Analisis usaha dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 6 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut :
1. Selama 1 tahun dilakukan 9 kali siklus produksi dengan masa budidaya selama 40 hari.
2. Luas lahan budidaya cacing sutra pada setiap perlakuan yaitu 390 m2. 3. Wadah yang digunakan berupa kolam terpal dengan dimensi 5x2x0,3 m. 4. Panen per siklus pada perlakuan PKAF sebesar 1,75 kg/m2, perlakuan PKPF
sebesar 2,4 kg/m2, dan PKSF sebesar 1,15 kg/m2.
5. Cacing sutra dihitung berdasarkan satuan takar dengan bobot 0,4 kg/takar. Dengan harga Rp. 5.000/takar.
6. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kotoran ayam fermentasi pada perlakuan PKAF, pupuk kotoran puyuh fermentasi pada perlakuan PKPF dan pupuk kotoran sapi fermentasi pada perlakuan PKSF.
7. Kebutuhan pupuk dalam 1 siklus sebesar 41,59 kg/m2, pada perlakuan PKAF, 46,7 kg/m2, pada perlakuan PKPF dan 46,81 kg/m2, pada perlakuan PKSF. 8. Harga kotoran ayam yang digunakan sebesar Rp. 1.000/kg, sedangkan untuk
kotoran sapi sebesar Rp. 150/kg dan kotoran puyuh sebesar Rp. 250/kg.
Tabel 6 menunjukkan analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka meliputi : biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C rasio, payback period (PP), dan Break Even Point (BEP).
15
Tabel 6. Analisis usaha budidaya cacing sutra dengan sistem air mengalir*.
No Keterangan PKAF PKPF PKSF 1 Investasi (Rp) 15.915.000 15.915.000 15.915.000 2 Biaya tetap (Rp) 19.000.000 19.000.000 19.000.000 3 Biaya Variabel (Rp) 151.592.105 47.316.748 30.982.872 4 Biaya Total (Rp) 170.592.105 66.316.748 49.982.872 5 Pemasukan (Rp) 76.781.250 105.300.000 50.456.250 6 keuntungan/tahun (Rp) (93.810.855) 38.983.252 473.378 7 keuntungan/bulan (Rp) (7.817.571) 3.248.604 39.448 8 HPP (Rp) 11.109 3.149 4.953 9 R/C ratio 0,450 1,588 1,009 10 Payback period - 0,41 33,62 11 BEP unit (3.900,09) 6.900,96 9.845,94 12 BEP harga (Rp) (19.500.429) 34.504.791 49.229.711
Keterangan : * Rincian biaya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tanda kurung menunjukkan nilai negatif (-).
3.2. Pembahasan
Berdasarkan data peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa peningkatan biomassa pada masing-masing perlakuan memiliki peningkatan biomassa paling rendah dari hari ke-10 sampai hari ke-20. Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 pada perlakuan PKAF sebesar 173,71 g/m2, PKPF sebesar 302,97 g/m2 dan PKSF sebesar 111,13 g/m2.Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 lebih diakibatkan oleh peningkatan bobot cacing dewasa yang telah matang gonad dan telah menetasnya cacing-cacing muda yang teramati saat sampling. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa perkembangan embrio dari telur sampai meninggalkan kokon lamanya antara 10-12 hari. Sedangkan untuk rendahnya laju peningkatan biomassa pada hari ke-20 dikarenakan turunnya biomassa tubuh cacing yang telah mengeluarkan kokon. Hal ini didasari pada pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa ketika matang gonad cacing akan bertambah bobot tubuhnya sampai mengeluarkan kokon dan bobot tubuhnya akan menurun drastis.
Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa tertinggi pada masing-masing perlakuan dari hari ke-20 sampai hari ke-30. Peningkatan biomassa dari hari ke-20 sampai hari ke-30 pada perlakuan PKAF sebesar 652,15
16
g/m2, PKPF sebesar 897,8 g/m2 dan PKSF sebesar 491,31 g/m2. Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa yang tinggi disebabkan oleh tumbuhnya cacing-cacing muda yang telah menetas pada hari-hari sebelumnya.
