EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella
xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh Tri Widayanti NIM 13308141059
PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
Harta yang tak pernah habis adalah ilmu pengetahuan dan ilmu yang tak ternilai
adalah pendidikan.
“Pengetahuan adalah senjata yang paling hebat untuk mengubah dunia.”- Nelson
Mandela
Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai
dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang manusia tidak akan berubah
dengan sendirinya tanpa berusaha...
Jangan menunda-nunda untuk melakukan suatu pekerjaan karena tidak ada yang
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk semua orang spesial yang berperan penting
dalam terselesaikannya skripsi ini :
1. Kedua orang tua tercinta Bapak Sugeng (alm) dan Ibu Umi Kulsum, yang
telah memberikan banyak dukungan moril maupun materil, serta
memberikan do’a restu serta dorongan motivasi dalam pembuatan skripsi
ini.
2. Kakak- kakak dan keponakan yang selalu membuat hari-hari saya bahagia,
selalu menyemangati, dan memberikan do’a yang terbaik kepada saya.
3. Keluarga Besar Biologi FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat
tahun mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Terimakasih kepada dosen-dosen Biologi yang telah dengan sabar
memberikan didikan dan bimbingan kepada saya.
4. Teman seperjuangan penelitian, Ismi Nurhidayah, Rizky Wulandari,
Insiwi Purwianshari yang senantiasa membantu dan saling mendukung
dalam menyelesaikan penelitian kami.
5. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Prodi Biologi FMIPA UNY,
khususnya Biologi E angkatan 2013.
EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella
xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.) Oleh:
Tri Widayanti NIM 13308141059
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva, tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.), serta konsentrasi efektif pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida.
Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2016 di Greenhouse, Biologi, FMIPA, UNY, penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas kontrol negatif menggunakan air, empat perlakuan variasi konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) (2,5%; 5%; 7,5%; 10%) dan kontrol positif menggunakan pestisida sintetik. Masing-masing perlakuan dengan lima ulangan. Hasil pengamatan dilakukan analisis varian yaitu analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur. Apabila hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh atau berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) yang menyebabkan terjadinya mortalitas hama Plutella xylostella tertinggi (56%) yaitu pada konsentrasi 10% pada pengamatan kedua. Perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) menyebabkan terjadinya pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva dengan persentase terjadinya pupa tertinggi (16%) pada konsentrasi 10%. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) tertinggi pada konsentrasi 10% sebesar 63,2 gram/tanaman. Hasil uji Anova Satu Arah menunjukkan tidak terdapat perbedaan sangat signifikan (tidak berpengaruh nyata) konsentrasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva, dan berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.). Namun dari hasil pengukuran berpengaruh. Aplikasi perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) berpengaruh terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.). Tingkat kerusakan daun tanaman sawi terendah pada konsentrasi 10%. Konsentrasi efektif perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella ialah konsentrasi 10%.
THE EFFECTIVITY OF YELLOW WOOD LEAF JUICE (Arcangelisia flava L.) AS VEGETABLE PESTISIDE AGAINST Plutella xylostella PEST
CONTROL ON MUSTARD PLANT (Brassica juncea L.) By:
Tri Widayanti NIM 13308141059
ABSTRACT
This research aims to determine the effect of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) pestiside plant against Plutella xylostella pests mortality, abridgement of Plutella xylostella pests cycle life, the damage level of mustard plant leaf (Brassica juncea L.) and the wet weight of mustard (Brassica juncea L.), also the effective concentration of yellow wood leaf juice pestiside (Arcangelisia flava L.) as a biopesticide.
The research was held in September-November 2016 in the Greenhouse, Biology, Science Faculty, UNY, this research used an experimental research design with completely randomized design (CRD) consisting of a negative control using water, four treatment variation of the yellow wood leaf juice concentrate (Arcangelisia flava L.) (2.5%, 5%, 7.5%; 10%) and positive control using chemical pesticides. Each treatment had five times repetition. The observation result made by analysing of variance with One Way ANOVA variant analysis (Analysis of Variance) to determine the treatment effect on the measured response. If the results of ANOVA test showed ofdifferent effect or significance effect, it will continued with Duncan Multiple test (Duncan Multiple Range Test) on a 5% significance level to determine differences of the treatments.
The results showed the concentration of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) which caused the highest mortality of Plutella xylostella pests (56%) on 10% concentration in the second observation. Yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) caused the abridgement of Plutella xylostella pests cycle life with highest percentage of the pupae (16%) at a concentration of 10%. The wet weight mustard (Brassica juncea L.) on the highest concentration of 10% amount to 63.2 grams / plant. One Way Anova test results showed no significant difference (not significant) on the concentration of the yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) against Plutella xylostella pets mortality, abridgement of Plutella xylostella pests cycle life, and the wet weight of mustard (Brassica juncea L. ). But from the result of measurement was effected.The Application of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) affect the level of damage to the mustard leaf (Brassica juncea L.). The level of damage to the lowest mustard leaf plants at a concentration of 10%. The effective concentration of yellow wood leaf juice (Arcangelisia flava L.) as a biopesticide against Plutella xylostella pest control on concentration of 10%.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya,
Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan
gelar Sarjana Sains dengan judul “EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI PERASAN DAUN KAYU KUNING (Arcangelisia flava L.) TERHADAP PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)” dapat disusun sesuai harapan. Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak
lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Kedua orang tua saya yaitu, Bapak Sugeng (alm). dan Ibu Umi Kulsum
untuk semua kasih sayang, doa, dukungan dan motivasi yang tiada henti.
2. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., selaku Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan
studi di Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Dr. Hartono, M.Si, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah berperan
dalam pemberian izin penelitian.
4. Dr. Paidi, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta yang
memberikan dukungan dan memberikan izin dalam melakukan penelitian
skripsi.
5. Dr. Tien Aminatun, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan dorongan motivasi dan dukungan.
6. Dr. Ixora Sartika Mercuriani, M.Si., selaku penasehat akademik yang
selalu memberi masukan, arahan, semangat dan motivasi.
7. Dr. Ir. Suhartini, MS., selaku pembimbing utama dalam penyusunan tugas
akhir skripsi yang selalu memberi masukan, arahan, perbaikan, semangat
8. Dra. Budiwati, M. Si., selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan
tugas akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, perbaikan,
semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya penyususnan skripsi.
