• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. Analisis Usaha

2.4. Parameter Ekonomis

Parameter ekonomis dikaji untuk menentukan kelayakan dan keberhasilan budidaya apabila dilakukan dalam skala usaha. Parameter ekonomis yang dikaji terdiri dari dua aspek yaitu analisis keuntungan dan analisis usaha dari budidaya cacing sutra. Analisis Keuntungan terdiri dari untung/rugi dan R/C ratio,

sedangkan analisis usaha terdiri dari Harga Pokok Produksi (HPP), Payback Period (PP) dan Break Even Point (BEP).

Penerimaan adalah jumlah produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga produk. Penerimaan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al., (2005): Keterangan : TR = Total Revenue (total penerimaan)

Q = Quantity (Biomassa cacing sutra yang dijual) P = Price (Harga cacing sutra per kg)

Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya. Keuntungan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al. (2005):

-

Keterangan : = Keuntungan

TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total pengeluaran)

9

Analisis Revenue of Cost (R/C) merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi (Mahyuddin, 2007). Nilai R/C dapat dihitung menggunakan rumus menurut Mahyuddin (2007):

R/C ratio =

Keterangan : ∑TR = Total Revenue (total penerimaan) ∑TC = Total Cost (total pengeluaran)

HPP merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP dihitung menggunakan rumus berikut : HPP =

Keterangan : = Total Cost (total pengeluaran)

Q = Quantity (Nilai hasil produksi/biomassa cacing sutra) Analisis PP atau tingkat pengembalian investasi yaitu suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan dalam suatu usaha dapat kembali (Rangkuti, 2006). Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan (Kasmir dan Jakfar, 2003). Payback Period dapat hitung menggunakan rumus menurut Rangkuti (2006):

PP = 1 tahun

Keterangan : I = Biaya Investasi = Keuntungan

BEP merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi. Menurut Martin et al. (2005), BEP penerimaan (BEPp) menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika memperoleh penerimaan sebesar nominal tertentu, sedangkan BEP unit (BEPu) menunjukkan bahwa

10

produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah tertentu . BEPp dan BEPu dapat dihitung menggunakan rumus berikut :

BEPp (Rp) =

-

BEPu (kg) =

-Keterangan : TFC = Total Fix Cost (Biaya Tetap)

TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel) P = Price (Harga per kg)

TR = Total Revenue (Penerimaan)

11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Selama masa pemeliharaan cacing sutra dilakukan pengamatan terhadap peningkatan bobot biomassa dan kualitas air pada wadah pemeliharaan serta tandon.

3.1.1. Biomassa Cacing

Biomassa diamati setiap 10 hari sekali selama masa pemeliharaan yaitu selama 40 hari. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Lampiran 4. Berdasarkan grafik peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa pada akhir masa pemeliharaan, biomassa tertinggi diperoleh dari wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) dengan biomassa sebesar 2.547,19 g/m2, sedangkan yang terendah berada pada wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi) PKSF sebesar 1.301,38 g/m2. Pada grafik juga, dapat diketahui bahwa peningkatan bobot paling tinggi pada masing-masing perlakuan mulai dari hari ke-20 sampai hari ke-30 yaitu dari 763,28 g/m2 ke 1.415,43 g/m2 untuk Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF), 1.105,44 g/m2 ke 2.003,24 g/m2 untuk PKPF dan 447,44 g/m2 ke 938,74 g/m2.

Gambar 3. Grafik Biomassa cacing sutra oligochaeta selama percobaan.

