commit to user
i
KEEFEKTIFAN FOCUS GROUP DISCUSSION DALAM
MENGOPTIMALKAN MEKANISME KOPING WANITA MENOPAUSE
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN POLA SEKSUALITAS
(DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGKAAN KABUPATEN BONDOWOSO)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan
Disusun Oleh :
SASMIYANTO
Disusun Oleh :
SASMIYANTO
S-540809215PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
i TESIS
KEEFEKTIFAN FOCUS GROUP DISCUSSION DALAM
MENGOPTIMALKAN MEKANISME KOPING WANITA MENOPAUSE
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN POLA SEKSUALITAS
(DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGKAAN KABUPATEN BONDOWOSO)
Disusun oleh :
SASMIYANTO S-540809215
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal 21 April 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR.Bhisma Murti, MPH, MSc, Ph.D DR. Nunuk Suryani, M.Pd
NIP.195510211994121001 NIP. 196611081990032001
Mengetahui, Ketua
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
commit to user
commit to user
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya peneliti :
Nama : SASMIYANTO
NIM : S-540809215
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul KEEFEKTIFAN
FOCUS GROUP DICUSSION DALAM MENGOPTIMALKAN MEKANISME KOPING WANITA MENOPAUSE DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN POLA
SEKSUALITAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGKAAN KABUPATEN
BONDOWOSO adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya peneliti
sendiri dalam tesis tersebut telah diberi citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan peneliti ini tidak benar, maka
peneliti bersedia menerima sanksi akademik.
Surakarta, 16 April 2011
Yang membuat pernyataan
commit to user
iv ABSTRAK
SASMIYANTO, NIM: S-540809215. JUDUL: KEEFEKTIFAN FOCUS GROUP DISCUSSION DALAM MENGOPTIMALKAN MEKANISME KOPING WANITA MENOPAUSE DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN POLA SEKSUAL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGKAAN KABUPATEN BONDOWOSO. Tesis: Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.
Latar belakang; focus group discussion adalah suatu kegiatan diskusi kelompok yang diadakan untuk kepentingan khusus guna mendiskusikan suatu masalah tertentu melalui curah pendapat (brain storming) dengan peserta terfokus dan bersifat homogen. Tujuan dari tesis ini adalah mengetahui keefektifan focus group discussion
dalam memaksimalkan mekanisme koping wanita menopause. Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari keseluruhan upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) yang menitikberatkan pada upaya meningkatkan perilaku hidup sehat. Metode; desain penelitian ini menggunakan randomized control trial yang digunakan untuk mengetahui keefektifan focus group discussion dalam memaksimalkan mekanisme koping wanita menopause. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas (konsistensi internal) dengan: item total correlation dan alpha Crohnbach. Sampel pada penelitian ini berjumlah 30 wanita menopause, yang diambil dengan teknik simple random sampling.
Hasil; analisis yang digunakan adalah t–test dengan p value perbedaan rerata kemampuan koping pada kelompok dengan pendidikan kesehatan dengan dan tanpa
focus group discussion sebesar 0,007, yang berarti ada perbedaan yg signifikan antara kedua kelompok perlakuan. Hasil uji menunjukan nilai mean (posttest - pretest) masing – masing kelompok, kelompok pendidikan kesehatan tanpa focus group discussion sebesar6,3 sedangkan kelompok pendidikan kesehatan dengan focus group discussion sebesar8,7.
Kesimpulan; penelitian ini adalah metode focus group discussion efektif dalam meningkatkan kemampuan koping wanita menopause. Rekomendasi penelitian ini
focus group discussion sangat tepat diterapkan dalam memaksimalkan mekanisme koping wanita menopause.
commit to user
v ABSTRACT
SASMIYANTO, NIM: S-540809215. TITLE: THE EFFECTIVENESS OF FOCUS GROUP DISCUSSION IN OPTIMIZING COPING MECHANISM OF MENOPAUSE WOMEN’S WHO FACING SEXUALITY AT PUSKESMAS NANGKAAN BONDOWOSO DISTRICT. Thesis: Masters Programs in Family Medicine, Post Graduate Program Of Sebelas Maret University Of Surakarta. 2011.
Introduction; Focus group discussion is a kind of group discussion which is held to the special importance for discussing a certain issue through brainstorming among focused participants and homogeny. This study aimed to know the effectiveness of focus group discussion in maximizing menopause women’s coping mechanism. Health education is one part of the whole health efforts (promotive, preventive, curative, rehabilitative) which emphasize on healthy life attitudes.
Method; This study was conducted by using randomized control trial which is used to examine the effectiveness of focus group discussion in maximizing menopause women’s coping mechanism. This study used a questionnaire which is examined validity and reliability (internal consistency) with using: item total correlation and alpha Crohnbach and taken 30 menopause women as the sample by using simple random sampling technique.
Result; The analysis that used in this study is t-test with p value average difference of coping ability towards a group between health education and without focus group discussion is 0,07. It means that there is a significant different between the two groups’ attitudes. The result indicates the score mean (posttest - pretest) of each group is that; the health education without focus group discussion group is 6,3, while the health education with focus group discussion group is 8,7.
Conclution; This study concludes that focus group discussion method is effective in improving menopause women’s coping. This study recommends that focus group discussion method is very appropriate to be implemented in maximizing menopause women’s coping mechanism
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan kemampuan, akal, dan kesempatan untuk berbuat. Hanya karena
izin-NYA penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis dengan judul ” Keefektifan
Focus Group Discussion Dalam Mengoptimalkan Mekanisme Koping Wanita Menopause Dalam Menghadapi Perubahan Pola Seksualitas Di Wilayah Kerja
Puskesmas Nangkaan Kabupaten Bondowoso”.
Penulis dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, peneliti mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Prof. DR. Ravik Karsidi, M.S, Selaku Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD., selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
3. Prof. DR. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD. pembimbing I dalam penyusunan
penelitian ini yang telah banyak memberikan masukan.
4. DR. Nunuk Suryani, M.Pd. selaku pembimbing II dalam penyusunan penelitian ini
yang dengan sabar memberikan arahan dan masukan.
5. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Kedokteran Keluarga Program
Pasca Sarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak
membantu. Kami dalam penyusunan tesis ini, namun penulis menyadari masih ada
hal-hal yang belum sempurna, untuk itu penulis mengharap saran serta kritik yang
membangun.
Jember, April 2011
commit to user
2. Konsep pendidikan kesehatan……… 16
3. Konsep koping individu……….……… 23
4. Konsep menopause…………..……….. 36
5. Konsep seks dan seksualitas.………. 46
B. Penelitian yang Relevan…………..………. 53
C. Kerangka Berpikir………..……….. 55
D. Hipotesis Penelitian.……… 55
commit to user
viii
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian….. ……….. 62
1. Gambaran Karakteristik Subyek Penelitian…………. 62
2. Data Khusus……… 63
B. Pembahasan………..……….. 67
C. Keterbatasan Penelitian...……….. 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.……….. 73
B. Implikasi……… 73
C. Saran... 74
DAFTAR PUSTAKA ………. . 75
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir……...………. 55
Gambar 3.1 Kerangka Penelitian………...………… 57
Gambar 4.1 Perbandingan skor kemampuan koping sebelum dan
sesudah pendidikan kesehatan tanpa FGD.……... 64
Gambar 4.2 Perbandingan skor kemampuan koping sebelum dan
sesudah pendidikan kesehatan tanpa FGD.……... 64
Gambar 4.3 Perbedaan mean peningkatan skor kemampuan koping
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Distribusi Karekteristik Responden……….... 62
Tabel 4.2 Hasil uji t mekanisme koping sebelum dan sesudah perlakuan pada masing – masing
kelompok dengan atau tanpa FGD... 65
Tabel 4.3 Hasil uji t tentang beda mean peningkatan kemampuan koping sebelum dan sesudah perlakuan antara
kelompok pendidikan kesehatan tanpa maupun
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ganchart Kegiatan Penelitian Lampiran 2 Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 3 Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 4 Instrumen Penelitian
Lampiran 5 Satuan Acara Pendidikan Kesehatan
Lampiran 6 Panduan Focus Group Discussion
Lampiran 7 Tabulasi Data
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia 40-55 tahun merupakan usia wanita mengalami masa perimenopause.
