• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS TEKS

A. Analisis Struktur

Teks MATC merupakan salah satu karya sastra Melayu klasik yang termasuk dalam ranah sastra kitab. Struktur teks yang terdapat dalam sastra kitab pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus. Teks MATC adalah sastra kitab yang berbentuk prosa dan memiliki struktur teks berupa struktur narasi. Struktur narasi atau struktur penyajian dalam sastra kitab pada umumnya menunjukkan struktur yang tetap, yaitu terdapat pendahuluan, isi, dan penutup.

Teks MATC terdiri dari 15 bab. Dari keseluruhan bab tersebut berisi mengenai ajaran-ajaran tasawuf. Selain itu terdapat pula penjelasan mengenai ajaran Islam pada umumnya. Berikut adalah penjelasan struktur narasi yang terdapat pada teks MATC.

A. Pendahuluan

Pendahuluan teks MATC terdiri atas pembukaan atau muqadimah, kata

“wa ba’du”, dan kepengarangan.

1A. Muqadimah

Pada bagian ini terdapat bacaan (a) basmalah, (b) bacaan hamdalah, dan (c) bacaan selawat secara berurutan kemudian diikuti dengan terjemahan secara bebas.

Bismi ‘l-Lāhi ‘r-Rachmāni ‘r-Rachīm. / Al-chamdu li ‘l-Lāhi

Rabbi ‘l-’ālamīn. Wa ‘l-’āqibatu li ‘l-Muttaqīna wa ‘sh-shalātu

/ wa ‘s-salāmu ’alā sayyidinā Muchammadin sayyidi ‘l-

mursalin wa ’alā alihi wa shachbi-Hi / ajmaīn. Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam. Bermula negeri / akhirat itu tertentu bagi orang yang takut akan Allah Taala. Dan rahmat /

commit to user

dan selamanya itu tertentu atas penghulu segala nabi yang mursal. / Dan atas segala keluarganya. Dan segala sahabatnya sekalian mereka itu (MATC h.2 br.1–7).

2A. Kata “wa ba’du”

Kata “wa ba’du” terdapat pada permulaan kalimat setelah bagian

muqadimah. Kata “wa ba’du” diterjemahkan dengan “adapun kemudian

dari itu” yaitu, “Wa ba’du…” (MATC h.2 br.8) yang diterjemahkan dengan, “Adapun kemudian dari itu…” (MATC h.2 br.9 ).

3A. Kepengarangan

Latar belakang penulisan teks pertama ini belum diketahui secara pasti. Pada pendahuluan hanya disebutkan bahwa teks tersebut dinamai dengan Manhaju ‘l-Atammi pada menyatakan segala bab hukum.

Pernyataan ini terdapat pada kutipan berikut, “Wa ba’du fahadzihi

risālatun musammātun bi Manha\ju\ ‘l-Atammi fī Tabwībi / ‘l-Chikam. Adapun kemudian dari itu maka inilah kitab yang dinamai // akan dia dengan Manhaju ‘l-Atammi pada menyatakan segala bab hukum…” (MATC h.2 br.8–9, h.3 br.1). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui pula bahwa teks pertama ini berjudul Manhaju ‘l-Atammi fī Tabwībi ‘l-

Chikam.

B. Isi

Teks MATC berisi 15 bab yang menjelaskan mengenai ajaran tasawuf, di samping terdapat juga ajaran-ajaran Islam pada umumnya. Ringkasan dari kelimabelas bab tersebut yaitu:

1B. Bābu ‘l-’Ilmi, yaitu bab yang membahas mengenai ilmu yang memberi manfaat

commit to user

2B. Bābu ‘t-Taubah, yaitu bab yang membicarakan hal-hal mengenai tobat 3B. Bābu ‘l-Ikhlasi fī ‘l-’Amali, yaitu bab yang membahas mengenai ikhlas

dalam berbuat amal

4B. Bābu Chikami fī ‘sh-Shalāt, yaitu bab yang membahas mengenai hikmah dalam salat

5B. Bābu ‘l-’Uzlati wa ‘l-Khumūl, yaitu bab yang membahas mengenai mengasingkan diri dalam rangka menjauhi kenikmatan duniawi

6B. Bābu Fīri ’Ayati ‘l-Waqti wa Ightināmih, yaitu bab yang membahas mengenai memelihara dan meramaikan waktu