9. Prof. Dr. IGP Suryadarma, MS. selaku penguji yang telah memberikan
banyak masukan yang positif untuk kesempurnaan skripsi saya.
10.Dra. Ratnawati, M.Sc. selaku penguji yang telah memberikan banyak
masukan yang positif untuk kesempurnaan skripsi saya.
11.Semua Dosen Biologi Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak
memberi ilmunya kepada kami.
12.Bapak Untung dan Bapak Sugiarto selaku Ketua dan Bendahara P4S Tani
Organik Merapi yang memberikan ijin untuk mengambil Plutella
xylostella.
13.Teman skripsi saya, Rizky Wulandari, Insiwi Purwianshari, Ismi
Nurhidayah yang selalu menemani dan membantu penulis dalam proses
pengerjaan skripsi ini, selalu menyemangati dan memotivasi saya, teman
berbagi susah dan senang dalam mengerjakan skripsi ini.
14.Teman-teman Biologi E 2013 yang telah menemani dan membantu saya
dalam proses penyusunan skripsi serta terimakasih atas persahabatan indah
yang selama ini kita jalani.
15.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan kontribusi sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Akirnya, semoga segala bantuan yang telah berikan semua pihak di atas
menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan
Skripsi ini menjadi informasi bermanfaat bagi pembaca atau pihak lain yang
membutuhkannya.
Yogyakarta, 2017
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan Masalah... 8
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Manfaat Penelitian ... 10
G. Batasan Operasional ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 13
1. Pengertian Pestisida ... 13
2. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis / Pestisida sintetik ... 14
3. Pengendalian Hama Terpadu ... 19
4. Pengertian Pestisida Nabati ... 22
5. Teknik Pembuatan Pestisida Nabati ... 30
9. Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) ... 37
10.Hama Plutella xylostella ... 43
11.Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 55
B. Kerangka Berpikir ... 65
C. Hipotesis Penelitian ... 66
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 67
B. Tempat dan Waktu ... 67
C. Objek ... 67
D. Variabel ... 67
E. Rancangan Penelitian ... 68
F. Alat dan Bahan ... 69
G. Prosedur Penelitian ... 70
H. Pengukuran Data ... 78
I. Analisis Data ... 79
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 80
B. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 94
C. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 102
D. Pengaruh pemberian larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 107
E. Konsentrasi efektif larutan pestisida nabati perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ... 113
F. Keterbatasan Penelitian ... 114
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 115
B. Saran ... 116
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 gram ... 61
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil dan Produksi Petsai/Sawi di
Indonesia Tahun 2009 – 2014. ... 64
Tabel 3. Data Pengamatan Jumlah Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella 80
Tabel 4. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan I .. 88
Tabel 5. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan II . 89
Tabel 6. Rata-rata Mortalitas Larva Instar III Plutella xylostella Pengamatan III 90
Tabel 7. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati
Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama
Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Pengamatan I ... 92
Tabel 8. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati
Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama
Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Pengamatan II... 92
Tabel 9. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati
Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama
Plutella xylostella Larva Instar III pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Pengamatan III ... 93
Tabel 10. Pengamatan Jumlah Larva Instar III Plutella xylostella yang menjadi
Pupa ... 94
Tabel 11. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella
Tabel 12. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella
Instar III yang menjadi Pupa Pengamatan II ... 97
Tabel 13. Rata-rata Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella Instar III yang menjadi Pupa Pengamatan III ... 98
Tabel 14. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan I... 100
Tabel 15. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan II ... 100
Tabel 16. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Larva Instar III yang menjadi Pupa pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada Pengamatan III ... 101
Tabel 17. Diskripsi Tingkat Kerusakan Daun Sawi (Brassica juncea L.). ... 102
Tabel 18. Pengukuran Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). ... 107
Tabel 19. Rata-rata Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). ... 109
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.) ... 38
Gambar 2. Batang dan Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.) ... 39
Gambar 3. Plutella xylostella L. ... 45
Gambar 4. Siklus hidup Plutella xylostella (Tonny K. M) ... 51
Gambar 5. Kerusakan daun oleh Plutella xylostella ... 51
Gambar 6. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 57
Gambar 7. Kerangka Berfikir ... 65
Gambar 8. Kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea L.) pada setiap perlakuan .. 105
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun
Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella
pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 124
Lampiran 2. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 126
Lampiran 3. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Tingkat Kerusakan Daun Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 128
Lampiran 4. Data Pengaruh Pemberian Larutan Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 129
Lampiran 5. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Mortalitas Hama Plutella xylostella ... 131
Lampiran 6. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Pupa Hama Plutella xylostella ... 139
Lampiran 7. Hasil Analisis One Way ANOVA (Analysis of Variance) Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) ... 147
Lampiran 8. Dokumentasi Proses Penelitian ... 150
Lampiran 9. Surat Keputusan Penunjukan Dosen Pembimbing Skripsi ... 159
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu jenis
sayuran yang digemari dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat.
Untuk konsumsi sehari-hari, sawi biasa dijadikan lalapan dan sayuran
tumisan bersama dengan sayuran yang lain. Kebutuhan masyarakat
terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga
tanaman sawi sangat potensial dibudidayakan untuk menjadi sayuran yang
komersial dan memiliki prospek pasar yang baik. Sawi memiliki beberapa
manfaat yang baik untuk kesehatan, diantaranya menghilangkan rasa gatal
di tenggorokan pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan
pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan
memperlancar pencernaan. Kandungan yang terdapat pada sawi berupa
protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin
C. Setiap 100 g daun segar tanaman sawi mengandung 6.460 SI vitamin A;
0,09 mg vitamin B, dan 120 mg vitamin C (Haryanto, Suhartati dan
Rahayu, 2002: 5).
Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengolahan data Statistik
Produksi Hortikultura tahun 2014, total produksi sawi di Indonesia pada
tahun 2013 sebesar 635.728 ton dan pada tahun 2014 sebesar 602.468 ton,
produksi sawi ini mengalami penurunan yaitu sebesar 33.260 ton
Jenderal Hortikultura, 2015). Untuk produktivitas sawi di Kabupaten/Kota
D.I. Yogyakarta sendiri pada tahun 2015 untuk Kulonprogo sebesar
114,32 (kwintal/ha); Bantul sebesar 122,79 (kwintal/ha); Gunungkidul
sebesar 59,59 (kwintal/ha) Sleman sebesar 132,15; DIY sebesar 109,73
(kwintal/ha) (Badan Pusat Statistika D.I. Yogyakarta, 2015).