Biomassa yang diperoleh pada setiap perlakuan berbeda-beda dengan biomassa rata-rata tertinggi pada saat panen sebesar 2.547,19 g/m2 pada perlakuan PKPF, disusul dengan perlakuan PKAF sebesar 1.895,04 g/m2, sedangkan yang terendah sebesar pada perlakuan PKSF yaitu sebesar 1.301,38 g/m2. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan bahan organik yang terkandung dalam pupuk yang diberikan pada setiap wadah. Pupuk dengan bahan organik tertinggi adalah PKPF, kemudian PKAF dan yang terendah adalah PKSF (Lampiran 3). Bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).
C/N juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan bagi cacing. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994). Berdasarkan hasil uji laboratorium diketahui bahwa C/N yang tertinggi adalah PKSF sebesar 14,42, walaupun demikian berdasarkan pengamatan diketahui bahwa PKSF terdiri dari bahan berserat. Menurut Chamberlain et al. (2001) pemakaian bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Berdasarkan penelusuran pustaka, pemakaian PKSF dan PKAF sebagai pupuk yang digunakan untuk penelitian budidaya cacing sutra telah dilakukan, namun belum ada penelitian yang menggunakan PKPF sebagai pupuk yang digunakan. Findi (2011) juga menggunakan kotoran sapi segar sebagai pupuk dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 1.346,36 g/m2. Substrat yang digunakan adalah campuran pasir dan kotoran sapi segar dengan perbandingan 1:3. Padat tebar yang digunakan adalah 150 g/m2. Pupuk diberikan setiap hari dengan jumlah
17
kebutuhan pupuk yang diperoleh sebesar 30.200 g/m2 dan KP terbaik sebesar 25,45.
Pemakaian pupuk kotoran ayam telah digunakan oleh Febriyanti (2004) dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 291,76 g/m2. Sedangkan pemakaian pupuk kotoran ayam yang telah difermentasi digunakan oleh Fadillah (2004) dengan hasil biomassa yang diperoleh sekitar 1.719,59 g/m2.Keduanya menggunakan substrat yang dari campuran pupuk kotoran ayam fermentasi dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang diberikan keduanya sebesar 1 kg/m2/ hari dengan lama pemeliharaan selama 60 hari.
Kualitas air merupakan parameter untuk menunjukkan kandungan air yang dapat mempengaruhi organisme di dalamnya, selain itu juga kualitas air juga dipengaruhi oleh aktifitas organisme di dalamnya. Berdasarkan data kualitas air diketahui bahwa pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,68-6,99 (Lampiran 9). Kisaran pH tersebut masih dapat ditolerir oleh cacing karena menurut Davis (1982) cacing sutra mampu beradaptasi terhadap pH air antara 6-8, namun pH bukanlah pH optimal untuk cacing sebab pH optimal untuk peningkatan cacing berada dalam kisaran 6-9 (Witley, 1967).
Konsentrasi oksigen terlarut (DO) yang diperoleh tidak akan mempengaruhi tingkat kematian cacing sutra sebab menurut Gnaiger et al (1987) cacing sutra memiliki kemampuan untuk bertahan lama dalam keadaan anoxia ( kekurangan oksigen). Pada data DO yang diperoleh menunjukkan bahwa total DO selama pemeliharaan menurun seiring dengan meningkatnya biomassa cacing dalam wadah budidaya. Kondisi DO pada saat penebaran sampai hari ke-30 menunjukkan bahwa kandungan DO masih berada di atas 2,5 ppm sehingga tidak mengganggu peningkatan biomassa dari cacing sutra. Embrio cacing sutra akan berkembang normal pada kisaran konsentrasi DO 2,5 ppm – 7 ppm (Poddubnaya, 1980). Pada hari ke-40 DO pada kotoran puyuh mengalami penurunan dibawah 2,5 ppm dengan DO terendah sebesar 2,29, hal ini dapat mengganggu perkembangan embrio namun tidak akan mengganggu nafsu makan cacing sutra sebab menurut McCall dan Fisher (1980) dalam Marian dan Pandian (1984 ) nafsu makan cacing sutra akan berkurang pada konsentrasi DO kurang dari 2 ppm.