Masa perimenopause merupakan masa perubahan antara premenopause dan
menopause. Pada masa ini terjadi perubahan - perubahan kadar hormon reproduksi
yang dapat menyebabkan berbagai perubahan psikis dan rasa tidak nyaman. Keadaan
ini sebenarnya bukan suatu keadaan patologis, melainkan suatu proses yang menjadi
bagian dalam perjalanan hidup wanita, walaupun demikian beberapa wanita dapat
merasa terganggu bahkan hingga depresi dalam menghadapi berbagai perubahan
tersebut, sehingga membutuhkan suatu penanganan khusus. Menurut arti katanya,
menopause berasal dari kata “men” berarti bulan, “pause, pausis, paudo” berarti
periode atau tanda berhenti, sehingga menopause diartikan sebagai berhentinya secara
definitif menstruasi. Menopause secara teknis menunjukkan berhentinya menstruasi,
yang dihubungkan dengan berakhirnya fungsi ovarium secara gradual, yang disebut
klimakterium (Kartono, 2002).
Ketidakberanian individu dalam menghadapi suatu masalah dan ditambah
dengan adanya kerisauan terhadap hal-hal yang tidak jelas merupakan tanda-tanda
kecemasan pada individu. Pengertian kecemasan menghadapi menopause (Burn,
1988), bahwa kebanyakan wanita menopause sering mengalami depresi dan
kecemasan dimana kecemasan yang muncul dapat menimbulkan insomnia atau tidak
bisa tidur. Setiap orang mempunyai keyakinan dan harapan yang berbeda-beda. Karena
perbedaan itu maka tidak ada dua orang yang akan memberikan reaksi yang sama,
commit to user
yang membuat cemas adalah situasi yang mengandung masalah tertentu yang akan
memicu rasa cemas dalam diri seseorang dan tidak terjadi pada orang lain (Tallis,
2005).
Depresi pada masa transisi menopause merupakan hal yang bersifat mandiri.
Artinya sedikit sekali dipengaruhi oleh riwayat keluarga dan usia awitan terjadinya
gangguan depresi yang biasanya lebih muda. Penelitian yang bersifat potong lintang
ataupun berbasis masyarakat juga menyimpulkan adanya hubungan antara masa
transisi menopause dengan terjadinya gejala-gejala gangguan depresi. Terdapat dua
teori tentang terjadinya peningkatan gangguan depresi pada masa transisi menopause.
Pertama adalah teori estrogen withdrawal yang searah idenya dengan teori
aksis hipothalamus pituitary gonadal (HPG) yang menyebabkan gangguan depresi. Estrogen dipercaya memiliki kualitas sebagai antidepresan, yang meningkatkan fungsi
serotonergik. Peningkatan insiden depresi dan gangguan vasomotor pada wanita yang
mengalami penurunan estrogen akibat pembedahan mendukung teori ini. Beberapa
penilitian bahkan menerangkan adanya hubungan antara fungsi ovarium dengan
perbaikan suasana perasaan (mood).
Teori yang kedua disebut teori Domino, wanita yang mengalami menopause
mengalami banyak keluhan somatik seperti hot flashes, keringat malam, gangguan tidur yang mengarah ke ketidakstabilan mood dan depresi. Akan tetapi depresi seperti
yang disebutkan di atas terkadang tidak disertai dengan gejala vasomotor, dan
penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa estrogen dapat memperbaiki mood pada
wanita yang tidak mengalami hot flashes. Gangguan cemas juga seringkali meningkat pada masa transisi menopause yang kadang disertai serangan panik. Terkadang gejala
commit to user
lipat dibandingkan pria untuk mengalami gangguan depresi di dalam hidupnya. Hal ini
disebabkan faktor genetik maupun sosial. Secara psikososial wanita lebih banyak
mengalami tekanan psikososial dibandingkan dengan pria. Wanita yang mengalami
depresi sering merasa sedih, karena kehilangan kemampuan untuk bereproduksi, sedih
karena kehilangan kesempatan untuk memiliki anak, sedih karena kehilangan daya
tarik. Wanita merasa tertekan karena kehilangan seluruh perannya sebagai wanita dan
harus menghadapi masa tuanya.
Wanita yang mengalami menopause, kehilangan daya tarik seksualnya dan
menurun aktivitas seksualnya. Beberapa wanita yang beranggapan sesudah
menopause, tidak bisa memberi kepuasan seksual bagi suaminya sehingga tidak dapat
menikmati hubungan intim dengan suaminya, karena jaringan genitalnya berkurang
elasitisitasnya. Bahkan ada anggapan wanita yang sudah menopause seyogyanya tidak
melakukan hubungan seksual karena akan mengakibatkan munculnya penyakit.
Keyakinan ini menggiring wanita untuk mengurangi atau menghindari aktivitas
seksual, yang akan berpengaruh pada berkurangnya keharmonisan hubungan suami
istri. Kondisi ini akan memicu munculnya problem suami-istri yang lebih komplek.
Berdasarkan penelitian Indriyani dan Widada (2009) dalam studi fenomenologi tentang
pengalaman seksualitas pada wanita menopause didapatkan beberapa keluhan antara
lain: berkurangnya gairah atau tidak ada gairah seksual, vagina terasa kering dan ada
kendala tidak mampu mencapai orgasme.
Wanita dilahirkan dengan sejumlah besar sel telur yang secara bertahap akan
habis terpakai. Ovarium tidak mampu membuat sel telur baru, sehingga begitu sel telur
yang dimiliki sejak lahir habis, maka ovulasi akan berhenti sama sekali. Jadi terdapat
commit to user
di sekitar menopause, yang berkembang sesudahnya. Ada tiga macam hormon penting
yang diproduksi oleh ovarium, yaitu estrogen, progesteron, dan testosteron, dimana
setelah mencapai menopause hormon-hormon ini tidak diproduksi. Menopause adalah
suatu fase dari kehidupan seksual wanita, dimana siklus menstruasi berhenti. Dalam
hidup wanita, faktor estrogen berperan dalam pengaturan siklus menstruasi. Penurunan
kadar hormon ini pada masa perimenopause menyebabkan wanita mengalami sindrom
defisiensi estrogen, yaitu keadaan yang meliputi gangguan vasomotor, perubahan
metabolik, osteoporosis, penyakit jantung koroner, maupun gangguan psikologis.
