• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Pestisida Nabati

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada tahun 1690, petani di Perancis telah menggunakan perasan daun tembakau untuk mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800, bubuk tanaman Pyrethrum digunakan untuk mengendalikan kutu. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia (Subiyakto Sudarmo, 2005: 11).

Menurut Agus Kardinan (2002), karena terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai di alam jadi residunya singkat sekali. Pestisida nabati besifat “pukul dan lari” yaitu

apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah terbunuh maka residunya cepat menghilang di alam. Jadi tanaman akan terbebas dari residu sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi. Subiyakto Sudarmo (2005: 11-12) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara

(2)

11

tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik (Subiyakto Sudarmo, 2005: 12) yaitu:

a. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa b. Menghambat pergantian kulit

c. Mengganggu komunikasi serangga d. Menyebabkan serangga menolak makan e. Menghambat reproduksi serangga betina f. Mengurangi nafsu makan

g. Memblokir kemampuan makan serangga h. Mengusir serangga (repellent)

i. Menghambat perkembangan patogen penyakit

Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan OPT. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada di sekitarnya (Agus Kardinan, 2002).

Dalam fisiologi tanaman, ada beberapa jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan pestisida:

(3)

12

1. Kelompok tumbuhan insektisida nabati

Merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan srikaya, diyakini bisa menanggulangi serangan serangga (M Syakir, 2011: 10). 2. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat

Di dalam tumbuhan ini ada suatu bahan kimia yang menyerupai sex pheromone pada serangga betina dan bertugas menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya yaitu daun wangi (kemangi) dan selasih (M Syakir, 2011: 10).

3. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati

Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun (M Syakir, 2011: 11). 4. Kelompok tumbuhan moluskisida

Kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan pengaruh

(4)

13

moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba (M Syakir, 2011: 11).

5. Kelompok tanaman fungisida nabati

Merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih, sereh, pinang, dan tembakau (M Syakir, 2011: 11).

6. Kelompok tumbuhan pestisida serbaguna

Kelebihan kelompok ini tidak hanya berfungsi untuk satu jenis. Misalnya insektisida saja, tapi juga berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini yaitu jambu mete, sirih, tembakau, dan nimba (M Syakir, 2011: 11).

M Syakir (2011: 11-12) menjelaskan bahwa pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:

1. Repellant, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat.

2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang sudah disemprot.

3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa. 4. Menghambat reproduksi serangga betina. 5. Racun syaraf.

(5)

14

7. Antraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga.

8. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.

1. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya susunan syaraf serangga). Oleh karena itu serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya (Panut Djojosumanto, 2000: 42).

Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan kekuatan antara keduanya. Ada insektisida yang kontaknya lebih kuat daripada racun perutnya, demikian sebaliknya (Panut Djojosumanto, 2000: 42).

(6)

15 2. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut (Panut Djojosumanto, 2000: 43).

3. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau menghasilkan gas dan diaplikasikan sebagai fumigansia, misalnya bromida, alumunium fosfida, dan sebagainya (Panut Djojosumanto, 2000: 43).

Pemanfaatan pestisida nabati mempunyai beberapa kelebihan, Haryono (2011: 2-3) menjelaskan kelebihan pestisida nabati, yaitu:

a. Pestisida nabati relatif lebih mudah dibuat b. Lebih mudah terurai di alam

c. lebih aman bagi manusia dan lingkungan

d. Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat

(7)

16

berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan. e. Pemanfaatan pestisida nabati secara luas akan langsung berpengaruh

terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida dan berdampak positif terhadap kualitas produk tanaman terutama dengan semakin terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran residu pestisida kimiawi.

Pemanfaatan pestisida nabati selain memiliki kelebihan juga memiliki beberapa kelemahan. Berbagai kelemahan pemanfaatan pestisida nabati seperti:

1. Bahan aktif yang mudah terurai.

2. Sebaran tanaman yang seringkali spesifik lokasi.

3. Kandungan bahan aktif pada tanaman yang sangat bergantung pada varietas dan lokasi penanaman.

4. Pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru, dan banyak kelemahan lainnya yang sebenarnya sekaligus juga merupakan kelebihan pestisida nabati, maka seharusnya kelemahan tersebut tidak dijadikan sebagai kendala dalam pengembangannya (Haryono, 2011: 4).

(8)

17 2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

a. Pengertian

Saat ini dikenal ada dua istilah Bahasa Inggris yang sering digunakan secara bergantian untuk pengendalian hama terpadu yaitu Integrated Pest Control (IPC) yang kita terjemahkan sebagai Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest Management (IPM) yang kita terjemahkan sebagai Pengelolaan Hama Terpadu dengan singkatan yang sama PHT (Kasumbogo Untung, 1996: 7).