0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 0 10 20 30 40 b io m assa (gr /m 2)

sampling hari

ke-PKAF

PKPF

12

Gambar 4. Histogram biomassa cacing oligochaeta yang dipelihara dengan pemberian jenis pupuk fermentasi yang berbeda pada hari ke-40. Huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan analisis stasistik, diketahui bahwa perlakuan PKPF memberikan hasil yang berbeda nyata (P < 0,05) pada PKSF begitu pula sebaliknya. Pada perlakuan PKAF diperoleh hasil bahwa tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap PKPF maupun PKSF. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

3.1.2. Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Laju pertumbuhan biomassa spesifik adalah jumlah persentase pertambahan bobot setiap harinya selama masa pemeliharaan. Laju pertumbuhan biomassa dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa pada LPBS setiap perlakuan menurun seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan. Perlakuan dengan LPBS terendah adalah pada perlakuan PKSF sebesar 1,19 pada akhir pemeliharaan, sedangkan yang tertinggi adalah pada PKPF sebesar 1,21 pada akhir pemeliharaan. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa perlakuan PKPF berbeda nyata dengan PKSF (P<0,05), sedangkan PKAF tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan PKSF maupun PKPF (Lampiran 6).

0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00 PKAF PKPF PKSF B io m assa (gr /m 2) Jenis Pupuk

ab a b

1.895,04+457,22 1.301,38+234,81 2.547,19 +507,44

13

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Perlakuan

Laju pertumbuhan bobot biomassa spesifik rata-rata hari ke-

0-10 (%) 0-20 (%) 0-30 (%) 0-40 (%)

PKAF 110,7 + 4,9 107,0 + 2,2 107,3 + 0,9 106,3ab + 0,7

PKPF 115,8 + 1,0 109,6 + 1,5 108,7 + 0,6 107,1a + 0,6

PKSF 097,9 + 13,1 103,3 + 2,0 105,7 + 0,6 105,2b + 0,5

Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda menunjukkan

pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)

3.1.3. Jumlah Pupuk (JP) dan Konversi Pupuk (KP)

Jumlah kebutuhan pupuk merupakan indikator banyaknya pupuk yang digunakan selama masa pemeliharaan, sedangkan konversi pupuk menunjukkan rasio jumlah pupuk yang digunakan untuk meningkatkan biomassa cacing sebesar 1kg. Tabel 4 menunjukkan jumlah kebutuhan pupuk sama (Lampiran 7) pada semua perlakuan. Pada data KP dapat diketahui bahwa KP terbaik berada pada perlakuan PKPF dengan jumlah pupuk yang digunakan sebesar 19,48 kg untuk memproduksi cacing sutra sebesar 1 kg. Dari analisis statistik diketahui bahwa KP pada PKPF dan PKAF berbeda nyata (P<0,05) dengan PKSF.

Tabel 4. Jumlah pupuk (JP) dan konversi pupuk (KP)

Perlakuan JP (kg/m2) KP

Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) 41,59a + 11,44 23,83a + 2,75

Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) 46,70a + 7,09 19,48a + 1,83

Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF) 46,81a + 9,09 40,66b + 1,89

Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda menunjukkan

pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)

3.1.4. Parameter Kualitas Air (DO dan pH)

Parameter kualitas air adalah parameter yang sangat penting untuk mengetahui kondisi lingkungan yang ada pada wadah perlakuan sehingga dapat diperoleh data mengenai kesesuaian kondisi lingkungan yang diperlukan oleh cacing. Data mengenai parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 9. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa kisaran pH pada setiap perlakuan berada di bawah titik optimum dengan kisaran yang paling mendekati kisaran optimum 6,63-7,00 pada perlakuan PKAF. Kisaran DO yang diperoleh selama pemeliharaan berada pada kisaran yang rendah, sedangkan pada parameter

14

suhu terlihat bahwa kisaran suhu yang diperoleh selama perlakuan di atas kisaran optimum.

Tabel 5. Parameter Kualitas Air Perlakuan Selama Pemeliharaan Parameter uji Perlakuan Kisaran optimal Sumber PKAF PKPF PKSF pH 6,63-7,00 6,68-6,93 6,66-6,93 7,0-9,0 Witley (1967) DO (ppm) 2,65-3,21 2,29-3,13 2,51-3,24 2,0-7,0 Poddubnaya (1980)

Suhu (oC) 25,7-26,8 25,6-26,8 25,6-26,6 20-25 Nascimento dan Alves

(2009)

3.1.5. Analisis usaha

Analisis usaha dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 6 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut :

1. Selama 1 tahun dilakukan 9 kali siklus produksi dengan masa budidaya selama 40 hari.

2. Luas lahan budidaya cacing sutra pada setiap perlakuan yaitu 390 m2. 3. Wadah yang digunakan berupa kolam terpal dengan dimensi 5x2x0,3 m. 4. Panen per siklus pada perlakuan PKAF sebesar 1,75 kg/m2, perlakuan PKPF

sebesar 2,4 kg/m2, dan PKSF sebesar 1,15 kg/m2.

