• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN SAMPUL

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI

(Brassica juncea L.)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Disusun oleh: Ismi Nurhidayah

13308141061

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

“Tetap menjadi baik, jika beruntung akan menemukan orang baik. Jika tidak, akan

ditemukan oleh orang baik. Hidup bukanlah tentang siapa yang terbaik, tapi siapa

(6)

PERSEMBAHAN

Penulisan Tugas Akhir Skripsi (TAS) ini merupakan sebuah awal pintu

gerbang yang akan mengantarkan saya untuk menggapai mimpi-mimpi yang

selama ini saya ukir di atas kertas putih, tetapi manusia hanya bisa berharap,

berikhtiar, dan bertawakal kepada Allah SWT. Semua keputusan ada di tangan

Sang Pencipta alam ini. Penulisan skripsi ini banyak menguras waktu, tenaga, dan

pikiran, hal ini mungkin tidak dapat saya lewati tanpa dukungan orang di sekitar

khususnya kedua orang tua saya. Karena ridho Allah ada pada kedua orang tua.

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Ibu tercinta, Ibu Surip yang telah membimbing saya mulai dari awal muncul

di muka bumi ini dengan penuh kasih sayang, selalu mendukung

mimpi-mimpi saya dan doa yang tak pernah putus selalu mengiringi langkah saya

dalam menuntut ilmu. Mungkin selama ini saya belum dapat memberikan

yang terbaik untuk ibu, tetapi semoga karya kecil ini dapat membuat ibu

sedikit bangga kepada saya. Doakan saya semoga saya dapat melanjutkan

perjalanan ini dan semoga ilmu yang telah ada dapat selalu saya amalkan dan

bermanfaat bagi orang banyak. Amin.

2. Ayah tercinta, Bapak Sarjito yang selalu memberikan nasihat-nasihat terbaik

kepada saya dengan penuh kesabaran dan kelembutan, memotivasi saya tanpa

henti, dan doa yang tak pernah putus selalu mengiringi langkah saya dalam

menuntut ilmu. Mungkin selama ini saya belum dapat memberikan yang

terbaik untuk bapak, tetapi semoga karya kecil ini dapat membuat bapak

sedikit bangga kepada saya. Doakan saya semoga saya dapat melanjutkan

perjalanan ini dan semoga ilmu yang telah ada dapat selalu saya amalkan dan

bermanfaat bagiorang banyak. Amin.

3. Adik tersayang, M. Arif Nur Irfanuddin yang selalu menyemangati dan

memberikan doa yang terbaik kepada saya.

4. Teman Seperjuangan, Tri Widayanti, Insiwi Purwianshari, dan Rizki

Wulandari yang selalu menyemangati saya disaat letih mulai menerpa,

(7)

serta membantu saya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Tetap menjadi

yang terbaik dan saling mendukung satu sama lain untuk tujuan yang baik.

5. Teman-teman Biologi E 2013 FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat

tahun mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan,

selalu menyemangati dan memotivasi saya serta membantu saya dalam proses

penyelesaian skripsi ini. Tetap menjadi teman-teman yang terbaik.

6. Keluarga Besar Biologi FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat tahun

mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Terimakasih kepada bapak dan ibu dosen Biologi yang telah dengan sabar

mendidik dan membimbing saya. Semoga skripsi ini dapat memberikan

(8)

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI

(Brassica juncea L.)

Oleh Ismi Nurhidayah NIM 13308141061

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva, tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.), dan dosis efektif pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella.

Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2016 di Greenhouse Kebun Biologi FMIPA UNY. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas lima perlakuan variasi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.), yaitu 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; 10%; dan kontrol positif menggunakan pestisida kimia. Setiap perlakuan terdiri atas lima ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji One Way ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur. Hasil uji yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan mortalitas hama Plutella xylostella tertinggi terdapat pada dosis perlakuan pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) 10%, yaitu 64%. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) juga menyebabkan terjadinya pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva dengan persentase pupa tertinggi pada dosis perlakuan 2,5%, yaitu 36%. Penyemprotan pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) memberikan pengaruh terhadap tingkat kerusakan daun sawi dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.). Meskipun demikian, secara uji statistik (Anova Satu Arah) pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva serta berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).

(9)

THE EFECTIVENESS BOTANICAL PESTICIDE OF BETEL LEAF (Piper

betle L.) TO PEST CONTROL OF Plutella xylostella ON MUSTARD

PLANT (Brassica juncea L.)

ABSTRACT

By: Ismi Nurhidayah NIM 13308141061

This research aimed to determaine the effect of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.) against mortality of Plutella xylostella, abridgement the life cycle of Plutella xylostella in the larva stage, the level of damage to the mustard leaf, the wet weight of mustard (Brassica juncea L.), and to determine the effective dose of botanical pesticide from betel leaf for pest control of Plutella xylostella.

This experiment was conducted in September to November 2016 in the Greenhouse, Biology, Science Faculty, UNY. This research used an experimental research design with completly randomized design (CRD) consisting five treatment variation dose of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.), that is 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; 10%; and positive control used synthetic pesticide. Each treatment had five times repetition. The observation result made by analysing of variance with One Way ANOVA variant analysis (Analysis of Variance) to determine the treatment effect on the measured response. If the result of ANOVA test showed of significance effect, it will continued with Duncan Multiple test (Duncan Multiple Range Test) on 5% significance level to determine differences of the treatments.

The result showed that highest mortality of Plutella xylostella on 10% dosage in the second observation, that is 64%. Botanical pesticide of betel leaf (Piper betle L.) also caused abridgement of Plutella xylostella cycle life in the larva stage with highest percentage of pupae on 2,5% dosage, that is 36%. The applications of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.) affect the level of damage to the mustard leaf and the wet weight of mustard (Brassica juncea L.). Although, One Way Anova test result showed no significant to the mortality and abridgement of Plutella xylostella in the larva stage as well as wet weight of mustard (Brassica juncea L.).

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya,

Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dengan judul “Efektivitas Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Pengendali Hama Plutella xylostella Tanaman

Sawi (Brassica juncea L.)” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak

lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terimakasih kepada

yang terhormat:

1. Kedua orang tua saya, Bapak Sarjito dan Ibu Surip untuk semua kasih sayang,

doa, dukungan, dan motivasi yang tiada henti.

2. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., selaku Rektor Universitas Negeri

Yogyakarta.

3. Dr. Hartono, M.Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Dr. Paidi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.