18
Nascimento dan Alves (2009) menyatakan bahwa suhu optimal untuk cacing sutra Limnodrillus hoffmeisteri berada pada pada suhu 25 oC. Suhu yang diperoleh selama percobaan berada dalam kisaran antara 25,6-26,8 oC. Kisaran suhu ini diatas suhu optimal, namun cacing sutra masih mampu bertahan hidup sebab cacing sutra mampu bertahan hidup dalam kisaran suhu 2,5-33 oC dengan suhu minimum untuk bereproduksi sebesar 11oC (Korotun 1959 dalam Kaster 1980).
Analisis usaha diketahui bahwa bahwa modal investasi dan biaya tetap yang diperlukan untuk budidaya cacing sutra pada sistem air mengalir dengan pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF), pupuk kotoran ayam fermentasi (PKAF), maupun pupuk kotoran sapi fermentasi (PKSF) sama yaitu sebesar Rp. 15.915.000,- untuk biaya investasi dan Rp. 19.000.000,- untuk biaya tetap. Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan PKPF yaitu sebesar Rp. Rp. 38.983.252 /tahun kemudian perlakuan PKSF dengan keuntungan sebesar Rp. 473.378/tahun, sedangkan pada perlakuan PKAF justru memperoleh kerugian sebesar Rp. 473.378/tahun. Perlakuan PKAF memperoleh kerugian karena memiliki HPP yang melebihi harga jual yang sebesar Rp. 5000,- bila dibandingkan dengan PKSF dan PKPF yang memiliki HPP dibawah harga jual. HPP untuk PKAF adalah sebesar RP. 11.109,-, sedangkan HPP PKSF sebesar Rp. 4. 953 dan HPP PKPF sebesar Rp. 3.149,-.Tingginya HPP perlakuan PKAF disebabkan oleh tingginya harga pupuk kotoran ayam yaitu sebesar Rp. 20.000/karung, sedangkan pupuk kotoran puyuh memiliki harga sebesar Rp. 5.000 /karung dan pupuk kotoran sapi sebesar Rp. 3.000 /karung dengan asumsi bobot pupuk dalam 1 karung sebanyak 20 kg.
Analisis R/C digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Hal ini berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan sejumlah pendapatan. Menurut Mahyuddin (2007), Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila nilai R/C lebih dari satu. Berdasarkan analisis R/C rasio maka perlakuan PKPF dengan R/C rasio 1,588 dan PKSF dengan R/C rasio 1,009 dapat dikatakan layak sebab memiliki R/C rasio di atas 1, sedangkan perlakuan PKAF tidak layak karena memiliki R/C rasio di bawah satu yaitu sebesar 0,449.
19
BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi (Rahardi et al., 1998). Nilai BEPp pada PKAF yaitu - Rp 19.500.429 dan BEPu sebanyak -3.900,09 takar. BEP pada PKAF bernilai negatif sebab biaya variabel yang dikeluarkan lebih besar daripada pemasukan yang diperoleh, dengan demikian perlakuan PKAF tidak akan pernah mencapai titik impas. Nilai BEPp pada perlakuan PKPF yaitu Rp 34.504.791 dan BEPu sebanyak 6.900,96 takar, artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 34.504.791 dengan nilai produksi 6.900,96 takar, sedangkan pada perlakuan PKSF, titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 49.229.711 dan produksi sebanyak 9.845,94 takar.
20 IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kotoran Puyuh Fermentasi merupakan perlakuan yang terbaik untuk meningkatkan biomassa dengan hasil panen cacing sutra sebesar 2547,19 g/m2 dari padat tebar awal sebanyak 150 g/m2 atau meningkat sebanyak 16,98 kali dari padat penebaran awal selama 40 hari masa pemeliharaan. Pupuk Kotoran Puyuh fermentasi juga merupakan perlakuan yang terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; R/C ratio sebesar 1,588; nilai BEPp yaitu Rp 34.504.791,- ; BEPu yaitu 6.900,96 takar dan tingkat pengembalian modal (PP) selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m2.