5. Cacing sutra dihitung berdasarkan satuan takar dengan bobot 0,4 kg/takar. Dengan harga Rp. 5.000/takar.

6. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kotoran ayam fermentasi pada perlakuan PKAF, pupuk kotoran puyuh fermentasi pada perlakuan PKPF dan pupuk kotoran sapi fermentasi pada perlakuan PKSF.

7. Kebutuhan pupuk dalam 1 siklus sebesar 41,59 kg/m2, pada perlakuan PKAF, 46,7 kg/m2, pada perlakuan PKPF dan 46,81 kg/m2, pada perlakuan PKSF. 8. Harga kotoran ayam yang digunakan sebesar Rp. 1.000/kg, sedangkan untuk

kotoran sapi sebesar Rp. 150/kg dan kotoran puyuh sebesar Rp. 250/kg.

Tabel 6 menunjukkan analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka meliputi : biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C rasio, payback period (PP), dan Break Even Point (BEP).

15

Tabel 6. Analisis usaha budidaya cacing sutra dengan sistem air mengalir*.

No Keterangan PKAF PKPF PKSF 1 Investasi (Rp) 15.915.000 15.915.000 15.915.000 2 Biaya tetap (Rp) 19.000.000 19.000.000 19.000.000 3 Biaya Variabel (Rp) 151.592.105 47.316.748 30.982.872 4 Biaya Total (Rp) 170.592.105 66.316.748 49.982.872 5 Pemasukan (Rp) 76.781.250 105.300.000 50.456.250 6 keuntungan/tahun (Rp) (93.810.855) 38.983.252 473.378 7 keuntungan/bulan (Rp) (7.817.571) 3.248.604 39.448 8 HPP (Rp) 11.109 3.149 4.953 9 R/C ratio 0,450 1,588 1,009 10 Payback period - 0,41 33,62 11 BEP unit (3.900,09) 6.900,96 9.845,94 12 BEP harga (Rp) (19.500.429) 34.504.791 49.229.711

Keterangan : * Rincian biaya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tanda kurung menunjukkan nilai negatif (-).

3.2. Pembahasan

Berdasarkan data peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa peningkatan biomassa pada masing-masing perlakuan memiliki peningkatan biomassa paling rendah dari hari ke-10 sampai hari ke-20. Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 pada perlakuan PKAF sebesar 173,71 g/m2, PKPF sebesar 302,97 g/m2 dan PKSF sebesar 111,13 g/m2.Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 lebih diakibatkan oleh peningkatan bobot cacing dewasa yang telah matang gonad dan telah menetasnya cacing-cacing muda yang teramati saat sampling. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa perkembangan embrio dari telur sampai meninggalkan kokon lamanya antara 10-12 hari. Sedangkan untuk rendahnya laju peningkatan biomassa pada hari ke-20 dikarenakan turunnya biomassa tubuh cacing yang telah mengeluarkan kokon. Hal ini didasari pada pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa ketika matang gonad cacing akan bertambah bobot tubuhnya sampai mengeluarkan kokon dan bobot tubuhnya akan menurun drastis.

Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa tertinggi pada masing-masing perlakuan dari hari ke-20 sampai hari ke-30. Peningkatan biomassa dari hari ke-20 sampai hari ke-30 pada perlakuan PKAF sebesar 652,15

16

g/m2, PKPF sebesar 897,8 g/m2 dan PKSF sebesar 491,31 g/m2. Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa yang tinggi disebabkan oleh tumbuhnya cacing-cacing muda yang telah menetas pada hari-hari sebelumnya.

