• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi pada variabel independen dan variabel dependen yang diteliti. Distribusi data dalam hasil penelitian menunjukkan hasil yang normal setelah dilakukannya uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas tercantum dalam lampiran-5. Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini :

4.1.1. Karakteristik Responden Penelitian

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian

Variabel Kategori Jumlah Persentase (%)

Usia Ibu 21-30 tahun 19 82,6

31-40 tahun 4 17,4

Usia Gestasi 11-16 minggu 14 60,9

17-24 minggu 9 39,1 Kehamilan ke- 1 9 39,1 2 6 26,1 3 7 30,4 4 1 4,3 Pendidikan Terakhir SMP 2 8,7 SMA 18 78,3 S1 3 13,0

Pekerjaan Ibu Rumah Tangga 13 56,5 Karyawan Swasta 9 39,1 Pegawai Negeri Sipil 1 4,3

Berdasarkan tabel 4.1., diketahui bahwa sebagian besar sampel berusia antara 21-30 tahun (82,6%). Hal ini berhubungan dengan aktivitas sintesis hormon ovarium yang memuncak pada wanita berusia 20-30 tahun. Memuncaknya sintesis hormon dari ovarium tersebut menyebabkan jumlah sekresi kelenjar serviks meningkat dan muncul sebagai keputihan.26 Keputihan lebih sering terjadi pada usia ibu yang lebih muda juga diduga berkaitan dengan minimnya pengalaman mengenai personal hygiene.27

Seiring dengan berjalannya usia kehamilan, maka kadar hormon estrogen dan progesteron akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan angka kejadian keputihan juga semakin meningkat.3 Namun, karena jumlah sampel yang minim, pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel yang mengalami keputihan lebih banyak pada usia gestasi 11-16 minggu (60,9%) dibanding usia gestasi 17-24 minggu.

Penelitian ini menunjukkan lebih banyak sampel yang mengalami keputihan dalam kehamilan pertama (primigravida), yaitu sebanyak 39,1%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kejadian keputihan pada ibu hamil semakin menurun seiring dengan jumlah kehamilan yang pernah dialami.27

Berdasarkan pekerjaan, didapatkan lebih banyak sampel yang tidak bekerta (ibu rumah tangga), yaitu 56,5%, dibanding sampel yang bekerja. Selain itu, lebih banyak pula sampel dengan tingkat pendidikan sekolah menengah dibanding dengan pendidikan S1. Sebuah penelitian oleh Mine EO (2008) menunjukkan hasil bahwa wanita yang bekerja dan berpendidikan lebih tinggi memiliki perilaku hygiene yang lebih baik dibanding wanita yang tidak bekerja dan berpendidikan lebih rendah, sehingga angka kejadian keputihan pun lebih rendah pada kelompok tersebut.28

4.1.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Keputihan

Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Keputihan Jenis Keputihan Jumlah Persentase (%)

Patologis 16 69,6

Fisiologis 7 30,4

Total 23 100

Keputihan fisiologis dan patologis pada penelitian ini ditentukan berdasarkan analisis warna dan bau sekret vagina secara mikroskopik. Setelah itu, diteteskan larutan KOH 10% pada sekret, dan dianalisis kembali warna dan bau sekret tersebut. Keputihan dikatakan fisiologis ketika analisis sekret menunjukkan warna yang bening dan tidak berbau. Sekret yang berwarna keruh, putih, kuning, kuning kehijauan, dan kemerahan, atau sekret yang berbau menunjukkan adanya proses patologis.15 Tabel 4.2. menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang mengalami keputihan patologis (69,6%) dibanding responden yang mengalami keputihan fisiologis (30,4%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Anastasiu (2006) yang menunjukkan sebanyak 69,85% sampel mengalami keputihan patologis dan 30,15% sampel mengalami keputihan fisiologis dari jumlah sampel 315 ibu hamil yang terlibat dalam penelitian.29

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, keputihan pada ibu hamil digolongkan dalam keputihan yang fisiologis. Keputihan pada ibu hamil dapat menjadi patologis salah satunya bila terjadi infeksi mikroorganisme patogen.6 Keputihan patologis tersebut dapat menimbulkan komplikasi dalam kehamilan, seperti korioamnionitis, gangguan pertumbuhan janin, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), abortus spontan, dan endometritis post partum. Besarnya kejadian keputihan patologis dalam penelitian ini mencerminkan tingginya risiko terjadinya komplikasi-komplikasi tersebut. Pencegahan berkembangnya keputihan fisiologis menjadi keputihan patologis penting dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, baik bagi ibu maupun bagi janin.5