Gejala psikologis yang sering timbul antara lain depresi, ansietas, sakit kepala,
insomnia, mudah lelah, gangguan gairah seksual, dan penurunan fungsi kognitif
terutama fungsi memori. Dalam menilai seberapa berat gejala yang dialami wanita
pada masa menopause, perlu diperhatikan juga faktor psikososial dan endogen
(biologik dan genetik).
Kegiatan komunikasi yang terjadi pada pasangan suami istri dalam masa
pramenopause ini adalah komunikasi antar pribadi, terjadinya komunikasi antar pribadi
ini melalui bentuk percakapan, di dalam percakapan dimulai dari keterbukaan istri
kepada suami mengenai kondisi yang dialaminya kemudian ditanggapi suami melalui
tindakan dan sikap yang diberikan kepada istri. Berdasarkan hasil penelitian
keterbukaan dari masing - masing pihak ini menciptakan peranan komunikasi antar
pribadi yang baik.
Adapun peranan komunikasi antar pribadi yang baik ini dihasilkan dare
kompetensi komunikasi antar pribadi (kompetensi suami) dalam tiga aspeknya yaitu,
aspek pengetahuan, aspek kemampuan dan aspek motivasi. Hasil penelitian secara
commit to user
sesuai dengan kondisi yang dialami oleh istri, sehingga masa pramenopause yang
dialami istri ini tidak membawa pengaruh dan gangguan komunikasi di dalam
hubungan suami istri. Komunikasi antar pribadi yang terjadi pada pasangan suami istri
ini bersifat dua arah, dimana sang istri sebagai komunikator menyampaikan pesan atau
informasi (kondisi masa pramenopause yang dialaminya) kepada suami sebagai
komunikan. Pada komunikasi antar pribadi posisi ini bisa berpindah tempat.
Berdasarkan hasil penelitian setelah suami mendengarkan keluhan istri maka
suami memberikan feed back berupa saran, ajakan, motivasi serta memberikan respon
berupa empati kepada istri untuk dapat melewati masa pramenopause tersebut.
Pelaksanaan komunikasi pada wanita menopause dan klimakterium ini adalah pertama,
pemberian penjelasan tentang pengertian, tanda menopause. Kedua, deteksi dini
terhadap gangguan yang terjadi pada masa ini. Ketiga pemberian informasi tentang
pelayanan kesehatan yang dapat dikunjungi.
Keempat, membantu klien dalam pengambilan keputusan. Kelima, pemakaian
alat bantu dalam pemberian KIE. Keenam, melakukan komunikasi dengan pendekatan
biologis, psikologis dan sosial budaya. Prinsip komunikasi pada masa menopause
adalah Pertama, fungsi kognitif terdiri dari: kemampuan belajar (learning),
kemampuan pemahaman (comprehension), kinerja (performance), pemecahan masalah
(problem solving), daya ingat (memory), motivasi, pengambilan keputusan,
kebijaksanaan. Kedua, fungsi afektif, fenomena kejiwaan yang dihayati secara
subyektif sebagai sesuatu yang menimbulkan kesenangan atau kesedihan. Ketiga,
fungsi konatif (psikomotor), fungsi psikis yang melaksanakan tindakan dari apa yang
commit to user
Dalam penelitian ini peneliti akan menerapkan teknik pendikan kesehatan,
serta focus group discussion adalah suatu kegiatan diskusi kelompok yang diadakan
untuk kepentingan khusus guna mendiskusikan suatu masalah tertentu melalui curah
pendapat (brain storming) dengan peserta terfokus dan bersifat homogen (Munir 2004:
35). Dengan demikian diharapkan pendidikan kesehatan dan focus group discussion
dapat memaksimalkan mekanisme koping wanita dalam menopause menghadapi
perubahan pola seksualitas.
B. Perumusan Masalah Penelitian
Apakah focus group discussion efektif dalam memaksimalkan mekanisme koping
wanita menopause dalam menghadapi perubahan pola seksualitas?
C.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui keefektifan focus group discussion dalam memaksimalkan
mekanisme koping pada wanita menopause dalam menghadapi perubahan pola
seksualitas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme koping wanita menopause
dalam menghadapi perubahan pola seksualitas setelah dilakukan pendidikan
kesehatan tanpa focus group discussion.
b. Mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme koping wanita menopause
dalam menghadapi perubahan pola seksualitas setelah dilakukan pendidikan
commit to user
c. Menganalisis keefektifan focus group discussion dalam memaksimalkan
mekanisme koping pada wanita menopause dalam menghadapi perubahan pola
seksualitas.
D. Manfaat Penelitian
1. Teori
Memberikan bukti – bukti empiris tentang manfaat focus group discussion bagi
wanita menopause dalam pengunaan koping individu.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi tenaga kesehatan, sebagai bahan acuan perkembangan materi
keperawatan khususnya dibidang keperawatan komunitas dan pendidikan
kesehatan untuk meningkatkan upaya komunikasi, informasi, dan edukasi
kepada wanita menopause.
b. Bagi instansi terkait, masukan bagi institusi untuk lebih meningkatkan
mutu pelayanan dan meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan
pada wanita menopause.
c. Bagi responden, memberikan informasi dan motivasi kepada wanita untuk
memilih dan menerapkan koping yang tepat dalam menghadapi fase
menopause.
d. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan landasan dan pengembangan
commit to user
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Focus Group Discussion
Focus group discussion adalah suatu kegiatan diskusi kelompok yang diadakan untuk kepentingan khusus guna mendiskusikan suatu masalah tertentu melalui curah
pendapat (brain storming) dengan peserta terfokus dan bersifat homogen (Munir, 2004)
1.1 Beberapa prinsip focus group discussion:
Pertama, peserta diskusi terdiri 6-12 orang, kelompok terdiri 6-12 orang untuk
memungkinkan setiap anggota memperoleh kesempatan mengeluarkan pendapatnya
dan mendapat tanggapan dari anggota lain. Lebih dari 12 dikhawatirkan ada anggota
kelompok yang tidak sempat mengeluarkan pendapatnya dan bersembunyi di balik
anggota kelompok yang dominan.
Kedua, peserta tidak saling mengenal, idealnya anggota focus group discussion
tidak saling mengenal, asalkan mempunyai kesamaan dalam hal tertentu seperti
kesamaan dalam kompetensi atau pengetahuan dan pengalaman sehubungan dengan
topik yang akan didiskusikan. Kriteria tidak saling mengenal dimaksudkan agar
diperoleh masukan yang valid bukan ikut-ikutan meskipun pada kenyatannya sulit
menemukan situasi dimana peserta focus group discussion betul-betul tidak saling mengenal, mengingat peserta focus group discussion biasanya orang-orang yang bekerja di institusi atau tinggal di satu wilayah penelitian tertentu dan besar
kemungkinannya mereka sudah saling mengenal. Sebagai jalan keluarnya adalah pilih
commit to user
setidaknya dapat dikondisikan dalam dinamika kelompok sehingga situasi mereka
menjadi cair.
Ketiga, focus group discussion merupakan suatu proses pengumpulan data yang bertujuan mengumpulkan data mengenai persepsi tidak mencari konsensus, tidak
mengambil keputusan mengenai tindakan apa yang harus diambil oleh kelompok.
Keempat, focus group discussion dimanfaatkan dalam pengumpulan data kualitatif. Focus group discussion diharapkan terkumpul data kualitatif yang cukup mendalam mengenai persepsi, pandangan peserta. Oleh karena itu pertanyaan yang
diajukan dalam focus group discussion bersifat terbuka dan terstruktur sehingga peserta bisa memberikan jawaban disertai dengan penjelasan yang diperlukan.
