HALAMAN SAMPUL
EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI
(Brassica juncea L.)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Disusun oleh: Ismi Nurhidayah
13308141061
PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Tetap menjadi baik, jika beruntung akan menemukan orang baik. Jika tidak, akan
ditemukan oleh orang baik. Hidup bukanlah tentang siapa yang terbaik, tapi siapa
PERSEMBAHAN
Penulisan Tugas Akhir Skripsi (TAS) ini merupakan sebuah awal pintu
gerbang yang akan mengantarkan saya untuk menggapai mimpi-mimpi yang
selama ini saya ukir di atas kertas putih, tetapi manusia hanya bisa berharap,
berikhtiar, dan bertawakal kepada Allah SWT. Semua keputusan ada di tangan
Sang Pencipta alam ini. Penulisan skripsi ini banyak menguras waktu, tenaga, dan
pikiran, hal ini mungkin tidak dapat saya lewati tanpa dukungan orang di sekitar
khususnya kedua orang tua saya. Karena ridho Allah ada pada kedua orang tua.
Karya ini saya persembahkan untuk:
1. Ibu tercinta, Ibu Surip yang telah membimbing saya mulai dari awal muncul
di muka bumi ini dengan penuh kasih sayang, selalu mendukung
mimpi-mimpi saya dan doa yang tak pernah putus selalu mengiringi langkah saya
dalam menuntut ilmu. Mungkin selama ini saya belum dapat memberikan
yang terbaik untuk ibu, tetapi semoga karya kecil ini dapat membuat ibu
sedikit bangga kepada saya. Doakan saya semoga saya dapat melanjutkan
perjalanan ini dan semoga ilmu yang telah ada dapat selalu saya amalkan dan
bermanfaat bagi orang banyak. Amin.
2. Ayah tercinta, Bapak Sarjito yang selalu memberikan nasihat-nasihat terbaik
kepada saya dengan penuh kesabaran dan kelembutan, memotivasi saya tanpa
henti, dan doa yang tak pernah putus selalu mengiringi langkah saya dalam
menuntut ilmu. Mungkin selama ini saya belum dapat memberikan yang
terbaik untuk bapak, tetapi semoga karya kecil ini dapat membuat bapak
sedikit bangga kepada saya. Doakan saya semoga saya dapat melanjutkan
perjalanan ini dan semoga ilmu yang telah ada dapat selalu saya amalkan dan
bermanfaat bagiorang banyak. Amin.
3. Adik tersayang, M. Arif Nur Irfanuddin yang selalu menyemangati dan
memberikan doa yang terbaik kepada saya.
4. Teman Seperjuangan, Tri Widayanti, Insiwi Purwianshari, dan Rizki
Wulandari yang selalu menyemangati saya disaat letih mulai menerpa,
serta membantu saya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Tetap menjadi
yang terbaik dan saling mendukung satu sama lain untuk tujuan yang baik.
5. Teman-teman Biologi E 2013 FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat
tahun mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan,
selalu menyemangati dan memotivasi saya serta membantu saya dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Tetap menjadi teman-teman yang terbaik.
6. Keluarga Besar Biologi FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat tahun
mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Terimakasih kepada bapak dan ibu dosen Biologi yang telah dengan sabar
mendidik dan membimbing saya. Semoga skripsi ini dapat memberikan
EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) SEBAGAI PENGENDALI HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI
(Brassica juncea L.)
Oleh Ismi Nurhidayah NIM 13308141061
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva, tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.), dan dosis efektif pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella.
Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2016 di Greenhouse Kebun Biologi FMIPA UNY. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas lima perlakuan variasi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.), yaitu 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; 10%; dan kontrol positif menggunakan pestisida kimia. Setiap perlakuan terdiri atas lima ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji One Way ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur. Hasil uji yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan mortalitas hama Plutella xylostella tertinggi terdapat pada dosis perlakuan pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) 10%, yaitu 64%. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) juga menyebabkan terjadinya pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva dengan persentase pupa tertinggi pada dosis perlakuan 2,5%, yaitu 36%. Penyemprotan pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) memberikan pengaruh terhadap tingkat kerusakan daun sawi dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.). Meskipun demikian, secara uji statistik (Anova Satu Arah) pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva serta berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).
THE EFECTIVENESS BOTANICAL PESTICIDE OF BETEL LEAF (Piper
betle L.) TO PEST CONTROL OF Plutella xylostella ON MUSTARD
PLANT (Brassica juncea L.)
ABSTRACT
By: Ismi Nurhidayah NIM 13308141061
This research aimed to determaine the effect of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.) against mortality of Plutella xylostella, abridgement the life cycle of Plutella xylostella in the larva stage, the level of damage to the mustard leaf, the wet weight of mustard (Brassica juncea L.), and to determine the effective dose of botanical pesticide from betel leaf for pest control of Plutella xylostella.
This experiment was conducted in September to November 2016 in the Greenhouse, Biology, Science Faculty, UNY. This research used an experimental research design with completly randomized design (CRD) consisting five treatment variation dose of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.), that is 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; 10%; and positive control used synthetic pesticide. Each treatment had five times repetition. The observation result made by analysing of variance with One Way ANOVA variant analysis (Analysis of Variance) to determine the treatment effect on the measured response. If the result of ANOVA test showed of significance effect, it will continued with Duncan Multiple test (Duncan Multiple Range Test) on 5% significance level to determine differences of the treatments.
The result showed that highest mortality of Plutella xylostella on 10% dosage in the second observation, that is 64%. Botanical pesticide of betel leaf (Piper betle L.) also caused abridgement of Plutella xylostella cycle life in the larva stage with highest percentage of pupae on 2,5% dosage, that is 36%. The applications of botanical pesticide from betel leaf (Piper betle L.) affect the level of damage to the mustard leaf and the wet weight of mustard (Brassica juncea L.). Although, One Way Anova test result showed no significant to the mortality and abridgement of Plutella xylostella in the larva stage as well as wet weight of mustard (Brassica juncea L.).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya,
Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dengan judul “Efektivitas Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Pengendali Hama Plutella xylostella Tanaman
Sawi (Brassica juncea L.)” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak
lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terimakasih kepada
yang terhormat:
1. Kedua orang tua saya, Bapak Sarjito dan Ibu Surip untuk semua kasih sayang,
doa, dukungan, dan motivasi yang tiada henti.
2. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., selaku Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta.
3. Dr. Hartono, M.Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
4. Dr. Paidi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
5. Dr. Tien Aminatun, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta.
6. Ir. Suhandoyo, MS., selaku penasehat akademik yang selalu memberi
masukan, arahan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya
penyusunan skripsi ini.
7. Dr. Ir. Suhartini, MS., selaku pembimbing utama dalam penyusunan tugas
akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, semangat dan motivasi
dari awal sampai selesainya penyusunan skripsi ini.
8. Dra. Budiwati, M.Si., selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan
tugas akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, semangat dan
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iv
SURAT PERNYATAAN ... v
HALAMAN PENGESAHAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 8
G. Batasan Operasional ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 10
1. Pestisida nabati ... 10
2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ... 17
3. Sirih Hijau (Piper betle L.) ... 22
4. Hama Plutella xylostella ... 29
5. Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 38
B. Kerangka Berpikir ... 49
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ... 52
B. Objek Penelitian ... 52
C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 52
D. Alat dan Bahan ... 52
E. Variabel Penelitian ... 54
F. Prosedur Kerja ... 55
1. Persiapan Media Semai ... 55
2. Penyemaian Biji Sawi ... 55
3. Persiapan Media Tanam ... 55
4. Penanaman Sawi ... 56
5. Penyiapan Hama (Plutella xylostella) ... 56
6. Aplikasi Ulat ... 56
7. Pembuatan Larutan Pestisida Nabati ... 57
8. Pembuatan Larutan Pestisida Kimia sebagai Kontrol Positif .... 57
9. Penyemprotan Pestisida Nabati pada Tanaman Sawi ... 57
10.Panen ... 58
G. Cara Mengukur Data ... 58
1. Persentase Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 58
2. Persentase Larva Plutella xylostella yang Menjadi Pupa ... 59
3. Kerusakan Daun sawi ... 59
4. Berat Basah Sawi ... 59
H. Rancangan Analisi ... 60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 61
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Plutell xylostella ... 61
2. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Plutell xylostella ... 63
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas Larva Plutella xylostella ... 68
B. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Larva Plutella xylostella pada Fase Larva ... 70
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Larva Plutell xylostella yang Menjadi Pupa ... 70
2. Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Larva Plutella xylostella pada Fase Larva ... 71
C. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
terhadap Kerusakan Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 76
D. Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 82
1. Data Hasil Pengukuran Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 82
2. Data Analisis Statistik Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 83
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pestisida Nabati Daun Sirih 4. Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah Tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 85
E. Keterbatasan Penelitian ... 86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 89
LAMPIRAN ... 94
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 g ... 45
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil, dan Produksi
Petsai/Sawi di Indonesia Tahun 2009-2014 ... 48
Tabel 3. Data Hasil Pengamatan Akumulasi Jumlah Mortalitas
Larva Plutella xylostella ... 61
Tabel 4. Rata-rata Mortalitas Larva Plutella xylostella Pengamatan
Pertama ... 63
Tabel 5. Rata-rata Mortalitas Larva Plutella xylostella Pengamatan
Kedua ... 64
Tabel 6. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas
Larva Plutella xylostella Pengamatan Pertama ... 68
Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Mortalitas
Larva Plutella xylostella Pengamatan Kedua ... 69
Tabel 8. Data Hasil Pengamatan Akumulasi Jumlah Larva
Plutella xylostella yang Menjadi Pupa ... 70
Tabel 9. Rata-rata Jumlah Larva Plutella xylostella yang Menjadi
Pupa pada Pengamatan Pertama ... 72
Tabel 10. Rata-rata Jumlah Larva Plutella xylostella yang Menjadi
Pupa pada Pengamatan Kedua ... 73
Tabel 11. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada fase Larva
Pengamatan Pertama ... 75
Tabel 12. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada Fase Larva
Tabel 13. Kerusakan Daun Sawi Setelah Penyemprotan dengan Berbagai Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau
(Piper betle L.) ... 78
Tabel 14. Rata-rata Jumlah Daun Segar dan Berat Basah Tanaman
Sawi (Brassica juncea L.) ... 82
Tabel 15. Rata-rata Berat Basah Tanaman Sawi
(Brassica juncea L.) ... 83
Tabel 16. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) terhadap Berat Basah
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sirih Hijau (Piper betle L.) ... 23
Gambar 2. Larva Plutella xylostella ... 31
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella ... 33
Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella ... 33
Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella ... 35
Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella ... 38
Gambar 7. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 42
Gambar 8. Kerangka Berpikir ... 50
Gambar 9. Serangan Larva Plutella xylostella ... 77
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Plutella xylostella dan Jumlah Larva Plutella xylostella yang
Menjadi Pupa ... 95
Lampiran 2. Hasil Uji Statistik ... 97
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) oleh petani
masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap
efektif. Menurut Sastrosiswojo, 1990 (Kasumbogo Untung, 1993: 56),
rata-rata petani sayuran harus mengeluarkan sekitar 50% dari biaya
produksi untuk pengendalian kimiawi dengan mencampur beberapa jenis
pestisida. Dilaporkan juga bahwa petani sayuran rata-rata menyemprot
tanaman sayurannya 16 kali dalam satu musim atau dengan interval
penyemprotan 4-6 hari. Tidak sedikit petani sayuran yang menyemprot
dengan interval lebih pendek daripada interval tersebut, terutama apabila
turun hujan. Praktik penggunaan pestisida yang sembarangan tersebut
tentunya tidak dapat dipertahankan terus karena kerugian dan bahaya yang
diakibatkan akan semakin mengancam kehidupan masyarakat
(Kasumbogo Untung, 1993: 57).
