• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efectivity the use of various fermented manure in Oligochaeta Worm cultivation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efectivity the use of various fermented manure in Oligochaeta Worm cultivation"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK

KANDANG YANG DIFERMENTASI PADA BUDIDAYA

CACING SUTRA OLIGOCHAETA

WILDAN JALALUDIN RAHMAN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK

KANDANG YANG DIFERMENTASI PADA BUDIDAYA

CACING SUTRA OLIGOCHAETA

WILDAN JALALUDIN RAHMAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK KANDANG YANG DIFERMENTASI PADA BUDIDAYA CACING SUTRA OLIGOCHAETA

Adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Efektivitas Penggunaan Berbagai Pupuk Kandang yang Difermentasi pada Budidaya Cacing SutraOligochaeta.

Nama Mahasiwa : Wildan Jalaludin Rahman Nomor Pokok : C14070059

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Enang Harris Ir. Yani Hadiroseyani, MM NIP. 194908211975031001 NIP. 196001311986032002

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 195912221986011001

(5)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Percobaan ini dilaksanakan selama 40 hari mulai dari bulan Oktober 2011 sampai bulan November 2011 di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Produksi Budidaya Perairan. Skripsi ini dapat diselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada bapak Prof. Enang Harris dan Ibu Ir. Yani Hadiroseyani, MM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis. Ucapan terima kasih penulis ucapkan untuk kedua orang tua dan adik yang telah memberi dukungan dan semangat. Terima kasih juga kepada para teknisi dan laboran khususnya Dama, Bapak Abe dan Ibu Retno serta Bapak Wasjan yang sudah membantu dalam persiapan wadah dan analisis laboratorium, serta pada teman-teman BDP 44 antara lain Azis, Yunika, Wiwik, Mirna, Vira, Ridho, Fatah, dan Koi yang telah memberikan bantuan sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan. Tak lupa pula Penulis ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan BDP baik kakak kelas maupun adik kelas yang sudah banyak membantu.

Bogor, agustus 2012

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1989 di Cianjur, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Tatan Sutarman dan Ibu Neni Nuraeni.

Penulis melalui pendidikan formal di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(7)

ABSTRAK

WILDAN JALALUDIN RAHMAN. Efektivitas Penggunaan Berbagai Pupuk Kandang yang Difermentasi pada Budidaya Cacing Sutra Oligochaeta. Dibimbing oleh ENANG HARRIS dan YANI HADIROSEYANI.

Ketersediaan cacing sutra masih belum dapat memenuhi permintaan cacing sutra untuk industri pembenihan ikan. Budidaya cacing sutra harus dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut. Setiap jenis pupuk kandang dapat memberikan hasil yang berbeda terhadap produktivitas budidaya cacing sutra oligochaeta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas pupuk kotoran ayam fermentasi, pupuk kotoran sapi fermentasi dan pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF) dalam budidaya cacing sutra oligochaeta pada sistem air mengalir. Aspek yang dikaji meliputi aspek bioteknis dan ekonomis. Media yang digunakan adalah campuran lumpur dan pupuk perlakuan dengan perbandingan 1:1. Pemupukan tambahan dilakukan setiap hari selama masa pemeliharaan cacing sutra dengan debit aliran air sebesar 126 ml/menit/wadah. Berdasarkan aspek bioteknis, pemberian PKPF menghasilkan biomassa cacing sutra tertinggi yakni sebesar 2547,19 g/m2. PKPF juga merupakan perlakuan terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; rasio R/C sebesar 1,588; dan tingkat pengembalian modal (PP) selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m2.

Kata Kunci: cacing sutra Oligochaeta, pupuk, biomassa, aspek ekonomi.

ABSTRACT

WILDAN JALALUDIN RAHMAN. Efectivity the use of various fermented manure in Oligochaeta Worm cultivation. Supervised by ENANG HARRIS and YANI HADIROSEYANI.

The supply of tubifex worm which is usually used in fish hatchery is still insufficient since its demand is continously growing. Therefore, tubifex worm culture is importance to meet that demand. Every kind of manure can give to different result to oligochaeta worm cultivation. The purpose of this research was assessing effectiveness of fermented chicken manure, fermented quail manure (FQM), and fermented cow dung manure in oligochaeta worm cultivation in flow through system. The aspect that assessed was covering bio-technical and economical means. The medium that used were a mixture of mud and manure with weight ratio of 1 : 1. The addition of manure carried on every day during the maintenance of tubificid worm and the flow through debit was 126 ml/min/container. Based on bio-technical aspect, FQM addition produced highest biomass about 2547,19 g/m2 and FQM also the best treatment in economical aspects with profit of about Rp 38.983.252,-; ; R/C ratio about 1,588; Payback Periode for 0,41 year in an area of land effective at 390 m2.

(8)

i

2.5.2 Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)... 7

2.5.3 Jumlah Pupuk (JP) ... 7

3.1.2 Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)... 12

(9)

ii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil analisis bahan organik dan C/N pada pupuk yang digunakan dalam

penelitian ... 5

2. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur ... 8

3. Laju pertumbuhan biomassa spesifik (LPBS) ... 13

4. Jumlah pupuk (JP) dan konversi pupuk (KP) ... 13

5. Parameter kualitas air perlakuan selama pemeliharaan ... 14

(10)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Desain wadah percobaan tampak samping ... 3 2. Denah percobaan budidaya sistemair mengalir ... 4 3. Grafik biomassa cacing sutra oligochaeta selama percobaan ... 11 4. Histogram biomassa cacing oligochaeta yang dipelihara dengan pemberian

(11)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data proyeksi peningkatan produksi ikan patin nasional... 24

2. Metode analisis bahan organik, C-Organik, serta N-Organik ... 25

3. Kandungan bahan organik dan C/N organik pada tiap pupuk perlakuan ... 28

4. Biomassa selama pemeliharaan (g/m2) ... 29

5. Hasil analisis statistik biomassa cacing sutra ... 30

6. Hasil analisis statistik laju pertumbuhan biomassa spesifik (LPBS) ... 31

7. Hasil analisis statistik jumlah pupuk (JP) ... 32

8. Hasil analisis statistik konversi pupuk (KP) ... 33

9. Data kualitas air selama pemeliharaan ... 34

(12)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacing sutra (oligochaeta) adalah salah satu pakan alami yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya ikan air tawar, khususnya pembenihan ikan konsumsi dan pembudidayaan ikan hias. Seiring berkembangnya industri budidaya, maka kebutuhan akan pakan alami seperti cacing sutra juga meningkat. Sebagai gambaran , untuk memenuhi kebutuhan produksi patin pada tahun 2012 dengan target produksi sebesar 651.000 ton saja setidaknya memerlukan cacing sebanyak 7.37.740,38 kg. Kebutuhan tersebut dihitung dengan asumsi bobot panen patin 0.7kg/ekor (Bisnis Jabar, 2010), laju kelangsungan hidup atau

Survival Rate (SR) pembesaran patin 80% (SNI 01-6483.5, 2002), SR pendederan 80%, dan SR pembenihan 65% (SNI 01-7256, 2006). Pemberian cacing pada larva diasumsikan sebanyak 16,5 liter untuk 100.000 ekor larva (SNI 01-7256, 2006), dan bobot cacing 2 kg/liter (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil wawancara, dengan salah satu pengumpul cacing di Darmaga, Kab. Bogor, diketahui bahwa produksi cacing sutra dilakukan dengan cara menangkapnya dari alam. Produksi cacing sutra dengan cara tersebut relatif memiliki kelemahan yaitu ketersediaannya yang selalu berfluktuatif tergantung jumlahnya di alam. Selain itu, penangkapan di alam masih bergantung pada musim. Produksi menurun pada saat musim hujan karena pada saat hujan cacing sutra cenderung bersembunyi dalam lumpur sehingga menyulitkan pada saat penangkapan.

(13)

2

keduanya juga melakukan pemupukan tambahan secara konstan sebanyak 1 kg/m2.

Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas cacing sutra. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yang tidak difermentasi. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah (2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004) memperoleh hasil terbaik 292 g/m2.

Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam-macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah (2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk tersebut, dapat juga digunakan pupuk lain seperti pupuk kotoran puyuh.