Konsep PHT muncul akibat kesadaran umat manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia secara global, sedangkan kenyataan yang terjadi bahwa menggunakan pestisida oleh petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Diperlukan adanya cara pendekatan pengendalian hama yang baru yang dapat menekan penggunaan pestisida (Kasumbogo Untung, 1996: 7-8).

PHT tidak hanya mencakup pengertian tentang perpaduan beberapa teknik pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT harus memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis, ekonomis, dan sosiologis sehingga secara keseluruhan kita memperoleh hasil yang terbaik. Oleh karena itu PHT dalam perencanaan, penerapan, dan evaluasinya harus mengikuti suatu sistem

(9)

18

pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik (Kasumbogo Untung, 1996: 8).

Keputusan pemerintah untuk menerapkan PHT secara nasional baru dilaksanakan secara formal setelah dikeluarkan Intruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 untuk pengendalian hama padi (Kasumbogo Untung, 1993: 1).

b. Penerapan PHT pada Komoditi Sayuran

Sayur-sayuran merupakan komoditi pertanian yang sangat penting baik bagi konsumen maupun produsen. Sayuran merupakan sumber gizi yang utama sebagai penghasil vitamin dan mineral. Bagi produsen, yaitu petani budidaya sayuran dapat memberikan penghasilan yang cukup dan rata-rata lebih baik daripada komoditi pangan lainnya (Kasumbogo Untung, 1993: 55).

Ciri-ciri khas petani sayuran di Indonesia menurut Kasumbogo Untung (1993: 56) adalah:

1. Tingkat produktivitas masih rendah 2. Kualitas produksi rendah

3. Luas lahan per petani sempit

4. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan rendah 5. Ketergantungan pada pestisida tinggi

(10)

19

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai konsep dan kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman pangan merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki keadaan dan kehidupan petani sayuran sehingga sumber daya yang dimiliki dapat mereka manfaatkan secara optimal (Kasumbogo Untung, 1993: 56).

c. Faktor yang Mendorong Penerapan PHT

1. Kegagalan pengendalian hama secara konvensional

Praktek penggunaan pestisida yang lazim dilakukan oleh petani sayuran didorong oleh konsep pengendalian hama yang tidak didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi. Petani sayuran umumnya menerapkan asas preventif atau pencegahan. Penyemprotan dengan pestisida dianggap sebagai asuransi kesehatan tanaman. Karena dorongan konsumen, petani menjadi takut serangga atau entomofobi. Mereka berpendapat setiap jenis serangga pada tanaman tentu merugikan sehingga harus diberantas dengan pestisida (Kasumbogo Untung, 1993: 58).

Sebagai akibat dampak samping pestisida, seperti timbulnya resistensi, resurjensi, dan letusan hama kedua, serta didorong oleh permintaan pasar akan produk sayuran bebas dari gigitan serangga, petani sayuran semakin menggebu-gebu di dalam meningkatkan penggunaan pestisida dengan menambah dosis,

(11)

20

campuran pestisida, dan frekuensi penyemprotan. Pada keadaan yang demikian petani sayuran sudah mencapai fase krisis. Dalam kondisi demikian tidak ada pilihan lain kecuali segera melaksanakan dan mengikuti konsep PHT (Kasumbogo Untung, 1993: 58).

2. Kesadaran akan kualitas lingkungan hidup

Pestisida sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan maka residu yang ditinggalkan di lingkungan yang menjadi masalah. Apabila tidak dikendalikan semakin lama akan terjadi akumulasi kandungan pestisida di lingkungan yang dapat mencapai kadar yang membahayakan (Kasumbogo Untung, 1996: 14).

Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan hidup yang tinggi dari masyarakat, pemerintah, dan masyarakat dunia yang mendorong dan mengharuskan kita untuk segera menerapkan PHT karena dengan PHT penggunaan pestisida dapat ditekan sekecil-kecilnya (Kasumbogo Untung, 1996: 14).

3. Kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada masa mendatang.

(12)

21

Faktor yang mendorong dan mengaharuskan petani sayuran menerapkan PHT adalah kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada masa mendatang, terutama permintaan akan produk holtikultura yang bebas residu pestisida (Kasumbogo Untung, 1993: 58).

4. Kebijakan pemerintah

Sejak pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan. Kebijakan tentang PHT kemudian diperkuat oleh Inpres No. 3/1986 dan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU No. 12/1992 telah menetapkan berbagai bentuk sanksi yang sangat berat bagi barang siapa yang menyalahgunakan penggunaan pestisida baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dasar hukum bagi pelaksanaan PHT di Indonesia sangat kuat sehingga PHT untuk tanaman sayuran sudah merupakan keharusan (Kasumbogo Untung, 1993: 59).