Penggunaan pestisida yang berlebihan (khususnya yang bersifat
sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan. Beberapa kasus yang
merugikan tersebut di antaranya: 1) kasus keracunan (lebih dari 400.000
kasus dilaporkan per tahunnya, 1,50% di antaranya fatal); 2) polusi
lingkungan (kontaminasi tanah, air, udara, hasil pertanian, dan dalam
jangka waktu panjang terjadi kontaminasi terhadap manusia dan makhluk
toleran terhadap pestisida (Agus Kardinan, 2000: 2). Banyaknya dampak
negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida sintetis dengan
takaran berlebih, mendorong pemerintah untuk menggalakkan program
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan
agen pengendalian hayati atau biopestisida termasuk pestisida nabati
sebagai komponen utama dalam sistem PHT yang dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995. Menurut Aslamiyah, dkk (2010:
1), pemanfaatan agen pengendalian hayati atau biopestisida dalam
pengelolaan hama dapat memberikan has`il yang optimal dan relatif aman
bagi makhluk hidup dan lingkungan.
Pestisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang
berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan. Secara umum, pestisida nabati diartikan
sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif
mudah dibuat. Pestisida nabati terbuat dari bahan alami atau nabati, maka
jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam,
sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan
ternak peliharaan, karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang (M Syakir,
2011: 10).
Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida
nabati. Bahan dasar pestisida alami ini dapat ditemui di beberapa jenis
tanaman, dimana zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki
(2002), famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial
pestisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae,
dan Rutaceae karena mengandung senyawa aktif seperti flavonoid,
terpenoid, dan saponin. Daun sirih hijau (Piper betle L.) termasuk dalam
famili Piperaceae (sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan
alkaloid (Nugroho, 2003; Handayani dkk, 2013: 4). Selain itu, daun sirih
hijau (Piper betle L.) mengandung flavonoid, tanin, steroid/terpenoid, dan
kuinon (Agus Aulung, dkk, 2010: 9). Senyawa-senyawa seperti sianida,
saponin, tanin, flavonoid, steroid, alkaloid, dan minyak atsiri dapat
berfungsi sebagai insektisida (Aminah, 1995; Handayani, dkk, 2013: 2).
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk membuktikan
penggunaan ekstrak daun sirih sebagai insektisida. Salah satunya
penelitian yang dilakukan oleh Lapida Yunianti (2016) mengenai Uji
Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) sebagai Insektisida Alami
terhadap Mortalitas Walang Sangit (Leptocorisa acuta) menunjukkan hasil
bahwa ekstrak daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh nyata terhadap
mortalitas walang sangit.
Penggunaan pestisida nabati dapat diterapkan oleh petani untuk
mengatasi organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satunya dalam
tanaman sayuran. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai
penghasil vitamin dan mineral. Bagi petani budidaya sayuran dapat
memberikan penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada
dibudidayakan, tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu
komoditas sayuran yang memiliki nilai komersial dan prospek yang tinggi.
Sawi merupakan jenis sayuran yang disukai oleh masyarakat
Indonesia, mulai dari golongan masyarakat kelas bawah hingga golongan
masyarakat kelas atas. Sawi mengandung protein 2,3 gr, lemak 0,3 gr,
karbohidrat 4 gr, kalsium 220 miligram, fosfor 38 miligram, zat besi 2,9
miligram, vitamin A 1.940 miligram, vitamin B 0,09 miligram dan vitamin
C 102 miligram (Eko Haryanto, dkk, 2003: 5-6). Tanaman sawi dapat
tumbuh baik di di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Tanaman
sawi juga tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang
tahun. Pada musim kemarau, jika penyiraman dilakukan dengan teratur
maka akan tumbuh sebaik pada musim penghujan.
Hama tanaman merupakan faktor kendala atau pembatas bagi
pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanaman oleh serangan hama sangat
besar, ditaksir rata-rata 20-30% dari potensi hasil (Kasumbogo Untung,
1993: 2). Tanaman sawi juga tidak terlepas dari Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT), yaitu ulat Agrotis ipsilon, ulat Crocidolomia, ulat
Plutella, ulat Spodoptera litura, kutu daun Aphis (Nur Tjahjadi, 1989:
107) siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris Humb.), dan sumpil
(Subulina octona). Menurut Sriniastuti, 2005 (Petrus dan Ismaya, 2014:
163) hama ulat pemakan daun sawi Plutella xylostella merupakan salah
satu hama paling banyak menyerang tanaman sayur-sayuran dan
sangat tinggi hampir seluruh permukaan daun dimakan dan hanya
menyisakan tulang-tulang daun saja, sehingga dapat menyebabkan gagal
panen.
Penelitian Bukhari (2009) tentang Efektivitas Ekstrak Daun Mimba
terhadap Pengendalian Hama Plutella xylostella L. pada Tanaman Kedele
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 5% mampu menurunkan intensitas
serangan larva Plutella xylostella, yaitu 4,39% (28 HST). Berdasarkan hal
tersebut, peneliti ingin mengetahui efektivitas daun sirih hijau (Piper betle
L.) sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama Plutella xylostella
pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).
B. Identifikasi Masalah
1. Pengendalian hama oleh petani masih tergantung pada penggunaan
pestisida sintetis.
2. Penggunaan pestisida sintetis menimbulkan dampak negatif yaitu
polusi lingkungan, serangga hama menjadi resisten, resurgen maupun
toleran terhadap pestisida,.
3. Pemerintah menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan agen pengendalian hayati
atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama
dalam sistem PHT.
4. Daun sirih hijau (Piper betle L.) termasuk dalam famili Piperaceae
flavonoid, tanin, steroid/terpenoid, dan kuinon yang dapat berfungsi
sebagai insektisida.
5. Hama tanaman merupakan faktor kendala atau pembatas bagi program
peningkatan produksi.
6. Tanaman sawi tidak terlepas dari Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT), yaitu ulat Agrotis, ulat Crocidolomia, ulat Plutella, ulat
Spodoptera, kutu daun Aphis, siput setengah telanjang (Parmarion
pupillaris Humb.), dan sumpil (Subulina octona).
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut,
penelitian ini dibatasi pada efektivitas pemberian pestisida nabati daun
sirih hijau (Piper betle L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella,
pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase larva, tingkat
kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), dan berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea L.) dengan membandingkan antara masing-masing dosis
perlakuan.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
(Brassica juncea L.)?
2. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
3. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.) ?
4. Bagaimana pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
5. Berapa dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) yang
efektif untuk pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
(Brassica juncea L.) ?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
(Brassica juncea L.).
2. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada
tanaman sawi (Brassica juncea L.)
3. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.).
4. Mengetahui pengaruh pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).
5. Mengetahui dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.)
yang efektif untuk pengendalian hama Plutella xylostella pada
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petani dan Masyarakat
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
manfaat dan kandungan yang terdapat dalam larutan pestisida
nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama
Plutella xylostella
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat dan petani mengenai dampak negatif dari penggunaan
pestisida kimia.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat
khususnya petani agar menerapkan penggunaan pestisida nabati
khususnya daun sirih hijau (Piper betle L.) dalam pengendalian
hama Plutella xylostella.
d. Dapat mengurangi dampak negatif pencemaran akibat penggunaan
pestisida kimia.
2. Bagi Saintis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
menjadi inspirasi bagi saintis dalam mengembangkan penelitian yang
berkaitan dengan biopestisida untuk pengendalian hama Plutella
G. Batasan Operasional
1. Tanaman sawi yang akan diinfeksi oleh larva Plutella xylostella instar
III adalah tanaman sawi jenis caisim (Brassica juncea L.) yang
berumur 21 hari setelah tanam.
2. Hama Plutella xylostella yang digunakan adalah larva instar III dengan
kisaran panjang 4-6 mm, lebar 0,75 mm, dan berwarna hijau.
3. Daun sirih yang digunakan untuk membuat pestisida nabati yaitu daun
sirih hijau (Piper betle L.) yang muda, untuk menyeragamkan maka
pada penelitian ini menggunakan daun sirih yang terletak nomor tiga
dari ujung. Menurut Rini D Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih
muda umumnya kaya akan kandungan diastase, gula, dan minyak atsiri
lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Namun, memiliki
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
1. Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada
tahun 1690, petani di Perancis telah menggunakan perasan daun tembakau
untuk mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800,
bubuk tanaman Pyrethrum digunakan untuk mengendalikan kutu.
Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran
lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan
pestisida kimia (Subiyakto Sudarmo, 2005: 11).
Menurut Agus Kardinan (2002), karena terbuat dari bahan
alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai di alam jadi
residunya singkat sekali. Pestisida nabati besifat “pukul dan lari” yaitu
apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah
terbunuh maka residunya cepat menghilang di alam. Jadi tanaman akan
terbebas dari residu sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi. Subiyakto
Sudarmo (2005: 11-12) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat
membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara
tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik (Subiyakto Sudarmo,
2005: 12) yaitu:
a. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
b. Menghambat pergantian kulit
c. Mengganggu komunikasi serangga
d. Menyebabkan serangga menolak makan
e. Menghambat reproduksi serangga betina
f. Mengurangi nafsu makan
g. Memblokir kemampuan makan serangga
h. Mengusir serangga (repellent)
i. Menghambat perkembangan patogen penyakit
Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang
merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan OPT. Lebih dari 2.400 jenis
tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung
bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini
sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk
menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan
memanfaatkan sumber daya setempat yang ada di sekitarnya (Agus
Kardinan, 2002).
1. Kelompok tumbuhan insektisida nabati
Merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida
pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan srikaya,
diyakini bisa menanggulangi serangan serangga (M Syakir, 2011: 10).
2. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat
Di dalam tumbuhan ini ada suatu bahan kimia yang
menyerupai sex pheromone pada serangga betina dan bertugas
menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis
Bactrocera dorsalis. Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya yaitu
daun wangi (kemangi) dan selasih (M Syakir, 2011: 10).
3. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati
Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali
hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai
penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya.
Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya
mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi
biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan
sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun (M Syakir, 2011: 11).
4. Kelompok tumbuhan moluskisida
Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali
moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba (M Syakir,
2011: 11).
5. Kelompok tanaman fungisida nabati
Merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk
mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih, sereh,
pinang, dan tembakau (M Syakir, 2011: 11).
6. Kelompok tumbuhan pestisida serbaguna
Kelebihan kelompok ini tidak hanya berfungsi untuk satu jenis.
Misalnya insektisida saja, tapi juga berfungsi sebagai fungisida,
bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan yang bisa
dimanfaatkan dari kelompok ini yaitu jambu mete, sirih, tembakau,
dan nimba (M Syakir, 2011: 11).
M Syakir (2011: 11-12) menjelaskan bahwa pestisida nabati
memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Repellant, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang
menyengat.
2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang sudah
disemprot.
3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4. Menghambat reproduksi serangga betina.
7. Antraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada
perangkap serangga.
8. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri
Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran
dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.
1. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah
insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila
insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan
diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida
tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang
mematikan (misalnya susunan syaraf serangga). Oleh karena itu
serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah
disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk
membunuhnya (Panut Djojosumanto, 2000: 42).
Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu
banyak. Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai
racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan kekuatan antara
keduanya. Ada insektisida yang kontaknya lebih kuat daripada racun
2. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh
serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan
mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida
tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut
(Panut Djojosumanto, 2000: 43).
3. Racun Pernapasan
Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat
saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup
insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa
gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau
menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansia, misalnya
bromida, alumunium fosfida, dan sebagainya (Panut Djojosumanto,
2000: 43).
Pemanfaatan pestisida nabati mempunyai beberapa kelebihan,
Haryono (2011: 2-3) menjelaskan kelebihan pestisida nabati, yaitu:
a. Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat
b. Lebih mudah terurai di alam
c. lebih aman bagi manusia dan lingkungan
d. Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai
berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan
efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan.
e. Pemanfaatan pestisida nabati secara luas akan langsung berpengaruh
terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida dan berdampak
positif terhadap kualitas produk tanaman terutama dengan semakin
terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran residu pestisida
kimiawi.
Pemanfaatan pestisida nabati selain memiliki kelebihan juga
memiliki beberapa kelemahan. Berbagai kelemahan pemanfaatan
pestisida nabati seperti:
1. Bahan aktif yang mudah terurai.
2. Sebaran tanaman yang seringkali spesifik lokasi.
3. Kandungan bahan aktif pada tanaman yang sangat bergantung pada
varietas dan lokasi penanaman.
4. Pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru, dan
banyak kelemahan lainnya yang sebenarnya sekaligus juga merupakan
kelebihan pestisida nabati, maka seharusnya kelemahan tersebut tidak
dijadikan sebagai kendala dalam pengembangannya (Haryono, 2011:
2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
a. Pengertian
Saat ini dikenal ada dua istilah Bahasa Inggris yang sering
digunakan secara bergantian untuk pengendalian hama terpadu yaitu
Integrated Pest Control (IPC) yang kita terjemahkan sebagai
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest Management
(IPM) yang kita terjemahkan sebagai Pengelolaan Hama Terpadu
dengan singkatan yang sama PHT (Kasumbogo Untung, 1996: 7).
Konsep PHT muncul akibat kesadaran umat manusia akan
bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup
ekosistem dan kehidupan manusia secara global, sedangkan kenyataan
yang terjadi bahwa menggunakan pestisida oleh petani di dunia dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Diperlukan adanya cara
pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat menekan
penggunaan pestisida (Kasumbogo Untung, 1996: 7-8).
PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan
beberapa teknik pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT
harus memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis,
ekonomis, dan sosiologis sehingga secara keseluruhan kita
memperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu PHT dalam
pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik (Kasumbogo Untung,
1996: 8).
Keputusan pemerintah untuk menerapkan PHT secara nasional
baru dilaksanakan secara formal setelah dikeluarkan Intruksi Presiden
No. 3 Tahun 1986 untuk pengendalian hama padi (Kasumbogo
Untung, 1993: 1).
b. Penerapan PHT pada Komoditi Sayuran
Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat
penting baik bagi konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan
sumber gizi yang utama sebagai penghasil vitamin dan mineral. Bagi
produsen, yaitu petani budidaya sayuran dapat memberikan
penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada komoditi
pangan lainnya (Kasumbogo Untung, 1993: 55).
Ciri-ciri khas petani sayuran di Indonesia menurut Kasumbogo
Untung (1993: 56) adalah:
1. Tingkat produktivitas masih rendah
2. Kualitas produksi rendah
3. Luas lahan per petani sempit
4. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan rendah
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai konsep dan
kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman
pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki keadaan dan
kehidupan petani sayuran sehingga sumber daya yang dimiliki dapat
mereka manfaatkan secara optimal (Kasumbogo Untung, 1993: 56).
c. Faktor yang Mendorong Penerapan PHT
1. Kegagalan pengendalian hama secara konvensional
Praktek penggunaan pestisida yang lazim dilakukan oleh
petani sayuran didorong oleh konsep pengendalian hama yang
tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi. Petani
sayuran umumnya menerapkan asas preventif atau pencegahan.
Penyemprotan dengan pestisida dianggap sebagai asuransi
kesehatan tanaman. Karena dorongan konsumen, petani menjadi
takut serangga atau entomofobi. Mereka berpendapat setiap jenis
serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas
dengan pestisida (Kasumbogo Untung, 1993: 58).
Sebagai akibat dampak samping pestisida, seperti
timbulnya resistensi, resurjensi, dan letusan hama kedua, serta
didorong oleh permintaan pasar akan produk sayuran bebas dari
gigitan serangga, petani sayuran semakin menggebu-gebu di dalam
campuran pestisida, dan frekuensi penyemprotan. Pada keadaan
yang demikian petani sayuran sudah mencapai fase krisis. Dalam
kondisi demikian tidak ada pilihan lain kecuali segera
melaksanakan dan mengikuti konsep PHT (Kasumbogo Untung,
1993: 58).
2. Kesadaran akan kualitas lingkungan hidup
Pestisida sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar
yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh
karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan
maka residu yang ditinggalkan di lingkungan yang menjadi
masalah. Apabila tidak dikendalikan semakin lama akan terjadi
akumulasi kandungan pestisida di lingkungan yang dapat
mencapai kadar yang membahayakan (Kasumbogo Untung, 1996:
14).
Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan hidup yang
tinggi dari masyarakat, pemerintah, dan masyarakat dunia yang
mendorong dan mengharuskan kita untuk segera menerapkan PHT
karena dengan PHT penggunaan pestisida dapat ditekan
sekecil-kecilnya (Kasumbogo Untung, 1996: 14).
3. Kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada
Faktor yang mendorong dan mengaharuskan petani sayuran
menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan
permintaan konsumen pada masa mendatang, terutama permintaan
akan produk holtikultura yang bebas residu pestisida (Kasumbogo
Untung, 1993: 58).
4. Kebijakan pemerintah
Sejak pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan
kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan.
Kebijakan tentang PHT kemudian diperkuat oleh Inpres No.
3/1986 dan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
UU No. 12/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang
sangat berat bagi barang siapa yang menyalahgunakan penggunaan
pestisida baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dasar hukum
bagi pelaksanaan PHT di Indonesia sangat kuat sehingga PHT
untuk tanaman sayuran sudah merupakan keharusan (Kasumbogo
3. Sirih Hijau (Piper betle L.) a. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman sirih dalam Wiwin Setiawati, dkk (2008:
172) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.
a. Nama daerah
Suruh, sedah (Jawa); seureuh (Sunda); ranub (Aceh); belo
(Batak Karo); cambai (Lampung); uwit (Dayak); base (Bali); nahi
(Bima); gapura (Bugis); mota (Flores); afo (Sentani) (Wiwin
b. Morfologi
Gambar 1. Sirih (Piper betle L.) Sumber: Dokumentasi pribadi
Sirih merupakan tanaman merambat yang tingginya bisa
mencapai 15 m. Batang bulat dan beruas, berwarna coklat kehijauan.