Pupuk kotoran ayam, sapi maupun puyuh memiliki keunggulan tersendiri dalam aspek kemudahan untuk memperoleh, harga serta ketersediaan pupuk. Pupuk kotoran ayam dan pupuk kotoran sapi merupakan jenis pupuk yang umum digunakan dalam bidang pertanian, sehingga penyediaannya mudah diperoleh.

Kotoran puyuh belum umum digunakan, tetapi hal tersebut menyebabkan ketersediaan terjamin karena tidak perlu bersaing dengan pengguna pupuk untuk keperluan pertanian. Dalam segi harga,pupuk kotoran ayam murni memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pupuk kotoran puyuh. Sebagai gambaran, pupuk kotoran puyuh yang dijual di pasaran seperti yang dijual di peternakan Fakultas Peternakan IPB Cilibende, pupuk kotoran yaitu Rp. 5.000/karung (+ 20 kg), dan pupuk kotoran ayam murni seperti yang dijual di Peternakan Fakultas Peternakan, IPB di Darmaga juga memiliki harga Rp. 20.000/karung. Pupuk kotoran sapi seperti yang dijual di Fakultas Peternakan, IPB di Darmaga dapat diperoleh dengan harga Rp.3.000/karung.

1.2 Tujuan

(14)

3

II.

BAHAN DAN METODE

2.1. Persiapan Wadah dan Media Budidaya

Persiapan wadah dimulai dengan pembuatan wadah dan pemasangan sistem.Wadah budidaya yang digunakan adalah ember dengan ketinggian 17 cm dan diameter 20 cm dengan saluran outlet berdiameter 2,2 cm. Sistem budidaya yang digunakan adalah sistem air mengalir dengan sumber air dari sumur bor yang ditampung dalam tandon berukuran 3 ton. Air dari tandon kemudian dialirkan menggunakan selang aerasi berdiameter 0,5 cm. Debit aliran yang digunakan adalah 1.000 ml/menit untuk volume air pada wadah sebesar 100 cm x 25 cm x 2 cm atau sekitar 5.000 ml (Chumaidi et al., 1988) atau sebesar 20%/menit dari volume air, karena volume air yang dipakai sebesar 628 ml (3,14x10 cm x10 cm x2 cm) maka debit dipertahankan pada kecepatan 125,6 ml/menit atau dibulatkan menjadi 126 ml/menit. Pengaturan debit dilakukan dengan mengatur klep saluran yang ada pada tiap wadah. Wadah percobaan dapat dilihat pada Gambar 1 dan desain sistem pada Gambar 2.

20 cm

2,2 cm

1 17cm 2

3

Keterangan :

1. Air dengan ketinggian 2 cm dari permukaan substrat

2. Substrat dengan ketinggian 6 cm dari dasar wadah

3. Saluran pembuangan

(15)

4 S1 P1 A2 S2 P3

A1 S3 P2 A3

Keterangan : T : Tandon air : Inlet : Outlet

A : Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) P : Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF)

S : Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF)

Gambar 2. Denah percobaan budidaya sistemair mengalir

Media budidaya dibuat dengan mencampurkan pupuk perlakuan dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang fermentasi dari kotoran ayam, kotoran sapi dan kotoran burung puyuh.Pupuk kotoran sapi dan pupuk kotoran ayam yang digunakan berasal dari peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor di Darmaga, sedangkan pupuk kotoran burung puyuh diperoleh dari peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor di Cilibende.

Pembuatan pupuk fermentasi didahului dengan pembuatan larutan aktivator, yaitu gula pasir sebanyak ¼ sendok makan (3,75 g) dan EM4 (Effective Microorganism 4) sebanyak 4 ml dicampur ke dalam 300 ml air. Larutan ini digunakan untuk 10 kg pupuk perlakuan. Larutan aktivator tersebut dicampurkan dengan Pupuk dan diaduk merata. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam plastik tertutup selama 5 hari. Setelah 5 hari, kotoran dijemur dengan bantuan cahaya matahari langsung hingga kering (Fadillah, 2004).

(16)

5

Tabel 1. Hasil analisis bahan organik dan C/N pada pupuk yang digunakan dalam penelitian

No Bahan %TOM

(Bobot Kering) C/N

1 Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) 40,89 5,83

2 Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) 41,73 8,12

3 Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF) 38,21 14,42

Media budidaya yang sudah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam wadah setinggi 6 cm. Wadah kemudian dialiri dengan air, lalu diatur agar air yang dimasukkan setinggi 2 cm. Setelah air dimasukkan kemudian didiamkan selama 10 hari. Pada saat didiamkan selama 10 hari, wadah ditutup agar tidak ada hama pengganggu seperti lalat yang masuk.

Setelah 10 hari didiamkan, kemudian cacing sutra ditebar. Cacing ini diperoleh dari pengumpul cacing yang ada di wilayah Pasar Cibeureum, Kab. Bogor. Cacing ditebar secara merata dengan kepadatan 150 g/ m2 atau sebanyak 4,71 g/wadah.

Pemeliharaan dilakukan selama 40 hari dengan pemberian pupuk secara harian. Pupuk yang diberikan adalah pupuk perlakuan yang telah difermentasi menggunakan aktivator EM4. Pupuk perlakuan yang digunakan adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh. Pemberian pupuk berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Findi (2011) yakni setiap satu kali sehari dengan dosis pupuk yang diberikan yaitu sebanyak 2,5 x biomassa cacing /wadah untuk pupuk kotoran sapi fermentasi. Karena pupuk kotoran ayam fermentasi dan kotoran puyuh fermentasi memiliki kadar air yang berbeda maka jumlah yang diberikan harus disamakan berdasarkan bobot keringnya dengan pupuk kotoran sapi fermentasi sehingga pemberian pupuk kotoran ayam fermentasi sebanyak 1,43 x biomassa cacing /wadah dan pupuk kotoran burung puyuh sebanyak 1,15 x biomassa cacing /wadah. Pupuk diberikan dengan cara ditebar secara merata setelah aliran air dihentikan terlebih dahulu. Setelah penebaran pupuk, 10 menit kemudian air dapat dialirkan kembali ke dalam wadah.

(17)

6

Sampling dilakukan dengan memasukkan pipa berdiameter 2,2 cm (luas permukaan lubang 4,9 cm2) ke dalam substrat, lalu pipa diangkat dengan menutup lubang bagian bawah. Substrat yang telah diambil kemudian ditampung dalam seser lalu dicuci dengan air mengalir. Substrat yang telah dibersihkan kemudian disebarkan ke dalam baki, lalu kemudian cacing dipisahkan dari substrat dalam baki tersebut dengan menggunakan pipet.

2.2 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Adapun perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

 Pemakaian pupuk kotoran ayam fermentasi (PKAF).  Pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF).  Pemakaian pupuk kotoran sapi fermentasi (PKSF).

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0. Pengujian yang dilakukan meliputi uji normalitas Shapiro-Wink (P>0,05), analisis Ragam (ANOVA) (P>0,05). Bila Uji normalitas menunjukkan P>0,05 maka dilanjutkan dengan uji ANOVA dan bila ANOVA memiliki F hitung > F table (P>0,05), maka dapat dilanjutkan uji

єij = Pengaruh galat akibat perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis : H0 = perlakuan pemakaian pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh yang difermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

H1 = perlakuan pemakaian pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh yang difermentasi memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

(18)

7 2.3. Parameter Bioteknis

2.3.1. Biomassa

Biomassa dihitung dengan menggunakan rumus

B=

Keterangan : B : Biomassa (g/ m2) s : Bobot Sampel (g)

lw : Luasan substrat wadah (m2) ls : Luasan substrat sampel (m2)

2.3.2 Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Laju pertumbuhan biomasssa spesifik dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

LPBS = x 100%

Keterangan : LPBS : Laju pertumbuhan biomassa spesifik pada hari ke-t Bt : Biomassa pada hari ke-t

B0 : Biomassa pada hari ke-0

t : Waktu pengamatan pada hari ke-t

2.3.3. Jumlah Pupuk (JP)

Jumlah Pupuk adalah jumlah pupuk yang digunakan selama masa pemeliharaan. JP diketahui dengan menjumlahkan seluruh bobot pupuk yang digunakan setiap perlakuan selama masa pemeliharaan.