Penurunan produksi sawi (Brassica juncea L.) di Indonesia ini
disebabkan karena adanya kendala berupa organisme pengganggu tanaman
yaitu ulat jantung sawi Crocidolomia pavonana F dan ulat daun sawi
Plutella xylostella. Hama ulat daun sawi Plutella xylostella (Lepidoptera:
Plutellidae) merupakan salah satu jenis hama utama di pertanaman sawi.
Apabila tidak ada tindakan pengendalian, kerusakan sawi oleh hama
tersebut dapat meningkat dan hasil panen dapat menurun baik jumlah
maupun kualitasnya. Serangan yang timbul kadang-kadang sangat berat
sehingga tanaman sawi tidak membentuk crop dan panennya menjadi
gagal. Kehilangan hasil sawi yang disebabkan oleh serangan hama dapat
mencapai 10-90 persen. Ulat daun sawi Plutella xylostella bersama dengan
ulat jantung sawi Crocidolomia pavonana F. mampu menyebabkan
kerusakan berat dan dapat menurunkan produksi sawi sebesar 79,81 persen
(Sembel, 2010). Menurut Permadani dan Sastrosiswojo (1993), serangan
hama ulat daun sawi Plutella xylostella dan ulat jantung sawi
Crocidolomia pavonana F. menyebabkan kehilangan hasil hampir 100%,
apabila tanaman tidak diberi perlakuan insektisida. Kondisi seperti ini
pengendalian hama daun sawi ini sebagai hama utama tanaman sawi perlu
dilakukan untuk mencegah dan menekan kerugian akibat serangan hama
tersebut.
Pengendalian ulat pemakan daun sawi oleh petani masih
tergantung pada penggunaan insektisida sintetik yang diyakini praktis
dalam aplikasi dan hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani
cenderung menggunakan insektisida dengan takaran yang berlebihan,
sehingga penggunaan insektisida perlu dikelola dan dikendalikan secara
efektif dan aman bagi lingkungan (Eko Haryanto, 2003: 23).
Petani pada umumnya mengatasi gangguan ulat sawi dengan
menggunakan insektisida kimia sintetik. Ditinjau dari segi penekanan
populasi hama, pengendalian secara kimiawi dengan insektisida memang
cepat dirasakan hasilnya, terutama pada areal yang luas. Tetapi, selain
memberikan keKasumbago Untungan ternyata penggunaan insektisida
yang serampangan atau tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan. Hasil survai pada petani sayuran menyebutkan bahwa
petani mengeluarkan 50 persen biaya produksi untuk pengendalian secara
kimiawi dengan mencampur berbagai macam pestisida, karena belum
diketahui bagaimana penggunaan pestisida yang tepat.
Penggunaan pestisida sintetis di lingkungan pertanian menjadi
masalah yang sangat dilematis. Di satu pihak dengan digunakannya
pestisida sintetis maka kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan
penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan (Kasumbago Untung Agus Kardinan,
2000: 1).
Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana (khususnya yang
bersifat sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan. Beberapa kasus
yang merugikan tersebut di antaranya: 1) kasus keracunan (lebih dari
400.000 kasus dilaporkan per tahunnya, 1,50% di antaranya fatal); 2)
polusi lingkungan (kontaminasi air, tanah, udara, hasil pertanian, dan
dalam jangka panjang terjadi kontaminasi terhadap manusia dan
kehidupan lainnya); 3) perkembangan serangga menjadi resisten, resurgen,
ataupun toleran terhadap pestisida; 4) serta dampak negatif lainnya
(Kasumbago Untung Agus Kardinan, 2000: 2).
Dilema antara kebutuhan dan pelestarian lingkungan
menumbuhkan gagasan pengembangan pengendalian serangga hama yang
berwawasan lingkungan dan aplikasinya sesuai dengan konsep
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Hal ini direalisaikan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman, yang salah satu tujuan penting kebijakan tersebut
adalah penggunaan insektisida yang bijaksana.
Salah satu cara pengendalian organisme pengganggu tanaman
(OPT) adalah dengan menggunakan insektisida nabati. Beberapa jenis
insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan telah dikembangkan untuk
Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu
mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun berinteraksi
dengan molekul lainnya yang mampu berperan sebagai pestisida.
Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida
nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan
dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu
senyawa metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent),
penghambat makan (antifeedant/feeding deterrent), penghambat
perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent/deterrent)
dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Prijono,
1999).
Suatu alternatif pengendalian hama penyakit yang murah, mudah,
praktis, dan relatif aman terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh
negara berkembang seperti Indonesia dengan kondisi petaninya yang
memiliki modal terbatas untuk membeli pestisida sintetis yang harganya
relatif mahal. Oleh sebab itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan
pestisida nabati yang ramah lingkungan yang terbuat dari perasan daun
kayu kuning (Arcangelisia flava L.) untuk mengendalikan hama yang
sangat merugikan petani karena dapat menurunkan mutu dan produksi
pertanian. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah
Plutella xylostella atau ulat tritip (Rahmat Rukmana, 1994:16). Dengan
dikembangkan pemanfaatan pestisida nabati berbahan dasar daun tanaman
dapat mempersiapkan sendiri cara pengendalian hama terpadu yang ramah
lingkungan dengan cara sederhana, yaitu dilakukan dengan teknik
penggerusan dan perendaman dengan air keran selama 24 jam untuk
menghasilkan produk perasan. Penggunaan perasan dilakukan sesegera
mungkin setelah pembuatan perasan dilakukan (Kasumbago Untung Agus
Kardinan, 2000: 7).
Perasan daun tanaman kayu kuning (Arcangelisia flava L.) dapat
digunakan sebagai pestisida nabati kerena di dalam daun kayu kuning
mengandung senyawa saponin, flavonoida dan tanin, (Sitepu dan Sutikno,
2001). Menurut Endah dan Heri (2000) bahwa fungsi senyawa saponin,
flavonoid, dan tanin dapat menghambat daya makan larva (antifeedantt).
Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai
stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, apabila
senyawa-senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga, alat pencernaannya akan
terganggu. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam perasan daun kayu
kuning (Arcangelisia flava L.) tersebut juga menghambat indera perasa
pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan
stimulus rasa, sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akhirnya
larva akan mati kelaparan (Ahmed dkk, 2009).
Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian yang
berjudul “Efektivitas Pestisida Nabati Perasan Daun Kayu Kuning
(Arcangelisia flava L.) terhadap Pengendalian Hama Plutella xylostella
mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis untuk
pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi karena pestisida
sintetis termasuk salah satu faktor yang dapat membahayakan keselamatan
hayati, termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka
dapat dijabarkan permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi
diantaranya :
1. Bagaimanakah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama
Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
2. Bagaimanakah cara pengendalian hama Plutella xylostella pada
tanaman sawi (Brassica juncea L.) agar ramah lingkungan dan
tidak berbahaya bagi kesehatan manusia ?
3. Bagaimanakah jenis tanaman yang mengandung bahan aktif
sebagai pestisida nabati ?
4. Bagaimanakah jenis zat aktif yang terkandung dalam perasan daun
kayu kuning (Arcangelisia flava L.) ?
5. Bagaimanakah pengaruh yang ditimbulkan akibat paparan perasan
daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pestisida nabati
untuk mengendalikan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
6. Bagaimanakah efektivitas daun kayu kuning (Arcangelisia flava
L.) sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan hama Plutella
xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
7. Bagaimanakah mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan
siklus hama Plutella xylostella fase larva, tingkat kerusakan daun
tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea L.) yang ditimbulkan akibat dari penggunaan
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai pestisida
nabati ?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut,
penelitian ini dibatasi pada efektivitas pestisida nabati perasan daun kayu
kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap:
1. Mortalitas hama Plutella xylostella
2. Pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva
3. Tingkat kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.)
4. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.)
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica
juncea L.) ?
2. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap
pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva pada
tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
3. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat
kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
4. Bagaimanakah pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat
basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) ?
5. Berapakah konsentrasi efektif dari larutan pestisida nabati perasan
daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai biopestisida
terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
(Brassica juncea L.) ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap
mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap
pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva pada
tanaman sawi (Brassica juncea L.).
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap tingkat
kerusakan daun tanaman sawi (Brassica juncea L.).
4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) terhadap berat
basah tanaman sawi (Brassica juncea L.).
5. Untuk mengetahui konsentrasi efektif dari larutan pestisida nabati
perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai
biopestisida terhadap pengendalian hama Plutella xylostella pada
tanaman sawi (Brassica juncea L.).
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petani dan Masyarakat
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
digunakan sebagai bahan kajian mengenai manfaat perasan
daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) sebagai
pengendali hama Plutella xylostella.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
sintetik yang terbuat dari bahan-bahan kimia terhadap
kesehatan tubuh manusia dan lingkungan.
c. Agar dapat merubah pola pikir masyarakat, khususnya para
petani agar segera beralih menggunakan pestisida nabati
berupa perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.)
untuk mengendalikan hama Plutella xylostella yang ramah
lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan tubuh
manuasia.
d. Dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan sehingga mampu melakukan
pendekatan-pendekatan praktis dari penguasaan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya untuk percepatan pencapaian sasaran dan
pemecahan masalah terutama yang berkaitan dengan
pengembangan teknik produksi pestisida nabati khususnya untuk
mengendalikan hama Plutella xylostella yang menyerang tanaman
sawi (Brassica juncea L.).
G. Batasan Operasional
1. Tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang akan diinfeksi dengan
larva instar III hama Plutella xylostella adalah tanaman sawi
2. Hama Plutella xylostella yang digunakan adalah larva instar III
Plutella xylostella dengan kisaran panjang 4-6 mm, lebar 0,75 mm,
dan berwarna hijau.
3. Perasan daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) diperoleh dari
daun kayu kuning (Arcangelisia flava L.) yang sudah tua dan
berwarna hijau tua.
4. Pengamatan pengaruh pemberian perasan daun kayu kuning
(Arcangelisia flava L.) antara lain meliputi : mortalitas hama
Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup hama Plutella
xylostella fase larva , tingkat kerusakan daun tanaman sawi
(Brassica juncea L.) dan berat basah tanaman sawi (Brassica
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian Pestisida
Pestisida (Inggris: pesticide) secara harfiah berarti
pembunuh hama (Pest: hama; cide: membunuh). Pestisida
pertanian dan pestisida pada umumnya adalah bahan kimia atau
campuran bahan kimia serta bahan-bahan lain (ekstrak tumbuhan,
mikroorganisme, dsb) yang digunakan untuk mengedalikan OPT.
Karena itu, senyawa pestisida bersifat bioaktif. Artinya, pestisida
dengan satu atau beberapa cara mempengaruhi kehidupan,
misalnya menghentikan pertumbuhan, membunuh hama/penyakit,
menekan hama/penyakit, membunuh/menekan gulma; mengusir
hama, mempengaruhi/mengatur pertumbuhan tanaman,
mengeringkan/merontokkan daun, dan sebagainya (Panut
Djojosumarto, 2000: 21-22).
Menurut The United Stated Environmental Pesticide
Control act, pestisida adalah sebagai berikut.
1. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan
serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri,
jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau
2. Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur
pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Panut
Djojosumarto, 2000: 21-22).
2. Risiko Penggunaan Pestisida Sintetis / Pestisida sintetik
Karena pestisida adalah racun, yang dapat mematikan jasad
hidup, maka dalam penggunaannya dapat memberikan pengaruh
yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia serta
lingkungan pada umumnya. Pestisida yang disemprotkan segera
bercampur dengan udara dan langsung terkena sinar matahari.
Dalam udara pestisida dapat ikut terbang menurut aliran angin.
Makin halus butiran larutan makin besar kemungkinan ia ikut
terbawa angin, makin jauh diterbangkan aliran angin (Sudarmo,
1991: 99).