Biomassa yang diperoleh pada setiap perlakuan berbeda-beda dengan biomassa rata-rata tertinggi pada saat panen sebesar 2.547,19 g/m2 pada perlakuan PKPF, disusul dengan perlakuan PKAF sebesar 1.895,04 g/m2, sedangkan yang terendah sebesar pada perlakuan PKSF yaitu sebesar 1.301,38 g/m2. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan bahan organik yang terkandung dalam pupuk yang diberikan pada setiap wadah. Pupuk dengan bahan organik tertinggi adalah PKPF, kemudian PKAF dan yang terendah adalah PKSF (Lampiran 3). Bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).

C/N juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan bagi cacing. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994). Berdasarkan hasil uji laboratorium diketahui bahwa C/N yang tertinggi adalah PKSF sebesar 14,42, walaupun demikian berdasarkan pengamatan diketahui bahwa PKSF terdiri dari bahan berserat. Menurut Chamberlain et al. (2001) pemakaian bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

Berdasarkan penelusuran pustaka, pemakaian PKSF dan PKAF sebagai pupuk yang digunakan untuk penelitian budidaya cacing sutra telah dilakukan, namun belum ada penelitian yang menggunakan PKPF sebagai pupuk yang digunakan. Findi (2011) juga menggunakan kotoran sapi segar sebagai pupuk dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 1.346,36 g/m2. Substrat yang digunakan adalah campuran pasir dan kotoran sapi segar dengan perbandingan 1:3. Padat tebar yang digunakan adalah 150 g/m2. Pupuk diberikan setiap hari dengan jumlah

17

kebutuhan pupuk yang diperoleh sebesar 30.200 g/m2 dan KP terbaik sebesar 25,45.

Pemakaian pupuk kotoran ayam telah digunakan oleh Febriyanti (2004) dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 291,76 g/m2. Sedangkan pemakaian pupuk kotoran ayam yang telah difermentasi digunakan oleh Fadillah (2004) dengan hasil biomassa yang diperoleh sekitar 1.719,59 g/m2.Keduanya menggunakan substrat yang dari campuran pupuk kotoran ayam fermentasi dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang diberikan keduanya sebesar 1 kg/m2/ hari dengan lama pemeliharaan selama 60 hari.

Kualitas air merupakan parameter untuk menunjukkan kandungan air yang dapat mempengaruhi organisme di dalamnya, selain itu juga kualitas air juga dipengaruhi oleh aktifitas organisme di dalamnya. Berdasarkan data kualitas air diketahui bahwa pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,68-6,99 (Lampiran 9). Kisaran pH tersebut masih dapat ditolerir oleh cacing karena menurut Davis (1982) cacing sutra mampu beradaptasi terhadap pH air antara 6-8, namun pH bukanlah pH optimal untuk cacing sebab pH optimal untuk peningkatan cacing berada dalam kisaran 6-9 (Witley, 1967).

Konsentrasi oksigen terlarut (DO) yang diperoleh tidak akan mempengaruhi tingkat kematian cacing sutra sebab menurut Gnaiger et al (1987) cacing sutra memiliki kemampuan untuk bertahan lama dalam keadaan anoxia ( kekurangan oksigen). Pada data DO yang diperoleh menunjukkan bahwa total DO selama pemeliharaan menurun seiring dengan meningkatnya biomassa cacing dalam wadah budidaya. Kondisi DO pada saat penebaran sampai hari ke-30 menunjukkan bahwa kandungan DO masih berada di atas 2,5 ppm sehingga tidak mengganggu peningkatan biomassa dari cacing sutra. Embrio cacing sutra akan berkembang normal pada kisaran konsentrasi DO 2,5 ppm – 7 ppm (Poddubnaya, 1980). Pada hari ke-40 DO pada kotoran puyuh mengalami penurunan dibawah 2,5 ppm dengan DO terendah sebesar 2,29, hal ini dapat mengganggu perkembangan embrio namun tidak akan mengganggu nafsu makan cacing sutra sebab menurut McCall dan Fisher (1980) dalam Marian dan Pandian (1984 ) nafsu makan cacing sutra akan berkurang pada konsentrasi DO kurang dari 2 ppm.