7B. Bābu ‘dz-Dzikr, yaitu bab yang membahas mengenai adab zikir

8B. Bābu ‘l-Faqri wa ‘l-Fāqat, yaitu bab yang membahas mengenai keadaan fakir dan hajat

9B. Bābun fī Riyādlati ‘n-Nafsi wa ‘t-Tachdzīri ’an Dasā’isihā, yaitu bab yang membahas mengenai mensucikan nafas serta takut apabila mengotorinya 10B. Bābu I’tidali ‘l-Khaufi wa ‘r-Rijā’, yaitu bab yang membahas mengenai

keadaan antaara perasaan takut dan harap

11B. Bābu ‘r-Rajā’, yaitu bab yang membahas mengenai harap 12B. Bābu Adābi ‘d-Du’ā, yaitu bab yang membahas adab berdoa

13B. Bābu ‘t-Taslīmi li Amri ‘l-LāhiTa’ālā wa Tarki ‘l-Ikhtiyār, yaitu bab yang membahas tentang menyatakan taslīm bagi amri ‘l-Lāh dan meninggalkan ikhtiar

14B. Bābu ‘sh-Shabri ’alā ‘l-Balāyā wa ‘sy-Syada’id, yaitu bab yang membahas mengenai sabar atas segala bala dan kesukaran

commit to user

15B. Bābu Dzikri Khafī ’alā Thā’if wa Sunnatihi ’alā ‘l-’Ibād, yaitu bab yang membahas mengenai zikir khafī yang disunahkan bagi seorang hamba. C. Penutup

Tidak ditemukan bagian penutup.

Skema struktur narasi teks MATC adalah sebagai berikut.

A B

1A (a-b-c) – 2A – 3A - 1B – 2B – 3B – 4A – 5B – 6B – 7B – 8B – 9B – C

10B – 11B – 12B – 13B – 14B – 15B - (tidak terdapat penutup)

B. Tinjauan Tasawuf

Berdasarkan dari segi isinya, teks MATC adalah tergolong jenis naskah sastra kitab, yaitu naskah yang berisi mengenai teks-teks keagamaan. Secara keseluruhan, di dalam teks MATC banyak terdapat ajaran-ajaran tasawuf. Namun, karena teks MATC merupakan teks yang di dalamnya berupa kumpulan bab yang masing- masing menjelaskan mengenai hal yang berbeda, maka di antara bab-bab tersebut ada yang di dalamnya mengajarkan ajaran tasawuf dan ada yang mengajarkan ajaran Islam pada umumnya. Untuk itu, dalam analisis teks MATC ini akan dibedakan menjadi dua yaitu teks yang mengandung ajaran tasawuf dan teks yang mengandung ajaran Islam pada umumnya.

1. Teks yang Mengandung Ajaran Tasawuf

Secara keseluruhan, ajaran tasawuf yang terdapat dalam teks MATC termasuk dalam aliran Wahdatu ’sy-Syuhud, yaitu suatu aliran tasawuf yang masih mempertahankan adanya perbedaan yang esensi antara manusia sebagai

commit to user

makhluk dan Tuhan sebagai pencipta makhluk (Simuh, 1985:72; Asjwadie Sjukur, 1978:58 dalam Istadiyantha, 2002:399). Hal ini dapat diketahui dari bagian pendahuluan, baik pada teks pertama maupun teks ketiga. Teks pertama

pada bagian pendahuluan disebutkan, “Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian

alam. Bermula negeri / akhirat itu tertentu bagi orang yang takut akan Allah

Taala…” (MATC h.2 br.4–5) dan pendahuluan pada teks ketiga juga disebutkan,

“Ia jua Tuhan yang amat murah dalam negeri / dunia ini lagi yang amat

mengasihi ham[ba]-Nya yang <muk> / mukmin dalam negeri {akhirat} itu…”

(MATC h.58 br.3–5). Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pemahaman adanya perbedaan esensial antara manusia dengan Tuhan. Manusia adalah makhluk dan Allah adalah Tuhan, pencipta dari segala makhluk. Manusia sebagai makhluk menghaturkan puji-pujian kepada Allah Tuhan sekalian alam, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih bagi setiap hamba-Nya yang mukmin.