4.2. Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk mengkaji komposisi pupuk kotoran puyuh yang difermentasi sehingga diketahui kandungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.
21 DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech, Y., M. Kochva, Shaker, 1994, Development of Controlled Intensif Aquaculture Systems with A Limited Water Exchange and Adjusted Carbon to Nitrogen Ratio. Bamidgeh. 46 (3): 1999-131.
Bisnis Jabar, 2010. Produksi Ikan Patin Jabar Diprediksi Naik 65,56%. http.//bisnis-jabar.com/berit/produksi-ikan-patin-jabar-diprediksi-naik-6556.html [2 Juni 2011]
Chamberlain, G., Avnimelech, Y., McIntosh, R.P., Velasco M., 2001. Advantages of Aerated Microbial Reuse Systems with Balanced C/N : Nutrient tranformation and water quality benefits. Global Aquaculture Alliance : April 2001
Chumaidi, Zaenuddin, Fiastri, 1988. Pengaruh Debit Air yang Berbeda Terhadap Biomassa Cacing Rambut (Tubifisid). Buletin Perikanan Darat. 7(2): 41-46.
Davis, J. R., 1982. Nerw Record of Aquatic Oligochaeta From Texas With Observation on Their Ecological Characteristic. Hydrobiologia. 96: 15-21.
Eviati, Sulaeman, 2009. Petunjuk Teknis Edisi 2 : Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor : Balai Penelitian Tanah.
Fadillah, R., 2004. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra
Limnodrillus Pada Media Yang Dipupuk Kotoran Ayam Hasil Fermentasi. [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Febriyanti, D., 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran Ayam Terhadap Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra. [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Findy, S., 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk kotoran sapi fermentasi Terhadap Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutra (Tubificidae). [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Gnaiger, E., Kaufmann, R., Staudigl. I., 1987. Physiological Reaction of Aquatic Oligochaetes to Enviromental Anoxia. Hydrobiologia: 155.
Kasmir, Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Prenada Media.
Kaster, J.L., 1980. The Reproductive Biology of Tubifex tubifex Muller (Annelida:Tubificidae). American Midland Naturalist. 104 : 364-366.
22
Kosiorek, D., 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4): 411-422.
Mahyuddin, K., 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
Marian, M.P., Pandian, T.J. 1984. Culture and Harvesting Technique for Tubifex tubifex. Aquaculture. 42: 303-315.
Martin, J.D., Petty, J.W., Keown, A.J., Scott, D.F., 2005. Basic Financial Management 10th Edition. New Jersey USA: Prentice Hall Inc.
Nascimento, H., Alves, R.G., 2009. The Effect Of Temperature On The Reproduction Of Limnodrillus hoffmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia 26 (1) : 191-193.
Poddubnaya, T.L., 1980. Life Cycles of Mass Species of Tubificidae. In RO Brinkhust and DG Cook (Editors), Aquatic Oligochaeta Biology. Plenum, New York, NY, pp.175-184.
Rahardi, F., Kristiawati, R., Nazarudin., 1998. Agribisnis Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rangkuti, F., 2006. Business Plan. Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
SNI 01-6483.5., 2002. Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) Kelas Benih Pembesaran di Kolam.
SNI 01-7256., 2006. Produksi Benih Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) Kelas Benih Sebar.
Steel, G.D., J.H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Syarip. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Tambahan Terhadap Pertumbuhan Tubifex. Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients, p.179-225. In Fish Nutrition and Mariculture. Watanabe, T (ed.). Departement of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries.
Witley, L. S. 1967. The resistence of Tubificid worms to three common pollutans. Hydrobiologia. 32: 193-205.