Kelima, focus group discussion menggunakan diskusi yang terfokus. Artinya topik diskusi ditentukan terlebih dahulu, sesuai dengan kebutuhan informasi yang ingin
diperoleh, pertanyaan diatur secara berurutan dan dirancang sedemikian rupa sehingga
mudah dimengerti oleh peserta diskusi.
1.2 Penggunaan focus group discussion,
Diawal program misalnya untuk membuat hipotesa suatu penelitian, merancang
kuesioner pengumpulan data, ditengah pelaksanaan program misalnya untuk
memperoleh informasi yang mendalam mengenai pengetahuan, sikap dan persepsi dan
diakhir pelaksanaan program misalnya untuk mengklarifikasi data yang diperoleh
dengan metode pengumpulan data lain, memperoleh informasi tambahan dari peserta.
1.3 Tujuan focus group discussion.
Pertama, memperoleh masukan mengenai kompetensi atau kemampuan yang
diperlukan untuk pelaksanaan tugas, organisasi, kesan atau persepsi peserta. Kedua,
commit to user
memperoleh masukan mengenai cara-cara mengatasi kesenjangan menurut peserta
focus group discussion.
1.4 Waktu Pelaksanaan focus group discussion,
Waktu yang digunakan biasanya berlangsung 60 – 90 menit
1.5 Tempat Pelaksanaan focus group discussion.
Focus group discussion sebaiknya dilaksanakan disuatu tempat yang netral dan nyaman agar peserta dapat secara bebas tidak merasa khawatir dalam mengemukakan
pendapatnya. Waktu pelaksanaan focus group discussion sebaiknya disesuaikan dengan kondisi peserta, namun rata-rata maksimal 2 jam, jika materi belum selesai
namun kondisi tidak memungkinkan untuk meneruskan diskusi lebih baik membuat
kesepakatan untuk mengatur lanjutan.
1.6 Tim focus group discussion.
Fasilitator, notulis, moderator, pengamat. Tim fasilitator terutama yang berperan
sebagai pengamat sebaiknya memperhatikan reaksi dan bahasa tubuh dari para peserta,
untuk menjadikan masukan yang akan memperkaya hasil focus group discussion.
1.7 Langkah – langkah pelaksanaan focus group discussion
1. Fasilitator menyiapkan diri dengan pengetahuan tentang kondisi wilayah, minimal
dari data sekunder atau hasil social mapping, serta menentukan targetfocus group
discussion yang hendak dicapai berkaitan dengan topik .
2. Fasilitator menciptakan suasana yang nyaman bagi semua peserta untuk
berdiskusi, bertegur sapa dan bersilaturahmi dengan semua peserta.
3. Fasilitator/ moderator meminta kesepakatan dari peserta tentang topik yang akan
commit to user
4. Mederator meminta peserta untuk menceritakan tentang kondisi dan memberikan
kesempatan yang sama kepada semua peserta. Sebagai moderator, fasilitator
mengatur jalannya diskusi agar peserta tidak saling berebut bicara.
5. Selanjutnya, moderator mengklarifikasi dan merumuskan jawaban dari peserta.
6. Moderator memberikan pertanyaan kunci berikutnya dengan berdasarkan pada
jawaban peserta, bagaimana karakteristik menurut pendapat peserta.
7. Moderator mengklarifikasi dan merumuskan jawaban peserta.
8. Moderator mengklarifikasi dan merumuskan jawaban peserta.
9. Moderator mengajukan pertanyaan kunci, dimana lokasi dan penduduk yang
termasuk golongan miskin menurut pendapat peserta.
10. Moderator mengklarifikasi dan merumuskan jawaban peserta.
1.8 Persiapan focus group discussion
1. Mempersiapkan undangan
Penting dalam penyelenggaraan focus group discussion untuk menghadirkan peserta yang homogen, sesuai dengan informasi yang ingin digali artinya memiliki
kesamaan tingkat pendidikan, pekerjaan, profesi, jenis kelamin dan sebagainya.
Dalam undangan perlu dijelaskan tentang identitas lembaga yang mengadakan focus group discussion dan tujuan, rencana focus group discussion mengenai tanggal, jam, tempat dan lamanya pertemuan, meminta pada calon peserta untuk
berpartisipasi dalamfocus group discussion dan jelaskan pentingnya kontribusi
commit to user
2. Mempersiapkan fasilitator
Penting bagi fasilitator untuk mempersiapkan petunjuk diskusi agar lebih
terarah dan terfokus berupa sejumlah daftar pertanyaan yang bersifat terbuka,
terstruktur dan mengalir teratur dari awal sampai akhir. Peranan fasilitator adalah:
a. Menjelaskan tujuan dan topik focus group discussion
Fasilitator tidak perlu seorang ahli mengenai substansi dari topik tertentu. Yang
penting adalah dia harus memahami topik diskusi untuk dapat menguasai
pertanyaan, selain itu dia harus mampu memancing dan mendorong peserta agar
dapat mengeluarkan pendapatnya.
b. Mengarahkan kelompok bukan diarahkan oleh kelompok.
Tugas utama fasilitator adalah mengajukan pertanyaan dan harus netral
terhadap jawaban peserta. Tekankan bahwa tidak ada penilaian benar atau salah
terhadap jawaban peserta. Fasilitator menampung jawaban peserta tidak boleh
menimpali dengan kata setuju atau tidak setuju terhadap jawaban peserta.
c. Amati peserta atau tanggap terhadap reaksi peserta.
Mendorong peserta untuk berpartisipasi secara aktif dalam diskusi dan jangan
dibiarkan ada peserta yang mendominasi.
d. Ciptakan hubungan baik dengan peserta agar dapat menggali jawaban dan
memberi komentar lebih dalam.
e. Bersikap fleksibel dan terbuka terhadap saran dan perubahan.
f. Amati komunikasi non verbal antar peserta dan tanggap terhadap hal tersebut.
g. Pelihara nada sura dalam mengajukan pertanyaan agar selalu terkesan
commit to user
3. Mempersiapkan petugas pencatat (notulen)
Tugas notulen selain mencatat hasil diskusi secara deskriptif apa adanya tanpa
dicampuri pikiran dan kesimpulan notulis sendiri, juga mengamati proses diskusi
berlangsung dan mencatat proses diskusi berlangsung sehubungan dengan
komunikasi nonverbal diantara peserta diskusi. Hal-hal yang perlu dicatat notulen:
a. Tanggal pertemuan dan waktu mulai dan berkhirnya diskusi.
b. Nama dan jumlah peserta diskusi, jenis kelamin, umur, pendidikan serta
identitas dan informasi lain yang mungkin bisa berpengaruh terhadap aktivitas
peserta.
c. Deskripsi umum mengenai suasana pertemuan, tingkat partisipasi peserta,
adakah peserta yang mendominasi kelompok atau peserta yang kurang
berpartisipasi dan sebagainya.
d. Deskripsi mengenai tempat dan ruangan pertemuan, apakah suasana ruangan
cukup nyaman dan mendukung keefektifan pertemuan ataukah sebaliknya.
e. Notulen juga perlu mengingatkan fasilitator bila ada pertanyaan yang
terlupakan atau juga mengusulkan pertanyaan baru sesuai dengan situasi yang
bekembang dalam diskusi.