a. Bābu ‘l-’Ilmi

Bābu ‘l-’Ilmi yaitu bab yang membahas mengenai ilmu yang memberi manfaat. Menurut kaum sufi, kehidupan di alam ini penuh dengan rahasia- rahasia. Rahasia-rahasia itu tertutup oleh dinding-dinding. Di antara dinding- dinding itu ialah hawa nafsu kita sendiri, keinginan dan kemewahan hidup duniawi (Asmaran As., 2002:100). Dalam naskah disebutkan bahwa,

“Bermula ilmu yang memberi manfaat itu yaitu/ yang terhampar dalam hati cahayanya dan membawa akan hakikat dunia / (ini) dan akhirat (itu) dan membukakan pula ia daripada dinding hati / yang meneguhkan daripada

commit to user

paham” (MATC h.3 br.4–7). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diartikan bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang dapat membawa cahaya ke dalam hati, yaitu ilmu yang mampu menyucikan dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Selain itu, ilmu yang bermanfaat juga dapat membukakan dinding hati, mengarahkan diri ke jalan yang benar serta dapat mencegah diri agar terhindar dari hawa nafsu yang sesat.

Berkaitan dengan ilmu yang bermanfaat, Imam Al-Ghazali berpendapat sebagai berikut.

Pada diri manusia sekiranya cermin hatinya telah tebal dan berkarat oleh kotoran-kotoran dunia. Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu ke jalan akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin dari kotoran-kotoran tersebut yang telah menjadi penghalang dari pada Allah Taala. Membersihkan dan menyucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal kepada ajaran Nabi- Nabi alaihi ‘s-salām (Al-Ghazali Jilid 1, 2003:97).

Imam Al-Ghazali mengibaratkan hati bagaikan sebuah cermin, sedangkan hal-hal yang bersifat keduniawian adalah kotoran-kotoran yang menutupi cermin tersebut. Kotoran yang menutupi hati adalah menjadi penghalang atau dinding yang menjauhkan jarak antara manusia dengan Tuhannya, Allah SWT. Untuk membersihkannya dibutuhkan sebuah alat yang mampu menghilangkan kotoran-kotoran tersebut sehingga cermin kembali bersih dan mampu memancarkan sinar. Alat itulah yang disebut dengan ilmu. Bentuk dari pembersihan dan penyucian hati adalah dengan berpegang teguh terhadap ilmu yang mampu mengantarkan diri menuju jalan akhirat, yaitu segala hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dan nabi- nabi sebelumnya.

commit to user

b. Bābu‘l-’Uzlati wa ‘l-Khumūl

Bābu ‘l-’Uzlati wa ‘l-Khumūl yaitu bab yang membahas mengenai mengasingkan diri dalam rangka menjauhi kenikmatan duniawi. ’Uzlah berarti mengasingkan diri. Makna tersebut sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam kitab Ihya' ’Ulumiddin, disebutkan bahwa “Sesungguhnya

manusia mempunyai banyak perbedaan pendapat tentang pengasingan diri (‘l-’uzlah) dan percampur-bauran (‘l-mukhalathah) ...” (Al-Ghazali Jilid 2, 2003:446).

’Uzlah atau mengasingkan diri dari kehidupan dan nikmat duniawi memiliki manfaat dalam kehidupan beribadah seorang manusia. Hal ini

seperti yang tersebut di dalam teks, bahwa “Tiada memberi manfaat akan

hati suatu seperti mengasingkan diri yang / masuk dengan dia

kepada(mu)nya dan pikirnya…” (MATC h.17 br.2–3). Ada enam faedah atau manfaat dari mengasingkan diri yang terdapat dalam kitab Ihya’ ’Ulumiddin. Keenam faedah tersebut antara lain: dapat menggunakan seluruh waktu dalam hidup hanya untuk beribadah kepada Allah; dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, karena manusia sering terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat ketika sedang bercampur-baur dengan orang banyak (‘l-mukhalathah); terlepas dari segala fitnah dan permusuhan serta terpelihara jiwa dan agamanya; terlepas dari kejahatan manusia; dapat menahan segala keinginan manusia ketika melihat sesuatu yang lebih baik dari dirinya, sehingga waktu hanya digunakan untuk memperbaiki diri sendiri; dan terlepas daripada menyaksikan orang-orang yang berat perangainya dan kurang akal pikirannya (Al-Ghazali Jilid 2, 2003:461–491).

commit to user

c. Bābu ‘l-Faqri wa ‘l-Fāqat

Bābu ‘l-Faqri wa ‘l-Fāqat yaitu bab yang membahas mengenai fakir dan hajat. Fakir adalah keadaan seseorang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sedangkan hajat adalah keadaan seseorang yang mempunyai keperluan atau kepentingan.