23
24
Lampiran 1. Data Proyeksi Peningkatan Produksi Patin Nasional
Keterangan Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi patin (ton) 132.600 225.000 383.000 651.000 1.107.000 1.883.000 Kebutuhan larva* (ribu ekor) 455.357 772.664 1.315.247 2.235.576 3.801.510 6.466.346 kebutuhan cacing** (ribu liter) 75,13 127,48 217,02 368,87 627,25 1.066,95 Kebutuhan cacing*** (ton) 150,27 254,98 434,03 737,74 1.254,50 2.133,89 Keterangan:
(*) Ukuran patin konsumsi : 0.7 kg/ekor (bisnis Jabar, 2010) SR pembesaran (ukuran konsumsi) : 80% (SNI 01-6483.5, 2002)
SR pendederan : 80% (SNI 01-7256,2006)
SR pemeliharaan larva : 65% (SNI 01-7256,2006)
(**) 100.000 ekor larva memerlukan 16.5 liter cacing (SNI 01-7256,2006)
25
Lampiran 2. Metode analisis bahan organik, C-Organik, serta N-Organik. A.Metode analisis bahan organik
Metode analisis bahan organik didasari pada metode analisis kadar abu (Takeuchi, 1988)
Kadar abu = (X2-X1) x 100% A
Kadar bahan organik = 100%- kadar abu
B.Metode analisis kadar C-Organik
Metode analisa kadar C-Organik menggunakan metode Wilkley and Black (Eviati dan Sulaeman, 2009)
Persiapan bahan uji
Persiapan standar 0 ppm dan 250 ppm
Lalukan langkah 2 sampai 5 pada metode persiapan uji untuk pembuatan standar 0 ppm dan 250 ppm
pipet 5 ppm larutan standar 5000 ppm untuk standar 250 dan 0 ppm larutan standar 5000 ppm untuk standar 0 ppm
5. Keesokan harinya ukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 561 4. Diencerkan dengan air bebas ion, diarkan dingin dan impitkan
3. Tambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat, kocok dan diamkan 30 2. Tambahkan K2Cr2O7 1 N kemudian
1. Timbang bahan 0,5 g yang sudah diayak sebelumnya (ukuran bahan <0,5 mm) kemudian masukkan dalam labu 100 ml Cawan dipanaskan pada suhu 105-110 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (X1)
Bahan ditimbang 2-3 g (A) lalu dimasukkan ke dalam cawan
Cawan dan bahan dipanaskan di dalam tanur dengan suhu 600 oC, didinginkan dan ditimbang (X2)
26
Rumus = ppm kurva x 10/500 x fk
Keterangan :ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari deret standar dengan pembacaan nya setelah dikoreksi blanko
Fk = faktor koreksi kadar air (100/ (100-kadar air))
100 = konversi 100%
C.Metode analisis kadar N-Organik
Metode analisis kadar N-Organik didasari dari metode Kjedahl (Takeuchi, 1988)
Tahap Oksidasi
Tahap Destruksi
Destruksi selama 10 menit dari tetesan pertama
Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL 5 mL larutan hasil oksidasi
dimasukkan ke dalam labu destilasi
2-3 tetes indikator 10 mL H2SO4
0,05 N
Dimasukkan ke dalam labu Kjedhal dan dipanaskan hingga berwarna hijau bening, didinginkan, dan diencerkan hingga volume 100 mL
H2SO4 pekat 10 mL Katalis ditimbang 3 gr Bahan ditimbang 0,5 g (A)
27 Tahap Titrasi Kadar N-Organik (%) =0,0007* x (Vb-Vs) x 20 x 100% A Keterangan :
Vs = ml 0,05 N nitran NaOH untuk sampel Vb = ml 0,05 N nitran NaOH untuk blanko F = faktor koreksi dari 0,05 N larutan NaOH S = bobot sampel (gram)
* = setiap ml 0,05 N NaOH ekuivalen dengan 0,0007 gram nitrogen mL titran dicatat (V)
sampel Dititrasi hingga 1 tetes setelah larutan
menjadi bening
Blanko Hasil destruksi dititrasi dengan NaOH
28
Lampiran 3. Kandungan bahan organik dan C/N organik pada tiap pupuk perlakuan