Meskipun sebelum diproduksi secara komersial pestisida
sintetis telah menjalani pengujian yang sangat ketat perihal
syarat-syarat keselamatannya, namun karena bersifat bioaktif, maka
pestisida tetap merupakan racun. Setiap racun selalu mengandung
resiko bahaya) dalam penggunaannya, baik risiko bagi manusia
maupun lingkungan. Keseluruhan risiko penggunaan pestisida di
bidang pertanian dapat diringkas sebagai berikut (Panut
a. Risiko bagi Keselamatan Pengguna
Risiko bagi keselamatan pengguna adalah
kontaminasi pestisida secara langsung, yang dapat
mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis.
Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala,
pusing, mual, muntah, dsb. Beberapa pestisida dapat
menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat mengakibatkan
kebutaan (Panut Djojosumarto, 2000: 23).
Keracunan pestisida yang akut berat dapat
menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang,
bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit
dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka
panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Akibat
yang ditimbulkan oleh keracunan kronis tidak selalu mudah
untuk diprediksi (Panut Djojosumarto, 2000: 23).
Beberapa gangguan kesehatan yang sering
dihubungkan dengan pestisida, meskipun tidak mudah
dibuktikan dengan pasti dan meyakinkan, adalah kanker,
gangguan syaraf, fungsi hati dan ginjal, gangguan
pernapasan, keguguran, cacat pada bayi, dan sebagainya
b. Risiko bagi Konsumen
Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu
(sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian.
Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung
karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida
atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin
konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko bagi
konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak
segera terasa, dan dalam jangka panjang mungkin
menyebabkan gangguan kesehatan (Panut Djojosumarto,
2000: 23).
c. Risiko bagi Lingkungan
Risiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan
dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut.
1) Risiko bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang
berada di tempat, atau di sekitar tempat pestisida
digunakan. Drift pestisida, misalnya, dapat
diterbangkan angin dan mengenai orang yang
kebetulan lewat. Pestisida dapat meracuni hewan
ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot
2) Bagi lingkungan umum, pestisida dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan (tanah,
udara, dan air) dengan segala akibatnya, misalnya
kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai
makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman
hayati, bioakumulasi/biomagnifikasi, dan
sebagainnya (Panut Djojosumarto, 2000: 23).
3) Khusus pada lingkungan pertanian (agroekosistem),
penggunaan pestisida pertanian dapat menyebabkan
hal-hal berikut.
a) Menurunnya kepekaan hama, penyebab
penyakit, dan gulma terhadap pestisida
tertentu yang berpuncak pada kekebalan
(resistensi) hama, penyakit, dan gulma
terhadap pestisida (Panut Djojosumarto,
2000: 24). Munculnya ketahanan hama
terhadap insektisida, karena hama terus
menerus mendapat tekanan oleh pestisida
maka melalui proses seleksi alam spesies
hama mampu membentuk strain yang lebih
tahan terhadap pestisida tertentu. Saat ini
resisten terhadap beberapa kelompok
insektisida (Kasumbago Untung, 2001: 13).
b) Resurjensi hama, yakni fenomena
meningkatnya serangan hama tertentu
sesudah perlakuan dengan insektisida (Panut
Djojosumarto, 2000: 24).
c) Letusan hama kedua setelah perlakukan
insektisida tertentu secara intensif ternyata
hama sasaran utama memang dapat
terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan
berperan menjadi hama utama adalah jenis
hama lain yang sebelumnya masih dianggap
tidak membahayakan (Panut Djojosumarto,
2000: 24).
d) Terbunuhnya musuh alami hama. Data
mengenai hal ini di Indonesia juga masih
sangat sedikit. Beberapa kejadian dan
penelitian yang ada menyatakan bahwa
Fentoat 60 EC dan Isoksation 25 EC
menyebabkan menurunnya populasi
laba-laba (Lycosa sp.). Diazinon 60 EC, MICP 40
menurunkan populasi Cyrtorhinus sp. (Panut
Djojosumarto, 2000: 24).
e) Perubahan flora, misalnya penggunaan
herbisida secara terus-menerus untuk
mengendalikan gulma daun lebar akan
merangsang pergembangan gulma daun
sempit (rumput) (Panut Djojosumarto, 2000:
24).
f) Meracuni tanaman bila salah menggunakan
(Panut Djojosumarto, 2000: 24).
3. Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest
Management) atau disingkat PHT merupakan konsep yang
dikembangkan oleh para ahli Amerika Serikat terutama sejak Stern
dan kawan-kawan di Universitas California menulis tentang
Integrated Control pada tahun 1959 di Majalah Hilgaria. Konsep
PHT merupakan jawaban terhadap dampak negatif penggunaan
pestisida terutama penggunaan DDT untuk pengendalian hama
tanaman sejak Perang Dunia ke II. Dampak tersebut antara lain,
resurjensi hama, ledakan hama sekunder, resistensi hama, dan yang
lebih penting lagi adalah dampak negatif terhadap lingkungan dan
Pengendalian Hama Terpadu adalah pengendalian hama
yang memiliki dasar ekologis dan menyandarkan diri pada
faktor-faktor mortalitas (Abdul Latief Abadi, 2003: 114). Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) adalah pendekatan ekologi yang bersifat
multi disiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan
memanfaatkan beranekaragam taktik pengendalian secara
kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan (Smith,
1978), sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat
PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud dengan
perpaduan terbaik di sini adalah perpaduan penggunaan berbagai
metode pengendalian hama yang dapat memperoleh hasil yang
terbaik yaitu stabilitas produksi pertanian, kerugian seminimal
mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh
penghasilan yang maksimal dari usaha taninya.
Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi
terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang
sangat mengutamakan penggunaan pestisida. Kebijakan ini
mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat
dan berlebihan. Cara ini kecuali meningkatkan biaya produksi juga
mengakibatkan dampak samping yang merugikan bagi lingkungan
hidup dan kesehatan masyarakat. Harga pestisida di tingkat petani
pestisida secara berlebihan tanpa melihat kondisi ekosistem dan
dampaknya terhadap lingkungan (Abdul Latief Abadi, 2003: 116).