2.3.4. Konversi Pupuk (KP)

Konversi pupuk adalah sejumlah pupuk yang digunakan untuk meningkatkan biomassa cacing sutra sebanyak 1 kg. Rumus dari konversi pupuk ini dapat disamakan dengan rumus konversi pakan yaitu:

Keterangan : KP : Konversi Pupuk

JP : Jumlah Pupuk dari hari ke-0 sampai hari ke-t Bt : Biomassa pada hari ke-t

(19)

8 2.3.5 Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, oksigen terlarut (DO), dan pH yang diukur setiap sepuluh hari. Pengambilan sampel air untuk mengamati nilai suhu, pH dan DO dilakukan pada bagian outlet menggunakan botol plastik.

Tabel 2. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur

Parameter Satuan Alat Ukur

Suhu oC DO meter

Oksigen terlarut Ppm DO meter

pH - pH meter

2.4. Parameter Ekonomis

Parameter ekonomis dikaji untuk menentukan kelayakan dan keberhasilan budidaya apabila dilakukan dalam skala usaha. Parameter ekonomis yang dikaji terdiri dari dua aspek yaitu analisis keuntungan dan analisis usaha dari budidaya cacing sutra. Analisis Keuntungan terdiri dari untung/rugi dan R/C ratio,

sedangkan analisis usaha terdiri dari Harga Pokok Produksi (HPP), Payback Period (PP) dan Break Even Point (BEP).

Penerimaan adalah jumlah produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga produk. Penerimaan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al., (2005):

Keterangan : TR = Total Revenue (total penerimaan)

Q = Quantity (Biomassa cacing sutra yang dijual) P = Price (Harga cacing sutra per kg)

Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya. Keuntungan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al. (2005):

-

Keterangan : = Keuntungan

(20)

9

Analisis Revenue of Cost (R/C) merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi (Mahyuddin, 2007). Nilai R/C dapat dihitung menggunakan rumus menurut Mahyuddin (2007):

R/C ratio =

Keterangan : ∑TR = Total Revenue (total penerimaan) ∑TC = Total Cost (total pengeluaran)

HPP merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP dihitung menggunakan rumus berikut : HPP =

Keterangan : = Total Cost (total pengeluaran)

Q = Quantity (Nilai hasil produksi/biomassa cacing sutra)

Analisis PP atau tingkat pengembalian investasi yaitu suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan dalam suatu usaha dapat kembali (Rangkuti, 2006). Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan (Kasmir dan Jakfar, 2003). Payback Period dapat hitung menggunakan rumus menurut Rangkuti (2006):

PP = 1 tahun

Keterangan : I = Biaya Investasi = Keuntungan

(21)

10

produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah tertentu . BEPp dan BEPu dapat dihitung menggunakan rumus berikut :

BEPp (Rp) =

-

BEPu (kg) =

-Keterangan : TFC = Total Fix Cost (Biaya Tetap)

TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel) P = Price (Harga per kg)

TR = Total Revenue (Penerimaan)

(22)

11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Selama masa pemeliharaan cacing sutra dilakukan pengamatan terhadap peningkatan bobot biomassa dan kualitas air pada wadah pemeliharaan serta tandon.

3.1.1. Biomassa Cacing

Biomassa diamati setiap 10 hari sekali selama masa pemeliharaan yaitu selama 40 hari. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Lampiran 4. Berdasarkan grafik peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa pada akhir masa pemeliharaan, biomassa tertinggi diperoleh dari wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) dengan biomassa sebesar 2.547,19 g/m2, sedangkan yang terendah berada pada wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi) PKSF sebesar 1.301,38 g/m2. Pada grafik juga, dapat diketahui bahwa peningkatan bobot paling tinggi pada masing-masing perlakuan mulai dari hari ke-20 sampai hari ke-30 yaitu dari 763,28 g/m2 ke 1.415,43 g/m2 untuk Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF), 1.105,44 g/m2 ke 2.003,24 g/m2 untuk PKPF dan 447,44 g/m2 ke 938,74 g/m2.

Gambar 3. Grafik Biomassa cacing sutra oligochaeta selama percobaan.

(23)

12

Gambar 4. Histogram biomassa cacing oligochaeta yang dipelihara dengan pemberian jenis pupuk fermentasi yang berbeda pada hari ke-40. Huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan analisis stasistik, diketahui bahwa perlakuan PKPF memberikan hasil yang berbeda nyata (P < 0,05) pada PKSF begitu pula sebaliknya. Pada perlakuan PKAF diperoleh hasil bahwa tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap PKPF maupun PKSF. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

3.1.2. Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Laju pertumbuhan biomassa spesifik adalah jumlah persentase pertambahan bobot setiap harinya selama masa pemeliharaan. Laju pertumbuhan biomassa dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa pada LPBS setiap perlakuan menurun seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan. Perlakuan dengan LPBS terendah adalah pada perlakuan PKSF sebesar 1,19 pada akhir pemeliharaan, sedangkan yang tertinggi adalah pada PKPF sebesar 1,21 pada akhir pemeliharaan. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa perlakuan PKPF berbeda nyata dengan PKSF (P<0,05), sedangkan PKAF tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan PKSF maupun PKPF (Lampiran 6).

(24)

13

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Perlakuan

Laju pertumbuhan bobot biomassa spesifik rata-rata hari ke-

0-10 (%) 0-20 (%) 0-30 (%) 0-40 (%)

PKAF 110,7 + 4,9 107,0 + 2,2 107,3 + 0,9 106,3ab + 0,7

PKPF 115,8 + 1,0 109,6 + 1,5 108,7 + 0,6 107,1a + 0,6

PKSF 097,9 + 13,1 103,3 + 2,0 105,7 + 0,6 105,2b + 0,5

Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda menunjukkan

pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)

3.1.3. Jumlah Pupuk (JP) dan Konversi Pupuk (KP)

Jumlah kebutuhan pupuk merupakan indikator banyaknya pupuk yang digunakan selama masa pemeliharaan, sedangkan konversi pupuk menunjukkan rasio jumlah pupuk yang digunakan untuk meningkatkan biomassa cacing sebesar 1kg. Tabel 4 menunjukkan jumlah kebutuhan pupuk sama (Lampiran 7) pada semua perlakuan. Pada data KP dapat diketahui bahwa KP terbaik berada pada perlakuan PKPF dengan jumlah pupuk yang digunakan sebesar 19,48 kg untuk memproduksi cacing sutra sebesar 1 kg. Dari analisis statistik diketahui bahwa KP pada PKPF dan PKAF berbeda nyata (P<0,05) dengan PKSF.

Tabel 4. Jumlah pupuk (JP) dan konversi pupuk (KP)

Perlakuan JP (kg/m2) KP

Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) 41,59a + 11,44 23,83a + 2,75

Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) 46,70a + 7,09 19,48a + 1,83

Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF) 46,81a + 9,09 40,66b + 1,89

Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda menunjukkan

pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)

3.1.4. Parameter Kualitas Air (DO dan pH)

(25)

14

suhu terlihat bahwa kisaran suhu yang diperoleh selama perlakuan di atas kisaran optimum.

Tabel 5. Parameter Kualitas Air Perlakuan Selama Pemeliharaan

Parameter budidaya cacing oligochaeta setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 6 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut :

1. Selama 1 tahun dilakukan 9 kali siklus produksi dengan masa budidaya selama 40 hari.

2. Luas lahan budidaya cacing sutra pada setiap perlakuan yaitu 390 m2. 3. Wadah yang digunakan berupa kolam terpal dengan dimensi 5x2x0,3 m. 4. Panen per siklus pada perlakuan PKAF sebesar 1,75 kg/m2, perlakuan PKPF

sebesar 2,4 kg/m2, dan PKSF sebesar 1,15 kg/m2.

5. Cacing sutra dihitung berdasarkan satuan takar dengan bobot 0,4 kg/takar. Dengan harga Rp. 5.000/takar.

6. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kotoran ayam fermentasi pada perlakuan PKAF, pupuk kotoran puyuh fermentasi pada perlakuan PKPF dan pupuk kotoran sapi fermentasi pada perlakuan PKSF.