5. Dr. Tien Aminatun, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Yogyakarta.

6. Ir. Suhandoyo, MS., selaku penasehat akademik yang selalu memberi

masukan, arahan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya

penyusunan skripsi ini.

7. Dr. Ir. Suhartini, MS., selaku pembimbing utama dalam penyusunan tugas

akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, semangat dan motivasi

dari awal sampai selesainya penyusunan skripsi ini.

8. Dra. Budiwati, M.Si., selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan

tugas akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, semangat dan

(11)
(12)

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Batasan Operasional ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 10

1. Pestisida nabati ... 10

2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ... 17

3. Sirih Hijau (Piper betle L.) ... 22

4. Hama Plutella xylostella ... 29

5. Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 38

B. Kerangka Berpikir ... 49

(13)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian ... 52

B. Objek Penelitian ... 52

C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 52

D. Alat dan Bahan ... 52

E. Variabel Penelitian ... 54

F. Prosedur Kerja ... 55

1. Persiapan Media Semai ... 55

2. Penyemaian Biji Sawi ... 55

3. Persiapan Media Tanam ... 55

4. Penanaman Sawi ... 56

5. Penyiapan Hama (Plutella xylostella) ... 56

6. Aplikasi Ulat ... 56

7. Pembuatan Larutan Pestisida Nabati ... 57

8. Pembuatan Larutan Pestisida Kimia sebagai Kontrol Positif .... 57

9. Penyemprotan Pestisida Nabati pada Tanaman Sawi ... 57

10.Panen ... 58

G. Cara Mengukur Data ... 58

1. Persentase Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 58

2. Persentase Larva Plutella xylostella yang Menjadi Pupa ... 59

3. Kerusakan Daun sawi ... 59

4. Berat Basah Sawi ... 59

H. Rancangan Analisi ... 60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 61

1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Plutell xylostella ... 61

2. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Plutell xylostella ... 63

3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 68

B. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Larva Plutella xylostella pada Fase Larva ... 70

1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Larva Plutell xylostella yang Menjadi Pupa ... 70

2. Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Larva Plutella xylostella pada Fase Larva ... 71

(14)

C. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)

terhadap Kerusakan Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 76

D. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 82

1. Data Hasil Pengukuran Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 82

2. Data Analisis Statistik Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 83

3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih 4. Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 85

E. Keterbatasan Penelitian ... 86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 94

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 g ... 45

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil, dan Produksi

Petsai/Sawi di Indonesia Tahun 2009-2014 ... 48

Tabel 3. Data Hasil Pengamatan Akumulasi Jumlah Mortalitas

Larva Plutella xylostella ... 61

Tabel 4. Rata-rata Mortalitas Larva Plutella xylostella Pengamatan

Pertama ... 63

Tabel 5. Rata-rata Mortalitas Larva Plutella xylostella Pengamatan

Kedua ... 64

Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas

Larva Plutella xylostella Pengamatan Pertama ... 68

Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas

Larva Plutella xylostella Pengamatan Kedua ... 69

Tabel 8. Data Hasil Pengamatan Akumulasi Jumlah Larva

Plutella xylostella yang Menjadi Pupa ... 70

Tabel 9. Rata-rata Jumlah Larva Plutella xylostella yang Menjadi

Pupa pada Pengamatan Pertama ... 72

Tabel 10. Rata-rata Jumlah Larva Plutella xylostella yang Menjadi

Pupa pada Pengamatan Kedua ... 73

Tabel 11. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada fase Larva

Pengamatan Pertama ... 75

Tabel 12. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada Fase Larva

(16)

Tabel 13. Kerusakan Daun Sawi Setelah Penyemprotan dengan Berbagai Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau

(Piper betle L.) ... 78

Tabel 14. Rata-rata Jumlah Daun Segar dan Berat Basah Tanaman

Sawi (Brassica juncea L.) ... 82

Tabel 15. Rata-rata Berat Basah Tanaman Sawi

(Brassica juncea L.) ... 83

Tabel 16. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Sirih Hijau (Piper betle L.) ... 23

Gambar 2. Larva Plutella xylostella ... 31

Gambar 3. Pupa Plutella xylostella ... 33

Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella ... 33

Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella ... 35

Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella ... 38

Gambar 7. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 42

Gambar 8. Kerangka Berpikir ... 50

Gambar 9. Serangan Larva Plutella xylostella ... 77

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Plutella xylostella dan Jumlah Larva Plutella xylostella yang

Menjadi Pupa ... 95

Lampiran 2. Hasil Uji Statistik ... 97

(19)
(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) oleh petani

masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap

efektif. Menurut Sastrosiswojo, 1990 (Kasumbogo Untung, 1993: 56),

rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya

produksi untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur beberapa jenis

pestisida. Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata menyemprot

tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval

penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot

dengan interval lebih pendek daripada interval tersebut, terutama apabila

turun hujan. Praktik penggunaan pestisida yang sembarangan tersebut

tentunya tidak dapat dipertahankan terus karena kerugian dan bahaya yang

diakibatkan akan semakin mengancam kehidupan masyarakat

(Kasumbogo Untung, 1993: 57).

Penggunaan pestisida yang berlebihan (khususnya yang bersifat

sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan. Beberapa kasus yang

merugikan tersebut di antaranya: 1) kasus keracunan (lebih dari 400.000

kasus dilaporkan per tahunnya, 1,50% di antaranya fatal); 2) polusi

lingkungan (kontaminasi tanah, air, udara, hasil pertanian, dan dalam

jangka waktu panjang terjadi kontaminasi terhadap manusia dan makhluk

(21)

toleran terhadap pestisida (Agus Kardinan, 2000: 2). Banyaknya dampak

negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida sintetis dengan

takaran berlebih, mendorong pemerintah untuk menggalakkan program

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan

agen pengendalian hayati atau biopestisida termasuk pestisida nabati

sebagai komponen utama dalam sistem PHT yang dituangkan dalam

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995. Menurut Aslamiyah, dkk (2010:

1), pemanfaatan agen pengendalian hayati atau biopestisida dalam

pengelolaan hama dapat memberikan has`il yang optimal dan relatif aman

bagi makhluk hidup dan lingkungan.

Pestisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang

berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan

organisme pengganggu tumbuhan. Secara umum, pestisida nabati diartikan

sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif

mudah dibuat. Pestisida nabati terbuat dari bahan alami atau nabati, maka

jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam,

sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan

ternak peliharaan, karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang (M Syakir,

2011: 10).

Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida

nabati. Bahan dasar pestisida alami ini dapat ditemui di beberapa jenis

tanaman, dimana zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki

(22)

(2002), famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial

pestisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae,

dan Rutaceae karena mengandung senyawa aktif seperti flavonoid,

terpenoid, dan saponin. Daun sirih hijau (Piper betle L.) termasuk dalam

famili Piperaceae (sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan

alkaloid (Nugroho, 2003; Handayani dkk, 2013: 4). Selain itu, daun sirih

hijau (Piper betle L.) mengandung flavonoid, tanin, steroid/terpenoid, dan

kuinon (Agus Aulung, dkk, 2010: 9). Senyawa-senyawa seperti sianida,

saponin, tanin, flavonoid, steroid, alkaloid, dan minyak atsiri dapat

berfungsi sebagai insektisida (Aminah, 1995; Handayani, dkk, 2013: 2).

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk membuktikan

penggunaan ekstrak daun sirih sebagai insektisida. Salah satunya

penelitian yang dilakukan oleh Lapida Yunianti (2016) mengenai Uji

Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) sebagai Insektisida Alami

terhadap Mortalitas Walang Sangit (Leptocorisa acuta) menunjukkan hasil

bahwa ekstrak daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh nyata terhadap

mortalitas walang sangit.

Penggunaan pestisida nabati dapat diterapkan oleh petani untuk

mengatasi organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satunya dalam

tanaman sayuran. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai

penghasil vitamin dan mineral. Bagi petani budidaya sayuran dapat

memberikan penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada

(23)

dibudidayakan, tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu

komoditas sayuran yang memiliki nilai komersial dan prospek yang tinggi.

Sawi merupakan jenis sayuran yang disukai oleh masyarakat

Indonesia, mulai dari golongan masyarakat kelas bawah hingga golongan

masyarakat kelas atas. Sawi mengandung protein 2,3 gr, lemak 0,3 gr,

karbohidrat 4 gr, kalsium 220 miligram, fosfor 38 miligram, zat besi 2,9

miligram, vitamin A 1.940 miligram, vitamin B 0,09 miligram dan vitamin

C 102 miligram (Eko Haryanto, dkk, 2003: 5-6). Tanaman sawi dapat

tumbuh baik di di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Tanaman

sawi juga tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang

tahun. Pada musim kemarau, jika penyiraman dilakukan dengan teratur

maka akan tumbuh sebaik pada musim penghujan.

Hama tanaman merupakan faktor kendala atau pembatas bagi

pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanaman oleh serangan hama sangat

besar, ditaksir rata-rata 20-30% dari potensi hasil (Kasumbogo Untung,

1993: 2). Tanaman sawi juga tidak terlepas dari Organisme Pengganggu

Tanaman (OPT), yaitu ulat Agrotis ipsilon, ulat Crocidolomia, ulat

Plutella, ulat Spodoptera litura, kutu daun Aphis (Nur Tjahjadi, 1989:

107) siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris Humb.), dan sumpil

(Subulina octona). Menurut Sriniastuti, 2005 (Petrus dan Ismaya, 2014:

163) hama ulat pemakan daun sawi Plutella xylostella merupakan salah

satu hama paling banyak menyerang tanaman sayur-sayuran dan

(24)

sangat tinggi hampir seluruh permukaan daun dimakan dan hanya

menyisakan tulang-tulang daun saja, sehingga dapat menyebabkan gagal

panen.

Penelitian Bukhari (2009) tentang Efektivitas Ekstrak Daun Mimba

terhadap Pengendalian Hama Plutella xylostella L. pada Tanaman Kedele

menunjukkan bahwa pada konsentrasi 5% mampu menurunkan intensitas

serangan larva Plutella xylostella, yaitu 4,39% (28 HST). Berdasarkan hal

tersebut, peneliti ingin mengetahui efektivitas daun sirih hijau (Piper betle

L.) sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama Plutella xylostella

pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).

B. Identifikasi Masalah

1. Pengendalian hama oleh petani masih tergantung pada penggunaan

pestisida sintetis.

2. Penggunaan pestisida sintetis menimbulkan dampak negatif yaitu

polusi lingkungan, serangga hama menjadi resisten, resurgen maupun

toleran terhadap pestisida,.

3. Pemerintah menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan agen pengendalian hayati

atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama

dalam sistem PHT.

4. Daun sirih hijau (Piper betle L.) termasuk dalam famili Piperaceae

(25)

flavonoid, tanin, steroid/terpenoid, dan kuinon yang dapat berfungsi

sebagai insektisida.

5. Hama tanaman merupakan faktor kendala atau pembatas bagi program

peningkatan produksi.

6. Tanaman sawi tidak terlepas dari Organisme Pengganggu Tanaman

(OPT), yaitu ulat Agrotis, ulat Crocidolomia, ulat Plutella, ulat

Spodoptera, kutu daun Aphis, siput setengah telanjang (Parmarion

pupillaris Humb.), dan sumpil (Subulina octona).

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut,

penelitian ini dibatasi pada efektivitas pemberian pestisida nabati daun

sirih hijau (Piper betle L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella,

pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva, tingkat

kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), dan berat basah tanaman sawi

(Brassica juncea L.) dengan membandingkan antara masing-masing dosis

perlakuan.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi

(Brassica juncea L.)?

2. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

(26)

3. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.) ?

4. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?

5. Berapa dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) yang

efektif untuk pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi

(Brassica juncea L.) ?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi

(Brassica juncea L.).

2. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada

tanaman sawi (Brassica juncea L.)

3. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.).

4. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).

5. Mengetahui dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)

yang efektif untuk pengendalian hama Plutella xylostella pada

(27)

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Petani dan Masyarakat

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

manfaat dan kandungan yang terdapat dalam larutan pestisida

nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama

Plutella xylostella

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat dan petani mengenai dampak negatif dari penggunaan

pestisida kimia.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat

khususnya petani agar menerapkan penggunaan pestisida nabati

khususnya daun sirih hijau (Piper betle L.) dalam pengendalian

hama Plutella xylostella.

d. Dapat mengurangi dampak negatif pencemaran akibat penggunaan

pestisida kimia.

2. Bagi Saintis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

menjadi inspirasi bagi saintis dalam mengembangkan penelitian yang

berkaitan dengan biopestisida untuk pengendalian hama Plutella

(28)

G. Batasan Operasional

1. Tanaman sawi yang akan diinfeksi oleh larva Plutella xylostella instar

III adalah tanaman sawi jenis caisim (Brassica juncea L.) yang

berumur 21 hari setelah tanam.