(13)

22 3. Sirih Hijau (Piper betle L.)

a. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman sirih dalam Wiwin Setiawati, dkk (2008: 172) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper

Spesies : Piper betle L.

a. Nama daerah

Suruh, sedah (Jawa); seureuh (Sunda); ranub (Aceh); belo (Batak Karo); cambai (Lampung); uwit (Dayak); base (Bali); nahi (Bima); gapura (Bugis); mota (Flores); afo (Sentani) (Wiwin Setiawati, dkk, 2008: 172).

(14)

23 b. Morfologi

Gambar 1. Sirih (Piper betle L.) Sumber: Dokumentasi pribadi

Sirih merupakan tanaman merambat yang tingginya bisa mencapai 15 m. Batang bulat dan beruas, berwarna coklat kehijauan. Akar keluar dari batang ini. Berdaun tunggal bentuk jantung, panjang 5-8 cm dan lebar 2-5 cm, berujung runcing dan bertangkai, posisi daun berselang-seling. Bunga berbentuk bulir, merupakan bunga majemuk, memiliki daun pelindung bulat panjang ± 1 mm. Buahnya bulat, hijau keabu-abuan, termasuk buah buni. Berakar tunggang, coklat kekuningan, dan berbentuk bulat (Dini N Nuraini, 2014: 190).

c. Habitat

Sirih hidup subur dengan ditanam di atas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan cuaca tropika dengan air yang

(15)

24

mencukupi. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati atau hutan hujan sampai ketinggian 300 mdpl (Wiwin Setiawati, dkk, 2008: 173).

d. Kandungan kimia

Senyawa yang terkandung dalam sirih antara lain minyak atsiri (eugenol, methyl eugenol, karvakrol, kavikol, alil katekol, kavibetol, sineol, estragol), alkaloid, karoten, tiamin, ribovlafin, asam nikotinat, vitamin C, tanin, gula, pati, dan asam amino (Wiwin Setiawati, dkk, 2008: 173). Daun sirih hijau juga mengandung flavonoid, steroid/terpenoid, dan kuinon (Agus Aulung, dkk, 2010: 9).

1) Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut “minyak terbang” (Inggris: volatile oil). Minyak

atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu, minyak atsiri juga disebut essential oil (dari kata essence) karena minyak tersebut memberikan bau pada tanaman (Koensoemardiyah, 2010: 1).

Minyak atsiri dari daun sirih segar sepertiga bagian terdiri dari fenol dan alkaloid yang memiliki daya pembunuh bakteri, antioksidan, fungisida serta anti jamur. Dilaporkan oleh Amhed, 1988 (Anang Mulyantana, 2013: 2) minyak atsiri dari daun sirih mempunyai efek insektisida terhadap lebih dari 30 jenis serangga

(16)

25

dibandingkan dengan piperazine phosphate dan hexyl resorchinol pada konsentrasi yang sama.

Aroma dan rasa daun sirih yang khas, sedap, sengak, tajam, dan merangsang disebabkan oleh kavikol dan betlephenol yang terkandung dalam minyak atsiri. Kedua zat tersebut merupakan kandungan terbesar minyak atsiri yang ada dalam daun sirih (Rini D Moeljanto dan Mulyono, 2003: 9). Heyne, 1987 (Anang Mulyantana, 2013: 4), mengungkapkan bahwa kavikol yang merupakan salah satu senyawa turunan fenol dari minyak atsiri daun sirih memiliki daya insektisida 5 kali lebih kuat dibandingkan piperazinephosphate dan dapat menjadi toksik jika konsentrasinya pekat atau tinggi.

Minyak atsiri dalam daun sirih dapat menghambat respirasi mitokondria serangga. Zat ini juga dapat bersifat racun yang kerjanya menghambat aktivitas respirasi sehingga menyebabkan kematian secara lambat apabila masuk melalui saluran pernapasan (Prijono, dkk, 1997; Anang Mulyantana, 2013: 4).

2) Alkaloid

Banyak tumbuhan mengandung senyawa nitrogen aromatik yang dinamakan alkaloid. Tumbuhan yang mengandung senyawa alkaloid tertentu dijauhi oleh hewan gembalaan dan serangga pemakan daun (Salisbury, 1995; Lapida Yunianti, 2016: 41).

(17)

26

Alkaloid yang terkandung dalam daun sirih (Piper batle L.) adalah arecoline. Arecoline bersifat nitrogenous pada makanan sehingga menetralisir asam lambung dan bekerja sebagai astringent. Sebagai astringen, zat ini mengeraskan membran mukosa pada lambung (Rooney, 1993; Handayani, dkk, 2013: 4-5). Alkaloid berupa garam sehingga dapat mendegradasi membran sel untuk masuk ke dalam dan merusak sel dan juga dapat menggangu sistem kerja syaraf larva dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (Eka Cania dan Endah Setyaningrum, 2013: 58).

