• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tapak Liman ( Elephantopus scaber L.)

1. Sinonim

Asterocephalus cochinchinensis soreng, Scabiosa cochinchinensis Lour (Dalimartha, 2005).

2. Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiosperma Bangsa : Asterales Suku : Asteraceae Marga : Elephantopus

Jenis : Elephantopus scaber L. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

3. Nama Daerah

Tapak liman dan tutup bumi. 4. Morfologi Tanaman

Tanaman tapak liman termasuk terna tegak dengan rimpang yang menjalar, tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang kaku, berambut panjang dan rapat, dan bercabang. Daun berkumpul di bawah, membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar telur sungsang, panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan daun agak berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak, berbentuk bulat telur dan sangat tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala berbentuk jorong, lanset, sangat tajam, dan berselaput. Empat daun pembalut dibagian dalam panjang 10 mm berambut rapat. Panjang mahkota bunga 7 mm sampai 9 mm, berbentuk tabung, berwarna putih, ungu, kemerahan, dan ungu pucat. Buah merupakan buah longkah, panjang 4 mm, berambut; berambut kasar, melebar pada bagian pangkalnya, kaku, dan panjangnya 5 mm sampai 6 mm.

5. Khasiat

Daun tapak liman berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk, obat sariawan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), obat demam, peluruh kencing (diuretik) sedangkan akar dapat digunakan untuk mengobati malaria (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985).

6. Kandungan Kimia

Bagian tanaman tapak liman yang banyak mengandung senyawa metabolit sekunder adalah daun. Daun yang biasa yang digunakan adalah daun-daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda (Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985). Menurut Asmaliyah, dkk, (2010: 50), di dalam daun tapak liman terkandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol. Tapak liman dikenal mengandung sejumlah senyawa kimia seperti lipid, fitokimia, farmakeutik, dan pigmen. Sebagai contoh etil heksadekanoat, etil l-19, 12-oktadekadienoat, etil-(Z)-9-oktadekanoat, etil dekanoat,

deoxyelephantopin (iso-17,19-dihidrodeoxyelephantopin dan 17,19-

dihidrodeoxyelephantopin), isodeoxyelephantopin, elephantopin, triterpen, stigmasterol, stigmasterol glukosida, epifriedelinol dan lupeol (Avani & Neeta, 2005; Monalisa, 2010: 12). Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12).

a) Saponin

Saponin diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul

karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin steroid diekskresikan setelah konjugasi dengan asam glukoronida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintesis dari obat kortikosteroid. Contoh senyawa saponin steroid diantaranya Asparagosides (Asparagus officinalis), Avenocosides (Avena sativa), Disogenin (Dioscorea floribunda dan Trigonella foenum graceum). Sedangkan, saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat, dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan-amyirine. Contoh senyawa triterpen steroid adalah Asiaticoside (Centella asiatica), Bacoside (Bacopa monneira), dan Cyclamin (Cyclamen persicum).

Menurut Hartono (2011: 1), saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Ketika saponin direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan iritasi pada selaput lendir (Hartono, 2011: 1). Jika senyawa tersebut masuk ke dalam tubuh serangga akan menjadi racun kontak dan racun perut (Carino dan Rejesus, 1982). Racun kontak masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem syaraf sehingga dapat mengganggu aktivitas serangga (Trizelia, 2001; Petrus dan Ismaya, 2014: 168). Penelitian yang dilakukan Hidayati, dkk (2013: 98), menyatakan bahwa senyawa

saponin memasuki tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan efek sistemik. Penetrasi senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga, senyawa tersebut masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan kutikula. Hal tersebut menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak kehilangan air (Cottrell, 1987; Hidayati, dkk, 2013: 98).

Saponin dapat merendahkan tegangan permukaan. Terjadinya interaksi antara saponin dengan membran sel karena sifat aktif saponin pada permukaan sel mampu berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol. Kondisi tersebut menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sitoplasma yang berakibat pada kebocoran materi intraseluler dan menyebabkan lisis sel (Maisaroh, 2007). Jika sel lisis maka jaringan-jaringan yang ada pada sel rusak dan tidak bisa saling berhubungan dengan jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan larva mati (Widodo, 2005).

Selain masuk melalui kutikula, dapat juga melalui makanan yang berpengaruh terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi, di antaranya menyebabkan iritasi membran mukosa pada kerongkongan (Widodo, 2005; Kurniawan, dkk, 2013: 205-206). Saponin dapat menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang berakibat pada terganggunya sistem pencernaan, terhambatnya perkembangan dan menyebabkan kematian jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi (Widodo, 2005). Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan (Shahabuddin dan Flora, 2009: 152). Jika

dalam proses penyerapan makanan terganggu maka nutrisi yang diperoleh ulat tritip hanya sedikit sehingga menakibatkan kematian.

b) Flavanoid

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon, umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Flavonoid adalah pigmen tanaman untuk memproduksi warna bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada kelopak yang digunakan untuk menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir ada pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun, dan kulit luar batang (Mirna, dkk, 2013: 51).

Flavonoid merupakan senyawa fenol, bekerja dengan cara mendenaturasi protein (Hidayati, dkk, 2013: 98). Sastrodihardjo (1992), senyawa flavonoid dapat mempengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama. Senyawa tersebut merupakan racun kontak, karena masuk melalui membran sel sehingga memengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur perkembangan hama. Menurut Sastrodihardjo (1979), di dalam hemolimfa terdapat protein, jika protein terdenaturasi oleh flavonoid maka bahan makanan tidak bisa disalurkan dari alat pencernaan ke seluruh jaringan tubuh larva, sehingga larva akan kekurangan ATP dan mengakibatkan kematian (Hidayati, dkk, 2013: 98).

c) Minyak atsiri

Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae), merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid (Harborne, 1987; Monalisa, 2010: 12). Secara kimia terdapat 40 konstituen utama minyak atsiri yakni 13 jenis senyawa monoterpenoid (5,17 %), 17 jenis senyawa

sesqueterpenoid (13,95 %), dan 8 jenis senyawa chromene (71,05%). Dari 8 jenis senyawa chromene, terdapat Precocene I (6,7-dimetoksi-2,2-dimetilchromene) dan Precocene II (7-metoksi-2,2-dimetilchromene) (Adeleke, dkk, 2002; Susanto, 2010: 4). Senyawa Precocene I dan precocene II yang terkandung di dalam ekstrak tapak liman berfungsi sebagai anti hormon juvenil menyebabkan tergganggunya proses pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati dan mengalami metamorfosis dini (Prijono, 1999).

Dokumen terkait