1.9 Pelaksanaan focus group discussion
1. Persiapan penyelenggaraan focus group discussion, fasilitator dan notulis harus datang tepat waktu sebelum peserta datang dan sebaiknya berbincang secara
informal dengan peserta. Ambillah kesempatan ini untuk mengenal nama peserta
dan yang menjadi perhatian mereka. Fasilitator menyiapkan tempat duduk peserta
secara melingkar bersama fasilitator, sehingga peserta merasa samarata dan
commit to user
fasilitator menjaga agar tidak ada interupsi dari luar forum focus group discussion. Semua perlengkapan focus group discussion dipersiapkan misalnya kaset, baterai, petunjuk diskusi dan sebagainya.
2. Pembukaan focus group discussion
Pada waktu membuka diskusi fasilitator memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jelaskan tujuan diadakan focus group discussion serta perkenalkan nama fasilitator serta notulis dan peranannya masing-masing.
b. Minta peserta memperkenalkan diri dan fasilitator harus cepat mengingat
nama peserta dan menggunakannya pada waktu berbicara dengan peserta.
c. Jelaskan bahwa pertemuan terebut tidak bertujuan untuk memberikan
ceramah tetapi untuk mengumpulkan pendapat dari peserta. Tekankan
bahwa fasilitator ingin belajar dari peserta.
d. Tekankan bahwa waktu fasilitator mengajukan pertanyaan jangan berebutan
menjawabnya pada waktu yang sama.
e. Mulailah pertemuan dengan mengajukan pertanyaaan yang sifatnya umum
yang tidak berkaitan dengan topik.
1.10 Teknik pengelolaanfocus group discussion
1. Klarifikasi, sesudah peserta menjawab pertanyaan fasilitator dapat mengulangi
jawaban peserta dalam bentuk pertanyaan untuk meminta penjelasan lebih lanjut.
Misalnya apakah saudara dapat menjelaskan lebih lanjut tentang hal tesebut.
2. Reorientasi, agar supaya diskusi hidup dan menarik. Teknik reorientasi harus
efektif. Fasilitator dapat menggunakan jawaban seorang peserta untuk ditanyakan
commit to user
3. Kehadiran orang ahli atau orang berpengaruh, usahakan agar focus group discussion
tidak dihadiri oleh ahli atau orang yang berpengaruh, tetapi jika tidak dapat
dihindari mohon kepada mereka untuk diam dan mendengarkan diskusi dan jika ada
ide atau saran bisa dikemukakan kepada fasilitator setelah selasai diskusi.
4. Terhadap peserta dominan, apabila ada peserta dominan maka fasilitator harus lebih
banyak mengalihkan perhatian kepada peserta lain agar lebih berpatisipasi sehingga
tidak mendorongnya untuk memberikan jawaban terus menerus. Kalau tidak
berhasil maka secara sopan fasilitator dapat menyatakan kepadanya untuk
memberikan kesempatan kepada peserta lain berbicara.
5. Terhadap peserta yang diam, agar peserta yang diam mau berpartisipasi maka
sebaiknya memberikan perhatian yang banyak kepadanya dengan selalu
menyebutkan namanya dan mengajukan pertanyaan.
6. Penggunaan gambar dan foto, dalam melakukan focus group discussion fasilitator dapat menggunakan foto atau gambar. misalnya foto anak kurang gizi dan
menanyakan “Bagaimana keadaan anak tersebut? Apa yang harus ibu lakukan?”
1.11 Penutupan focus group discussion
Untuk menyimpulkan pertemuan focus group discussion ini, fasilitator sebaiknya memperhatikan hal – hal sebagai berikut:
1. Jelaskan bahwa pertemuan sudah selesai. Tanyakan pada peserta apakah masih
ada lagi sesuatu yang ingin disampaikan. Komentar yang sesuai masih dapat digali
lebih mendalam lagi.
2. Ucapkan terimakasih kepada peserta untuk partisipasinya dan nyatakan bahwa
ide-ide mereka sangat berguna utuk penyusunan program atau untuk merancang
commit to user
dan notulis harus bertemu untuk melengkapi dan mengklarifikasi catatan hasil
diskusi.
1.12 Keuntungan teknik focus group discussion
1. Kekuatan
a. Sinergisme dan Social Support, suatu kelompok mampu mengahasilkan informasi, pandangan yang lebih luas sehingga mampu memberikan motivasi
antar anggota kelompok dalam menyampaikan perasaan dan pikiran.
b. Snowballing/ Social Cohesivness, pendapat yang muncul secara acak dari seorang peserta dapat memacu reaksi berantai dari peserta lain sehingga
menghasilkan ide baru.
c. Stimulation/ Social Cohesiveness, pengalaman dalam kelompok sendiri merupakan sesuatu yang menyenangkan dan mendorong partisipasi.
d. Ventilasi (Pelepasan) dan Security, secara individu peserta merasa aman di dalam kelompok dan merasa bebas mengutarakan perasaan dan pikirannya.
e. Spontanitas, tidak diharuskan setiap individu untuk menjawab setiap
pertanyaan, siapa saja yang secara spontan mempunyai ide jawaban
dipersilakan menyumbangkan idenya, sehingga jawaban yang diperoleh lebih
memiliki arti, karena melalui suatu proses kelompok secara spontan.
2. Konsep Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara terencana
pada diri individu, kelompok atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam
commit to user
kelompok atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu, dan
dari tidak mampu mengatasi masalah kesehatan sendiri menjadi mandiri.
Dalam keperawatan pendidikan kesehatan merupakan satu bentuk intervensi
keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok atau
masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran,
yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik.
2.1 Definisi Pendidikan Kesehatan
Menurut Green (1972) yang dikutip Notoatmodjo (2003), mengemukakan
bahwa pendidikan kesehatan adalah istilah yang diterapkan pada penggunaan proses
pendidikan secara terencana untuk mencapai tujuan kesehatan yang meliputi beberapa
kombinasi dan kesempatan pembelajaran. Nyswander (1947) yang dikutip
Notoadmodjo (2003) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah perubahan
proses perilaku yang dinamis, bukan proses pemindahan materi dari seseorang ke
orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur.
Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan
merupakan suatu proses perubahan perilaku yang dinamis dengan tujuan mengubah
atau mempengaruhi perilaku manusia yang meliputi komponen pengetahuan, sikap
ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat secara individu,
kelompok atau masyarakat serta merupakan komponen dari program kesehatan (Suliha
et al., 2002).
2.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Pada dasarnya Pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah pemahaman
individu, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan agar menjadikan kesehatan
commit to user
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai (Suliha
et al., 2002).
2.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang Lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara
lain dimensi sasaran pendidikan, tempat pelaksanaan pendidikan, dan tingkat
pelayanan pendidikan kesehatan.
2.3.1 Sasaran pendidikan kesehatan
1. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
2. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
3. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat.
2.3.2 Tempat pelaksananaan pendidikan
1. Pendidikan kesehatan di sekolah.
2. Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan.
3. Pendidikan kesehatan di tempat kerja.
2.3.3 Tingkat pelayanan pendidikan kesehatan
Dalam dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five level of prevention) : 1. Promosi kesehatan (Health Promotion).