3) Tanin

Tanin diproduksi oleh tanaman berfungsi sebagai substansi perlindungan dalam jaringan maupun luar jaringan. Tanin umumnya tahan terhadap perombakan atau fermentasi, selain itu menurunkan kemampuan binatang untuk mengkonsumsi tanaman atau juga mencegah pembusukan daun pada pohon. Tanin juga bekerja sebagai zat astringent yang dapat menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein pada kulit dan mukosa (Elvie Yenie, dkk, 2013: 53). Tanin juga dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan. Tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan dan penyerapan protein dalam sistem pencernaan terganggu (Yunita et al., 2009; Lapida Yunianti, 2016: 39).

(18)

27 4) Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan senyawa yang berperan penting dalam penyerbukan oleh serangga. Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit hingga bersifat menolak sejenis ulat tertentu (Agus Aulung, dkk, 2010: 12). Flavonoid bekerja sebagai inhibitor kuat pernafasan atau racun pernapasan. Flavonoid mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Eka Cania dan Endah Setyaningrum, 2013: 58).

5) Terpenoid

Terpenoid dan turunannya dapat bekerja sebagai insektisida akan tetapi banyak peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid lebih bersifat ekologis daripada fisiologis. Terpenoid dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya dan terpenoid dapat bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap hewan, penolak serangga dan sebagainya (Agus Aulung, dkk, 2010: 12).

Menurut Anggriani dkk, 2013 dan Mayanti dkk, 2006 (Fika Afifah, dkk, 2015: 29) terpenoid memiliki rasa yang pahit dan bersifat antifeedant yang dapat menghambat aktivitas makan

(19)

28

serangga. Triterpenoid juga bersifat sebagai penolak serangga (repellant) karena ada bau menyengat yang tidak disukai oleh serangga sehingga serangga tidak mau makan. Senyawa ini berperan sebagai racun perut yang dapat mematikan serangga. Senyawa ini akan masuk ke dalam saluran pencernaan melalui makanan yang mereka makan, kemudian diserap oleh saluran pencernaan tengah. Saluran ini berfungsi sebagai tempat perombakan makanan secara enzimatis (Junar, 2000; Fika Afifah, dkk, 2010: 29). Senyawa tersebut dapat mempengaruhi fungsi saraf yaitu menghambat enzim kolinesterase, sehingga terjadi gangguan transmisi rangsang yang mengakibatkan munurunnya koordinasi kerja otot, konvuli, dan kematian serangga (Endah dan Heri, 2000; Fika Afifah, dkk, 2015: 29).

Senyawa aktif Precocene I dan Precocene II dikenal sebagai senyawa anti hormone juvenile. Anti juvenile hormone mengganggu tahapan proses perkembangan larva. Jadi, racun ini tidak secara langsung membunuh tetapi sebagai growth inhibitor. pemberian senyawa precocene menyebabkan turunnya titer hormone juvenile sehingga menyebabkan terjadinya metamorfosis dini, dewasa yang steril, diapause, dan terganggunya produksi feromon. Dalam hal ini ia juga mengganggu proses pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati.

(20)

29

Gangguan tidak hanya terjadi pada stadia larva tetapi berlanjut pada pembentukan pupa dan serangga dewasa. Mekanisme penghambatan diduga terganggu melalui perintah ke otak oleh suatu zat (Prijono, 1999; Mutiah Sari, dkk, 2013: 566-567).

a. Hama Plutella xylostella

Pengertian hama secara luas yaitu organisme yang mengurangi ketersediaan, mutu, dan jumlah sumber daya tanaman bagi manusia. Pengertian lain yaitu semua binatang atau serangga yang dalam aktivitas hidupnya memakan tanaman yang dibudidayakan sehingga merugikan kepentingan hidup manusia dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan. Dalam pengertian tersebut istilah hama dilihat dari segi kepentingan manusia, bukan merupakan istilah ekologi. Kebanyakan binatang hama adalah serangga. Jenis binatang lainnya yang juga merupakan hama bagi ekosistem pertanian yaitu burung, tikus, babi hutan, kera, siput, dan binatang-binatang lainnya yang merugikan karena memakan tanaman budidaya (Agus Suyanto, 1994: 14-15).

(21)

30 a. Klasifikasi

Klasifikasi ulat sawi (Plutella xylostella) dalam Pracaya (2008: 87) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella

b. Biologi Hama

Ulat Plutella merupakan hama yang kosmopolit, yang terdapat di seluruh dunia dimana ada tanaman kobis (kol). Di Indonesia hama ini tidak berada di dataran rendah. Plutella memiliki kemampuan hanya untuk merusak daun kobis (kol), petsay, kol bunga, lobak, dan lain-lain jenis kol. Yang paling disukai adalah tanaman kobis (kol) (Rismunandar, 1981: 103).