7. Kebutuhan pupuk dalam 1 siklus sebesar 41,59 kg/m2, pada perlakuan PKAF, 46,7 kg/m2, pada perlakuan PKPF dan 46,81 kg/m2, pada perlakuan PKSF. 8. Harga kotoran ayam yang digunakan sebesar Rp. 1.000/kg, sedangkan untuk

kotoran sapi sebesar Rp. 150/kg dan kotoran puyuh sebesar Rp. 250/kg.

(26)

15

Tabel 6. Analisis usaha budidaya cacing sutra dengan sistem air mengalir*.

No Keterangan PKAF PKPF PKSF

Keterangan : * Rincian biaya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tanda kurung menunjukkan nilai negatif (-).

3.2. Pembahasan

Berdasarkan data peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa peningkatan biomassa pada masing-masing perlakuan memiliki peningkatan biomassa paling rendah dari hari ke-10 sampai hari ke-20. Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 pada perlakuan PKAF sebesar 173,71 g/m2, PKPF sebesar 302,97 g/m2 dan PKSF sebesar 111,13 g/m2.Peningkatan biomassa dari hari ke-10 sampai hari ke-20 lebih diakibatkan oleh peningkatan bobot cacing dewasa yang telah matang gonad dan telah menetasnya cacing-cacing muda yang teramati saat sampling. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa perkembangan embrio dari telur sampai meninggalkan kokon lamanya antara 10-12 hari. Sedangkan untuk rendahnya laju peningkatan biomassa pada hari ke-20 dikarenakan turunnya biomassa tubuh cacing yang telah mengeluarkan kokon. Hal ini didasari pada pernyataan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa ketika matang gonad cacing akan bertambah bobot tubuhnya sampai mengeluarkan kokon dan bobot tubuhnya akan menurun drastis.

(27)

16

g/m2, PKPF sebesar 897,8 g/m2 dan PKSF sebesar 491,31 g/m2. Peningkatan biomassa dan laju peningkatan biomassa yang tinggi disebabkan oleh tumbuhnya cacing-cacing muda yang telah menetas pada hari-hari sebelumnya.

Biomassa yang diperoleh pada setiap perlakuan berbeda-beda dengan biomassa rata-rata tertinggi pada saat panen sebesar 2.547,19 g/m2 pada perlakuan PKPF, disusul dengan perlakuan PKAF sebesar 1.895,04 g/m2, sedangkan yang terendah sebesar pada perlakuan PKSF yaitu sebesar 1.301,38 g/m2. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan bahan organik yang terkandung dalam pupuk yang diberikan pada setiap wadah. Pupuk dengan bahan organik tertinggi adalah PKPF, kemudian PKAF dan yang terendah adalah PKSF (Lampiran 3). Bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).

C/N juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan bagi cacing. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994). Berdasarkan hasil uji laboratorium diketahui bahwa C/N yang tertinggi adalah PKSF sebesar 14,42, walaupun demikian berdasarkan pengamatan diketahui bahwa PKSF terdiri dari bahan berserat. Menurut Chamberlain et al. (2001) pemakaian bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

(28)

17

kebutuhan pupuk yang diperoleh sebesar 30.200 g/m2 dan KP terbaik sebesar 25,45.

Pemakaian pupuk kotoran ayam telah digunakan oleh Febriyanti (2004) dengan hasil biomassa tertinggi sebesar 291,76 g/m2. Sedangkan pemakaian pupuk kotoran ayam yang telah difermentasi digunakan oleh Fadillah (2004) dengan hasil biomassa yang diperoleh sekitar 1.719,59 g/m2.Keduanya menggunakan substrat yang dari campuran pupuk kotoran ayam fermentasi dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang diberikan keduanya sebesar 1 kg/m2/ hari dengan lama pemeliharaan selama 60 hari.

Kualitas air merupakan parameter untuk menunjukkan kandungan air yang dapat mempengaruhi organisme di dalamnya, selain itu juga kualitas air juga dipengaruhi oleh aktifitas organisme di dalamnya. Berdasarkan data kualitas air diketahui bahwa pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,68-6,99 (Lampiran 9). Kisaran pH tersebut masih dapat ditolerir oleh cacing karena menurut Davis (1982) cacing sutra mampu beradaptasi terhadap pH air antara 6-8, namun pH bukanlah pH optimal untuk cacing sebab pH optimal untuk peningkatan cacing berada dalam kisaran 6-9 (Witley, 1967).

(29)

18

Nascimento dan Alves (2009) menyatakan bahwa suhu optimal untuk cacing sutra Limnodrillus hoffmeisteri berada pada pada suhu 25 oC. Suhu yang diperoleh selama percobaan berada dalam kisaran antara 25,6-26,8 oC. Kisaran suhu ini diatas suhu optimal, namun cacing sutra masih mampu bertahan hidup pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF), pupuk kotoran ayam fermentasi (PKAF), maupun pupuk kotoran sapi fermentasi (PKSF) sama yaitu sebesar Rp. 15.915.000,- untuk biaya investasi dan Rp. 19.000.000,- untuk biaya tetap. Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan PKPF yaitu sebesar Rp. Rp. 38.983.252 /tahun kemudian perlakuan PKSF dengan keuntungan sebesar Rp. 473.378/tahun, sedangkan pada perlakuan PKAF justru memperoleh kerugian sebesar Rp. 473.378/tahun. Perlakuan PKAF memperoleh kerugian karena memiliki HPP yang melebihi harga jual yang sebesar Rp. 5000,- bila dibandingkan dengan PKSF dan PKPF yang memiliki HPP dibawah harga jual. HPP untuk PKAF adalah sebesar RP. 11.109,-, sedangkan HPP PKSF sebesar Rp. 4. 953 dan HPP PKPF sebesar Rp. 3.149,-.Tingginya HPP perlakuan PKAF disebabkan oleh tingginya harga pupuk kotoran ayam yaitu sebesar Rp. 20.000/karung, sedangkan pupuk kotoran puyuh memiliki harga sebesar Rp. 5.000 /karung dan pupuk kotoran sapi sebesar Rp. 3.000 /karung dengan asumsi bobot pupuk dalam 1 karung sebanyak 20 kg.

(30)

19

(31)

20 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kotoran Puyuh Fermentasi merupakan perlakuan yang terbaik untuk meningkatkan biomassa dengan hasil panen cacing sutra sebesar 2547,19 g/m2 dari padat tebar awal sebanyak 150 g/m2 atau meningkat sebanyak 16,98 kali dari padat penebaran awal selama 40 hari masa pemeliharaan. Pupuk Kotoran Puyuh fermentasi juga merupakan perlakuan yang terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; R/C ratio sebesar 1,588; nilai BEPp yaitu Rp 34.504.791,- ; BEPu yaitu 6.900,96 takar dan tingkat pengembalian modal (PP) selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m2.

4.2. Saran

(32)

21 DAFTAR PUSTAKA

Avnimelech, Y., M. Kochva, Shaker, 1994, Development of Controlled Intensif Aquaculture Systems with A Limited Water Exchange and Adjusted Carbon to Nitrogen Ratio. Bamidgeh. 46 (3): 1999-131.

Bisnis Jabar, 2010. Produksi Ikan Patin Jabar Diprediksi Naik 65,56%. http.//bisnis-jabar.com/berit/produksi-ikan-patin-jabar-diprediksi-naik-6556.html [2 Juni 2011]

Chamberlain, G., Avnimelech, Y., McIntosh, R.P., Velasco M., 2001. Advantages of Aerated Microbial Reuse Systems with Balanced C/N : Nutrient tranformation and water quality benefits. Global Aquaculture Alliance : April 2001

Chumaidi, Zaenuddin, Fiastri, 1988. Pengaruh Debit Air yang Berbeda Terhadap Biomassa Cacing Rambut (Tubifisid). Buletin Perikanan Darat. 7(2): 41-46.

Davis, J. R., 1982. Nerw Record of Aquatic Oligochaeta From Texas With Observation on Their Ecological Characteristic. Hydrobiologia. 96: 15-21.

Eviati, Sulaeman, 2009. Petunjuk Teknis Edisi 2 : Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor : Balai Penelitian Tanah.