2. Perlindungan Kesehatan (Spesific Protection).
3. Diagnosa dini dan pengobatan segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment).
commit to user
2.4 Pendidikan Kesehatan sebagai Proses Perubahan Perilaku
Pengubahan perilaku mencakup tiga ranah perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan
ketrampilan memalui proses pendidikan kesehatan. Hasil perubahan pengubahan
perilaku yang diharapkan melalui proses pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah
perilaku sehat. Perilaku sehat dapat berupa emosi, pengetahuan, pikiran, keinginan,
tindakan nyata dari individu, kelompok dan masyarakat (Suliha et al., 2002).
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sehat
Perilaku sehat dapat terbentuk karena berbagai pengaruh atau rangsangan yang
berupa pengetahun, sikap, pengalaman, keyakinan, sosial, budaya, sarana fisik.
Pengaruh atau rangsangan itu bersifat internal dan eksternal, dan diklasifikasikan
menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku sehat, yaitu faktor predisposisi
(predispossing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor pendorong ( reinforcing factors).
Faktor predisposisi merupakan faktor internal yang ada pada diri individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku
seperti pengetahuan, sikap, nilai, persepsi dan keakinan.
Faktor pemungkin merupakan faktor yang memungkinkan individu berperilaku,
karena tersedianya sumber daya, keterjangkauan, rujukan dan ketrampilan.
Faktor penguat merupakan faktor yang menguatkan perilaku, seperti sikap dan
ketrampilan petugas kesehatan, teman sebaya, orang tua dan majikan (Suliha et al.,
commit to user
2.6 Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Kesehatan
Metode pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan pendekatan yang
digunakan dalam proses pendidikan untuk penyampaian pesan kepada sasaran
pendidikan. Suatu metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan dipilih
berdasarkan tujuan pendidikan kesehatan, kemampuan perawat sebagai tenaga
pengajar, kemampuan sasaran, besarnya kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan
kesehatan, ketersediaan fasilitas pendukung.
2.6.1 Metode Ceramah
Ceramah adalah pidato yang disampaikan seorang pembicara di depan
sekelompok orang. Metode ceramah digunakan pada sasaran belajar yang mempunyai
perhatian selektif, sasaran belajar mempunyai lingkup perhatian yang terbatas, sasaran
belajar memerlukan informasi yang katagoris atau sistematis, sasaran belajar perlu
menyimpan informasi, sasaran belajar perlu menggunakan informasi yang diterima.
2.6.2 Metode Diskusi Kelompok
Diskusi kelompok adalah percakapan yang direncanakan atau dipersiapkan
diantara tiga orang atau lebih tentang topik tertentu dengan seorang pemimpin diskusi.
Metode diskusi kelompok digunakan bila sasaran pendidikan kesehatan diharapkan:
1. Dapat saling mengemukakan pendapat.
2. Dapat mengenal dan mengolah problem kesehatan yang dihadapi.
3. Mengharapkan suasana informal.
4. Diperoleh pendapat dari orang – orang yang tidak suka bicara.
commit to user
2.6.3 Metode Panel
Panel adalah pembicaraan yang direncakana didepan peserta tentang sebuah
topik dan diperlukan tiga panelis atau lebih serta diperlukan seorang pemimpin.
Metode panel digunakan bila :
1. Pada waktu mengemukakan pendapat yang berbeda tentang suatu topik.
2. Jika tersedia panelis dan moderator yang memenuhi persyaratan.
3. Jika topik pembicaraan terlalu luas untuk didiskusikan dalam kelompok.
4. Jika peserta tidak diharapkan memberikan tanggapan secara verbal dalam diskusi.
2.6.4 Metode Forum Panel
Forum panel adalah panel yang didalamnya peserta perpartisipasi dalam diskusi.
Metode forum panel digunakan bila:
1. Jika ingin menggabungkan penyajian topik dengan reaksi peserta.
2. Jika anggota kelompok diharapkan memberikan reaksi pada diskusi.
3. Jika tersedia waktu yang cukup.
4. Jika peserta mengajukan pandangan yang berbeda-beda.
2.6.5 Metode Permainan Peran
Permainan peran adalah pemeranan sebuah situasi dalam kehidupan manusia
dengan tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk dipakai
sebagai bahan analisis oleh kelompok. Metode ini digunakan apabila:
1. Peserta perlu mengetahui pandangan yang berlawanan.
2. Peserta mempunyai kemampuan untuk melakukan metode tersebut.
3. Pada waktu membantu peserta memahami suatu masalah.
4. Jika akan mengubah sikap, pengaruh emosi dapat membantu dalam penyajian
commit to user
5. Untuk pemecahan masalah.
3. Metode Simposium.
Symposium adalah serangkaian pidato pendek di depan peserta dengan seorang
pemimpin. Pidato tersebut mengemukanan aspek yang berbeda dari topik tertentu.
Metode simposium digunakan bila:
1. Untuk mengemukakan aspek yang berbeda dari topik tertentu.
2. Pada kelompok besar.
3. Kelompok itu memerlukan keterangan ringkas.
4. Jika ada pembicara yang memenuhi syarat.
5. Jika tidak memerlukan reaksi peserta.
6. Ketika pokok pembicaraan sudah ditentukan.
4. Metode Demonstrasi.
Metode demonstrasi adalah pembelajaran yang menyajikan suatu p;rosedur atau
tugas, cara menggunakan alat, cara beinteraksi. Demonstrasi dapat dilakukan langsung
atau menggunakan media seperti video dan film. Metode demonstrasi digunakan
apabila:
1. Jika memerlukan contoh prosedur atau tugas dengan benar.
2. Apabila tersedia alat – alat peraga.
3. Bila tersedia tenaga pengajar yang terampil.
4. Membandingkan suatu cara dengan cara yang lain.
5. Untuk melihat serta kebenaran sesuatu, bila berhubungan dengan mengatur
commit to user
3. Koping Individu
3.1 Definisi Mekanisme Koping
Koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stres termasuk
upaya dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri dari masalah
(Stuart dan Sundeen, 2005). Menurut Keliat (1999), koping adalah cara yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta
respons terhadap situasi yang mengancam. Lazarus (2000) mendefinisikan koping
sebagai perubahan kognitif dan perilaku secara tetap untuk mengatasi tuntutan internal
ataupun ekternal yang melebihi sumber individu.
Dari definisi tersebut maka yang disebut koping adalah suatu cara yang digunakan
individu untuk menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi secara kognitif dan perilaku. Koping tidak selalu berarti reaksi dalam
menyelesaikan masalah, namun juga meliputi upaya menghindari, mentoleransi,
meminimalkan atau menerima kondisi yang penuh dengan tekanan tersebut.
Koping dibagi menjadi dua yaitu mekanisme koping adaptif dan maladaptif
(Kozier, et al. 2004). Koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan (Stuart dan Sundeen,
2005), seperti relaksasi, berbicara dengan orang lain, latihan dan aktifitas yang
konstruktif serta memecahkan masalah secara efektif. Koping ini berfokus pada
masalah dan bersifat aktif (Lazarus, 2000). Koping maladaptif adalah mekanisme
koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Yang termasuk koping maladaptif
commit to user
maladaptif yang dilakukan wanita menopause dapat membawa dampak yang cukup
serius seperti terjadinya stres dan depresi pada wanita.
