• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

10. Hama Plutella xylostella

Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. Plutella xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak jenis sawi- sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk Raphanaus sativus (lobak). Ulat sawi banyak memakan daun muda dan daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat sawi ini sangat khas: daun menampilkan

jendela putih tidak teratur, jarang lebih besar dari 0,5 cm yang kemudian memecah ke lubang bentuk (Kalshoven, 1981).

Hama ulat daun sawi Plutella xylostella merupakan salah satu hama utama sawi. Stadia dari Plutella xylostella yang merusak sawi adalah saat stadia larva. Larva Plutella xylostella sudah mulai menyerang tanaman sawi pada saat tanaman sawi baru memiliki sekitar 3 sampai 4 helai daun, dan berlanjut hingga tanaman menjelang panen. Hama Plutella xylostella mempunyai kisaran inang yang cukup luas serta mampu beradaptasi pada geografi yang berbeda. Selain sawi, Plutella xylostella juga dapat menyerang antara lain caisin, kanola, sawi jabung, dan sawi tanah (Herlinda et al., 2004).

a. Klasifikasi

Klasifikasi ulat sawi (Plutella xylostella) menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella

b. Biologi Hama Plutella xylostella

Gambar 3. Plutella xylostella L. : telur (A) (pembesaran: 3 kali), larva (B), pupa (C) (Pembesaran : 2 kali) dan imago

(D) (pembesaran : 3 kali)

1) Telur

Telur Plutella xylostella sangat kecil (kurang dari 1 mm), berbentuk oval dan berwarna kehijauan. Imago meletakkan telur secara tunggal atau berkelompok dengan 2-3 butir telur sepanjang tulang daun di permukaan atas atau bawah daun (Gambar 3). Kapasitas produksi tidak lebih dari 320 butir telur selama hidupnya yang hanya 2-4 minggu lamanya (Rismunandar, 1986: 89). Ngengat betina akan bertelur sekitar 50 butir dalam waktu 24 jam dan dalam satu tahun dapat menghasilkan lebih dari 10 generasi (Rahmat,R, 1994). Telur menetas

menjadi larva dalam waktu 3 hari menjadi larva (ulat) yang bewarna hijau tergantung kondisi lingkungan (Herlinda et al., 2004). Warna telur tampak lebih gelap pada saat akan menetas (Kalshoven, 1981).

2) Larva

Bentuk larva silindris, relatif tidak berbulu, dan mempunyai lima pasang proleg. Ukuran larva relatif kecil, sifatnya lincah dan kalau tersentuh akan menjatuhkan diri dengan benangnya (Permadani dan Sastrosiswojo, 1993). Larva yang baru menetas dari telur berwarna kehijau-hijauan. Terdapat 4 instar larva yang kesemuanya aktif makan (Sembel, 2010: 214).

Fase larva Plutella xylostella terdiri atas empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Larva instar I berwarna agak keruh dengan kepala berwarna hitam, dan di sekitar abdomennya terdapat rambut-rambut pendek dan halus. Larva instar I berkisar 3-4 hari. Larva instar II berwarna putih kekuningan, dengan ciri-ciri tubuh sama dengan larva instar I. Larva instar II berkisar

1-2 hari. Larva instar III berwarna hijau, dengan kepala berbercak coklat dengan bagian dasar kekuning-kuningan dan terdapat rambut-rambut hitam pada bagian abdomennya. Larva instar III berkisar 2-3 hari. Larva instar IV mirip dengan larva instar III (Gambar 3). Larva instar IV berlangsung selama 3-4 hari. Secara keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda et al. 2004). Shepard et al. (1999) menyatakan bahwa perkembangan larva instar I hingga larva instar IV memerlukan waktu sekitar 14 hari, dengan panjang larva instar IV 8 mm (Herlinda et al.2004).

Larva yang baru menetas segera menggerek ke dalam jaringan daun, kemudian memakan daging daun dan epidermis bawah dan menyisakan lapisan epidermis atas daun. Larva bersembunyi di balik daun sambil makan, daging daunnya, tetapi kulit ari (epidermis) bagian permukaan atas daun tidak dimakan sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih. Apabila kulit ari kering maka daun menjadi robek dan nampak berlubang-lubang. Ulat yang diganggu segera menjatuhkan diri dengan

berpegangan pada benang laba-laba dan bergelantungan ke bawah (Rismunandar, 1986: 90).

3) Pupa

Sarang kepompong dibuat dari jenis benang sutera yang berwarna abu-abu putih pada bagian bawah permukaan daun. Pembuatan sarang kepompong diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah itu ulat berubah menjadi pupa (Pracaya, 2001).

Pupa dibungkus oleh kokon yang berbentuk jala dengan panjang kokon sekitar 9 mm (Gambar 3) (Herlinda et al.2004). Pupa pada mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5-6 mm, dengan diameter 1,2 – 1,5 mm (Sudarmo, 1991). Pupa tertutup oleh kokon, dengan stadium kepompong (pupa) memerlukan waktu 6-8 hari, selanjutnya akan menjadi dewasa berupa ngengat kecil bewarna cokelat keabu-abuan (Rahmat Rukmana, 1994).

4) Ngengat

Imago Plutella xylostella berupa ngengat kecil, kira-kira 5-9 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu (Gambar 3). Ketika sayap terlipat akan tampak tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih seperti bentuk segitiga sepanjang dorsal tubuhnya yang menyerupai bentuk berlian (diamond), sehingga hama ini pun dikenal dengan nama diamond back moth. Stadium imago antara 2- 4 minggu. Biasanya imago aktif pada malam hari dan beristirahat di siang hari (Pracaya, 2005).