2. Hama Plutella xylostella yang digunakan adalah larva instar III dengan

kisaran panjang 4-6 mm, lebar 0,75 mm, dan berwarna hijau.

3. Daun sirih yang digunakan untuk membuat pestisida nabati yaitu daun

sirih hijau (Piper betle L.) yang muda, untuk menyeragamkan maka

pada penelitian ini menggunakan daun sirih yang terletak nomor tiga

dari ujung. Menurut Rini D Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih

muda umumnya kaya akan kandungan diastase, gula, dan minyak atsiri

lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Namun, memiliki

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Pestisida Nabati

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari

tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada

tahun 1690, petani di Perancis telah menggunakan perasan daun tembakau

untuk mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800,

bubuk tanaman Pyrethrum digunakan untuk mengendalikan kutu.

Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran

lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan

pestisida kimia (Subiyakto Sudarmo, 2005: 11).

Menurut Agus Kardinan (2002), karena terbuat dari bahan

alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai di alam jadi

residunya singkat sekali. Pestisida nabati besifat “pukul dan lari” yaitu

apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah

terbunuh maka residunya cepat menghilang di alam. Jadi tanaman akan

terbebas dari residu sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi. Subiyakto

Sudarmo (2005: 11-12) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat

membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara

(30)

tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik (Subiyakto Sudarmo,

2005: 12) yaitu:

a. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa

b. Menghambat pergantian kulit

c. Mengganggu komunikasi serangga

d. Menyebabkan serangga menolak makan

e. Menghambat reproduksi serangga betina

f. Mengurangi nafsu makan

g. Memblokir kemampuan makan serangga

h. Mengusir serangga (repellent)

i. Menghambat perkembangan patogen penyakit

Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang

merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan

sebagai alat pertahanan dari serangan OPT. Lebih dari 2.400 jenis

tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung

bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini

sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk

menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan

memanfaatkan sumber daya setempat yang ada di sekitarnya (Agus

Kardinan, 2002).

(31)

1. Kelompok tumbuhan insektisida nabati

Merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida

pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan srikaya,

diyakini bisa menanggulangi serangan serangga (M Syakir, 2011: 10).

2. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat

Di dalam tumbuhan ini ada suatu bahan kimia yang

menyerupai sex pheromone pada serangga betina dan bertugas

menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis

Bactrocera dorsalis. Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya yaitu

daun wangi (kemangi) dan selasih (M Syakir, 2011: 10).

3. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati

Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali

hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai

penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya.

Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya

mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi

biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan

sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun (M Syakir, 2011: 11).

4. Kelompok tumbuhan moluskisida

Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali

(32)

moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba (M Syakir,

2011: 11).

5. Kelompok tanaman fungisida nabati

Merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk

mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih, sereh,

pinang, dan tembakau (M Syakir, 2011: 11).

6. Kelompok tumbuhan pestisida serbaguna

Kelebihan kelompok ini tidak hanya berfungsi untuk satu jenis.

Misalnya insektisida saja, tapi juga berfungsi sebagai fungisida,

bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan yang bisa

dimanfaatkan dari kelompok ini yaitu jambu mete, sirih, tembakau,

dan nimba (M Syakir, 2011: 11).

M Syakir (2011: 11-12) menjelaskan bahwa pestisida nabati

memiliki beberapa fungsi, antara lain:

1. Repellant, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang

menyengat.

2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang sudah

disemprot.

3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.

4. Menghambat reproduksi serangga betina.

(33)

7. Antraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada

perangkap serangga.

8. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran

dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.

1. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah

insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila

insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan

diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida

tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang

mematikan (misalnya susunan syaraf serangga). Oleh karena itu

serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah

disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk

membunuhnya (Panut Djojosumanto, 2000: 42).

Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu

banyak. Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai

racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan kekuatan antara

keduanya. Ada insektisida yang kontaknya lebih kuat daripada racun

(34)

2. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh

serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan

mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida

tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut

(Panut Djojosumanto, 2000: 43).

3. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat

saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup

insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa

gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau

menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansia, misalnya

bromida, alumunium fosfida, dan sebagainya (Panut Djojosumanto,

2000: 43).

Pemanfaatan pestisida nabati mempunyai beberapa kelebihan,

Haryono (2011: 2-3) menjelaskan kelebihan pestisida nabati, yaitu:

a. Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat

b. Lebih mudah terurai di alam

c. lebih aman bagi manusia dan lingkungan

d. Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai

(35)

berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan

efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan.

e. Pemanfaatan pestisida nabati secara luas akan langsung berpengaruh

terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida dan berdampak

positif terhadap kualitas produk tanaman terutama dengan semakin

terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran residu pestisida

kimiawi.

Pemanfaatan pestisida nabati selain memiliki kelebihan juga

memiliki beberapa kelemahan. Berbagai kelemahan pemanfaatan

pestisida nabati seperti:

1. Bahan aktif yang mudah terurai.

2. Sebaran tanaman yang seringkali spesifik lokasi.

3. Kandungan bahan aktif pada tanaman yang sangat bergantung pada

varietas dan lokasi penanaman.

4. Pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru, dan

banyak kelemahan lainnya yang sebenarnya sekaligus juga merupakan

kelebihan pestisida nabati, maka seharusnya kelemahan tersebut tidak

dijadikan sebagai kendala dalam pengembangannya (Haryono, 2011:

(36)

2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

a. Pengertian

Saat ini dikenal ada dua istilah Bahasa Inggris yang sering

digunakan secara bergantian untuk pengendalian hama terpadu yaitu

Integrated Pest Control (IPC) yang kita terjemahkan sebagai

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest Management

(IPM) yang kita terjemahkan sebagai Pengelolaan Hama Terpadu

dengan singkatan yang sama PHT (Kasumbogo Untung, 1996: 7).

Konsep PHT muncul akibat kesadaran umat manusia akan

bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup

ekosistem dan kehidupan manusia secara global, sedangkan kenyataan

yang terjadi bahwa menggunakan pestisida oleh petani di dunia dari

tahun ke tahun semakin meningkat. Diperlukan adanya cara

pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat menekan

penggunaan pestisida (Kasumbogo Untung, 1996: 7-8).

PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan

beberapa teknik pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT

harus memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis,

ekonomis, dan sosiologis sehingga secara keseluruhan kita

memperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu PHT dalam

(37)

pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik (Kasumbogo Untung,

1996: 8).