3.2 Beberapa sumber koping pada wanita menopause (Kozier, et al, 2004)
3.2.1 Sumber Internal.
Sumber internal dipengaruhi oleh karakter seseorang, meliputi kesehatan dan
energi, sistem kepercayaan, komitmen atau tujuan hidup, dan perasaan seseorang
seperti: harga diri, pengetahuan, keterampilan pemecahan masalah, dan keterampilan
sosial.
3.2.2 Sumber eksternal
Sumber eksterna meliputi tiga kategori yaitu: Pertama, kategori informasi yang
membuat orang percaya bahwa dirinya diperhatikan atau dicintai (dukungan
emosional). Kedua, kategori informasi yan membuat seseorang merasa bahwa dirinya
dianggap atau dihargai (dukungan harga diri); Ketiga kategori informasi yang
membuat seseorang merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari jaringan komunikasi
dan saling ketergantungan.
Fiset dan Rees (2006), mengatakan bahwa hipnosis, akupuntur, hidroterapi,
aromaterapi, terapi cahaya, terapi musik, massage, support group, dapat digunakan sebagai cara dalam mengatasi gangguan emosional saat menopause. Gangguan atau
keluhan fisik yang timbul saat menopause dapat dikurangi dengan berbagai cara
seperti self help, terapi komplementer ataupun pengobatan medis (terapi sulih hormon) (Stoppard, 2002).
commit to user
vitamin E, relaksasi. Gangguan tidur dapat dikurangi dengan mandi air hangat, minum
susu sebelum tidur, menggunakan baju tidur dari katun, latihan setiap hari. Pencegahan
osteoporosis dapat dilakukan dengan olahraga, konsumsi vitamin D dan kalsium, diet
yang tepat. Sedangkan untuk mencegah penyakit jantung dapat dilakukan dengan diet,
olahraga, konsumsi vitamin E dan C, menghindari rokok, dan mempertahankan berat
badan agar stabil. Penggunaan lotion berbahan dasar air dapat mengurangi nyeri saat
intercourse (Leventhal, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Reynold tahun 2000 menyatakan bahwa wanita
bekerja mengenakan pakaian yang terang dan berlapis, berbicara dengan teman, dan
membawa kipas angin mini dalam tasnya sebagai cara mengatasi keluhan hot flushes. Wanita Cina menggunakan pengobatan herbal untuk mengontrol keluhan yang dialami
saat menopause (Zhao, 2003). Pengobatan herbal dilakukan juga oleh wanita Q’eqchi
Maya (Michel, et al. 2007).Zhao (2003) menemukan bahwa wanita Cina mengunjungi
dokter dikarenakan mereka tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya ketika menopause
bukan dikarenakan karena mengalami keluhan yang berat. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Nagata (2004), menyatakan bahwa konsumsi kacang-kacangan atau
fitoestrogen dapat mengurangi keluhan saat menopause.
3.3 Konsep Stres
Stres adalah suatu ketidakseimbangan diri/ jiwa dan realitas kehidupan setiap
hari yang tidak dapat dihindari akan perubahan yang memerlukan penyesuaian. Sering
dianggap sebagai kejadian atau perubahan negatif yang dapat menimbulkan stres,
seperti cedera, sakit atau kematian orang yag dicintai, putus cinta Perubahan positif
commit to user
Mekanisme perlindungan diri otomatis dan segera aktivasi sistemm syaraf dan
endokrin fight dan flight responss mekanik, kimia dan termal: selular, humoral/ endokrin, saraf.
3.3.1 Tahapan stres
1. Alarm reaction: reaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor.
2. Stage of resistance: tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan darah dan curah jantung kembali normal.
3. Stage of exhaustion: terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi menipis.
4. Tipe stresor
a. Stresor internal misalnya tumor, cacat bawaan, hipertensi.
b. Stresor eksternalmisalnya marah kepada teman, konflik dengan orang tua.
c. Stesor fisik misalnya overdosis, virus, luka, suhu.
d. Stesor psikologis misalnya takut operasi, cemas terhadap operasi, dan
berduka karena kematian orang tua.
(Stuart dan Sundeen, 2005) menyatakan dalam mengatasi stresor pada dapat
dilakukan dengan cara:
1. Individu
a. Kenali diri sendiri.
b. Turunkan kecemasan.
c. Tingkatkan harga diri.
d. Persiapan diri.
commit to user
2. Dukungan sosial (keluarga, teman dan masyarakat)
a. Pemberian dukungan terhadap peningkatan kemampuan kognitif.
b. Ciptakan lingkungan keluarga yang sehat, misalnya waktu berdikusi dengan
anggota keluarganya.
c. Berikan bimbingan mental dan spiritual untuk individu tersebut dari keluarga.
d. Berikan bimbingan khusus untuk individu, misalnya konseling.
5. Homeostatis dan faktor-faktornya.
Homeostatis yaitu mekanisme fisiologis yang bervariasi dalam tubuh
individu untuk memelihara keseimbangan dalam lingkungan internal,
dipengaruhi oleh beberapa faktor di bawah ini: faktor genetik, fisik dan kimiawi,
mikroorganisme dan parasit, psikologik, faktor kultural, migrasi, ekologik,
pekerjaan.
6. Mekanisme pertahanan ego/ mekanisme koping individu.
Mekanisme pertahanan ego yang sering disebut sebagai mekanisme
pertahanan mental. Adapun mekanisme pertahanan ego adalah sebagai berikut:
a. Kompensasi, proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri
dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan atau kelebihan yang
dimiliki.
b. Penyangkalan (denial), menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah
yang paling sederhana dan primitif.
commit to user
d. Disosiasi, pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari
kesadaran atau identitasnya.
e. Identifikasi, proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang
dikagumi berupaya dengan mengambil/ menirukan pikiran-pikiran, perilaku,
dan selera orang tersebut.
f. Intelektualisasi, pengguna logika dan alasan berlebihan untuk menghindari
pengalaman yang mengganggu perasaannya,
g. Introyeksi, suatu jenis identifikasi yang kuat dimana seseorang mengambil
atau melebur nilai-nilai dan kualitas seseorang atau suatu kelompok ke
dalam struktur egonya sendiri, merupakan hati nurani.
h. Isolasi, pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang mengganggu
dapat bersifat sementara atau dalam jangka waktu yang lama.
i. Proyeksi, pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada
orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak
dapat ditoleransi.
j. Rasionalisasi, mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat
diterima masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan
motif yang tidak dapat diterima.
k. Reaksi formasi, pengembangan sikap dan pola perilaku yang dia sadari,
yang bertentangan dengan yang sebenarnya dirasakan atau ingin dilakukan.
l. Regresi, kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan cirri
khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
m. Represi, pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau
commit to user
merupakan pertahanan yang primer yang cenderung diperkuat oleh
mekanisme lain.
n. Pemisahan (splitting), sikap mengelompokkan orang atau keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk, kegagalan untuk memadukan
nilai-nilai positif dan negatif dalam diri sendiri.
o. Sublimasi, penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam
penyaluran secara normal.
p. Supresi, suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan
tetapi sebetulnya merupakan suatu analog represi yang disadari.
Mekanisme koping pada keadaan gangguan seksualitas, dikategorikan
sebagai koping adaptif adalah fantasi, sedangkan koping maladaptif adalah
proyeksi, penyangkalan dan rasionalisasi (Stuart dan Sundeen, 2005).