Fadillah, R., 2004. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra

Limnodrillus Pada Media Yang Dipupuk Kotoran Ayam Hasil Fermentasi. [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Febriyanti, D., 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran Ayam Terhadap Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra. [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Findy, S., 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk kotoran sapi fermentasi Terhadap Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutra (Tubificidae). [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Gnaiger, E., Kaufmann, R., Staudigl. I., 1987. Physiological Reaction of Aquatic Oligochaetes to Enviromental Anoxia. Hydrobiologia: 155.

Kasmir, Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Prenada Media.

(33)

22

Kosiorek, D., 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4): 411-422.

Mahyuddin, K., 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.

Marian, M.P., Pandian, T.J. 1984. Culture and Harvesting Technique for Tubifex tubifex. Aquaculture. 42: 303-315.

Martin, J.D., Petty, J.W., Keown, A.J., Scott, D.F., 2005. Basic Financial Management 10th Edition. New Jersey USA: Prentice Hall Inc.

Nascimento, H., Alves, R.G., 2009. The Effect Of Temperature On The Reproduction Of Limnodrillus hoffmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia 26 (1) : 191-193.

Poddubnaya, T.L., 1980. Life Cycles of Mass Species of Tubificidae. In RO Brinkhust and DG Cook (Editors), Aquatic Oligochaeta Biology. Plenum, New York, NY, pp.175-184.

Rahardi, F., Kristiawati, R., Nazarudin., 1998. Agribisnis Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rangkuti, F., 2006. Business Plan. Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

SNI 01-6483.5., 2002. Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) Kelas Benih

Syarip. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Tambahan Terhadap Pertumbuhan Tubifex. Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients, p.179-225. In Fish Nutrition and Mariculture. Watanabe, T (ed.). Departement of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries.

(34)

23

(35)

24

Lampiran 1. Data Proyeksi Peningkatan Produksi Patin Nasional

Keterangan

Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi patin

(ton) 132.600 225.000 383.000 651.000 1.107.000 1.883.000

Kebutuhan larva*

(ribu ekor) 455.357 772.664 1.315.247 2.235.576 3.801.510 6.466.346

kebutuhan cacing**

(ribu liter) 75,13 127,48 217,02 368,87 627,25 1.066,95

Kebutuhan cacing***

(ton) 150,27 254,98 434,03 737,74 1.254,50 2.133,89

Keterangan:

(*) Ukuran patin konsumsi : 0.7 kg/ekor (bisnis Jabar, 2010)

SR pembesaran (ukuran konsumsi) : 80% (SNI 01-6483.5, 2002)

SR pendederan : 80% (SNI 01-7256,2006)

SR pemeliharaan larva : 65% (SNI 01-7256,2006)

(**) 100.000 ekor larva memerlukan 16.5 liter cacing (SNI 01-7256,2006)

(36)

25

Lampiran 2. Metode analisis bahan organik, C-Organik, serta N-Organik.

A.Metode analisis bahan organik

Metode analisis bahan organik didasari pada metode analisis kadar abu (Takeuchi, 1988)

Kadar abu = (X2-X1) x 100% A

Kadar bahan organik = 100%- kadar abu

B.Metode analisis kadar C-Organik

Metode analisa kadar C-Organik menggunakan metode Wilkley and Black (Eviati dan Sulaeman, 2009)

Persiapan bahan uji

Persiapan standar 0 ppm dan 250 ppm

Lalukan langkah 2 sampai 5 pada metode persiapan uji untuk pembuatan standar 0 ppm dan 250 ppm

pipet 5 ppm larutan standar 5000 ppm untuk standar 250 dan 0 ppm larutan standar 5000 ppm untuk standar 0 ppm

5. Keesokan harinya ukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 561 4. Diencerkan dengan air bebas ion, diarkan dingin dan impitkan

3. Tambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat, kocok dan diamkan 30 2. Tambahkan K2Cr2O7 1 N kemudian

1. Timbang bahan 0,5 g yang sudah diayak sebelumnya (ukuran bahan <0,5 mm) kemudian masukkan dalam labu 100 ml Cawan dipanaskan pada suhu 105-110 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (X1)

Bahan ditimbang 2-3 g (A) lalu dimasukkan ke dalam cawan

(37)

26

Rumus = ppm kurva x 10/500 x fk

Keterangan :ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari deret standar dengan pembacaan nya setelah dikoreksi blanko

Fk = faktor koreksi kadar air (100/ (100-kadar air))

100 = konversi 100%

C.Metode analisis kadar N-Organik

Metode analisis kadar N-Organik didasari dari metode Kjedahl (Takeuchi, 1988)

Tahap Oksidasi

Tahap Destruksi

Destruksi selama 10 menit dari tetesan pertama

Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL 5 mL larutan hasil oksidasi

dimasukkan ke dalam labu destilasi

2-3 tetes indikator 10 mL H2SO4

0,05 N

Dimasukkan ke dalam labu Kjedhal dan dipanaskan hingga berwarna hijau bening, didinginkan, dan diencerkan hingga volume 100 mL

H2SO4 pekat 10 mL Katalis ditimbang

3 gr Bahan ditimbang

(38)

27

Tahap Titrasi

Kadar N-Organik (%) =0,0007* x (Vb-Vs) x 20 x 100% A

Keterangan :

Vs = ml 0,05 N nitran NaOH untuk sampel Vb = ml 0,05 N nitran NaOH untuk blanko F = faktor koreksi dari 0,05 N larutan NaOH S = bobot sampel (gram)

* = setiap ml 0,05 N NaOH ekuivalen dengan 0,0007 gram nitrogen mL titran dicatat (V)

sampel Dititrasi hingga 1 tetes setelah larutan

menjadi bening

Blanko Hasil destruksi dititrasi dengan NaOH

(39)

28

Lampiran 3. Kandungan bahan organik dan C/N organik pada tiap pupuk perlakuan

Lampiran 3a. Kandungan Bahan Organik Pada Tiap Pupuk Perlakuan

No Bahan %Air %TOM (BB) %TOM (BK)

1 Kotoran Ayam Segar 70,94 8,96 30,83

2 Kotoran Ayam Kering 48,56 20,21 39,29

3 Kotoran Ayam Fermentasi 44,97 22,5 40,89

4 Kotoran Sapi Segar 80,6 3,52 18,14

5 Kotoran Sapi Kering 70,6 7,67 26,09

6 Kotoran Sapi Fermentasi 68,65 11,98 38,21

7 Kotoran Puyuh Segar 54,3 14,12 30,90

8 Kotoran Puyuh Kering 48,91 16,21 31,73

9 Kotoran Puyuh Fermentasi 31,94 28,4 41,73

Sumber: Hasil Analisis Laboratorium BDP

Lampiran 3b. Rasio C/N Pada Tiap Pupuk Perlakuan

No Bahan %C %N C/N

1 Kotoran Ayam Fermentasi 10,38 1,78 5,83

2 Kotoran Puyuh Fermentasi 16,33 2,01 8,12

3 Kotoran Sapi Fermentasi 11,39 0,79 14,42

(40)

29

Lampiran 4. Biomassa Selama Pemeliharaan (g/m2)

wadah ulangan Hari ke-

10 20 30 40

PKAF 1 500,08 579,04 1175,62 1456,37

2 824,69 1079,12 1789,76 2368,80

3 443,93 631,68 1280,9 1859,94

Rata-Rata 589,57 + 205,55 763,28+274,79 1415,43+328,42 1895,05+457,22

PKPF 1 842,24 1403,73 2281,06 2939,06

2 740,47 877,33 1675,70 1974,00

3 824,69 1035,25 2052,96 2728,50

Rata-Rata 802,47+54,40 1105,44+270,13 2003,24+305,73 2547,19+507,44

PKSF 1 526,4 526,4 1087,89 1561,65

2 307,07 333,39 903,65 1237,04

3 175,47 482,53 824,69 1105,44

Rata-Rata 336,31+177,28 447,44+101,18 938,74+135,06 1301,38+234,81

(41)

30

Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Biomassa Cacing Sutra

Lampiran 5a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk

Statistic df1 df2 Sig. (P)

0,948 2 6 0,439

Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data biomassa cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.