Keputusan pemerintah untuk menerapkan PHT secara nasional

baru dilaksanakan secara formal setelah dikeluarkan Intruksi Presiden

No. 3 Tahun 1986 untuk pengendalian hama padi (Kasumbogo

Untung, 1993: 1).

b. Penerapan PHT pada Komoditi Sayuran

Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat

penting baik bagi konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan

sumber gizi yang utama sebagai penghasil vitamin dan mineral. Bagi

produsen, yaitu petani budidaya sayuran dapat memberikan

penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada komoditi

pangan lainnya (Kasumbogo Untung, 1993: 55).

Ciri-ciri khas petani sayuran di Indonesia menurut Kasumbogo

Untung (1993: 56) adalah:

1. Tingkat produktivitas masih rendah

2. Kualitas produksi rendah

3. Luas lahan per petani sempit

4. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan rendah

(38)

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai konsep dan

kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman

pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki keadaan dan

kehidupan petani sayuran sehingga sumber daya yang dimiliki dapat

mereka manfaatkan secara optimal (Kasumbogo Untung, 1993: 56).

c. Faktor yang Mendorong Penerapan PHT

1. Kegagalan pengendalian hama secara konvensional

Praktek penggunaan pestisida yang lazim dilakukan oleh

petani sayuran didorong oleh konsep pengendalian hama yang

tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi. Petani

sayuran umumnya menerapkan asas preventif atau pencegahan.

Penyemprotan dengan pestisida dianggap sebagai asuransi

kesehatan tanaman. Karena dorongan konsumen, petani menjadi

takut serangga atau entomofobi. Mereka berpendapat setiap jenis

serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas

dengan pestisida (Kasumbogo Untung, 1993: 58).

Sebagai akibat dampak samping pestisida, seperti

timbulnya resistensi, resurjensi, dan letusan hama kedua, serta

didorong oleh permintaan pasar akan produk sayuran bebas dari

gigitan serangga, petani sayuran semakin menggebu-gebu di dalam

(39)

campuran pestisida, dan frekuensi penyemprotan. Pada keadaan

yang demikian petani sayuran sudah mencapai fase krisis. Dalam

kondisi demikian tidak ada pilihan lain kecuali segera

melaksanakan dan mengikuti konsep PHT (Kasumbogo Untung,

1993: 58).

2. Kesadaran akan kualitas lingkungan hidup

Pestisida sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar

yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh

karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan

maka residu yang ditinggalkan di lingkungan yang menjadi

masalah. Apabila tidak dikendalikan semakin lama akan terjadi

akumulasi kandungan pestisida di lingkungan yang dapat

mencapai kadar yang membahayakan (Kasumbogo Untung, 1996:

14).

Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan hidup yang

tinggi dari masyarakat, pemerintah, dan masyarakat dunia yang

mendorong dan mengharuskan kita untuk segera menerapkan PHT

karena dengan PHT penggunaan pestisida dapat ditekan

sekecil-kecilnya (Kasumbogo Untung, 1996: 14).

3. Kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada

(40)

Faktor yang mendorong dan mengaharuskan petani sayuran

menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan

permintaan konsumen pada masa mendatang, terutama permintaan

akan produk holtikultura yang bebas residu pestisida (Kasumbogo

Untung, 1993: 58).

4. Kebijakan pemerintah

Sejak pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan

kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan.

Kebijakan tentang PHT kemudian diperkuat oleh Inpres No.

3/1986 dan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

UU No. 12/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang

sangat berat bagi barang siapa yang menyalahgunakan penggunaan

pestisida baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dasar hukum

bagi pelaksanaan PHT di Indonesia sangat kuat sehingga PHT

untuk tanaman sayuran sudah merupakan keharusan (Kasumbogo

(41)

3. Sirih Hijau (Piper betle L.) a. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman sirih dalam Wiwin Setiawati, dkk (2008:

172) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper betle L.

a. Nama daerah

Suruh, sedah (Jawa); seureuh (Sunda); ranub (Aceh); belo

(Batak Karo); cambai (Lampung); uwit (Dayak); base (Bali); nahi

(Bima); gapura (Bugis); mota (Flores); afo (Sentani) (Wiwin

(42)
[image:42.612.212.502.139.316.2]

b. Morfologi

Gambar 1. Sirih (Piper betle L.) Sumber: Dokumentasi pribadi

Sirih merupakan tanaman merambat yang tingginya bisa

mencapai 15 m. Batang bulat dan beruas, berwarna coklat kehijauan.

Akar keluar dari batang ini. Berdaun tunggal bentuk jantung, panjang

5-8 cm dan lebar 2-5 cm, berujung runcing dan bertangkai, posisi daun

berselang-seling. Bunga berbentuk bulir, merupakan bunga majemuk,

memiliki daun pelindung bulat panjang ± 1 mm. Buahnya bulat, hijau

keabu-abuan, termasuk buah buni. Berakar tunggang, coklat

kekuningan, dan berbentuk bulat (Dini N Nuraini, 2014: 190).

c. Habitat

Sirih hidup subur dengan ditanam di atas tanah gembur yang

(43)

mencukupi. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati atau hutan hujan sampai

ketinggian 300 mdpl (Wiwin Setiawati, dkk, 2008: 173).

d. Kandungan kimia

Senyawa yang terkandung dalam sirih antara lain minyak atsiri

(eugenol, methyl eugenol, karvakrol, kavikol, alil katekol, kavibetol,

sineol, estragol), alkaloid, karoten, tiamin, ribovlafin, asam nikotinat,

vitamin C, tanin, gula, pati, dan asam amino (Wiwin Setiawati, dkk,

2008: 173). Daun sirih hijau juga mengandung flavonoid,

steroid/terpenoid, dan kuinon (Agus Aulung, dkk, 2010: 9).

1) Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang

sering disebut “minyak terbang” (Inggris: volatile oil). Minyak

atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah

menguap. Selain itu, minyak atsiri juga disebut essential oil (dari

kata essence) karena minyak tersebut memberikan bau pada

tanaman (Koensoemardiyah, 2010: 1).

Minyak atsiri dari daun sirih segar sepertiga bagian terdiri

dari fenol dan alkaloid yang memiliki daya pembunuh bakteri,

antioksidan, fungisida serta anti jamur. Dilaporkan oleh Amhed,

1988 (Anang Mulyantana, 2013: 2) minyak atsiri dari daun sirih

(44)

dibandingkan dengan piperazine phosphate dan hexyl resorchinol

pada konsentrasi yang sama.