Plutella xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya sepeti kubis merah, petsai, kubis bunga, kailan, selada air, sawi, jagung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang Plutella xylostella

(22)

31

adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput selada pahit berbulu), Brasisca pachypoda, Nasturtium officinale, dan Lepidium sp. (Sastrosiswojo, 1987; Loso Winarto & Lukas Sebayang, 2015: 12-13).

1) Telur

Kupu-kupu Plutella meletakkan telurnya di bawah daun kol yang terbuka, tidak pandang umurnya tanaman yang dikunjungi (Rismunandar, 1981: 103).

Telurnya berukuran 0,6 x 0,3 mm, berbentuk oval, dan berwarna kuning muda. Pada saat menetas telur tersebut warnanya berubah menjadi cokelat keabu-abuan. Produksi telur tiap imago betina dapat mencapai 300 butir yang diletakkan secara tunggal atau dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir. Stadium telur berlangsung 2-4 hari (Agus Suyanto, 1994: 55).

2) Larva

Gambar 2. Larva Plutella xylostella

(23)

32

Larva (ulat) yang baru keluar dari telur berwarna hijau muda, berukuran panjang 2 mm, dan akhirnya tumbuh menjadi 10 mm. Kepala larva berwarna kuning dan berbintik gelap. Pada tubuhnya yang berwarna hijau terdapat rambut-rambut hitam. Larva terdiri dari empat instar. Stadium larva berlangsung selama 12 hari (Agus Suyanto, 1994: 55). Instar I berupa larva yang panjangnya 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan yang berlangsung selama 4 hari. Instar II berupa larva berukuran panjang 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 2 hari. Instar III larva yang berukuran 4-6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari. Instar IV larva berukuran panjang 8-10 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana R, 1994: 41).

Ciri khas lain adalah apabila tersentuh akan menggeliat jatuh dengan cepat dan menggantungkan diri dengan benang. Larva tersebut akan naik kembali pada daun melalui benangnya apabila keadaan bahaya sudah berlalu. Umumnya pada instar larva sangat rakus dalam hal makanan sebab dibutuhkan energi yang cukup banyak untuk pertumbuhan, bergerak, dan cadangan makanan sewaktu pembentukan pupa (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 96).

(24)

33 3) Pupa

Gambar 3. Pupa Plutella xylostella Sumber:

https://www.forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5 443246

Pupanya (kepompong) berukuran panjang 6,3-7 mm. Mula-mula berwarna hijau, kemudian setelah 24 jam berubah menjadi cokelat atau hitam. Pupa ini diselubungi oleh jala yang terbuat dari benang berwarna putih, berbentuk lonjong yang disebut kokon. Stadium pupa berlangsung selama 6-7 hari (Agus Suyanto, 1994: 55).

4) Ngengat

Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella Sumber:

(25)

34

Menurut Harcourt, 1957 (Loso Winarto & Lukas Sebayang, 2015: 9-10) serangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa inggris diamod). Oleh sebab itu serangga dalam bahasa inggris disebut diamodback moth. Ngengat Plutella xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m.

Lama hidup ngengat betina berkisar antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat betina antara 18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur yang diproduksi setiap ngengat betina dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, foto periode, umur, dan kondisi makan larva (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 97). Ngengat Plutella pada siang hari biasa bersembunyi, dan karena warnanya, tidak mudah dilihat orang. Pada malam hari ngengat ini aktif (Rismunandar, 1981: 104).

(26)

35

Siklus dari telur hingga menjadi ngengat rata-rata 12-15 hari di tempat dengan ketinggian 250 m dan rata-rata 3 minggu di dataran tinggi (Rismunandar, 1981: 104).

5) Siklus hidup

Siklus hidup hama Plutella xylostella dipengaruhi diantaranya oleh suhu lingkungan. Pada suhu 16o C- 25o C siklus hidupnya mencapai 15 hari (Permadi, 1993; Liliek Mulyaningsih, 2010: 97). Selain itu ketinggian tempat juga berpengaruh terhadap siklus hidup Plutella xylostella. Pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut siklus hidup hama tersebut 12-15 hari, sedangkan pada ketinggian 1100 mdpl siklus hidupnya 20-25 hari (Liliek Mulyaningsih, 2010: 97).

Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella

(27)

36 6) Aktifitas makan

Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai aktivitas makannya yaitu yang pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant) dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis makanan dan menjaga aktivitas makan, dan yang kedua adalah pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai penghambat makan sehingga dapat memperpendek aktivitas makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali. Serangga dapat mengenali senyawa-senyawa asing dalam makanannya walaupun dalam konsentrasi rendah dan akan merespon atas kehadiran senyawa tersebut dalam makanannya (Dadang dan Kanju Ohsawa, 2000: 30).

