• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 STUDI PUSTAKA

2.7 Pengujian dan Karakterisas

2.7.2. Analisis Termal dan Stabilitas Termal.

Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik yang mengukur sifat fisis suatu bahan dan atau hasil-hasil reaksi yang diukur sebagai fungsi temperatur. Karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri. Suatu bahan bila dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut.

Teknik analisa termal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) atau kimia (dekomposisi) suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas (endotermik) dan pengeluaran panas (eksotermik). Proses termal meliputi antara lain proses perubahan fase (transisi gelas), pelunakan, pelelehan, oksidasi, dan dekomposisi. Dalam kaitannya dengan industri, teknik analisa termal digunakan untuk penentuan kontrol kualitas suatu produk atau bahan khususnya polimer. Tanpa adanya pengetahuan data-data termal, pemrosesan suatu bahan akan sangat sulit dilakukan. Sifat termal suatu bahan menggambarkan kelakuan dari bahan tersebut jika dikenakan perlakuan termal (dipanaskan atau di dinginkan). Dengan demikian pengetahuan tentang sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pemrosesan bahan menjadi barang jadi maupun untuk kontrol kualitas.

Ketika zat organik dipanaskan sampai suhu tinggi maka memiliki kecendrungan untuk membentuk senyawa-senyawa aromatik, hal ini mengikuti fakta bahwa polimer-polimer aromatik mesti tahan terhadap suhu tinggi. Agar suatu polimer layak dianggap stabil panas atau tahan panas, polimer tersebut harus tidak terurai di bawah suhu 4000

Stabilitas panas utamanya merupakan fungsi dari energi ikatan. Ketika suhu naik ke titik di mana energi getaran menimbulkan putusnya ikatan, polimer yang bersangkutan akan terurai. Dekomposisi dalam udara adalah suatu ukuran untuk stabilitas termooksidatif bahan pada umumnya mengikuti mekanisme yang berbeda. Akan tetapi adanya oksigen, memiliki efek kecil terhadap suhu dekomposisi awal, oleh karena itu putusnya ikatan utamanya merupakan sebuah proses termal bukan oksidatif.

C dan harus mempertahankan sifatnya yang bermanfaat pada suhu dekomposisi, polimer-polimer demikian harus memiliki suhu transisi gelas atau peleburan kristal yang tinggi.

Berbagai jenis polimer aromatik dan organo metalik yang stabil panas telah dikembangkan, karena stuktur rangkaiannya yang kaku, polimer oromatik secara karakteristik memperlihatkan suhu transisi gelas yang sangat tinggi, viskositas leburan yang tinggi kelarutan rendah dan oleh karenanya lebih menyulitkan dari pada sebagian besar jenis polimer lainnya. (Sopyan, 1995).

2.7.2.1. Analisis Termal Gravimetri dan Simultaneus Thermal Analysis ( STA ) TGA-DTA .

Termogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu atau merupakan metode analisis yang menunjukkan sejumlah urutan dari lengkungan termal , kehilangan berat dari bahan dari setiap tahap , dan suhu awal penurunan . Analisa termal gravimetri dilakukan untuk menentukan kandungan bahan pengisi dan kesetabilan termal dari suatu bahan . Hasilnya secara umum berupa rekaman diagram yang kontinu, reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 2.29, sampel yang digunakan, dengan berat beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1 – 20 0C /menit, mempertahan berat awalnya , Wi sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti . Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu, Ti – Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf yang berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah harga -harga yang sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan komposisinya. Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf , merupakan harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan ( ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.30.

Gambar 2.29. Skema termogram TGA bagi reaksi dekomposisi satu tahap Untuk dekomposisi CaCO3; pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~ 500 0C, namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di atas 900 0C. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai

yang sangat bergantung pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu- suhu dekomposisi pada equilibrium.

Gambar 2.30. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda.

2.7.2.2.Differential Scanning Calorimetry ( DSC).

Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa , hanya dalam hal ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg , misalnya 10 mg ) dan peralatan kalor lebih teliti . Berbeda dengan dengan teknik DTA , teknik DSC menggunakan teknik pemanas individual masing-masing untuk sampel dan pembanding seperti diperlihatkan pada Gambar 2.31 (David I. bower, 2002).

Hasil pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh,seperti pada Gambar 2.32. (Cheremisinoff, N.P. © 1996). Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas . Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu , pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan . Perbedaan tenaga listrik yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel .

Heat flux Heat flux Heat flux

Gambar 2.32 . Model Ilustrasi Termogram DSC.

Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas . Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu , pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan . Perbedaan tenaga listrik yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel . Karena itu dalam termogram DSC , yakni plot perubahan entalpi (ΔH) terhadap kenaikan suhu, proses eksotermis dinyatakan sebagai – ΔH dan proses endotermis sebagai + ΔH ,( Basuki Wirjosentono 1995). Analisa panas dilaksanakan dalam penelitian ini menggunakan alat DSC Mettler Telodo type

821 .Sampel dengan ASTM D 3418-03, pertama sekali dipanaskan dari 30 0

C/menit sampai 270 0C dan dijaga pada suhu ini tetap selama 10 menit untuk memastikan semua kristal telah melebur. Suhu lebur dan panas peleburan (∆H f) diukur sepanjang proses pemanasan. Persentase kristaliniti (Xc) diukur dengan membagi panas peleburan ∆Hf dengan panas peleburan kristal murni (∆H0

% kristalinitas (Xkom) =

f100%) dapat dilihat pada persamaan di bawah ini.

o f fkom ∆Η ∆Η x 100% Dimana :

∆ Hf kom = entalpi peleburan komposit ∆ H0

Panas peleburan kristal murni (∆H

f = entalpi peleburan standart PP 0

Xpp =

f 100%) untuk polipropilena adalah 209 J/g (Joseph, dkk, 2003) sedangkan persentase untuk peleburan fasa PP di dalam komposit dapat dilihat pada Persamaan di bawah ini.

PP f kom W X x 100%. Dimana :

Xpp = derajat kristalinitas PP di dalam komposit Xkom = derajat kristalinitas komposit

W f pp = fraksi berat pp di dalam komposit.