Akar keluar dari batang ini. Berdaun tunggal bentuk jantung, panjang
5-8 cm dan lebar 2-5 cm, berujung runcing dan bertangkai, posisi daun
berselang-seling. Bunga berbentuk bulir, merupakan bunga majemuk,
memiliki daun pelindung bulat panjang ± 1 mm. Buahnya bulat, hijau
keabu-abuan, termasuk buah buni. Berakar tunggang, coklat
kekuningan, dan berbentuk bulat (Dini N Nuraini, 2014: 190).
c. Habitat
Sirih hidup subur dengan ditanam di atas tanah gembur yang
mencukupi. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati atau hutan hujan sampai
ketinggian 300 mdpl (Wiwin Setiawati, dkk, 2008: 173).
d. Kandungan kimia
Senyawa yang terkandung dalam sirih antara lain minyak atsiri
(eugenol, methyl eugenol, karvakrol, kavikol, alil katekol, kavibetol,
sineol, estragol), alkaloid, karoten, tiamin, ribovlafin, asam nikotinat,
vitamin C, tanin, gula, pati, dan asam amino (Wiwin Setiawati, dkk,
2008: 173). Daun sirih hijau juga mengandung flavonoid,
steroid/terpenoid, dan kuinon (Agus Aulung, dkk, 2010: 9).
1) Minyak Atsiri
Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang
sering disebut “minyak terbang” (Inggris: volatile oil). Minyak
atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah
menguap. Selain itu, minyak atsiri juga disebut essential oil (dari
kata essence) karena minyak tersebut memberikan bau pada
tanaman (Koensoemardiyah, 2010: 1).
Minyak atsiri dari daun sirih segar sepertiga bagian terdiri
dari fenol dan alkaloid yang memiliki daya pembunuh bakteri,
antioksidan, fungisida serta anti jamur. Dilaporkan oleh Amhed,
1988 (Anang Mulyantana, 2013: 2) minyak atsiri dari daun sirih
dibandingkan dengan piperazine phosphate dan hexyl resorchinol
pada konsentrasi yang sama.
Aroma dan rasa daun sirih yang khas, sedap, sengak, tajam,
dan merangsang disebabkan oleh kavikol dan betlephenol yang
terkandung dalam minyak atsiri. Kedua zat tersebut merupakan
kandungan terbesar minyak atsiri yang ada dalam daun sirih (Rini
D Moeljanto dan Mulyono, 2003: 9). Heyne, 1987 (Anang
Mulyantana, 2013: 4), mengungkapkan bahwa kavikol yang
merupakan salah satu senyawa turunan fenol dari minyak atsiri
daun sirih memiliki daya insektisida 5 kali lebih kuat dibandingkan
piperazinephosphate dan dapat menjadi toksik jika konsentrasinya
pekat atau tinggi.
Minyak atsiri dalam daun sirih dapat menghambat respirasi
mitokondria serangga. Zat ini juga dapat bersifat racun yang
kerjanya menghambat aktivitas respirasi sehingga menyebabkan
kematian secara lambat apabila masuk melalui saluran pernapasan
(Prijono, dkk, 1997; Anang Mulyantana, 2013: 4).
2) Alkaloid
Banyak tumbuhan mengandung senyawa nitrogen aromatik
yang dinamakan alkaloid. Tumbuhan yang mengandung senyawa
Alkaloid yang terkandung dalam daun sirih (Piper batle L.) adalah
arecoline. Arecoline bersifat nitrogenous pada makanan sehingga
menetralisir asam lambung dan bekerja sebagai astringent. Sebagai
astringen, zat ini mengeraskan membran mukosa pada lambung
(Rooney, 1993; Handayani, dkk, 2013: 4-5). Alkaloid berupa
garam sehingga dapat mendegradasi membran sel untuk masuk ke
dalam dan merusak sel dan juga dapat menggangu sistem kerja
syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase
(Eka Cania dan Endah Setyaningrum, 2013: 58).
3) Tanin
Tanin diproduksi oleh tanaman berfungsi sebagai substansi
perlindungan dalam jaringan maupun luar jaringan. Tanin
umumnya tahan terhadap perombakan atau fermentasi, selain itu
menurunkan kemampuan binatang untuk mengkonsumsi tanaman
atau juga mencegah pembusukan daun pada pohon. Tanin juga
bekerja sebagai zat astringent yang dapat menyusutkan jaringan
dan menutup struktur protein pada kulit dan mukosa (Elvie Yenie,
dkk, 2013: 53). Tanin juga dapat mengganggu serangga dalam
mencerna makanan. Tanin akan mengikat protein dalam sistem
pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan dan
4) Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan senyawa yang berperan
penting dalam penyerbukan oleh serangga. Sejumlah flavonoid
mempunyai rasa pahit hingga bersifat menolak sejenis ulat tertentu
(Agus Aulung, dkk, 2010: 12). Flavonoid bekerja sebagai inhibitor
kuat pernafasan atau racun pernapasan. Flavonoid mempunyai cara
kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem
pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada
syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan
larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Eka Cania dan Endah
Setyaningrum, 2013: 58).
5) Terpenoid
Terpenoid dan turunannya dapat bekerja sebagai insektisida
akan tetapi banyak peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid
lebih bersifat ekologis daripada fisiologis. Terpenoid dapat
menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya dan terpenoid
dapat bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap
hewan, penolak serangga dan sebagainya (Agus Aulung, dkk,
2010: 12).
Menurut Anggriani dkk, 2013 dan Mayanti dkk, 2006 (Fika
serangga. Triterpenoid juga bersifat sebagai penolak serangga
(repellant) karena ada bau menyengat yang tidak disukai oleh
serangga sehingga serangga tidak mau makan. Senyawa ini
berperan sebagai racun perut yang dapat mematikan serangga.
Senyawa ini akan masuk ke dalam saluran pencernaan melalui
makanan yang mereka makan, kemudian diserap oleh saluran
pencernaan tengah. Saluran ini berfungsi sebagai tempat
perombakan makanan secara enzimatis (Junar, 2000; Fika Afifah,
dkk, 2010: 29). Senyawa tersebut dapat mempengaruhi fungsi
saraf yaitu menghambat enzim kolinesterase, sehingga terjadi
gangguan transmisi rangsang yang mengakibatkan munurunnya
koordinasi kerja otot, konvuli, dan kematian serangga (Endah dan
Heri, 2000; Fika Afifah, dkk, 2015: 29).