4.1.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Hygiene Organ Genitalia Eksterna

Tabel 4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Hygiene Organ Genitalia Eksterna

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Buruk 14 60,9

Baik 9 39,1

Total 23 100

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, hasil uji normalitas pada penelitian ini menunjukkan sebaran data yang normal. Maka, kategorisasi perilaku baik dan buruk ditentukan berdasarkan nilai mean, yang pada penelitian ini memiliki nilai 15,43. Bila nilai yang didapat lebih besar dari nilai mean, maka perilaku dapat dikategorikan “baik”. Bila lebih kecil dari nilai mean, maka dikategorikan “buruk”.30

Tabel 4.3. menunjukkan 14 responden (60,9%) memiliki perilaku hygiene

organ genitalia eksterna yang buruk. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan terjadinya keputihan patologis.11 Hubungan antara perilaku

hygiene organ genitalia eksterna dengan keputihan akan dibahas dalam analisis bivariat (tabel 4.12).

Terdapat 8 jenis perilaku hygiene organ genitalia eksterna yang perlu diperhatikan. Berikut jenis-jenis perilaku yang telah dinilai berdasarkan kuesioner dalam penelitian ini :

1) Penggunaan Produk Pembersih Organ Kewanitaan

Tabel 4.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Penggunaan Produk Pembersih Organ Kewanitaan

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 10 43,5

Kadang-kadang 6 26,1

Tidak Pernah 7 30,4

Produk pembersih organ kewanitaan diketahui dapat mengganggu komposisi flora normal vagina.8 Flora normal vagina berfungsi dalam mekanisme pertahanan melawan mikroorganisme patogen sehingga tidak terjadi infeksi. Terganggunya komposisi flora normal vagina akan mengganggu mekanisme pertahanan tersebut, sehingga mikroorganisme patogen dapat menginfeksi organ genitalia. Keadaan ini akan menimbulkan keputihan patologis. Berdasarkan tabel 4.4., 43,5% responden sering menggunakan produk pembersih organ kewanitaan. Perilaku tersebut meningkatkan risiko terjadinya keputihan patologis.19,22

2) Membasuh Alat Kelamin dari Belakang ke Depan

Tabel 4.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Membasuh Alat Kelamin dari Belakang ke Depan

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 15 65,3

Kadang-kadang 3 13,0

Tidak Pernah 5 21,7

Total 23 100

Arah membasuh alat kelamin merupakan salah satu hal yang paling penting dalam menentukan higienitas organ genital seorang wanita.30 Arah membasuh alat kelamin dari belakang (anus) ke depan (vulva) dapat menyebabkan terbawanya mikroorganisme dari anus ke saluran genitourinaria. Mikroorganisme tersebut bisa merupakan flora normal di saluran pencernaan, namun menjadi patogen di saluran genitourinaria. Hal ini dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan keputihan patologis.19,22 Tabel 4.5. menunjukkan bahwa sebagian besar (65,3%) responden sering membasuh alat kelamin dengan arah yang salah, yaitu dari belakang ke depan.

3) Tidak Mengeringkan Alat Kelamin Setelah Buang Air Kecil (BAK) atau Buang Air Besar (BAB)

Tabel 4.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Tidak Mengeringkan Alat Kelamin Setelah BAK atau BAB

Salah satu cara untuk mempertahankan komposisi flora normal vagina adalah dengan menjaga kelembaban vagina. Kondisi vagina yang terlalu lembab dapat mengganggu keseimbangan flora normal vagina dan memberi kesempatan bagi mikroorganisme patogen untuk menginfeksi. Salah satu hal yang sering menyebabkan vagina terlalu lembab adalah akibat tidak mengeringkan alat kelamin setelah buang air kecil atau buang air besar.19,22 Berdasarkan tabel 4.6., diketahui bahwa lebih banyak responden yang sering tidak mengeringkan alat kelamin (39,1%).