Dilihat dari segi efektivitas dan efisiensi pengendalian,
penggunaan pestisida berspektrum lebar semakin mendorong
berkembangnya jenis hama yang resisten, timbulnya resurgensi
hama serta timbulnya letusan hama sekunder. Fenomena tersebut
mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi semakin kurang
efektif dan efisien. Akibatnya, petani terdorong untuk
meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi dan bahkan sering kali
mencampur dengan pestisida lainnya. Dengan demikian
penggunaan pestisida terus meningkat, lingkungan hidup menjadi
tercemar, sedangkan masalah hama tidak pernah dapat
terselesaikan bahkan justru semakin meningkat (Abdul Latief
Abadi, 2003: 116).
Untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektivitas
pengendalian, serta untuk membatasi pencemaran lingkungan
maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional tersebut
harus diubah menjadi kebijakan pengendalian hama berdasarkan
pada konsep dan prinsip PHT. Oleh karena itu pemerintah
kemudian mengambil keputusan politik dan bertekad untuk
menerapkan konsep PHT, dengan dikeluarkannya Inpres 3/1986
PHT adalah satu cara pendekatan atau cara berfikir tentang
pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi
dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem
yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Sasaran PHT
adalah :
1. Produktivitas pertanian mantap tinggi
2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat
3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya
tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan
4. Pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan
pestisida.
Salah satu tujuan praktis sistem PHT adalah mengurangi
kuantum penggunaan pestisida sintetik, antara lain dengan
mengintroduksi pestisida nabati yang mampu menandingi
keampuhan pestisida sintetik tersebut (Suryaningsih, 2004: 1).
4. Pengertian Pestisida Nabati
Salah satu alternatif untuk menggantikan penggunaan
pestisida sintetik yang banyak menimbulkan dampak negatif
adalah menggunakan senyawa kimia yang berasal dari tanaman
yang dikenal dengan nama Pestisida Nabati (Sudarmo, 2005).
Pestisida nabati mencangkup bahan nabati (ekstrasi penyulingan)
pengikat, dan zat penghambat pertumbuhan organisme pengganggu
tanaman.
Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut
FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati dimasukkan ke
dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin.
Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat
mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik (Asmaliyah
dkk, 2010: 2).
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai zat pembunuh,
penolak, pengikat ataupun penghambat pertumbuhan OPT.
Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat, lebih mudah terurai di
alam dan lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Pemanfaatan
pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai
pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat
berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui
peningkatan efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah
lingkungan (Haryono, 2011: 2).
Pestisida nabati terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis
pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam
sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi
residunya mudah hilang. Pestisida Nabati bersifat “pukul dan lari”
(hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama
pada waktu itu dan setelah hama terbunuh maka residunya akan
cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan
terbebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi (Agus
Kardinan, 2000: 4-5).
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan
kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya.
Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan
metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat
pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Menurut Agus
Kardinan (2000) , di dalam tumbuhan ada zat metabolit sekunder
yang berfungsi untuk melindungi diri dari pesaingnya. Zat inilah
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Zat
ini mempunyai karakterisitik rasa pahit (mengandung alkaloid dan
terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas sehingga tumbuhan
ini tidak diserang oleh hama (Hasyim, 2010).
Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun
hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah
teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan kimia pada
tumbuhan dapat melampaui 400.000. Grainge et al., (1984)
melaporkan ada 1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida
(Sastrosiswojo, 2002),. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak
jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada
sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 Famili
(Agus Kardinan, 2000). Menurut Morallo-Rijesus (1986), jenis
tanaman dari Famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae,
dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati
(Sastrosiswojo, 2002). Oleh karena itu, jika dapat mengolah
tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu
masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah
lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada
di sekitarnya (Agus Kardinan, 2000).
Telah banyak diteliti bahwasanya ekstrak tanaman tertentu
mengandung molekul, yang bekerja secara tunggal maupun
berinteraksi dengan molekul lainnya yang mampu berperan sebagai
pestisida. Cara kerja (mode of action) molekul tersebut dapat
sebagai biotoksin, pencegah makan (antifeedantt, feeding
deterrent), penolak (repellent) dan atau pengganggu alami, baik
yang diperoleh dari tumbuhan maupun jasad renik yang disebut
sebagai pestisida biorasional (biorational pesticides) (EPA, 1989).
Pada umumnya tanaman yang digunakan sebagai pestisida
nabati bersifat repellent. Oleh karena itu, jika dapat mengolah
tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu
lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada
di sekitarnya (Agus Kardinan, 2000).
Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat
membunuh atau menganggu serangga hama dan penyakit melalui
cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara
atau secara tunggal . Cara kerja pestisida nabati yaitu merusak
perkembangan telur, larva, pupa, menghambat pergantian kulit,
mengganggu komunikasi serangga, menyebabkan serangga
menolak makanan, mengurangi nafsu makan, memblokir
kemampuan makan serangga mengusir serangga, dan menghambat
perkembangan patogen.
Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan dalam
penggunaan pestisida nabati.
1. Kelebihan pestisida nabati menurut Suwahyono (2010:
23-24)
a. Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang
unik yaitu tidak meracuni (nontoxic).
b. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan
hewan peliharaan karena residunya mudah hilang.
c. Penggunaan dalam dosis yang kecil atau rendah.
d. Mudah diperoleh di alam. Di Indonesia sangat
e. Cara pembuatannya relatif mudah dan secara sosial
ekonomi penggunaanya mengKasumbago
Untungkan bagi petani mikro di negara sedang
berkembang.
f. Umumnya, pestisida nabati kurang beracun
dibanding pestisida sintetik sehingga resiko bahaya
yang ditimbulkan juga lebih kecil.
g. Pestisida nabati hanya berpengaruh pada hama
sasaran dan organisme lain yang berdekatan
kerabatnya. Berbeda dengan pestisida sintetik yang
berspektrum luas yaitu dapat membunuh organisme
non target (serangga, burung, mamalia).
h. Pestisida nabati umumnya efektif pada jumlah
(dosis) rendah dan cepat teruarai sehingga
pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari
masalah pencemaran. Lain halnya pestisida sintetik
yang sering kali menimbulkan dampak residu.
i. Penggunaan pestisida nabati dalam program
pengendalian hama terpadu dapat mengurangi
banyak sekali penggunaan pestisida sintetik degan
2. Kekurangan / kelemahan pestisida nabati menurut Abdul Latief Abadi (2003: 125-126)
a. Senyawa racun yang terkandung dalam pestisida
botani mudah sekali terdegradasi karena cahaya,
tercuci air dan kelembaban yang tinggi, sehingga
perlu aplikasi yang lebih sering, harus sangat tepat
waktu dan tepat sasaran.
