134.159 2,96
Sumber: (Taufik, 2014: 19) dimodifikasi.
6. Hama Penyerang Tanaman Sawi
Hama tanaman sawi yang cukup penting menurut Tjahjadi (1989: 107) sebagai
berikut.
a) Agrotis ipsilon
Hama ini merusak tanaman kubis, sawi, dan petsai pada saat di persemaian
hingga beberapa minggu setelah tanaman di lapangan. Gejala serangan yang khas
ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang kubis, sawi, dan petsai.
Ulat aktif pada sore hingga malam hari, sehingga petani hanya menemukan bekas
serangan pada pagi hari (Tjahjadi, 1989: 107).
b) Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell)
Gejalanya yaitu daun bagian dalam yang terlindung oleh daun bagian luar rusak
dan terlihat adanya bekas gigitan. Tidak heran bila dari luar tanaman masih terlihat
baik, tetapi bagian dalam sudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi sampai
Ulat krop kubis ini berwarna hijau, terdapat garis berwarna hijau muda dan
rambut berwarna hitam di punggungnya. Serangga dewasa menghasilkan telur yang
jumlahnya 30-80 butir tiap kelompok. Telur menetas dalam jangka warktu 1-2
minggu dan setiap hari jumlah telur akan bertambah (Haryanto, dkk, 2007: 71).
c) Ulat keremeng atau tritip (Plutellaxylostella)
Gejalanya daun tampak seperti karancang putih. Jika lebih diperhatikan
karancang tersebut adalah kulit ari daun yang tersisa setelah dagingnya dimakan ulat.
Selanjutnya daun menjadi berlubang karena kulit ari daun tersebut mengering dan
sobek. Serangan berat menyebabkan seluruh daging daun habis termakan sehingga
yang tersisa hanya tulang-tulang daunnya (Haryanto, dkk, 2007: 72). Ulat keremeng
memiliki warna hijau muda ketika baru menetas. Setelah dewasa berbentuk ngengat
dan warna kepalanya menjadi lebih pucat dan terdapat bintik coklat (Haryanto, dkk,
2007: 72).
d) Ulat grayak (Spodoptera litura)
Ulat ini memakan daun yang tua maupun muda. Tetapi ulat ini juga mempunyai
banyak tanaman inang. Selain dapat menurunkan kuantitas, juga akan menurunkan
kualitas hasil (Tjahjadi, 1989: 108).
e) Kutu daun Aphis sp.
Kutu ini menusuk dan menghisap cairan tanaman, terutama pada musim
kemarau. Jika serangan berat, tanaman akan layu akibat kekurangan cairan. Bekas
tusukan yang ditinggalkan yang kurang baik bagi perkembangan daun, daun akan
f) Siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris)
Siput ini berwarna coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada
punggungnya kerdil dan sedikit menonjol. Siput jenis telanjang halus dan tidak ada
tonjolannya. Panjang siput 5 cm. Siput ini polifag atau pemakan segala tanaman.
Siput sering merusak tanaman yang baru saja tumbuh seperti kol, sawi, tomat,
tembakau, ubi jalar, dan kentang (Pracaya, 2008: 298).
g) Sumpil
Ada 2 jenis sumpil yaitu Lamellaxis gracilis Hutt. dan Subbulina octona Brug.
Sumpil mempunyai rumah yang bentuknya silindris dan berukuran kecil dengan
panjang 11 mm, warnanya kuning muda. Kedua jenis sumpil ini biasanya tercampur
menjadi satu populasi. Binatang ini merusak semai tembakau, kol, sawi, dan
bermacam-macam sayuran (Pracaya, 2008: 298).
E. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi
konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai
penghasil vitamin dan mineral. Bagi perekonomian nasional, peran sayuran semakin
meningkat karena dibeberapa daerah pusat holtikutura telah berhasil mengekspor
beberapa komoditi sayuran seperti kubis, kentang, dan cabai (Untung, 1993: 55).
Oleh karena peran yang sangat penting bagi masyarakat dalam dan luar negeri maka
produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani selalu ditingkatkan.
unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan meningkatkan penggunaan berbagai
masukan produksi seperti bibit, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Usaha
intensifikasi yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya atas dasar pengalaman
dan pengetahuannya yang terbatas serta kurang memperoleh bimbingan dan
pengawasan dari petugas pemerintah (Untung, 1993: 55). Menurut Sastrosiswojo
(1990), rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya produksi
yang digunakan untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur berbagai jenis
pestisida (Untung, 1996: 56). Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata
menyemprot tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval
penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot dengan
interval lebih pendek daripada interval tersebut, terutama bila turun hujan (Untung,
1993: 56).
PHT sebagai konsep dan kebijakan pemerintah dalam setiap program dan
perlindungan tanaman pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki
keadaan dan kehidupan petani sayuran sehingga sumberdaya yang dimiliki dapat
dimanfaatkan secara optimal (Untung, 1993: 56). Menurut Kenmore (1989), PHT
sebagai perpaduan yang terbaik, maksudnya adalah perpaduan penggunaan berbagai
metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas
produksi pertanian, kerugian seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta
petani memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya (Untung, 1996: 9).