7. Faktor – faktor yang memengaruhi efek stresor
a. Sifat stresor, stresor yang sama memberikan arti yang berbeda bagi
seseorang.
b. Jumlah stresor pada waktu yang bersamaan, sehingga yang kecil dapat
menjadi berat.
c. Lamanya stresor. Semakin lama seseorang terpapar stresor maka orang
tersebut mengalami penurunan kemampuan dalam mengatasi masalah
karena kelelahan.
d. Usia dan perkembangan
e. Jenis kelamin
commit to user
g. Status kesehatan secara umum
h. Support system (Stuart dan Sundeen, 2005). 8. Metode koping
Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi
masalah psikologis, dua metode tersebut antara lain:
a. Metode koping jangka panjang, cara ini adalah konstruktif dan merupakan
cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis dalam
kurun waktu yang lama, misalnya berbicara dengan orang lain, mencoba
mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang
dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi
dengan kekuatan supranatural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi
ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi
situasi, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.
b. Metode koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stres
dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif untuk
digunakan dalam jangka panjang, misalnya menggunakan alkohol atau
obat, melamun dan fantasi, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang
tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan
kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok, menangis, beralih pada
commit to user
8.1.1 Faktor yang mengubah pengalaman stres
Beberapa faktor yang dapat mengubah pengalaman stres seseorang antara lain:
1. Variabel individu yang meliputi umur, tahap kehidupan, jenis kelamin,
temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status
ekonomi dan kondisi fisik.
2. Karakteristik kepribadian: introvert–ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian ketabahan, kekebalan, ketahanan.
3. Variabel sosial - kognitif: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial,
kontrol pribadi yang dirasakan; hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan
sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial, serta strategi koping yang
digunakan.
3.4 Strategi Koping
Seseorang dalam beradaptasi terhadap stresor akan menggunakan berbagai
macam koping. Taylor (1991) mengungkapkan 8 strategi koping yang berbeda antara
lain: konfrontasi, mencari dukungan sosial, merencanakan pemecahan masalah
dikaitkan dengan problem - focused coping, kontrol diri, membuat jarak, penilaian kembali secara positif, menerima tanggung jawab, menghindar. Strategi koping
menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang
penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi koping merupakan suatu proses dimana
individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat
dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif
commit to user
3.5 Jenis Strategi koping
Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh
individu yaitu: problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres dan emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang
akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan (Stuart dan
Sundeen, 2005).
Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut
untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup
kehidupan sehari-hari. Faktor yang menentukan strategi yang paling banyak atau
sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana
tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang
cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan
dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya akan cenderung menggunakan strategi
emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
tergolong berat seperti kanker atau AIDS.
Hampir senada dengan penggolongan jenis koping seperti dikemukakan di atas,
dalam literatur tentang koping juga dikenal dua strategi koping, yaitu active and avoidant coping strategy. Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping
commit to user
dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau
situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada
avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat
atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan.
Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri
tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap
ancaman.
3.6 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh
sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik, keterampilan memecahkan
masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.
1. Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam
usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup
besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif, keyakinan menjadi sumber daya psikologis
yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping tipe: problem-solving focused coping 3. Keterampilan Memecahkan masalah, keterampilan ini meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan
untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
commit to user
4. Keterampilan sosial, keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi
dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
berlaku dimasyarakat.
5. Dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan
informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
6. Materi, dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.
3.7 Tinjauan teoritis the roy adaptation model (Manusia sebagai adaptif system)
Roy (1991), mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem yang dapat
menyesuaikan diri (adaptif system). Sebagai sistem yang dapat menyesuaikan diri manusia dapat digambarkan secara holistik (bio, psiko, sosial) sebagai satu kesatuan
yang mempunyai input (masukan), control, feedback processes dan output (keluaran/ hasil). Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan
cara-cara penyesuaian diri. Lebih spesifik manusia didefinisikan sebagai sebuah sistemm
yang dapat menyesuaikan diri dengan aktifitas kognator dan regulator untuk
mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara penyesuaian yaitu: fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi.
Dalam model adaptasi keperawatan menurut Calista Roy (1991) manusia
dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup, terbuka dapat menyesuaikan diri dari
perubahan suatu unsur, zat, materi yang ada dilingkungan. Sebagai sistem yang dapat
menyesuikan diri manusia dapat digambarkan dalam karakteristik sistemm, manusia
dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan antara unit unit fungsionil atau
commit to user
manusia dapat juga dijelaskan dalam istilah input, kontrol dan proses umpan balik dan
output yang akan diuraikan di bawah ini :
1. Input (stimulus) pada manusia sebagai suatu sistem yang dapat menyesuaikan diri:
yaitu dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri
individu itu sendiri. Input atau stimulus yang masuk, dimana umpan baliknya
dapat berlawanan atau responsnya yang berubah dari suatu stimulus. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda dan
sesuai dari besarnya stimulus yang dapat ditoleransi oleh manusia.
2. Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sundeen, 2005). Manusia sebagai
suatu sistemm yang dapat menyesuaikan diri disebut mekanisme koping. Dua
mekanisme koping yang telah diidentifikasikan yaitu: subsistem regulator dan
subsistem kognator
3. Output dari manusia sebagai suatu sistemm adaptif adalah respons adaptif (dapat
menyesuaikan diri) dan respons inefektif (tidak dapat menyesuaikan diri). Respons
yang adaptif itu mempertahankan atau meningkatkan intergritas, sedangkan
respons respons yang tidak efektif atau maladaptif itu mengganggu integritas.
Melalui proses umpan balik, respons-respons itu selanjutnya akan menjadi input
(masukan) kembali pada manusia sebagai suatu sistemm. Koping yang tidak
konstruktif/ tidak efektif berdampak terhadap respons sakit/ maladaptif, jika klien
masuk pada zona maladaptif maka klien mempunyai masalah keperawatan
commit to user
4. Menopause
Kata “ menopause” terdiri dari dua kata yang berasal dari kata Yunani yang
berarti “bulan” dan “penghentian sementara” yang lebih tepat disebut dengan
“menocease”. Secara medis istilah menopause berarti “menocease” karena berdasarkan
definisinya maka menopause itu berarti berhentinya masa menstruasi (Wirakusumah,
2004). Menurut Manuaba (2005) menopause di bagi dalam beberapa tahapan yaitu
sebagai berikut:
1. Pre menopause (klimakterium)
Pada fase ini seorang wanita akan mengalami kekacauan pola menstruasi,
terjadi perubahan psikologis/ kejiwaan, terjadi perubahan fisik berlangsung selama
antara 4- 5 tahun pada usia 48-55 tahun.
2. Fase menopause
Terhentinya menstruasi, perubahan dan keluhan psikologis dan fisik makin
menonjol, berlangsung sekitar 3-4 tahun pada usia antara 56-60 tahun.
3. Fase pasca menopause (senium)
Terjadi pada usia diatas 60 -65 tahun, wanita beradaptasi terhadap
perubahan psikologis dan fisik, keluhan makin berkurang.
Usia dari hari ke hari akan terus berjalan dan setiap orang seiring dengan
bertambahnya usia tidak akan lepas dari predikat tua. Bertambahnya usia maka tingkah
laku, cara berpakaian dan bentuk tubuh mengalami suatu perubahan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa menopause merupakan suatu proses
peralihan dari masa produktif menuju perubahan secara perlahan-lahan ke masa