b. Senyawa botani cepat menyebabkan serangga
berhenti makan dan menyebabkan muntah dan
paralisis, tetapi dapat menyebabkan serangga tidak
mati dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari.
c. Kebanyakan senyawa botani ini mempunyai
toksisitas yang rendah atau moderat terhadap hewan
mamalia, walau demikian dapat saja meracuni
manusia atau lingkungan.
d. Kebanyakan senyawa botani tidak menyebabkan
fitotoksik pada tanaman kecuali nikotin sulfat.
e. Pestisida botani tidak banyak tersedia di pasar
(terutama di Indonesia) dan kalaupun ada (di luar
negeri) harganya lebih mahal dibandingkan dengan
f. Walaupun bahan-bahannya murah harganya di
Indonesia, pembuatan pestisida botani tidak praktis,
tidak bersifat tahan lama dalam penyimpanan, dan
belum tentu bahannya tersedia pada saat
dibutuhkan.
g. Potensi keberhasilan dari pestisida botani sangat
ditentukan oleh jenis sumber yang digunakan atau
kandungan bahan aktif yang ada dalam tanaman
yang dapat bervariasi menurut umur, varietas
tanaman dan takaran yang digunakan.
h. Pestisida botani cenderung berspektrum luas, tidak
spesifik sehingga dapat pula merugikan pada musuh
alami yang ada di pertanaman tersebut.
Menurut Agus Kardinan (2000), penggunaan dan
pengembangan pestisida nabati di Indonesia mengalami beberapa
kendala berikut : pestisida sintetis (kimia) tetap lebih disukai
dengan alasan mudah didapat, praktis mengaplikasinya, hasilnya
relatif cepat terlihat, tidak perlu membuat sediaan sendiri, tersedia
dalam jumlah banyak, dan tidak perlu membudidayakan sendiri
tanaman penghasil pestisida . Kurangnya rekomendasi dari para
penyuluh karena mungkin keterbatasan pengetahuan para penyuluh
tentang pestisida nabati, tidak tersedianya bahan tanaman secara
dan sulitnya regristasi pestisida nabati di komisi pestisida karena
bahan aktif tidak dapat dideteksi.
Pemanfaatan pestisida nabati secara luas akan langsung
berpengaruh terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida
dan berdampak positif terhadap kualitas produk tanaman, terutama
dengan makin terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran
residu pestisida sintetikwi. Kondisi produk tanaman yang
demikian, saat ini menjadi perhatian konsumen dan dapat
memberikan imej kualitas produk yang tinggi (Haryono, 2011: 3).
5. Teknik Pembuatan Pestisida Nabati
Pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan secara
sederhana dan secara laboratorium. Pembuatan pestisida nabati,
yaitu dalam bentuk ekstrak secara sederhana (jangka pendek) dapat
dilakukan oleh petani, dan penggunaannya biasanya dilakukan
sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak. Pembuatan secara
sederhana ini berorientasi kepada penerapan usaha tani berinput
rendah. Sedangkan cara laboratorium (jangka panjang) biasanya
dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih dan hasil
kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama
(Asmaliyah dkk, 2010: 15).
Pembuatan cara laboratorium berorientasi pada industri,
menjadi mahal, bahkan kadang lebih mahal daripada pestisida
sintetis. Oleh karena itu pembuatan dan penggunaan pestisida
nabati dianjurkan dan diarahkan kepada cara sederhana, terutama
untuk luasan terbatas dan dalam jangka waktu penyimpanan yang
juga terbatas (Asmaliyah dkk, 2010: 15).
Cara pembuatan pestisida nabati dari berbagai jenis
tumbuhan yang berhasil baik atau efektif di suatu tempat belum
tentu berhasil baik pula di tempat lain karena ramuan pestisida
nabati bersifat “khusus lokasi”. Hal ini disebabkan suatu tumbuhan
yang sama tetapi jika tumbuh di lingkungan yang berbeda maka
kandungan bahan aktifnya pun dapat berbeda pula. Oleh sebab itu
dosis dan konsentrasi bahan aktif yang digunakan pun akan
berbeda pula. Jadi ramuan pestisida nabati akan tergantung pada
hasil pengujian di lokasi setempat dan tidak berlaku di tempat lain.
Pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu :
1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan
untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.
2. Perendaman untuk produk ekstrak.
Pembuatan ekstrak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
a. Tepung tumbuhan + air
b. Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus
d. Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi)
pestisida
e. Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol +
surfaktan
3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai
perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan
peralatan yang khusus (Agus Kardinan, 2000; Asmaliyah dkk,
2010: 15).
Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam
pengendalian hama sudah banyak dilakukan, terutama di bidang
pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan suatu
pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila
dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat
dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling.
Penggunaan pestisida dipadukan dengan musuh alami bila bahan
pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi musuh alami
(Asmaliyah dkk, 2010: 16).
6. Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta)
Penjelasan mengenai cara kerja pestisida nabati tidak
selalu mudah karena “cara kerja” pestisida nabati dapat dilihat dari
pengguna (petani) agar tidak salah dalam pemilihan dan
penggunaannya. Menurut “cara kerja” atau gerakannya pada
tanaman setelah diaplikasikan, pestisida nabati yang menyerang
hama serangga secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai
berikut (Panut Djojosumarto, 2000: 41).
a. Pestisida Nabati Sistemik
Pestisida nabati sistemik diserap oleh organ-organ
tanaman, baik lewat akar, batang, atau daun. Selanjutnya,
pestisida nabati sistemik tersebut mengikuti gerakan cairan
tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman
lainnya, baik ke atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal),
termasuk ke tunas yang baru tumbuh (Panut Djojosumarto,
2000: 41).
b. Pestisida Nabati Nonsistemik
Pestisida nabati nonsistemik setelah diaplikasikan
(misalnya disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak
diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di
bagian luar tanaman. Pestisida nabati nonsistemik bekerja
dengan cara mencegah makan (antifeedantt, feeding
deterrent), penolak (repellent) dan atau pengganggu alami,
nonsistemik sering disebut pestisida nabati kontak. Namun,
istilah itu sebenarnya kurang begitu tepat. Istilah kontak
lebih tepat digunakan bagi cara kerja pestisida nabati yang
berhubungan dengan cara masuknya ke dalam tubuh
serangga (Panut Djojosumarto, 2000: 42).
c. Pestisida Nabati Sistemik Lokal
Pestisida nabati sistemik lokal adalah kelompok
pestisida nabati yang dapat diserap oleh jaringan tanaman
(umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian
tanaman lainnya. Termasuk kategori ini adalah pestisida
nabati yang berdaya kerja translaminar atau pestisida
nabati yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan
tanaman (Panut Djojosumarto, 2000: 42).