Konsep PHT muncul akibat dari kesadaran manusia akan bahaya pestisida sebagai
secara global, sedangkan kenyataan yang terjadi bahwa penggunaan pestisida oleh
petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan
konsep PHT yang merupakan pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat
menekan penggunaan pestisida (Untung, 1996: 80).
Bebrapa faktor yang mendorong penerapan PHT pada tanaman sayuran, yang
pertama adalah kegagalan pengendalian hama secara konvensional. Praktik
penggunaan pestisida yang lazim dilakukan petani sayuran didorong oleh konsep
pengendalian hama yang tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi.
Petani sayuran umumnya menerapkan asas preventif/pencegahan. Penyemprotan
dengan pestisida dianggap sebagai asuransi kesehatan tanaman. Karena dorongan
konsumen petani menjadi takut serangga atau entomofobi. Petani berpendapat setiap
jenis serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas dengan
pestisida. Orientasi penggunaan pestisida bukan lagi efikasi dan efisiensi
pengendalian tetapi sudah berubah menjadi berorientasi pada kepuasan naluri yang
lebih bersifat subyektif dan emosional. Orientasi penggunaan pestisida seperti ini
mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani semakin tidak rasional (Untung,
1993: 58). Faktor yang kedua yang mendorong dan mengharuskan petani sayuran
menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen
pada masa mendatang terutama permintaan akan produk holtikutura yang bebas
residu pestisida. Menigkatnya kesadaran manusia akan lingkungan hidup yang bersih
dan tidak tercemar, maka masyarakat akan semakin menghargai bahan makanan yang
yaitu kebijakan pemerintah. Sejak Pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan
kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan. Kebijakan tentang PHT
kemudian diperkuat oleh Inpres No. 3/1986 dan UU No. 2/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman. UU No. 2/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang
sangat berat bagi siapa saja yang menyalahgunakan penggunaan pestisida baik secara
sengaja maupaun tidak sengaja (Untung, 1993: 59).
PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan beberapa teknik
tentang pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT harus memperhitungkan
dampaknya baik yang bersifat ekologis, ekonomis, dan sosiologis sehingga secara
keseluruhan dapat diperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu, PHT dalam
perencanaan, penerapan, dan evaluasinya harus mengikuti suatu sistem pengelolaan
yang terkoordinasi dengan baik (Untung, 1996: 9).
1. Pengendalian Hama Ulat Tritip dengan Pestisida Nabati
Pemanfaatan pestisida nabati yang berasal dari senyawa sekunder tanaman
telah banyak digunakan untuk pengendalian OPT tanaman pertanian termasuk
tanaman perkebunan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan di dunia telah dilaporkan dapat
berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1988; Siswanto dan
Elna, 2012: 107). Indonesia diperkirakan memiliki kawasan hutan tropis terbesar di
Asia-Pasifik yaitu sekitar 1,15 juta kilometer persegi dengan keanekaragaman
jenis pohon yang paling beragam di dunia (Siswanto dan Elna, 2012: 107). Tingginya
keanekaragaman hayati Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
memiliki jumlah spesies setiap 10.000 km2 antara 2000 – 3000 spesies, banyak
diantaranya berpotensi sebagai bahan baku pestisida (Kardinan, 2002; Siswanto dan
Elna, 2012: 107). Lebih dari 40 jenis tumbuhan dari berbagai provinsi di Indonesia
yang telah dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati (Ditjenbun, 1994;
Siswanto dan Elna, 2012: 107).
Melimpahnya kekayaan flora di Indonesia berpotensi sebagai sumber pestisida
nabati. Pestisida nabati merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan
penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Pestisida nabati
merupakan hasil ekstraksi bagian dari tumbuhan baik dari daun, bunga, buah, biji,
dan akar. Biasanya bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa atau metabolit
sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Siswanto dan
Elna, 2012: 107-108).
Menurut Syakir (2011: 10-11), dalam fisiologi tanaman ada beberapa jenis
tanaman yang berpotensi menjadi bahan pestisida sebagai berikut :
a. Kelompok tumbuhan insektisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan
srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga.
b. Kelompok tumbuhan atraktan atau pemikat, di dalam tumbuhan ini ada satu
bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas
dorsalis. Tumbuhan yang biasa diambil manfaatnya, daun wangi (kemangi) dan
selasih.
c. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini
terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan
populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk penekan kelahiran
umunya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi
biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang biasanya dipakai sebagai
rodentisida nabati adalah gadung racun.
d. Kelompok tumbuhan molukisida adalah kelompok tumbuhan yang
mengahasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman
menimbulkan pengaruh molukisida, diantaranya daun sembung dan akar tuba.
e. Kelompok tanaman fungisida nabati, merupakan kelompok tumbuhan yang
digunakan untuk mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun
sirih, sereh, pinang, da tembakau.
f. Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, dimana kelebihan kelompok ini tak
hanya berfungsi untuk satu jenis misalnya pestisida sintetik saja, tetapi juga
berfungsi sebagai fugisida, bakterisida, molukisida, dan nematisida. Tumbuhan
yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini adalah jambu mete, sirih, tembakau,
dan mimba.
Pestisida dalam hal ini pestisida nabati dapat di