Aroma dan rasa daun sirih yang khas, sedap, sengak, tajam,

dan merangsang disebabkan oleh kavikol dan betlephenol yang

terkandung dalam minyak atsiri. Kedua zat tersebut merupakan

kandungan terbesar minyak atsiri yang ada dalam daun sirih (Rini

D Moeljanto dan Mulyono, 2003: 9). Heyne, 1987 (Anang

Mulyantana, 2013: 4), mengungkapkan bahwa kavikol yang

merupakan salah satu senyawa turunan fenol dari minyak atsiri

daun sirih memiliki daya insektisida 5 kali lebih kuat dibandingkan

piperazinephosphate dan dapat menjadi toksik jika konsentrasinya

pekat atau tinggi.

Minyak atsiri dalam daun sirih dapat menghambat respirasi

mitokondria serangga. Zat ini juga dapat bersifat racun yang

kerjanya menghambat aktivitas respirasi sehingga menyebabkan

kematian secara lambat apabila masuk melalui saluran pernapasan

(Prijono, dkk, 1997; Anang Mulyantana, 2013: 4).

2) Alkaloid

Banyak tumbuhan mengandung senyawa nitrogen aromatik

yang dinamakan alkaloid. Tumbuhan yang mengandung senyawa

(45)

Alkaloid yang terkandung dalam daun sirih (Piper batle L.) adalah

arecoline. Arecoline bersifat nitrogenous pada makanan sehingga

menetralisir asam lambung dan bekerja sebagai astringent. Sebagai

astringen, zat ini mengeraskan membran mukosa pada lambung

(Rooney, 1993; Handayani, dkk, 2013: 4-5). Alkaloid berupa

garam sehingga dapat mendegradasi membran sel untuk masuk ke

dalam dan merusak sel dan juga dapat menggangu sistem kerja

syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase

(Eka Cania dan Endah Setyaningrum, 2013: 58).

3) Tanin

Tanin diproduksi oleh tanaman berfungsi sebagai substansi

perlindungan dalam jaringan maupun luar jaringan. Tanin

umumnya tahan terhadap perombakan atau fermentasi, selain itu

menurunkan kemampuan binatang untuk mengkonsumsi tanaman

atau juga mencegah pembusukan daun pada pohon. Tanin juga

bekerja sebagai zat astringent yang dapat menyusutkan jaringan

dan menutup struktur protein pada kulit dan mukosa (Elvie Yenie,

dkk, 2013: 53). Tanin juga dapat mengganggu serangga dalam

mencerna makanan. Tanin akan mengikat protein dalam sistem

pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan dan

(46)

4) Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan senyawa yang berperan

penting dalam penyerbukan oleh serangga. Sejumlah flavonoid

mempunyai rasa pahit hingga bersifat menolak sejenis ulat tertentu

(Agus Aulung, dkk, 2010: 12). Flavonoid bekerja sebagai inhibitor

kuat pernafasan atau racun pernapasan. Flavonoid mempunyai cara

kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem

pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada

syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan

larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Eka Cania dan Endah

Setyaningrum, 2013: 58).

5) Terpenoid

Terpenoid dan turunannya dapat bekerja sebagai insektisida

akan tetapi banyak peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid

lebih bersifat ekologis daripada fisiologis. Terpenoid dapat

menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya dan terpenoid

dapat bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap

hewan, penolak serangga dan sebagainya (Agus Aulung, dkk,

2010: 12).

Menurut Anggriani dkk, 2013 dan Mayanti dkk, 2006 (Fika

(47)

serangga. Triterpenoid juga bersifat sebagai penolak serangga

(repellant) karena ada bau menyengat yang tidak disukai oleh

serangga sehingga serangga tidak mau makan. Senyawa ini

berperan sebagai racun perut yang dapat mematikan serangga.

Senyawa ini akan masuk ke dalam saluran pencernaan melalui

makanan yang mereka makan, kemudian diserap oleh saluran

pencernaan tengah. Saluran ini berfungsi sebagai tempat

perombakan makanan secara enzimatis (Junar, 2000; Fika Afifah,

dkk, 2010: 29). Senyawa tersebut dapat mempengaruhi fungsi

saraf yaitu menghambat enzim kolinesterase, sehingga terjadi

gangguan transmisi rangsang yang mengakibatkan munurunnya

koordinasi kerja otot, konvuli, dan kematian serangga (Endah dan

Heri, 2000; Fika Afifah, dkk, 2015: 29).

Senyawa aktif Precocene I dan Precocene II dikenal

sebagai senyawa anti hormone juvenile. Anti juvenile hormone

mengganggu tahapan proses perkembangan larva. Jadi, racun ini

tidak secara langsung membunuh tetapi sebagai growth inhibitor.

pemberian senyawa precocene menyebabkan turunnya titer

hormone juvenile sehingga menyebabkan terjadinya metamorfosis

dini, dewasa yang steril, diapause, dan terganggunya produksi

(48)

Gangguan tidak hanya terjadi pada stadia larva tetapi berlanjut

pada pembentukan pupa dan serangga dewasa. Mekanisme

penghambatan diduga terganggu melalui perintah ke otak oleh

suatu zat (Prijono, 1999; Mutiah Sari, dkk, 2013: 566-567).

a. Hama Plutella xylostella

Pengertian hama secara luas yaitu organisme yang mengurangi

ketersediaan, mutu, dan jumlah sumber daya tanaman bagi manusia.

Pengertian lain yaitu semua binatang atau serangga yang dalam aktivitas

hidupnya memakan tanaman yang dibudidayakan sehingga merugikan

kepentingan hidup manusia dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.

Dalam pengertian tersebut istilah hama dilihat dari segi kepentingan

manusia, bukan merupakan istilah ekologi. Kebanyakan binatang hama

adalah serangga. Jenis binatang lainnya yang juga merupakan hama bagi

ekosistem pertanian yaitu burung, tikus, babi hutan, kera, siput, dan

binatang-binatang lainnya yang merugikan karena memakan tanaman

(49)

a. Klasifikasi

Klasifikasi ulat sawi (Plutella xylostella) dalam Pracaya (2008:

87) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella

b. Biologi Hama

Ulat Plutella merupakan hama yang kosmopolit, yang terdapat

di seluruh dunia dimana ada tanaman kobis (kol). Di Indonesia hama

ini tidak berada di dataran rendah. Plutella memiliki kemampuan

hanya untuk merusak daun kobis (kol), petsay, kol bunga, lobak, dan

lain-lain jenis kol. Yang paling disukai adalah tanaman kobis (kol)

(Rismunandar, 1981: 103).