Lampiran 5b. Hasil analis Anova

Hari ke-40

JK DB KT F hit P F tabel

Perlakuan 2329774.374 2 1164887,187 6,699 0,03 5,14

Galat 1043366,698 6 173894,45

Total 3373141,072 8

Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Lampiran 5c. Hasil Uji Tukey

Perlakuan Ulangan alpha=0,05

a B

PKSF 3 1301,3767

PKAF 3 1895,0367 1895,0367

PKPF 3 2547,1867

P 0,266 0,215

(42)

31

Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Lampiran 6a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk

Statistic df1 df2 Sig. (P)

0.086 2 6 0,918

Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data LPBS cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.

Lampiran 6b. Hasil analis Anova

Hari ke-40

JK DB KT F hit P F tabel

Perlakuan 5,648 2 2,824 7,465 0,024 5,14

Galat 2,270 6 0,378

Total 7,918 8

Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Lampiran 6c. Hasil Uji Tukey

Perlakuan Ulangan alpha=0,05

a B

PKSF 3 105,1933

PKAF 3 106,2667 106,2667

PKPF 3 107,1300

P 0,162 0,274

(43)

32

Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Jumlah Pupuk (JP)

Lampiran 7a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk

Statistic df1 df2 Sig. (P)

0,896 2 6 0,457

Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data jumlah pupuk (JP) menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.

Lampiran 7b. Hasil analis Anova

Hari ke-40

JK DB KT F hit P F tabel

Perlakuan 53,510 2 26,775 0.699 0.027 5,14

Galat 527,613 6 87.936

Total 581,124 8

(44)

33

Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Konversi Pupuk (KP)

Lampiran 8a. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk

Statistic df1 df2 Sig. (P)

0,502 2 6 0,628

Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk diketahui bahwa nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data KP cacing sutra menyebar normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji anova.

Lampiran 8b. Hasil analis Anova

Hari ke-40

JK DB KT F hit P F tabel

Perlakuan 741,654 2 370,827 76,722 0,00 5,14

Galat 29,000 6 4,833

Total 770,655 8

Fhit > Ftabel menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada selang kepercayaan 5%

Lampiran 8c. Hasil Uji Tukey

Perlakuan Ulangan alpha=0,05

A b

PKPF 3 19,7033

PKAF 3 24,0133

PKSF 3 40,7500

P 0,116 1

(45)

34

Lampiran 9. Data Kualitas Air Selama Pemeliharaan

(46)

35

Lampiran 10. Aspek usaha budidaya cacing sutra

Asumsi Awal

Perhitungan Aspek Usaha duhitung dalam jangka waktu 1 tahun 1 siklus = 40 hari

Berat 1 karung kotoran ayam = sapi = puyuh = 20kg

Harga/ karung = Rp. 5.000,-

Total Kotoran /m2 /siklus = 46,7 kg Luas Lahan Efektif = 390 m2

Biaya investasi dan biaya tetap sama untuk setiap perlakuan

I. Investasi Awal

No Keterangan Jumlah satuan Harga satuan Total Harga

1 gaji pegawai 2 orang Rp8.400.000,00 Rp16.800.000,00

2 Listrik 1 tahun Rp1.200.000,00 Rp 1.200.000,00

3 Sewa Lahan 1 tahun Rp1.000.000,00 Rp 1.000.000,00

total Rp19.000.000,00

(47)

36

Lanjutan lampiran 10

III. Biaya Variabel

Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi

No Keterangan Jumlah satuan Harga satuan Total Harga 1 Pupuk 145964,74 Kg Rp 1.000 Rp 145.964.737 2 EM4 127,00 Botol Rp 40.000 Rp 5.080.000

3 Gula 54,74 kg Rp 10.000 Rp 547.368

jumlah Rp 151.592.105

Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi

No Keterangan Jumlah satuan Harga satuan Total Harga 1 Pupuk 163928,07 Kg Rp 250 Rp 40.982.018 2 EM4 143,00 Botol Rp 40.000 Rp 5.720.000

3 Gula 61,47 kg Rp 10.000 Rp 614.730

jumlah Rp 47.316.748

Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi

No Keterangan Jumlah satuan Harga satuan Total Harga 1 Pupuk 164311,37 Kg Rp 150 Rp 24.646.705

no keterangan jumlah satuan harga Pemasukan

Cacing 15.356,25 takar Rp5.000 Rp76.781.250

Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi

no keterangan jumlah satuan harga Pemasukan

Cacing 21.060,00 takar Rp5.000 Rp105.300.000

Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi

no keterangan jumlah satuan harga Pemasukan

Cacing 10.091,25 takar Rp5.000 Rp50.456.250

(48)

37

lanjutan lampiran 10

V. Analisis Usaha

No Keterangan PKAF PKPF PKSF

1 Investasi (Rp) 15.915.000 15.915.000 15.915.000

2 Biaya tetap (Rp) 19.000.000 19.000.000 19.000.000

3 Biaya Variabel (Rp) 151.592.105 47.316.748 30.982.872

4 Biaya Total (Rp) 170.592.105 66.316.748 49.982.872

5 Pemasukan (Rp) 76.781.250 105.300.000 50.456.250

6 keuntungan/tahun (Rp) (93.810.855) 38.983.252 473.378

7 keuntungan/bulan (Rp) (7.817.571) 3.248.604 39.448

8 HPP (Rp) 11.109 3.149 4.953

9 R/C ratio 0,450 1,588 1,009

10 Payback period - 0,41 33,62

11 BEP unit (3.900,09) 6.900,96 9.845,94

(49)

ABSTRAK

WILDAN JALALUDIN RAHMAN. Efektivitas Penggunaan Berbagai Pupuk Kandang yang Difermentasi pada Budidaya Cacing Sutra Oligochaeta. Dibimbing oleh ENANG HARRIS dan YANI HADIROSEYANI.

Ketersediaan cacing sutra masih belum dapat memenuhi permintaan cacing sutra untuk industri pembenihan ikan. Budidaya cacing sutra harus dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut. Setiap jenis pupuk kandang dapat memberikan hasil yang berbeda terhadap produktivitas budidaya cacing sutra oligochaeta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas pupuk kotoran ayam fermentasi, pupuk kotoran sapi fermentasi dan pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF) dalam budidaya cacing sutra oligochaeta pada sistem air mengalir. Aspek yang dikaji meliputi aspek bioteknis dan ekonomis. Media yang digunakan adalah campuran lumpur dan pupuk perlakuan dengan perbandingan 1:1. Pemupukan tambahan dilakukan setiap hari selama masa pemeliharaan cacing sutra dengan debit aliran air sebesar 126 ml/menit/wadah. Berdasarkan aspek bioteknis, pemberian PKPF menghasilkan biomassa cacing sutra tertinggi yakni sebesar 2547,19 g/m2. PKPF juga merupakan perlakuan terbaik dari aspek ekonomis dengan nilai keuntungan sebesar Rp 38.983.252,- ; rasio R/C sebesar 1,588; dan tingkat pengembalian modal (PP) selama 0,41 tahun pada luas lahan efektif sebesar 390 m2.

Kata Kunci: cacing sutra Oligochaeta, pupuk, biomassa, aspek ekonomi.

ABSTRACT

WILDAN JALALUDIN RAHMAN. Efectivity the use of various fermented manure in Oligochaeta Worm cultivation. Supervised by ENANG HARRIS and YANI HADIROSEYANI.

The supply of tubifex worm which is usually used in fish hatchery is still insufficient since its demand is continously growing. Therefore, tubifex worm culture is importance to meet that demand. Every kind of manure can give to different result to oligochaeta worm cultivation. The purpose of this research was assessing effectiveness of fermented chicken manure, fermented quail manure (FQM), and fermented cow dung manure in oligochaeta worm cultivation in flow through system. The aspect that assessed was covering bio-technical and economical means. The medium that used were a mixture of mud and manure with weight ratio of 1 : 1. The addition of manure carried on every day during the maintenance of tubificid worm and the flow through debit was 126 ml/min/container. Based on bio-technical aspect, FQM addition produced highest biomass about 2547,19 g/m2 and FQM also the best treatment in economical aspects with profit of about Rp 38.983.252,-; ; R/C ratio about 1,588; Payback Periode for 0,41 year in an area of land effective at 390 m2.