Ngengat Plutella xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954), pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957).

Waktu ngengat sedang istirahat, antena lurus ke depan. Ngegat jantan terlihat lebih kecil dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah (Sudarmo, 1991).

Lama hidup imago sekitar 12 – 20 hari, imago aktif mencari makan pada senja dan malam hari. Ngengat ini menghindar dan bersembunyi pada siang hari (Kartasapoetra, 1990 dan Pracaya, 2005).

c. Daur hidup Plutella xylostella

Plutella xylostella mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (ngengat). Stadium telur 3-4 hari, ulat 12 hari, pupa 6-7 hari, dan ngengat 20 hari (Pracaya, 2005). Siklus dari telur hingga jadi ngengat, rata-rata 12-15 hari di tempat dengan ketinggian 250 m dan rata-rata 3 minggu di dataran tinggi (Rismunandar, 1986: 90).

Menurut Rahmat Rukmana (1994), Siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva mulai dari telur hingga menjadi serangga (ngengat) berlangsung selama 2-3 minggu, tergantung keadaan temperatur udaranya. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian 1.250 m dari permukaan laut dan temperatur antara 14.50 – 24.6 0C, daur hidupnya berlangsung selama 22 hari

Lamanya daur hidup Plutella xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 oC rata-rata 21,5 hari (Vos, 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987), daur hidup Plutella

xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5- 20,6 oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 4).

Gambar 4. Siklus hidup P. xylostella (Tonny K. M)

d. Kerusakan yang Disebabkan oleh Plutella xylostella

Gambar 5. Kerusakan daun oleh Plutella xylostella Sumber : Dokumentasi pribadi

6-8 hari 12-20 hari

Biasanya hama Plutella xylostella merusak tanaman sawi muda. Meskipun demikian hama Plutella xylostella seringkali juga merusak tanaman sawi yang sedang membentuk crop. Larva Plutella xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun sawi dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman sawi, sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun sawi. Serangan Plutella xylostella yang berat pada tanaman sawi dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo, 1987).

Menurut Rahmat Rukmana (1994), Stadium yang merusak tanaman adalah larva (ulat). Larva yang baru menetas akan merayap ke permukaan daun dan melubangi epidermis (daging daun). Pada umumnya larva memakan permukaan daun bagian bawah, sehingga tulang-tulang daun dan epidermis daun bagian atas yang tersisa menjadi kering. Gejala serangan yang mudah diamati adalah daun berlubang-lubang seperti jendela-jendela yang menerawang, tinggal urat-urat daunnya saja.

Kegiatan makannya meninggalkan pola bergaris pada permukaan daun. Larva yang lebih dewasa, yang

biasanya berwarna hijau keabu-abuan dan berubah menjadi hijau cerah, akan memakan permukaan daun. Larva tidak memakan urat daun, hanya jaringan di antaranya, membuat efek “jendela” pada tanaman yang mengalami serangan serius. Larva meliuk dengan cepat saat diganggu dan bergantung pada utas sutra. Larva dewasa membentuk kepompong berwarna hijau muda atau coklat muda di dalam gulungan sutra pada batang atau bagian bawah daun (Rahmat Rukmana, 2010).

Hama ini dapat merusak tanaman mulai dari pembibitan sampai dengan panen. Sampai saat ini pengendalian hama plutella di Indonesia, masih ditujukan pada pengendalian secara kimia (Sembel, 2010: 214). Serangan hama ulat ini sangat cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari saja tanaman yang diserang akan menjadi rusak (Surachman dan Widada, 2007: 55-56).

Serangan berat hama ini mengakibatkan bagian tanaman yang tertinggal hanya tulang-tulang daun. Bagi para petani hama ini dikenal dengan nama “gay gantung” atau ulat gantung karena apabila larvanya terganggu maka larva tersbut akan jatuh dan tergantung dengan benang sutranya. Tingkat kerusakan oleh hama ini pada tanaman masih dapat mencapai 100%. Hama ini dapat secara total

merusak tanaman, terutama jika serangan terjadi pada saat tanaman baru dipindahkan dari tempat pembibitan. Ambang ekonomi hama ini di Indonesia telah ditentukan 0,1 sampai 0,5 larva per tanaman (Sembel, 2010: 215).

e. Daerah sebar dan ekologi

Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman sawi di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir- akhir ini sawi juga ditanam di dataran rendah Plutella xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman sawi di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan) dapat mempengaruhi populasi larva Plutella xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2 daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi larva Plutella xylostella tinggi di musim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah sawi berumur enam sampai delapan minggu (Sudarwohadi, 1975).

Hama Plutella xylostella juga dapat menyerang tanaman sawi yang sedang membentuk crop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika (Sastrosiswojo, 1987) :

1) populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid D. semiclausum rendah;

2) hama P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dan

3) populasi larva P. xylostella sangat tinggi.

Keadaan demikian menyebabkan hama P. xylostella dapat merusak crop sawi sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama hama C. binotalis. dapat mencapai 100% (Sudarwohadi, 1975). Nilai ambang ekonomi ulat Plutella xylostella = 1 larva/ 10 tanaman sampel , 40% intensitas serangan untuk tanaman sawi (Rukmana, 1997). Ambang pengendalian untuk hama ulat Plutella xylostella yakni 5 larva instar III dan IV per 10 tanaman. Jadi jika dalam 10 tanaman terdapat 5 atau lebih larva Plutella xylostella, penyemprotan harus dilakukan (Panut Djojosumarto, 2000: 85).

Dokumen terkait