Seorang yang telah mendalami ajaran tasawuf, maka ia akan memahami makna fakir lebih dari sekedar keadaan seseorang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Imam Al-Ghazali menyebut semua makhluk Allah adalah fakir, dan Allah adalah Satu, Tuhan Yang Maha Kaya. Setiap makhluk-Nya memerlukan kekekalan wujud dan kekekalan tersebut hanya diperolehnya berkat karunia dan kemurahan Allah SWT (Al-Ghazali Jilid 4, 2003:139). Pemahaman Imam Al-Ghazali mengenai fakir tersebut berdasarkan firman Allah Taala, yang artinya: “Allah itu serba cukup (Kaya)

dan kamu mempunyai keperluan (fakir) kepada-Nya” (QS Muhammad ayat

38).

Asmaran As. memiliki definisi fakir yang berbeda dengan Imam Al- Ghazali. Beliau mendefinisikan fakir sebagai berikut:

Faqr atau kefakiran berarti: (1) tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita, (2) tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, dan (3) tidak meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tapi tidak menolak. Faqir adalah orang yang bersifat faqr (Asmaran As., 2002:378).

Definisi fakir di atas lebih menggambarkan keadaan seseorang yang berusaha meninggalkan nafsu duniawi dan senantiasa menjaga dirinya dari harta yang berlebih karena mungkin akan membahayakan keimanannya. Jika seseorang telah berhasil menjaga diri dari ketiganya pengertian fakir

commit to user

tersebut, kemudian ia mengisi kehidupan dunianya hanya untuk beribadah kepada Allah, maka dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan zuhud. Asmaran As. mendefinisikan zuhud sebagai kondisi mental yang tidak terikat pada kehidupan duniawi dan kehidupan duniawi hanya diperlukan untuk kepentingan pengabdian kepada Allah (Asmaran As., 2002:405).

Fakir dan hajat adalah dua hal yang sama-sama menggambarkan seseorang dalam keadaan membutuhkan sesuatu. Meskipun demikian keduanya memiliki perbedaan. Hajat adalah keadaan seseorang yang sedang memiliki keperluan atau kepentingan. Di dalam teks disebutkan bahwa,

“…maka adalah sebab demikian itu karena / sangat hajat itu menghadapkan

hati mereka itu kepada Tuhan / mereka itu terkadang dengan samar dan terkadang dengan tan[p]a kata dan terkadang / dengan te\nang\ di bawah sifat

JalālChaqqTaala” (MATC h.23 br 2–5). Kutipan tersebut mengandung arti bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan hajat akan berdoa dan memohon kepada Allah agar dapat terpenuhi keperluan atau kepentingannya itu.

d. Bābun fī Riyādlati ‘n-Nafsi wa ‘t-Tachdzīri ’an Dasā’isihā

Bābun fī Riyādlati ‘n-Nafsi wa ‘t-Tachdzīri ’an Dasā’isihā yaitu bab yang membahas mengenai mensucikan nafas serta takut apabila mengotorinya. Mensucikan nafas di sini memiliki makna yang sama dengan mensucikan jiwa dari sifat-sifat tercela, seperti sifat takkabur (sombong),

’ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), chasad (dengki), su’u al-zann

(buruk sangka), bukhl (kikir), dan gadah (pemarah). Di dalam teks

commit to user

meninggalkan / rida akan nafas dan meninggalkan sifat kibir dan ujub dan riya dan / sumah dan chaqqul dan chasad…” (MATC h.25 br.13–15).

Menurut orang-orang sufi sumber kemaksiatan pada dasarnya ada dua. Pertama adalah maksiat lahir, yaitu sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut, dan mata. Kedua adalah maksiat batin, yaitu segala sifat tercela yang diperbuat oleh hati (Asmaran As., 2002:68). Mensucikan nafas berari mensucikan jiwa dari kemaksiatan yang bersumber dari batin, yaitu sifat-sifat tercela seperti yang telah disebutkan di atas.