(50)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacing sutra (oligochaeta) adalah salah satu pakan alami yang biasa digunakan dalam kegiatan budidaya ikan air tawar, khususnya pembenihan ikan konsumsi dan pembudidayaan ikan hias. Seiring berkembangnya industri budidaya, maka kebutuhan akan pakan alami seperti cacing sutra juga meningkat. Sebagai gambaran , untuk memenuhi kebutuhan produksi patin pada tahun 2012 dengan target produksi sebesar 651.000 ton saja setidaknya memerlukan cacing sebanyak 7.37.740,38 kg. Kebutuhan tersebut dihitung dengan asumsi bobot panen patin 0.7kg/ekor (Bisnis Jabar, 2010), laju kelangsungan hidup atau

Survival Rate (SR) pembesaran patin 80% (SNI 01-6483.5, 2002), SR pendederan 80%, dan SR pembenihan 65% (SNI 01-7256, 2006). Pemberian cacing pada larva diasumsikan sebanyak 16,5 liter untuk 100.000 ekor larva (SNI 01-7256, 2006), dan bobot cacing 2 kg/liter (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil wawancara, dengan salah satu pengumpul cacing di Darmaga, Kab. Bogor, diketahui bahwa produksi cacing sutra dilakukan dengan cara menangkapnya dari alam. Produksi cacing sutra dengan cara tersebut relatif memiliki kelemahan yaitu ketersediaannya yang selalu berfluktuatif tergantung jumlahnya di alam. Selain itu, penangkapan di alam masih bergantung pada musim. Produksi menurun pada saat musim hujan karena pada saat hujan cacing sutra cenderung bersembunyi dalam lumpur sehingga menyulitkan pada saat penangkapan.

(51)

2

keduanya juga melakukan pemupukan tambahan secara konstan sebanyak 1 kg/m2.

Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas cacing sutra. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yang tidak difermentasi. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah (2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004) memperoleh hasil terbaik 292 g/m2.

Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam-macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah (2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk tersebut, dapat juga digunakan pupuk lain seperti pupuk kotoran puyuh.

Pupuk kotoran ayam, sapi maupun puyuh memiliki keunggulan tersendiri dalam aspek kemudahan untuk memperoleh, harga serta ketersediaan pupuk. Pupuk kotoran ayam dan pupuk kotoran sapi merupakan jenis pupuk yang umum digunakan dalam bidang pertanian, sehingga penyediaannya mudah diperoleh.

Kotoran puyuh belum umum digunakan, tetapi hal tersebut menyebabkan ketersediaan terjamin karena tidak perlu bersaing dengan pengguna pupuk untuk keperluan pertanian. Dalam segi harga,pupuk kotoran ayam murni memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pupuk kotoran puyuh. Sebagai gambaran, pupuk kotoran puyuh yang dijual di pasaran seperti yang dijual di peternakan Fakultas Peternakan IPB Cilibende, pupuk kotoran yaitu Rp. 5.000/karung (+ 20 kg), dan pupuk kotoran ayam murni seperti yang dijual di Peternakan Fakultas Peternakan, IPB di Darmaga juga memiliki harga Rp. 20.000/karung. Pupuk kotoran sapi seperti yang dijual di Fakultas Peternakan, IPB di Darmaga dapat diperoleh dengan harga Rp.3.000/karung.

1.2 Tujuan

(52)

3

II.

BAHAN DAN METODE

2.1. Persiapan Wadah dan Media Budidaya

Persiapan wadah dimulai dengan pembuatan wadah dan pemasangan sistem.Wadah budidaya yang digunakan adalah ember dengan ketinggian 17 cm dan diameter 20 cm dengan saluran outlet berdiameter 2,2 cm. Sistem budidaya yang digunakan adalah sistem air mengalir dengan sumber air dari sumur bor yang ditampung dalam tandon berukuran 3 ton. Air dari tandon kemudian dialirkan menggunakan selang aerasi berdiameter 0,5 cm. Debit aliran yang digunakan adalah 1.000 ml/menit untuk volume air pada wadah sebesar 100 cm x 25 cm x 2 cm atau sekitar 5.000 ml (Chumaidi et al., 1988) atau sebesar 20%/menit dari volume air, karena volume air yang dipakai sebesar 628 ml (3,14x10 cm x10 cm x2 cm) maka debit dipertahankan pada kecepatan 125,6 ml/menit atau dibulatkan menjadi 126 ml/menit. Pengaturan debit dilakukan dengan mengatur klep saluran yang ada pada tiap wadah. Wadah percobaan dapat dilihat pada Gambar 1 dan desain sistem pada Gambar 2.

20 cm

2,2 cm

1 17cm 2

3

Keterangan :

1. Air dengan ketinggian 2 cm dari permukaan substrat

2. Substrat dengan ketinggian 6 cm dari dasar wadah

3. Saluran pembuangan

(53)

4 S1 P1 A2 S2 P3

A1 S3 P2 A3

Keterangan : T : Tandon air : Inlet : Outlet

A : Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) P : Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF)

S : Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF)

Gambar 2. Denah percobaan budidaya sistemair mengalir

Media budidaya dibuat dengan mencampurkan pupuk perlakuan dan lumpur dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang fermentasi dari kotoran ayam, kotoran sapi dan kotoran burung puyuh.Pupuk kotoran sapi dan pupuk kotoran ayam yang digunakan berasal dari peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor di Darmaga, sedangkan pupuk kotoran burung puyuh diperoleh dari peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor di Cilibende.

Pembuatan pupuk fermentasi didahului dengan pembuatan larutan aktivator, yaitu gula pasir sebanyak ¼ sendok makan (3,75 g) dan EM4 (Effective Microorganism 4) sebanyak 4 ml dicampur ke dalam 300 ml air. Larutan ini digunakan untuk 10 kg pupuk perlakuan. Larutan aktivator tersebut dicampurkan dengan Pupuk dan diaduk merata. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam plastik tertutup selama 5 hari. Setelah 5 hari, kotoran dijemur dengan bantuan cahaya matahari langsung hingga kering (Fadillah, 2004).

(54)

5

Tabel 1. Hasil analisis bahan organik dan C/N pada pupuk yang digunakan dalam penelitian

No Bahan %TOM

(Bobot Kering) C/N

1 Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF) 40,89 5,83

2 Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) 41,73 8,12

3 Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi (PKSF) 38,21 14,42

Media budidaya yang sudah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam wadah setinggi 6 cm. Wadah kemudian dialiri dengan air, lalu diatur agar air yang dimasukkan setinggi 2 cm. Setelah air dimasukkan kemudian didiamkan selama 10 hari. Pada saat didiamkan selama 10 hari, wadah ditutup agar tidak ada hama pengganggu seperti lalat yang masuk.

Setelah 10 hari didiamkan, kemudian cacing sutra ditebar. Cacing ini diperoleh dari pengumpul cacing yang ada di wilayah Pasar Cibeureum, Kab. Bogor. Cacing ditebar secara merata dengan kepadatan 150 g/ m2 atau sebanyak 4,71 g/wadah.

Pemeliharaan dilakukan selama 40 hari dengan pemberian pupuk secara harian. Pupuk yang diberikan adalah pupuk perlakuan yang telah difermentasi menggunakan aktivator EM4. Pupuk perlakuan yang digunakan adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh. Pemberian pupuk berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Findi (2011) yakni setiap satu kali sehari dengan dosis pupuk yang diberikan yaitu sebanyak 2,5 x biomassa cacing /wadah untuk pupuk kotoran sapi fermentasi. Karena pupuk kotoran ayam fermentasi dan kotoran puyuh fermentasi memiliki kadar air yang berbeda maka jumlah yang diberikan harus disamakan berdasarkan bobot keringnya dengan pupuk kotoran sapi fermentasi sehingga pemberian pupuk kotoran ayam fermentasi sebanyak 1,43 x biomassa cacing /wadah dan pupuk kotoran burung puyuh sebanyak 1,15 x biomassa cacing /wadah. Pupuk diberikan dengan cara ditebar secara merata setelah aliran air dihentikan terlebih dahulu. Setelah penebaran pupuk, 10 menit kemudian air dapat dialirkan kembali ke dalam wadah.