7. Cara Masuk Pestisida Nabati ke dalam Tubuh Serangga Sasaran
Menurut cara masuk pestisida nabati ke dalam tubuh
serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai
berikut.
a. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung (racun perut, stomach poison)
serangga sasaran bila pestisida nabati tersebut masuk ke
dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding
saluran pencernaan. Selanjutnya, pestisida nabati tersebut
dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang
mematikan (misalnya ke susunan syaraf serangga). Oleh
karena itu, serangga harus terlebih dahulu memakan
tanaman yang sudah disemprot dengan pestisida nabati
dalam jumlah yang cukup untuk dapat membunuhnya
(Panut Djojosumarto, 2000: 42).
Pestisida nabati yang benar-benar murni racun
perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan pestisida nabati
mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan
racun kontak, hanya ada perbedaan kekuatan antara
keduanya. Ada pestisida nabati yang kontaknya lebih kuat
daripada racun perutnya, demikian sebaliknya (Panut
Djojosumarto, 2000: 42).
b. Racun Kontak
Racun kontak adalah pestisida nabati yang masuk
ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan
langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan
(kontak langsung) dengan pestisida nabati tersebut.
Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun
c. Racun Pernapasan
Racun pernapasan adalah pestisida nabati yang
bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga hama akan mati
bila menghirup pestisida nabati dalam jumlah yang cukup.
Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud
asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau
menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansia.
Ada pula pestisida nabati , baik racun kontak atau racun
perut, yang mempunyai efek sebagai fumigansia (Panut
Djojosumarto, 2000: 43).
8. Cara Kerja Pestisida Nabati
Menurut Panut Djojosumarto (2000: 43-44), sifat-sifat atau
cara kerja pestisida nabati tersebut mempunyai implikasi terhadap
cara aplikasinya. Misalnya:
a. Untuk mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman (misalnya, penggerek batang, penggerek daun, dan
penggerek buah) yang dilakukan dengan cara
penyemprotan memerlukan pestisida nabati sistemik atau
sistemik lokal, agar pestisida nabati dapat masuk ke dalam
jaringan tanaman.
pestisida nabati kontak murni kurang tepat jika digunakan
untuk penyemprotan biasa di darat karena belalang akan
terbang. Pestisida nabati yang diperlukan untuk
menyemprot belalang adalah pestisida nabati yang
mengandung racun perut atau racun kontak mempunyai
efek sebagai racun perut dan efek residu (residual effect)
agak lama. Dengan demikian, meskipun serangga tidak
terkena pestisida secara langsung, bila belalang tersebut
kembali dan makan tanaman yang sudah disemprot akan
mati.
c. Pengendalian hama yang merusak hasil pertanian di gudang dapat menggunakan pestisida nabati yang bersifat
fumigansia. Pestisida nabati ini berbentuk gas sehingga
dapat masuk lebih dalam ke sela-sela hasil pertanian,
bahkan dapat masuk ke dalam korok-korok yang dibuat
oleh serangga hama. Fumigansia tidak tepat digunakan di
lapangan (kecuali di rumah kaca) karena gas yang
dihasilkan akan segera hilang ke udara bebas.
9. Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L.)
Nama umum yang paling sering digunakan untuk tanaman
ini adalah kayu kuning atau akar kuning, Sedangkan nama daerah
sirawan kunyit, peron sapi, kayu kuning (Jawa). Akar kuning
(Indonesia); tali kuning, daun bulan (Palembang); oyod sirawan,
sirawan kunyit, peron, peron sapi, sirawan susu, sirawan tai, kayu
kuning (Jawa); uwus, tali kuning, kayu kuning (Sulawesi); wali
bulan, wari bulan, gumi modoka, mololeya gumini (Ambon); gumi
modoku, mololeya (Halmahera utara). Penyebarannya meliputi
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Maluku
[image:54.595.215.484.333.482.2](Mandia, et al., 1999).
Gambar 1. Daun Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.)
Sumber: Dokumentasi pribadi
a. Taksonomi
Adapun klasifikasi tanaman kayu kuning dalam
sistematika tumbuhan menurut Mandia et al (1999), adalah
sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranunculiales
Suku : Menispermaceae
Genus : Arcangelisia
Jenis : Arcangelisia flava L.
[image:55.595.212.496.86.506.2]b. Morfologi
Gambar 2. Batang, Daun dan Bunga Kayu Kuning (Arcangelisisa flava L.)
Sumber: Dokumentasi pribadi dan dokumentasi Prof. Dr. IGP Suryadarma
Tumbuhan ini berupa liana memanjat, dengan
panjang mencapai 20 m. Batang bulat, membelit, struktur
kasar, berwarna coklat kehitaman, dan kayunya berwarna
kuning cerah. Daun tunggal, tersebar, berseling, tangkai
silindris, pangkal membulat, panjang 10-20 cm, bentuk
oval, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, panjang
15-20 cm, lebar 10-16 cm, pertulangan menjari, permukaan
terletak di ketiak daun, bentuk malai, dengan daun
penumpu, bunga sempurna, berkelamin ganda, kelopak
(berlepasan, bentuk segitiga, panjang 2-8 mm, hijau),
benangsari jumlah 6 dengan kepala sari bulat, kepala putik
beruang 3 dan berwarna kuning, mahkota (berlepasan,
bentuk asimetris, 6 helai, halus, dan bewarna kuning). Buah
kotak, berusuk 3, bulat, permukaan berbulu, dan berwarna
hijau. Biji bulat, tunggal, kasar, kecil, dan berwarna coklat.
Akar