Berkaitan dengan menyucikan nafas, Allah SWT. berfirman yang artinya, “Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan

rugilah orang yang mengotorinya” (QS Asy-Syams ayat 9–10). Berdasarkan

ayat tersebut dapat dikatakan bahwa orang yang tidak berusaha atau tidak dapat mensucikan jiwanya dari sifat-sifat tercela termasuk orang yang merugi.

e. Bābu I’tidali ‘l-Khaufi wa ‘r-Rijā’

Bābu I’tidali ‘l-Khaufi wa ‘r-Rijā’ yaitu bab yang membahas keadaan antara perasaan takut dan harap. Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir pengabdiannya kepada Allah kurang sempurna, sedangkan raja’ berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan hamba- hamba-Nya yang shaleh (Asmaran As., 2002:141–143). Dalam beribadah kepada Allah, seseorang hendaknya memadukan dan dapat menyeimbangkan antara perasaan takut berharap dan kepada Allah. Dua hal tersebut akan dapat membawa dampak yang baik bagi kualitas ibadah seseorang.

commit to user

Kemunculan perasaan takut dan harap dapat dipahami dari firman Allah dalam QS Al-An’ām ayat 165 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu amat

cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.” Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa perasaan takut bersumber dari keyakinan akan siksa Allah yang sangat cepat dan perasaan berharap itu muncul dari keyakinan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Imam Al-Ghazali mengibaratkan perasaan takut dan harap bagaikan dua sayap yang mampu membawa terbang orang-orang yang taat agama naik menuju ke setiap jenjang yang terpuji. Takut dan harap juga diibaratkan sebagai dua pisau yang dapat digunakan orang-orang yang taat beragama, ketika mereka berjalan di akhirat untuk memotong setiap tebing yang sulit didaki (Al-Ghazali Jilid 4, 2003:8). Perasaan takut dan harap yang tertanam pada diri seseorang akan mampu mendekatkan dia dengan Tuhannya. Ia akan senantiasa memperbaiki diri, selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.

Imam Al-Ghazali (dalam Asmaran As., 2002:142) membagi perasaan takut menjadi dua. Pertama, perasaan takut karena khawatir akan kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya. Kedua, perasaan takut terhadap siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Perasaan takut seperti itulah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.

commit to user

Berdasarkan tingkatannya, Imam Al-Qusyairi dengan mengutip perkataan Ali Daqaq membagi perasaan takut menjadi tiga, yaitu khauf,

hasyyah, dan haihah. Pertama khauf, yaitu bentuk takut dikarenakan iman,

sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya mereka

itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan- kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang

yang beriman” (QS li ’Imrān ayat 175). Kedua hasyyah, yaitu suatu bentuk takut yang disertai dengan membesarkan dan mengagungkan Allah. Hal ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Allah SWT. berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba- hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Pengampun” (QS Fāthir ayat 28). Ketiga haihah, yaitu rasa takut sebagai akibat dari marifah kepada Tuhan, seperti yang diterangkan Allah SWT

dalam QS li ’Imrān ayat 28 yang artinya, “Dan Allah memperingatkan

kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”

(Asmaran As., 2002:143). f. Bābu ‘r-Rajā’

Bābu ‘r-Rajā’ yaitu bab yang membahas mengenai perasaan harap. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa rajā’ merupakan sikap optimis bahwa Allah akan memberikan karunia kenikmatan terhadap hamba- hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Sikap optimis tersebut merupakan perwujudan perasaan harap yang dimiliki oleh setiap hamba Allah. Di dalam teks disebutkan bahwa, “Ar-rajā’u mārinahu ’amalu wa illā fa huwa

commit to user

a\m\niyy\a\t. Harap itu barang yang / serta ia dengan amal dan jika tiada

demikian maka yaitu angan-angan / namanya…” (MATC h.31 br.7–9). Kutipan tersebut menjelaskan bahwa perasaan harap dan sikap optimis hanya akan menjadi angan-angan apabila tidak diikuti dengan amal perbuatan yang nyata. Manusia berharap akan kenikmatan syurga yang dijanjikan Allah tetapi ia enggan melaksanakan perintah-Nya atau bahkan melanggar larangan-Nya, maka yang demikian itu hanyalah angan-angan saja untuk mendapatkan kenikmatan syurga.