Pengamatan secara visual, larva mengonsumsi daun dengan perlakuan lebih sedikit dibandingkan dengan daun tanpa perlakuan yang mencerminkan adanya sifat penghambat aktivitas makan. Penghambatan aktivitas makan ini dapat memberikan sumbangan pada terjadinya kematian larva (Khaidir dan Hendrival, 2013: 41).

(28)

37 7) Kerusakan yang diakibatkan

Gejala serangan oleh hama ini khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang baru menetas) memakan daun dengan jalan membuat lubang galian pada permukaan bawah daun, selanjutnya larva membuat lorong (gerekan ke dalam) jaringan parenkim sambilmemakan daun. Larva instar dua, keluar dari liang gerekan yang transparan dan makan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Demikian juga larva instar ketiga dan keempat. Larva instar ketiga dan keempat memakan seluruh bagian daun sehingga meninggalkan ciri yang khas, yaitu tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 98). Serangan hama ulat ini sangat cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari saja tanaman yang diserang akan menjadi rusak (Enceng Surachman dan Widada Agus S., 2007: 55-56).

(29)

38

Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella Sumber:Dokumentasi pribadi

Serangan P. xylostella yang berat pada tanaman dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo, 1987; Loso Winarto & Lukas Sebayang, 2015: 13).

b. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)

Di Indonesia nama sawi sudah tergolong familiar. Orang Jawa atau Madura menggunakan sebutan yang sama, yakni sawi, untuk sayuran ini. Orang Sunda menyebutnya sasawi. Nama asing untuk sawi ialah mustard. Perdagangan internasional menggunakan sebutan green mustard, chinese mustard, indian mustard, atau sarepta mustard (Eko Haryanto, dkk, 2003: 3).

a. Jenis-jenis Sawi

Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam jenis sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau, dan sawi huma. Saat ini, konsumen lebih mengenal sawi caisim alias

(30)

39

sawi bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi keriting dan sawi monumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 9).

1) Sawi putih atau sawi jabung

Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek, tetapi tegap dan bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10).

2) Sawi hijau

Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi hijau berukuran lebih kecil dibandingkan sawi jabung atau sawi putih. Daun sawi jenis ini lebar seperti daun sawi putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek, tetapi tegap. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku, tetapi kuat. Varietas sawi hijau banyak dibudidayakan di lahan yang kering , tetapi cukup pengairannya (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10).

(31)

40 3) Sawi huma

Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan terhadap genangan air (Eko Haryanto, dkk, 2003: 10). Sawi huma daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti bersayap (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11).

4) Caisim alias sawi bakso

Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan di kalangan konsumen (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11). Tangkai daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng, caisim banyak dibutuhkan oleh pedagang mie bakso, mie ayam, atau restoran masakan cina. Tidak mengherankan jika permintaannya setiap hari sangat tinggi (Eko Haryanto, dkk, 2003: 11-12).

(32)

41 5) Sawi keriting

Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Eko Haryanto, dkk, 2003: 12).

6) Sawi monumen

Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tergolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya (Eko Haryanto, dkk, 2003: 12).

(33)

42 b. Klasifikasi

Klasifikasi tumbuhan sawi dalam Rukmana (2002: 15) : Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Dicotyledone Ordo : Papaverales

Famili : Cruciferae atau Brassicaceae Genus : Brassica

Spesies : Brassica juncea L.

c. Morfologi

Gambar 7. Sawi Caisim (Brassica juncea L.) Sumber: Dokumentasi pribadi

Sawi (Brassica juncea L.) termasuk ke dalam famili Cruciferae merupakan tanaman semusim yang berdaun lonjong, halus,

(34)

43

tidak berbulu, dan tidak berkrop. Batang tanaman sawi pendek, lebih langsing dari tanaman petsai. Tanaman ini mempunyai akar tunggang dengan banyak akar samping yang dangkal. Biji terdapat dalam kedua sisi dinding sekat polong yang gemuk (Yati Supriati dan Ersi Herliana, 2010: 92).

Sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Stuktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua (Rukmana, 2002: 16).

d. Syarat tumbuh

Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berudara panas maupun berudara dingin sehingga diusahakan di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Meskipun begitu, tanaman sawi akan lebih baik jika ditanam di dataran tinggi (Eko Haryanto, dkk, 2007: 24)

Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5-1.200 mdpl. Namun, biasanya tanaman ini dibudidayakan di daerah berketinggian 100-500 mdpl. Sebagian besar di daerah-daerah

(35)

44

Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut (Eko Haryanto, dkk, 2007: 25)

Tanaman sawi juga tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau, jika penyiraman dilakukan dengan teratur dan dengan air yang cukup, tanaman ini akan tumbuh sebaik pada musim penghujan. Berhubung selama pertumbuhannya tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk maka akan lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembap. Namun, tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang (Eko Haryanto, dkk, 2007: 25).

Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik. Derajat keasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya antara 6-7 (Eko Haryanto, dkk, 2007: 25).

e. Kandungan gizi

Sawi baik setelah diolah maupun sebagai lalapan, ternyata mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan tubuh. Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam 100 g berat sawi

(36)

45

adalah seperti disajikan dalam tabel di bawah ini (Eko Haryanto, dkk, 2003: 5-6).

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Sawi dalam 100 g

Zat Gizi Sawi

Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Ca (mg) P (mg) Fe (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) 2,3 0,3 4,0 220,0 38,0 2,9 1.940,0 0,09 102.0

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1979

f. Hama penyerang tanaman sawi

Hama tanaman sawi yang cukup penting diantaranya ulat Agrotis, ulat Crocidolomia binotalis, ulat Plutella xylostella, ulat Spodoptera, dan kutu daun Aphis (Nur Tjahjadi, 1989: 107).

1) Agrotis ipsilon

Hama ini merusak tanaman kubis, sawi, dan petsai pada saat dipersemaian hingga beberapa minggu setelah tanaman di lapangan. Gejala serangan yang khas ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang kubis, sawi, dan petsai. Ulat aktif pada sore hingga malam hari, sehingga petani hanya menemukan bekas serangan pada pagi hari (Nur Tjahjadi, 1989: 107).

(37)

46

2) Ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell.)

Gejalanya yaitu daun bagian dalam yang terlindungi oleh daun bagian luar rusak dan terlihat adanya bekas gigitan. Tak heran bila dari luar tanaman masih terlihat baik, tetapi bagian dalam sudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi sampai ke titik tumbuh (Eko Haryanto, dkk, 2007: 71).

Ulat krop kubis ini berwarna hijau, terdapat garis berwarna hijau muda dan rambut berwarna hitam di punggungnya. Serangga dewasa menghasilkan telur yang jumlahnya 30-80 butir tiap kelompok. Telur menetas dalam jangka waktu 1-2 minggu dan setiap hari jumlah telur akan bertambah (Eko Haryanto, dkk, 2007: 71).

3) Ulat keremeng atau tritip (Plutella sp.)

Gejalanya bagian bawah daun rusak, epidermis bagian atas terlihat putih transparan. Setelah daun tumbuh dan melebar, lapisan epidermis akan robek sehingga daun tampak berlubang. Gejala serangan hama ini khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang (Mau dan Kessing, 1992; Liliek Mulyaningsih, 2010: 97-98).

Ulat keremeng memiliki warna hijau muda ketika baru menetas. Setelah dewasa berbentuk ngengat dan warna kepalanya

(38)

47

menjadi lebih pucat dan terdapat bintik coklat (Eko Haryanto, dkk, 2007: 72).

4) Spodoptera litura

Ulat ini memakan daun yang tua maupun muda. Tetapi ulat ini juga mempunyai banyak tanaman inang. Walaupun demikian, kehadirannya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Selain dapat menurunkan kuantitas, juga dapat menurunkan kualitas hasil (Nur Tjahjadi, 1989: 108).

5) Kutu daun Aphis sp.

Kutu ini menusuk dan menghisap cairan tanaman, terutama pada musim kemarau. Jika serangan berat, tanaman akan layu akibat kekurangan cairan. Bekas tusukannya meninggalkan bekas yang kurang baik bagi perkembangan daun, daun akan kering atau tumbuhnya tidak normal (Nur Tjahjadi, 1989: 108).

6) Siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris Humb.)

Siput ini berwarna coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada punggungnya kerdil dan sedikit menonjol. Siput jenis telanjang halus dan tidak ada tonjolannya. Panjang siput 5 cm. Siput ini polifag atau pemakan segala tanaman. Siput sering merusak tanaman yang baru saja tumbuh seperti kol, sawi, tomat, tembakau, ubi jalar, dan kentang (Pracaya, 2008: 298).