Lampiran 3a. Kandungan Bahan Organik Pada Tiap Pupuk Perlakuan
No Bahan %Air %TOM (BB) %TOM (BK)
1 Kotoran Ayam Segar 70,94 8,96 30,83
2 Kotoran Ayam Kering 48,56 20,21 39,29
3 Kotoran Ayam Fermentasi 44,97 22,5 40,89
4 Kotoran Sapi Segar 80,6 3,52 18,14
5 Kotoran Sapi Kering 70,6 7,67 26,09
6 Kotoran Sapi Fermentasi 68,65 11,98 38,21
7 Kotoran Puyuh Segar 54,3 14,12 30,90
8 Kotoran Puyuh Kering 48,91 16,21 31,73
9 Kotoran Puyuh Fermentasi 31,94 28,4 41,73
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium BDP
Lampiran 3b. Rasio C/N Pada Tiap Pupuk Perlakuan
No Bahan %C %N C/N
1 Kotoran Ayam Fermentasi 10,38 1,78 5,83
2 Kotoran Puyuh Fermentasi 16,33 2,01 8,12
3 Kotoran Sapi Fermentasi 11,39 0,79 14,42
29
Lampiran 4. Biomassa Selama Pemeliharaan (g/m2)
wadah ulangan Hari ke-
10 20 30 40 PKAF 1 500,08 579,04 1175,62 1456,37 2 824,69 1079,12 1789,76 2368,80 3 443,93 631,68 1280,9 1859,94 Rata-Rata 589,57 + 205,55 763,28+274,79 1415,43+328,42 1895,05+457,22 PKPF 1 842,24 1403,73 2281,06 2939,06 2 740,47 877,33 1675,70 1974,00 3 824,69 1035,25 2052,96 2728,50 Rata-Rata 802,47+54,40 1105,44+270,13 2003,24+305,73 2547,19+507,44 PKSF 1 526,4 526,4 1087,89 1561,65 2 307,07 333,39 903,65 1237,04 3 175,47 482,53 824,69 1105,44 Rata-Rata 336,31+177,28 447,44+101,18 938,74+135,06 1301,38+234,81
30
Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Biomassa Cacing Sutra Lampiran 5a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Statistic df1 df2 Sig. (P)
0,948 2 6 0,439
Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data biomassa cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.
Lampiran 5b. Hasil analis Anova
Hari ke-40
JK DB KT F hit P F tabel
Perlakuan 2329774.374 2 1164887,187 6,699 0,03 5,14
Galat 1043366,698 6 173894,45
Total 3373141,072 8
Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Lampiran 5c. Hasil Uji Tukey
Perlakuan Ulangan alpha=0,05
a B
PKSF 3 1301,3767
PKAF 3 1895,0367 1895,0367
PKPF 3 2547,1867
P 0,266 0,215
Berdasarkan hasil uji Tukey diketahui bahwa Perlakuan pupuk kotoran sapi fermentasi (a) berbeda nyata dengan perlakuan kotoran puyuh (b). Pada perlakuan PKAF (ab) sendiri tidak berbeda nyata pada perlakuan pupuk kotoran sapi fermentasi (a) maupun kotoran puyuh (b).
31
Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS) Lampiran 6a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Statistic df1 df2 Sig. (P)
0.086 2 6 0,918
Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data LPBS cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.
Lampiran 6b. Hasil analis Anova
Hari ke-40
JK DB KT F hit P F tabel
Perlakuan 5,648 2 2,824 7,465 0,024 5,14
Galat 2,270 6 0,378
Total 7,918 8
Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Lampiran 6c. Hasil Uji Tukey
Perlakuan Ulangan alpha=0,05
a B
PKSF 3 105,1933
PKAF 3 106,2667 106,2667
PKPF 3 107,1300
P 0,162 0,274
Berdasarkan hasil uji Tukey diketahui bahwa Perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (a) berbeda nyata dengan perlakuan Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (b). Pada perlakuan Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (ab) sendiri tidak berbeda nyata pada perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (a) maupun Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (b).