g. Bābu Dzikri Khafī’alā Thā’ifwa Sunnatihi ’alā ‘l-’Ibād

Bābu Dzikri Khafī’alā Thā’ifwa Sunnatihi ’alā ‘l-’Ibād yaitu bab yang membahas mengenai zikir khafī yang disunahkan bagi seorang hamba. Zikir

khafī ialah yang dilakukan dengan rahasia, tanpa suara, atau dengan ingatan hati dan turun naiknya nafas (Asmaran As., 2002:404).

Berkaitan dengan zikir khafī, Allah SWT. berfirman dalam QS Al-

A’rāf ayat 55 yang artinya, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah

diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang melampaui batas.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dengan berendah diri dan dengan surara yang lembut. Allah tidaklah menyukai sikap hamba-hamba-Nya yang melampaui batas, termasuk dalam hal berdoa.

2. Teks yang Mengandung Ajaran Islam pada Umumnya

a. Bābu ‘t-Taubah

Bābu ‘t-Taubah yaitu bab yang membicarakan mengenai tobat. Asmaran As. menyebut tobat sebagai tahapan pertama yang harus dilewati

commit to user

oleh seorang pengamal ajaran tasawuf. Inilah yang disebut sebagai perubahaan (konversi) dan merupakan pertanda dari kehidupan baru. Manusia belum dianggap bertaubat hingga ia bersegera meninggalkan dosa, baik yang disadari atau tidak dan berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan mengulangi dosa-dosa tersebut (2000:110).

Secara etimologi, tobat menurut Imam Al-Ghazali (dalam Asmaran As., 2002:111) dapat diartikan dengan “kembali”, yakni kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan, kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat. Di dalam Al-Quran banyak ayat yang memerintahkan agar setiap orang muslim bertobat dari kesalahan-kesalahannya. Di antaranya adalah QS An-Nūr ayat 31 yang artinya, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,

hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Menurut orang sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangakan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu, apabila seorang ingin mendekatkan diri kepada-Nya, maka ia harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertobat (Asmaran As., 2002:109). Namun, jika seseorang terlanjur berbuat dosa, maka bagi dirinya tidak boleh berputus asa dan tetap istiqomah berada di jalan Allah. Dalam

teks disebutkan bahwa “Apabila jatuh daripadamu dosa maka jangan kiranya

yang / demikian itu akan sebab memutuskan asamu dari pada hasil istiqamah

{yakni sempurna} / serta Tuhanmu. Maka terkadang adalah yang demikian

itu kesudahan / dosa ditakdirkan atasmu” (MATC h.4 br.10–13). Kutipan tersebut mengandung makna bahwa seseorang yang telah ber-istiqomah

commit to user

namun pada suatu ketika ia terjerumus ke dalam dosa, maka keadaan seperti itu adalah sesuatu yang telah ditakdirnya baginya.

b. Bābu ‘l-Ikhlasi fī ‘l-’Amali

Bābu ‘l-Ikhlasi fī ‘l-’Amali yaitu bab yang membahas mengenai ikhlas dalam berbuat amal. Inti dari pembahasan tersebut adalah bahwa manusia dalam berbuat amal haruslah didasari rasa ikhlas, yaitu semata-mata hanya karena Allah. Bentuk rasa ikhlas tersebut ada berbagai macam dan salah satunya adalah dengan tidak menghitung-hitung dan menuntut ganti amal yang telah kita perbuat kepada Tuhan Allah SWT., seperti yang terdapat dalam kutipan teks sebagai berikut.

Kai\fa\ an tathlu\ba\ ‘l-’iwādla ’alā ’amali huwa / mutashaddiqu

bihi ’alaika. Am kaifa tathlubu ‘l-jazā’a ’alā shidqin / huwa

muhdīhi ilaik. Maka buangkan olehmu citamu daripada menuntut / ganti amalmu daripada Tuhanmu. Betapa kau tuntut ganti itu amal pada- / hal ia jua men-shidqi-hakan dia atasmu atau betapa

Dokumen terkait