18

Nascimento dan Alves (2009) menyatakan bahwa suhu optimal untuk cacing sutra Limnodrillus hoffmeisteri berada pada pada suhu 25 oC. Suhu yang diperoleh selama percobaan berada dalam kisaran antara 25,6-26,8 oC. Kisaran suhu ini diatas suhu optimal, namun cacing sutra masih mampu bertahan hidup sebab cacing sutra mampu bertahan hidup dalam kisaran suhu 2,5-33 oC dengan suhu minimum untuk bereproduksi sebesar 11oC (Korotun 1959 dalam Kaster 1980).

Analisis usaha diketahui bahwa bahwa modal investasi dan biaya tetap yang diperlukan untuk budidaya cacing sutra pada sistem air mengalir dengan pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF), pupuk kotoran ayam fermentasi (PKAF), maupun pupuk kotoran sapi fermentasi (PKSF) sama yaitu sebesar Rp. 15.915.000,- untuk biaya investasi dan Rp. 19.000.000,- untuk biaya tetap. Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan PKPF yaitu sebesar Rp. Rp. 38.983.252 /tahun kemudian perlakuan PKSF dengan keuntungan sebesar Rp. 473.378/tahun, sedangkan pada perlakuan PKAF justru memperoleh kerugian sebesar Rp. 473.378/tahun. Perlakuan PKAF memperoleh kerugian karena memiliki HPP yang melebihi harga jual yang sebesar Rp. 5000,- bila dibandingkan dengan PKSF dan PKPF yang memiliki HPP dibawah harga jual. HPP untuk PKAF adalah sebesar RP. 11.109,-, sedangkan HPP PKSF sebesar Rp. 4. 953 dan HPP PKPF sebesar Rp. 3.149,-.Tingginya HPP perlakuan PKAF disebabkan oleh tingginya harga pupuk kotoran ayam yaitu sebesar Rp. 20.000/karung, sedangkan pupuk kotoran puyuh memiliki harga sebesar Rp. 5.000 /karung dan pupuk kotoran sapi sebesar Rp. 3.000 /karung dengan asumsi bobot pupuk dalam 1 karung sebanyak 20 kg.

Analisis R/C digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Hal ini berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan sejumlah pendapatan. Menurut Mahyuddin (2007), Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila nilai R/C lebih dari satu. Berdasarkan analisis R/C rasio maka perlakuan PKPF dengan R/C rasio 1,588 dan PKSF dengan R/C rasio 1,009 dapat dikatakan layak sebab memiliki R/C rasio di atas 1, sedangkan perlakuan PKAF tidak layak karena memiliki R/C rasio di bawah satu yaitu sebesar 0,449.

19

BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi (Rahardi et al., 1998). Nilai BEPp pada PKAF yaitu - Rp 19.500.429 dan BEPu sebanyak -3.900,09 takar. BEP pada PKAF bernilai negatif sebab biaya variabel yang dikeluarkan lebih besar daripada pemasukan yang diperoleh, dengan demikian perlakuan PKAF tidak akan pernah mencapai titik impas. Nilai BEPp pada perlakuan PKPF yaitu Rp 34.504.791 dan BEPu sebanyak 6.900,96 takar, artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 34.504.791 dengan nilai produksi 6.900,96 takar, sedangkan pada perlakuan PKSF, titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 49.229.711 dan produksi sebanyak 9.845,94 takar.

20 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kotoran Puyuh Fermentasi merupakan perlakuan yang terbaik untuk meningkatkan biomassa dengan hasil panen cacing sutra sebesar 2547,19 g/m2 dari padat tebar awal sebanyak 150 g/m2 atau meningkat sebanyak 16,98 kali dari padat penebaran awal selama 40 hari masa pemeliharaan. Pupuk Kotoran Puyuh fermentasi juga merupakan perlakuan yang terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; R/C ratio sebesar 1,588; nilai BEPp yaitu Rp 34.504.791,- ; BEPu yaitu 6.900,96 takar dan tingkat pengembalian modal (PP) selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m2.

4.2. Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk mengkaji komposisi pupuk kotoran puyuh yang difermentasi sehingga diketahui kandungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK

Dokumen terkait