Plutella xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih

dan jenis kubis lainnya sepeti kubis merah, petsai, kubis bunga, kailan,

selada air, sawi, jagung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma

(50)

adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine

hirsuta (rumput selada pahit berbulu), Brasisca pachypoda,

Nasturtium officinale, dan Lepidium sp. (Sastrosiswojo, 1987; Loso

Winarto & Lukas Sebayang, 2015: 12-13).

1) Telur

Kupu-kupu Plutella meletakkan telurnya di bawah daun

kol yang terbuka, tidak pandang umurnya tanaman yang

dikunjungi (Rismunandar, 1981: 103).

Telurnya berukuran 0,6 x 0,3 mm, berbentuk oval, dan

berwarna kuning muda. Pada saat menetas telur tersebut

warnanya berubah menjadi cokelat keabu-abuan. Produksi

telur tiap imago betina dapat mencapai 300 butir yang

diletakkan secara tunggal atau dalam kelompok-kelompok

kecil yang terdiri dari 3-4 butir. Stadium telur berlangsung 2-4

hari (Agus Suyanto, 1994: 55).

2) Larva

[image:50.612.253.496.554.656.2]

Gambar 2. Larva Plutella xylostella

(51)

Larva (ulat) yang baru keluar dari telur berwarna hijau

muda, berukuran panjang 2 mm, dan akhirnya tumbuh menjadi

10 mm. Kepala larva berwarna kuning dan berbintik gelap.

Pada tubuhnya yang berwarna hijau terdapat rambut-rambut

hitam. Larva terdiri dari empat instar. Stadium larva

berlangsung selama 12 hari (Agus Suyanto, 1994: 55). Instar I

berupa larva yang panjangnya 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna

hijau kekuning-kuningan yang berlangsung selama 4 hari.

Instar II berupa larva berukuran panjang 2 mm, lebar 0,5 mm,

berwarna hijau kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 2

hari. Instar III larva yang berukuran 4-6 mm, lebar 0,75 mm,

berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari. Instar IV larva

berukuran panjang 8-10 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna hijau,

dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana R, 1994: 41).

Ciri khas lain adalah apabila tersentuh akan menggeliat

jatuh dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang.

Larva tersebut akan naik kembali pada daun melalui

benangnya apabila keadaan bahaya sudah berlalu. Umumnya

pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab

dibutuhkan energi yang cukup banyak untuk pertumbuhan,

(52)
[image:52.612.300.473.542.658.2]

3) Pupa

Gambar 3. Pupa Plutella xylostella Sumber:

https://www.forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5 443246

Pupanya (kepompong) berukuran panjang 6,3-7 mm.

Mula-mula berwarna hijau, kemudian setelah 24 jam berubah

menjadi cokelat atau hitam. Pupa ini diselubungi oleh jala yang

terbuat dari benang berwarna putih, berbentuk lonjong yang

disebut kokon. Stadium pupa berlangsung selama 6-7 hari

(Agus Suyanto, 1994: 55).

4) Ngengat

Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella Sumber:

(53)

Menurut Harcourt, 1957 (Loso Winarto & Lukas

Sebayang, 2015: 9-10) serangga dewasa berupa ngengat kecil,

kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu dan aktif

pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan

(undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa

inggris diamod). Oleh sebab itu serangga dalam bahasa inggris

disebut diamodback moth. Ngengat Plutella xylostella tidak

kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Pada saat

tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m

di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4

m.

Lama hidup ngengat betina berkisar antara 7-47 hari,

rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan

rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat

betina antara 18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur

yang diproduksi setiap ngengat betina dipengaruhi oleh

perbedaan temperatur, foto periode, umur, dan kondisi makan

larva (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 97).

Ngengat Plutella pada siang hari biasa bersembunyi,

(54)

Siklus dari telur hingga menjadi ngengat rata-rata 12-15

hari di tempat dengan ketinggian 250 m dan rata-rata 3 minggu

di dataran tinggi (Rismunandar, 1981: 104).

5) Siklus hidup

Siklus hidup hama Plutella xylostella dipengaruhi

diantaranya oleh suhu lingkungan. Pada suhu 16o C- 25o C

siklus hidupnya mencapai 15 hari (Permadi, 1993; Liliek

Mulyaningsih, 2010: 97). Selain itu ketinggian tempat juga

berpengaruh terhadap siklus hidup Plutella xylostella. Pada

ketinggian 250 meter di atas permukaan laut siklus hidup hama

tersebut 12-15 hari, sedangkan pada ketinggian 1100 mdpl

[image:54.612.239.511.446.648.2]

siklus hidupnya 20-25 hari (Liliek Mulyaningsih, 2010: 97).

Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella

(55)

6) Aktifitas makan

Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai

aktivitas makannya yaitu yang pertama adanya

rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant)

dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk

pengenalan jenis makanan dan menjaga aktivitas makan, dan

yang kedua adalah pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa

asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai

penghambat makan sehingga dapat memperpendek aktivitas

makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali.

Serangga dapat mengenali senyawa-senyawa asing dalam

makanannya walaupun dalam konsentrasi rendah dan akan

merespon atas kehadiran senyawa tersebut dalam makanannya

(Dadang dan Kanju Ohsawa, 2000: 30).

Pengamatan secara visual, larva mengonsumsi daun

dengan perlakuan lebih sedikit dibandingkan dengan daun

tanpa perlakuan yang mencerminkan adanya sifat penghambat

aktivitas makan. Penghambatan aktivitas makan ini dapat

memberikan sumbangan pada terjadinya kematian larva

(56)

7) Kerusakan yang diakibatkan

Gejala serangan oleh hama ini khas dan tergantung

pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang

baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang

galian pada permukaan bawah daun, selanjutnya larva

membuat lorong (gerekan ke dalam) jaringan parenkim

sambilmemakan daun. Larva instar dua, keluar dari liang

gerekan yang transparan dan makan jaringan daun pada

permukaan bawah daun. Demikian juga larva instar ketiga dan

keempat. Larva instar ketiga dan keempat memakan seluruh

bagian daun sehingga meninggalkan ciri yang khas, yaitu

tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang

daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih,

2010: 98). Serangan hama ulat ini sangat cepat, sehingga

dalam waktu beberapa hari saja tanaman yang diserang akan

menjadi rusak (Enceng Surachman dan Widada Agus S., 2007:

(57)
[image:57.612.256.505.113.226.2]

Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella Sumber:Dokumentasi pribadi

Serangan P. xylostella yang berat pada tanaman dapat

menggagalkan panen (Sastrosiswojo, 1987; Loso Winarto &

Lukas Sebayang, 2015: 13).

b. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)

Di Indonesia nama sawi sudah tergolong familiar. Orang Jawa atau

Madura menggunakan sebutan yang sama, yakni sawi, untuk sayuran ini.