(39)

48 7) Sumpil (Subulina octona)

Ada 2 jenis sumpil yaitu Lamellaxis gracilis Hutt. dan Subulina octona Brug. Sumpil mempunyai rumah yang bentuknya silindris dan berukuran kecil dengan panjang 11 mm. Warnanya kuning muda. Kedua jenis sumpil ini biasanya tercampur menjadi satu populasi. Binatang ini merusak semai tembakau, kol, sawi, dan bermacam-macam sayuran (Pracaya, 2008: 298).

g. Produktivitas Tanaman Sawi

Perkembangan luas panen dan produksi petsai/sawi di Indonesia tahun 2009-2014 menurut Data Statistik Produksi Holtikultura Kementerian Pertanian adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil, dan Produksi Petsai/Sawi di Indonesia Tahun 2009-2014

Sumber: Direktorat Jenderal Holtikultura, Kementerian Pertanian (2015: 57)

(40)

49 B. Kerangka Berfikir

Penggunaan pestisida sintetis berbahaya bagi lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran air, tanah, udara, dan hasil pertanian. Selain itu pestisida sintetis juga berbahaya bagi keselamatan hayati, termasuk kesehatan tubuh manusia baik yang terpapar secara langsung atau melalui rantai makanan. Pestisida yang digunakan semestinya ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan manusia. Salah satu pestisida yang ramah lingkungan adalah pestisida nabati. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)

sebagai Pengendali Hama Plutella xylostella Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)”, karena di dalam daun sirih hijau (Piper betle L.) mengandung minyak

atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin, dan terpenoid yang merupakan racun perut (Stomach poisoning) dalam tubuh hama Plutella xylostella, menyebabkan gangguan pernapasan pada hama Plutella xylostella, serta dapat mempercepat pembentukan pupa hama Plutella xylostella, sehingga aktivitas makan hama Plutella xylostella berkurang. Dengan demikian pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berpotensi sebagai bahan aktif pestisida nabati pengendali hama Plutella xylostella. Adapun variasi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; dan 10% yang dibuat dari starter awal perasan daun sirih hijau (Piper betle L.).

(41)

50

Gambar 8. Kerangka Berpikir Sawi (Brassica juncea L.)

Dibutuhkan pestisida yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan

manusia

Daun sirih hijau (Piper betle L.) Konsentrasi: 0%; 2,5%; 5%; 7,5%; 10% Pestisida Nabati Kerusakan sawi (Brassica juncea L.) mortalitas Plutella xylostella Pemendekan siklus hidup Plutella xylostella Berat basah sawi

(Brassica juncea L.) terpenoid (menghambat

aktivitas makan), Alkaloid (racun perut)

Plutella xylostella Minyak atsiri dan flavonoid (menghambat respirasi), tanin (racun kontak)

1. Pestisida sintetis berbahaya bagi lingkungan (kontaminasi air, tanah, udara, dan hasil pertanian). 2. Pestisida sintetis berbahaya bagi

(42)
(43)

52 C. Hipotesis

1. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh terhadap mortalitas hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.). Semakin tinggi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) mortalitas hama Plutella xylostella semakin tinggi.

2. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh terhadap pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella fase larva pada tanaman sawi (Brassica juncea L.). Jika larva Plutella xylostella tidak langsung mati, maka semakin tinggi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.), semakin tinggi larva Plutella xylostella yang mengalami pemendekan siklus hidup.

3. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh terhadap kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea L.). Semakin tinggi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.) semakin rendah.

4. Pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berpengaruh terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.). Semakin tinggi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) berat basah tanaman sawi semakin tinggi.

5. Semakin tinggi dosis pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) semakin efektif dalam mengendalikan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).

(44)

Gambar

Gambar 1. Sirih (Piper betle L.)  Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella  Sumber:
Gambar 5. Siklus Hidup Plutella xylostella
Gambar 6. Serangan Larva Plutella xylostella  Sumber:Dokumentasi pribadi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) di Desa Pulau Sapi Kecamatan Mentarang Induk Kabupaten Malinau pada kegiatan yang mencakup

Dalam rangka mensikapi permasalahan jalan kabupaten Badami dan Pangkalan yang selama ini menuai protes dari masyarakat karena adanya aktifitas kendaraan besar milik perusahaan yang

jauh-jauh hari sudah menetapkan bahwa Indonesia secara keseluruhan menjadi satu wilayah hukum dengan istilah wilayatul hukmi, sehingga ada satu dari Ormas Islam di Indonesia

Jika kita memproyeksikan kutub-kutub Bumi pd bola langit kita akan memperoleh dua buah titik yang disebut Kutub Langit Utara (KLU) dan Kutub Langit Selatan (KLS).... Bola langit

1) Kebebasan bergerak untuk pengunjung pameran. Ruangan hendaknya jangan terlalu sempit, sehingga pengunjung pameran tidak berdesak- desak. Apabila ruangan yang

Faktor internal keempat yang dapat memicu terjadinya perilaku minum alkohol pada remaja adalah adanya pola pikir / cara pandang yang keliru, dimana pola pikir / cara pandang

Berdasarkan data dari survey yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Provinsi Bali, Khususnya Kawasan Metropolitan SARBAGITA lebih memilih untuk

Sehingga, peningkatan konsentrasi rendaman daun singkong yang dipaparkan pada uji lanjutan tidak sebanding dengan peningkatan kematian nyamuk. Konsentrasi yang