Senyawa aktif Precocene I dan Precocene II dikenal
sebagai senyawa anti hormone juvenile. Anti juvenile hormone
mengganggu tahapan proses perkembangan larva. Jadi, racun ini
tidak secara langsung membunuh tetapi sebagai growth inhibitor.
pemberian senyawa precocene menyebabkan turunnya titer
hormone juvenile sehingga menyebabkan terjadinya metamorfosis
dini, dewasa yang steril, diapause, dan terganggunya produksi
Gangguan tidak hanya terjadi pada stadia larva tetapi berlanjut
pada pembentukan pupa dan serangga dewasa. Mekanisme
penghambatan diduga terganggu melalui perintah ke otak oleh
suatu zat (Prijono, 1999; Mutiah Sari, dkk, 2013: 566-567).
a. Hama Plutella xylostella
Pengertian hama secara luas yaitu organisme yang mengurangi
ketersediaan, mutu, dan jumlah sumber daya tanaman bagi manusia.
Pengertian lain yaitu semua binatang atau serangga yang dalam aktivitas
hidupnya memakan tanaman yang dibudidayakan sehingga merugikan
kepentingan hidup manusia dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.
Dalam pengertian tersebut istilah hama dilihat dari segi kepentingan
manusia, bukan merupakan istilah ekologi. Kebanyakan binatang hama
adalah serangga. Jenis binatang lainnya yang juga merupakan hama bagi
ekosistem pertanian yaitu burung, tikus, babi hutan, kera, siput, dan
binatang-binatang lainnya yang merugikan karena memakan tanaman
a. Klasifikasi
Klasifikasi ulat sawi (Plutella xylostella) dalam Pracaya (2008:
87) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella
b. Biologi Hama
Ulat Plutella merupakan hama yang kosmopolit, yang terdapat
di seluruh dunia dimana ada tanaman kobis (kol). Di Indonesia hama
ini tidak berada di dataran rendah. Plutella memiliki kemampuan
hanya untuk merusak daun kobis (kol), petsay, kol bunga, lobak, dan
lain-lain jenis kol. Yang paling disukai adalah tanaman kobis (kol)
(Rismunandar, 1981: 103).
Plutella xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih
dan jenis kubis lainnya sepeti kubis merah, petsai, kubis bunga, kailan,
selada air, sawi, jagung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma
adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine
hirsuta (rumput selada pahit berbulu), Brasisca pachypoda,
Nasturtium officinale, dan Lepidium sp. (Sastrosiswojo, 1987; Loso
Winarto & Lukas Sebayang, 2015: 12-13).
1) Telur
Kupu-kupu Plutella meletakkan telurnya di bawah daun
kol yang terbuka, tidak pandang umurnya tanaman yang
dikunjungi (Rismunandar, 1981: 103).
Telurnya berukuran 0,6 x 0,3 mm, berbentuk oval, dan
berwarna kuning muda. Pada saat menetas telur tersebut
warnanya berubah menjadi cokelat keabu-abuan. Produksi
telur tiap imago betina dapat mencapai 300 butir yang
diletakkan secara tunggal atau dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 3-4 butir. Stadium telur berlangsung 2-4
hari (Agus Suyanto, 1994: 55).
2) Larva
[image:50.612.253.496.554.656.2]Gambar 2. Larva Plutella xylostella
Larva (ulat) yang baru keluar dari telur berwarna hijau
muda, berukuran panjang 2 mm, dan akhirnya tumbuh menjadi
10 mm. Kepala larva berwarna kuning dan berbintik gelap.
Pada tubuhnya yang berwarna hijau terdapat rambut-rambut
hitam. Larva terdiri dari empat instar. Stadium larva
berlangsung selama 12 hari (Agus Suyanto, 1994: 55). Instar I
berupa larva yang panjangnya 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna
hijau kekuning-kuningan yang berlangsung selama 4 hari.
Instar II berupa larva berukuran panjang 2 mm, lebar 0,5 mm,
berwarna hijau kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 2
hari. Instar III larva yang berukuran 4-6 mm, lebar 0,75 mm,
berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari. Instar IV larva
berukuran panjang 8-10 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna hijau,
dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana R, 1994: 41).
Ciri khas lain adalah apabila tersentuh akan menggeliat
jatuh dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang.
Larva tersebut akan naik kembali pada daun melalui
benangnya apabila keadaan bahaya sudah berlalu. Umumnya
pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab
dibutuhkan energi yang cukup banyak untuk pertumbuhan,
3) Pupa
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella Sumber:
https://www.forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5 443246
Pupanya (kepompong) berukuran panjang 6,3-7 mm.
Mula-mula berwarna hijau, kemudian setelah 24 jam berubah
menjadi cokelat atau hitam. Pupa ini diselubungi oleh jala yang
terbuat dari benang berwarna putih, berbentuk lonjong yang
disebut kokon. Stadium pupa berlangsung selama 6-7 hari
(Agus Suyanto, 1994: 55).
4) Ngengat
Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella Sumber:
Menurut Harcourt, 1957 (Loso Winarto & Lukas
Sebayang, 2015: 9-10) serangga dewasa berupa ngengat kecil,
kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu dan aktif
pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan
(undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa
inggris diamod). Oleh sebab itu serangga dalam bahasa inggris
disebut diamodback moth. Ngengat Plutella xylostella tidak
kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Pada saat
tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m
di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4
m.
Lama hidup ngengat betina berkisar antara 7-47 hari,
rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan
rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat
betina antara 18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur
yang diproduksi setiap ngengat betina dipengaruhi oleh
perbedaan temperatur, foto periode, umur, dan kondisi makan
larva (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 97).
Ngengat Plutella pada siang hari biasa bersembunyi,
Siklus dari telur hingga menjadi ngengat rata-rata 12-15
hari di tempat dengan ketinggian 250 m dan rata-rata 3 minggu
di dataran tinggi (Rismunandar, 1981: 104).
5) Siklus hidup
Siklus hidup hama Plutella xylostella dipengaruhi
diantaranya oleh suhu lingkungan. Pada suhu 16o C- 25o C
siklus hidupnya mencapai 15 hari (Permadi, 1993; Liliek
Mulyaningsih, 2010: 97). Selain itu ketinggian tempat juga
berpengaruh terhadap siklus hidup Plutella xylostella. Pada
ketinggian 250 meter di atas permukaan laut siklus hidup hama
tersebut 12-15 hari, sedangkan pada ketinggian 1100 mdpl
[image:54.612.239.511.446.648.2]siklus hidupnya 20-25 hari (Liliek Mulyaningsih, 2010: 97).
Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella
6) Aktifitas makan
Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai
aktivitas makannya yaitu yang pertama adanya
rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant)
dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk
pengenalan jenis makanan dan menjaga aktivitas makan, dan
yang kedua adalah pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa
asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai
penghambat makan sehingga dapat memperpendek aktivitas
makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali.
Serangga dapat mengenali senyawa-senyawa asing dalam
makanannya walaupun dalam konsentrasi rendah dan akan
merespon atas kehadiran senyawa tersebut dalam makanannya
(Dadang dan Kanju Ohsawa, 2000: 30).
Pengamatan secara visual, larva mengonsumsi daun
dengan perlakuan lebih sedikit dibandingkan dengan daun
tanpa perlakuan yang mencerminkan adanya sifat penghambat
aktivitas makan. Penghambatan aktivitas makan ini dapat
memberikan sumbangan pada terjadinya kematian larva
7) Kerusakan yang diakibatkan
Gejala serangan oleh hama ini khas dan tergantung
pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang
baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang
galian pada permukaan bawah daun, selanjutnya larva
membuat lorong (gerekan ke dalam) jaringan parenkim
sambilmemakan daun. Larva instar dua, keluar dari liang
gerekan yang transparan dan makan jaringan daun pada
permukaan bawah daun. Demikian juga larva instar ketiga dan
keempat. Larva instar ketiga dan keempat memakan seluruh
bagian daun sehingga meninggalkan ciri yang khas, yaitu
tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang
daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih,
2010: 98). Serangan hama ulat ini sangat cepat, sehingga
dalam waktu beberapa hari saja tanaman yang diserang akan
menjadi rusak (Enceng Surachman dan Widada Agus S., 2007:
Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella Sumber:Dokumentasi pribadi
Serangan P. xylostella yang berat pada tanaman dapat
menggagalkan panen (Sastrosiswojo, 1987; Loso Winarto &
Lukas Sebayang, 2015: 13).
b. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Di Indonesia nama sawi sudah tergolong familiar. Orang Jawa atau
Madura menggunakan sebutan yang sama, yakni sawi, untuk sayuran ini.
Orang Sunda menyebutnya sasawi. Nama asing untuk sawi ialah mustard.
Perdagangan internasional menggunakan sebutan green mustard, chinese
mustard, indian mustard, atau sarepta mustard (Eko Haryanto, dkk, 2003:
3).
a. Jenis-jenis Sawi
Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam
jenis sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau,
sawi bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi
keriting dan sawi monumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 9).
1) Sawi putih atau sawi jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang
paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat
dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis
sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua.
Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek,
tetapi tegap dan bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10).
2) Sawi hijau
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi
sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit
pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan
(Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi hijau berukuran lebih kecil
dibandingkan sawi jabung atau sawi putih. Daun sawi jenis ini
lebar seperti daun sawi putih, tetapi warnanya lebih hijau tua.
Batangnya sangat pendek, tetapi tegap. Tangkai daunnya agak
pipih, sedikit berliku, tetapi kuat. Varietas sawi hijau banyak
dibudidayakan di lahan yang kering , tetapi cukup pengairannya
3) Sawi huma
Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang
kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam
setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan
terhadap genangan air (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi huma
daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan.
Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang
kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti
bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11).
4) Caisim alias sawi bakso
Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya
sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan di
kalangan konsumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11). Tangkai
daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan.
Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya
yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat
sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng, caisim
banyak dibutuhkan oleh pedagang mie bakso, mie ayam, atau
restoran masakan cina. Tidak mengherankan jika permintaannya
5) Sawi keriting
Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian
daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun.
Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting,
jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Eko Haryanto,
dkk, 2003: 12).
6) Sawi monumen
Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun
kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai
daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun
yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau segar. Jenis
sawi ini tergolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya
b. Klasifikasi
Klasifikasi tumbuhan sawi dalam Rukmana (2002: 15) :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Dicotyledone
Ordo : Papaverales
Famili : Cruciferae atau Brassicaceae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
[image:61.612.275.431.397.583.2]c. Morfologi
Gambar 7. Sawi Caisim (Brassica juncea L.) Sumber: Dokumentasi pribadi
Sawi (Brassica juncea L.) termasuk ke dalam famili
tidak berbulu, dan tidak berkrop. Batang tanaman sawi pendek, lebih
langsing dari tanaman petsai. Tanaman ini mempunyai akar tunggang
dengan banyak akar samping yang dangkal. Biji terdapat dalam kedua
sisi dinding sekat polong yang gemuk (Yati Supriati dan Ersi Herliana,
2010: 92).
Sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami baik
di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Stuktur bunga sawi
tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh
memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi
terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga
berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik
yang berongga dua (Rukmana, 2002: 16).
d. Syarat tumbuh
Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berudara
panas maupun berudara dingin sehingga diusahakan di daerah dataran
tinggi maupun dataran rendah. Meskipun begitu, tanaman sawi akan
lebih baik jika ditanam di dataran tinggi (Eko Haryanto, dkk, 2007:
24)
Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian
5-1.200 mdpl. Namun, biasanya tanaman ini dibudidayakan di daerah
Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut (Eko Haryanto, dkk,
2007: 25)
Tanaman sawi juga tahan terhadap air hujan, sehingga dapat
ditanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau, jika penyiraman
dilakukan dengan teratur dan dengan air yang cukup, tanaman ini akan
tumbuh sebaik pada musim penghujan. Berhubung selama
pertumbuhannya tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk maka akan
lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembap. Namun,
tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang (Eko
Haryanto, dkk, 2007: 25).
Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur,
banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik.
Derajat keasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya
antara 6-7 (Eko Haryanto, dkk, 2007: 25).
e. Kandungan gizi
Sawi baik setelah diolah maupun sebagai lalapan, ternyata
mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan
tubuh. Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan
yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan,
adalah seperti disajikan dalam tabel di bawah ini (Eko Haryanto, dkk,
2003: 5-6).
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 g
Zat Gizi Sawi
Protein (gr) Lemak (gr) Karbohi