Orang Sunda menyebutnya sasawi. Nama asing untuk sawi ialah mustard.

Perdagangan internasional menggunakan sebutan green mustard, chinese

mustard, indian mustard, atau sarepta mustard (Eko Haryanto, dkk, 2003:

3).

a. Jenis-jenis Sawi

Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam

jenis sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau,

(58)

sawi bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi

keriting dan sawi monumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 9).

1) Sawi putih atau sawi jabung

Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang

banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang

paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat

dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis

sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua.

Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek,

tetapi tegap dan bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10).

2) Sawi hijau

Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi

sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit

pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan

(Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi hijau berukuran lebih kecil

dibandingkan sawi jabung atau sawi putih. Daun sawi jenis ini

lebar seperti daun sawi putih, tetapi warnanya lebih hijau tua.

Batangnya sangat pendek, tetapi tegap. Tangkai daunnya agak

pipih, sedikit berliku, tetapi kuat. Varietas sawi hijau banyak

dibudidayakan di lahan yang kering , tetapi cukup pengairannya

(59)

3) Sawi huma

Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang

kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam

setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan

terhadap genangan air (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi huma

daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan.

Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang

kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti

bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11).

4) Caisim alias sawi bakso

Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya

sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan di

kalangan konsumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11). Tangkai

daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan.

Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya

yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat

sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng, caisim

banyak dibutuhkan oleh pedagang mie bakso, mie ayam, atau

restoran masakan cina. Tidak mengherankan jika permintaannya

(60)

5) Sawi keriting

Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian

daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun.

Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting,

jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Eko Haryanto,

dkk, 2003: 12).

6) Sawi monumen

Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun

kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai

daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun

yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau segar. Jenis

sawi ini tergolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya

(61)

b. Klasifikasi

Klasifikasi tumbuhan sawi dalam Rukmana (2002: 15) :

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub Kelas : Dicotyledone

Ordo : Papaverales

Famili : Cruciferae atau Brassicaceae

Genus : Brassica

Spesies : Brassica juncea L.

[image:61.612.275.431.397.583.2]

c. Morfologi

Gambar 7. Sawi Caisim (Brassica juncea L.) Sumber: Dokumentasi pribadi

Sawi (Brassica juncea L.) termasuk ke dalam famili

(62)

tidak berbulu, dan tidak berkrop. Batang tanaman sawi pendek, lebih

langsing dari tanaman petsai. Tanaman ini mempunyai akar tunggang

dengan banyak akar samping yang dangkal. Biji terdapat dalam kedua

sisi dinding sekat polong yang gemuk (Yati Supriati dan Ersi Herliana,

2010: 92).

Sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami baik

di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Stuktur bunga sawi

tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh

memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi

terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga

berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik

yang berongga dua (Rukmana, 2002: 16).

d. Syarat tumbuh

Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berudara

panas maupun berudara dingin sehingga diusahakan di daerah dataran

tinggi maupun dataran rendah. Meskipun begitu, tanaman sawi akan

lebih baik jika ditanam di dataran tinggi (Eko Haryanto, dkk, 2007:

24)

Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian

5-1.200 mdpl. Namun, biasanya tanaman ini dibudidayakan di daerah

(63)

Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut (Eko Haryanto, dkk,

2007: 25)

Tanaman sawi juga tahan terhadap air hujan, sehingga dapat

ditanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau, jika penyiraman

dilakukan dengan teratur dan dengan air yang cukup, tanaman ini akan

tumbuh sebaik pada musim penghujan. Berhubung selama

pertumbuhannya tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk maka akan

lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembap. Namun,

tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang (Eko

Haryanto, dkk, 2007: 25).

Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur,

banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik.

Derajat keasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya

antara 6-7 (Eko Haryanto, dkk, 2007: 25).

e. Kandungan gizi

Sawi baik setelah diolah maupun sebagai lalapan, ternyata

mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan

tubuh. Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan

yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan,

(64)

adalah seperti disajikan dalam tabel di bawah ini (Eko Haryanto, dkk,

2003: 5-6).

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 g

Zat Gizi Sawi

Protein (gr) Lemak (gr) Karbohi

Gambar

Gambar 1. Sirih (Piper betle L.) Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 2. Larva Plutella xylostella Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella
Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella Sumber: Tonny K. Moekasan; Sistrosiswojo, dkk (2005: 9)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Visoko radioaktivni odpadki ali VRAO K tej vrsti radioaktivnih odpadkov uvrščamo izrabljeno jedrsko gradivo IJG Mele, 2013, vendar le takrat, ko ga ne nameravamo več predelati

Dalam praktik, diskon kuantitas sering tidak terbentuk potongan tunai, melainkan tambahan unit yang diterima untuk jumlah pembayaran yang sama (bonus atau free

Pemohon adalah anak perempuan dari ayah pemohon yang hendak melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya yang bernama calon suami pemohon, berumur 70 tahun, agama Islam,

Sebagai catatan untuk para wanita tidak diperbolehkan untuk sesering mungkin berziarah kubur, karena hal tersebut akan menghantarkan kepada perbuatan yang

Berbagai bawa yang menggunakan pedoman Macapat yaitu: (1) Bawa sêkar Mijil katampèn lancaran Gandrung Mangu, (2) bawa sêkar Gambuh katampên lancaran Ayo Ngguyu,

Pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh dari sikap guru berdiskusi melalui supervise akademik adalah 79,38 kategori “cukup”,sedangkan pada siklus II nilai

Faktor internal keempat yang dapat memicu terjadinya perilaku minum alkohol pada remaja adalah adanya pola pikir / cara pandang yang keliru, dimana pola pikir / cara pandang

Sehingga, peningkatan konsentrasi rendaman daun singkong yang dipaparkan pada uji lanjutan tidak sebanding dengan peningkatan kematian nyamuk. Konsentrasi yang