32
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Jumlah Pupuk (JP) Lampiran 7a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Statistic df1 df2 Sig. (P)
0,896 2 6 0,457
Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data jumlah pupuk (JP) menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.
Lampiran 7b. Hasil analis Anova
Hari ke-40
JK DB KT F hit P F tabel
Perlakuan 53,510 2 26,775 0.699 0.027 5,14
Galat 527,613 6 87.936
Total 581,124 8
Fhit < Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
33
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Konversi Pupuk (KP) Lampiran 8a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Statistic df1 df2 Sig. (P)
0,502 2 6 0,628
Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data KP cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.
Lampiran 8b. Hasil analis Anova
Hari ke-40
JK DB KT F hit P F tabel
Perlakuan 741,654 2 370,827 76,722 0,00 5,14
Galat 29,000 6 4,833
Total 770,655 8
Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 5%
Lampiran 8c. Hasil Uji Tukey
Perlakuan Ulangan alpha=0,05
A b
PKPF 3 19,7033
PKAF 3 24,0133
PKSF 3 40,7500
P 0,116 1
Berdasarkan hasil uji Tukey diketahui bahwa Perlakuan Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (a) dan Perlakuan Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (a) berbeda nyata dengan perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (b).
34
Lampiran 9. Data Kualitas Air Selama Pemeliharaan pH Perlakuan Ulangan Hari Ke- 10 20 30 40 PKAF 1 6,78 6,99 6,8 6,83 2 6,63 6,97 6,9 6,67 3 6,71 7,00 6,82 6,84 PKPF 1 6,68 6,93 6,73 6,82 2 6,74 6,86 6,77 6,7 3 6,76 6,81 6,76 6,74 PKSF 1 6,84 6,91 6,82 6,73 2 6,78 6,85 6,73 6,66 3 6,71 6,93 6,73 6,66 Tandon 6,50 6,49 6,52 6,5 DO (ppm) Perlakuan Ulangan Hari ke- 10 20 30 40 PKAF 1 3,53 3,11 2,98 2,92 2 2,93 3,07 2,88 2,81 3 3,07 3,09 2,91 2,65 PKPF 1 2,76 3,10 2,83 2,34 2 2,80 3,12 2,62 2,31 3 2,91 3,13 2,71 2,29 PKSF 1 2,98 3,08 2,80 2,51 2 3,24 3,06 2,88 2,58 3 3,05 2,92 2,79 2,62 Tandon 3,50 3,80 3,60 3,59 Suhu Perlakuan Ulangan Hari ke- 10 20 30 40 PKAF 1 26,3 26,1 26,1 26,8 2 25,9 25,7 25,9 26,2 3 26,1 25,9 25,8 26,6 PKPF 1 26,1 25,6 26,8 26,7 2 26,4 25,8 26,5 26,7 3 25,8 25,6 25,9 26,4 PKSF 1 25,9 25,9 25,9 26,4 2 25,8 25,6 26,0 26,4 3 26,3 26,1 26,3 26,6 Tandon 26,1 25,8 26,3 26,6
35
Lampiran 10. Aspek usaha budidaya cacing sutra Asumsi Awal
Perhitungan Aspek Usaha duhitung dalam jangka waktu 1 tahun 1 siklus = 40 hari
1 tahun = 9 siklus
Produktivitas cacing sutra /m2 /siklus = 2.55 kg
Jumlah yang dipanen (setelah dikurangi 150 g untuk bibit budidaya
berikutnya) = 2,4 kg
Harga/takar (400g) = Rp. 5000,-
Berat 1 karung kotoran ayam = sapi = puyuh = 20kg
Harga/ karung = Rp. 5.000,-
Total Kotoran /m2 /siklus = 46,7 kg Luas Lahan Efektif = 390 m2
Biaya investasi dan biaya tetap sama untuk setiap perlakuan