4) Menggunakan Celana Dalam yang Ketat dalam Aktivitas Sehari-hari

Tabel 4.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Menggunakan Celana Dalam yang Ketat dalam Aktivitas Sehari-hari

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 6 26,1

Kadang-kadang 14 60,9

Tidak Pernah 3 13,0

Total 23 100

Berdasarkan tabel 4.7., diketahui bahwa sebagian besar responden (60,9%) mengaku kadang-kadang menggunakan celana dalam yang ketat dalam aktivitas sehari-hari. Sama dengan butir perilaku sebelumnya, penggunaan celana dalam yang ketat dapat mempengaruhi tingkat kelembaban vagina, sehingga vagina

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 9 39,1

Kadang-kadang 7 30,4

Tidak Pernah 7 30,4

menjadi terlalu lembab dan meningkatkan risiko infeksi mikroorganisme patogen. Penggunaan celana dalam yang tidak terlalu ketat disarankan untuk menjaga higienitas organ genitalia eksterna.19,22

5) Mengganti Celana Dalam Kurang dari Dua Kali Sehari

Tabel 4.8. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Mengganti Celana Dalam Kurang dari Dua Kali Sehari

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 5 21,7

Kadang-kadang 6 26,1

Tidak Pernah 12 52,2

Total 23 100

Salah satu cara menjaga higienitas organ genitalia eksterna adalah dengan mengganti celana dalam secara teratur, minimal dua kali dalam sehari. Tabel 4.8. menunjukkan sebagian besar responden (52,2%) yang terlibat dalam penelitian ini mengaku tidak pernah mengganti celana dalam kurang dari dua kali sehari. Hal tersebut menggambarkan perilaku yang sudah cukup baik. Selain dapat meningkatkan kelembaban vagina, mengganti celana dalam kurang dari dua kali sehari juga mengakibatkan mikroorganisme terkumpul dalam waktu yang cukup lama, sehingga meningkatkan risiko infeksi.19,22

6) Menggunakan Celana Dalam Selain Bahan Katun

Tabel 4.9. Distribusi Sampel Berdasarkan Penggunaan Celana Dalam Selain Bahan Katun

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 3 13,0

Kadang-kadang 17 74,0

Tidak Pernah 3 13,0

Bahan katun merupakan kain yang dapat menyerap keringat, sehingga penggunaan celana dalam berbahan dasar katun dapat mencegah organ genitalia eksterna terlalu lama terpapar oleh keringat. Paparan keringat yang terlalu lama dapat menyebabkan kondisi vagina menjadi terlalu lembab dan mudah terinfeksi mikroorganisme patogen. Tabel 4.9 menunjukkan bahwa terdapat 74% responden yang mengaku kadang-kadang menggunakan celana dalam berbahan selain katun. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya keputihan patologis.19,22

7) Penggunaan Pantyliner

Tabel 4.10. Distribusi Sampel Berdasarkan Penggunaan Pantyliner

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 5 21,7

Kadang-kadang 10 43,5

Tidak Pernah 8 34,8

Total 23 100

Pembalut tipis atau pantyliner biasanya digunakan oleh wanita yang mengalami keputihan. Penggunaan pantyliner yang terlalu sering justru dapat meningkatkan risiko terjadinya keputihan patologis, karena kelembaban vagina dapat meningkat dan organ genitalia eksterna akan terpapar dengan sekret keputihan tersebut dalam waktu yang lama bila pantyliner belum diganti.19,22 Tabel 4.10. menunjukkan lebih banyak responden yang mengaku kadang-kadang menggunakan pantyliner (43,5%).

8) Tidak Menyiram Kloset Duduk Sebelum Menggunakan WC Umum

Tabel 4.11. Distribusi Sampel Berdasarkan Perilaku Tidak Menyiram Kloset Duduk Sebelum Menggunakan WC Umum

Perilaku Jumlah Persentase (%)

Sering 10 43,5

Kadang-kadang 8 34,8

Tidak Pernah 5 21,7

Total 23 100

Kloset duduk pada WC umum dapat menjadi sarana penularan atau perpindahan mikroorganisme dari satu orang ke orang lainnya. Maka, menyiram kloset tersebut sebelum diduduki sangat penting untuk menjaga higienitas organ genitalia eksterna, sehingga terjadinya keputihan patologis pada ibu hamil dapat dicegah.19,22 Tabel 4.11. menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang mengaku sering tidak menyiram kloset duduk sebelum menggunakan WC umum (43,5%). Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi mikroorganisme dan menyebabkan timbulnya keputihan patologis.

Delapan perilaku di atas telah dinilai dalam penelitian ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, didapatkan 14 responden (60,9%) memiliki perilaku hygiene organ genitalia eksterna yang buruk dalam penelitian ini.

Dokumen terkait