(55)

6

Sampling dilakukan dengan memasukkan pipa berdiameter 2,2 cm (luas permukaan lubang 4,9 cm2) ke dalam substrat, lalu pipa diangkat dengan menutup lubang bagian bawah. Substrat yang telah diambil kemudian ditampung dalam seser lalu dicuci dengan air mengalir. Substrat yang telah dibersihkan kemudian disebarkan ke dalam baki, lalu kemudian cacing dipisahkan dari substrat dalam baki tersebut dengan menggunakan pipet.

2.2 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Adapun perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

 Pemakaian pupuk kotoran ayam fermentasi (PKAF).  Pemakaian pupuk kotoran puyuh fermentasi (PKPF).  Pemakaian pupuk kotoran sapi fermentasi (PKSF).

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0. Pengujian yang dilakukan meliputi uji normalitas Shapiro-Wink (P>0,05), analisis Ragam (ANOVA) (P>0,05). Bila Uji normalitas menunjukkan P>0,05 maka dilanjutkan dengan uji ANOVA dan bila ANOVA memiliki F hitung > F table (P>0,05), maka dapat dilanjutkan uji

єij = Pengaruh galat akibat perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis : H0 = perlakuan pemakaian pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh yang difermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

H1 = perlakuan pemakaian pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam dan puyuh yang difermentasi memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

(56)

7 2.3. Parameter Bioteknis

2.3.1. Biomassa

Biomassa dihitung dengan menggunakan rumus

B=

Keterangan : B : Biomassa (g/ m2) s : Bobot Sampel (g)

lw : Luasan substrat wadah (m2) ls : Luasan substrat sampel (m2)

2.3.2 Laju Pertumbuhan Biomassa Spesifik (LPBS)

Laju pertumbuhan biomasssa spesifik dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

LPBS = x 100%

Keterangan : LPBS : Laju pertumbuhan biomassa spesifik pada hari ke-t Bt : Biomassa pada hari ke-t

B0 : Biomassa pada hari ke-0

t : Waktu pengamatan pada hari ke-t

2.3.3. Jumlah Pupuk (JP)

Jumlah Pupuk adalah jumlah pupuk yang digunakan selama masa pemeliharaan. JP diketahui dengan menjumlahkan seluruh bobot pupuk yang digunakan setiap perlakuan selama masa pemeliharaan.

2.3.4. Konversi Pupuk (KP)

Konversi pupuk adalah sejumlah pupuk yang digunakan untuk meningkatkan biomassa cacing sutra sebanyak 1 kg. Rumus dari konversi pupuk ini dapat disamakan dengan rumus konversi pakan yaitu:

Keterangan : KP : Konversi Pupuk

JP : Jumlah Pupuk dari hari ke-0 sampai hari ke-t Bt : Biomassa pada hari ke-t

(57)

8 2.3.5 Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, oksigen terlarut (DO), dan pH yang diukur setiap sepuluh hari. Pengambilan sampel air untuk mengamati nilai suhu, pH dan DO dilakukan pada bagian outlet menggunakan botol plastik.

Tabel 2. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur

Parameter Satuan Alat Ukur

Suhu oC DO meter

Oksigen terlarut Ppm DO meter

pH - pH meter

2.4. Parameter Ekonomis

Parameter ekonomis dikaji untuk menentukan kelayakan dan keberhasilan budidaya apabila dilakukan dalam skala usaha. Parameter ekonomis yang dikaji terdiri dari dua aspek yaitu analisis keuntungan dan analisis usaha dari budidaya cacing sutra. Analisis Keuntungan terdiri dari untung/rugi dan R/C ratio,

sedangkan analisis usaha terdiri dari Harga Pokok Produksi (HPP), Payback Period (PP) dan Break Even Point (BEP).

Penerimaan adalah jumlah produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga produk. Penerimaan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al., (2005):

Keterangan : TR = Total Revenue (total penerimaan)

Q = Quantity (Biomassa cacing sutra yang dijual) P = Price (Harga cacing sutra per kg)

Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya. Keuntungan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al. (2005):

-

Keterangan : = Keuntungan

(58)

9

Analisis Revenue of Cost (R/C) merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi (Mahyuddin, 2007). Nilai R/C dapat dihitung menggunakan rumus menurut Mahyuddin (2007):

R/C ratio =

Keterangan : ∑TR = Total Revenue (total penerimaan) ∑TC = Total Cost (total pengeluaran)

HPP merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP dihitung menggunakan rumus berikut : HPP =

Keterangan : = Total Cost (total pengeluaran)

Q = Quantity (Nilai hasil produksi/biomassa cacing sutra)

Analisis PP atau tingkat pengembalian investasi yaitu suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan dalam suatu usaha dapat kembali (Rangkuti, 2006). Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan (Kasmir dan Jakfar, 2003). Payback Period dapat hitung menggunakan rumus menurut Rangkuti (2006):

PP = 1 tahun

Keterangan : I = Biaya Investasi = Keuntungan

(59)

10

produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah tertentu . BEPp dan BEPu dapat dihitung menggunakan rumus berikut :

BEPp (Rp) =

-

BEPu (kg) =

-Keterangan : TFC = Total Fix Cost (Biaya Tetap)

TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel) P = Price (Harga per kg)

TR = Total Revenue (Penerimaan)

(60)

11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Selama masa pemeliharaan cacing sutra dilakukan pengamatan terhadap peningkatan bobot biomassa dan kualitas air pada wadah pemeliharaan serta tandon.

3.1.1. Biomassa Cacing

Biomassa diamati setiap 10 hari sekali selama masa pemeliharaan yaitu selama 40 hari. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Lampiran 4. Berdasarkan grafik peningkatan biomassa dapat diketahui bahwa pada akhir masa pemeliharaan, biomassa tertinggi diperoleh dari wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Puyuh Fermentasi (PKPF) dengan biomassa sebesar 2.547,19 g/m2, sedangkan yang terendah berada pada wadah dengan perlakuan Pupuk Kotoran Sapi Fermentasi) PKSF sebesar 1.301,38 g/m2. Pada grafik juga, dapat diketahui bahwa peningkatan bobot paling tinggi pada masing-masing perlakuan mulai dari hari ke-20 sampai hari ke-30 yaitu dari 763,28 g/m2 ke 1.415,43 g/m2 untuk Pupuk Kotoran Ayam Fermentasi (PKAF), 1.105,44 g/m2 ke 2.003,24 g/m2 untuk PKPF dan 447,44 g/m2 ke 938,74 g/m2.

Gambar 3. Grafik Biomassa cacing sutra oligochaeta selama percobaan.

Gambar

Gambar 2. Denah percobaan budidaya sistem air mengalir
Gambar 3. Grafik Biomassa cacing sutra oligochaeta selama percobaan.
Gambar 4. Histogram biomassa cacing oligochaeta yang dipelihara dengan
Tabel 5. Parameter Kualitas Air Perlakuan Selama Pemeliharaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada metode individual bearing tanah lempung dan tanah pasir kenaikan kapasitas yang paling besar terjadi pada saat jumlah helix pada tiang helical ditambah yang semula

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan interaksi pemberian urin kelinci dan media berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada semua pengamatan tinggi

Agar hormon dalam kerjanya tidak salah sasaran, pada sel atau organ target mempunyai protein khusus yang berfungsi untuk mengenali hormon tersebut yaitu reseptor.. mempunyai

Peran Ibu Rumah Tangga dalam keluarga adalah mendidik, memelihara, mengasuh, mengayomi. Ibu bukan saja menjadi tempat bernaung yang harus dihormati dan menjadi

Rencana Kerja (Renja) Tahun 2015 Dinas Pemuda dan Olahraga ini merupakan langkah yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan Prioritas Pembangunan Kota Padang Tahun 2015 dimana

Gejala ini seringkali disertai dengan gejala psikologik seperti perasaan bersalah, ide bunuh diri, upaya bunuh diri dan gejala fisik seperti perlambatan gerak

Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak

Dari penelitian ini diperoleh nilai R 2 sebesar 64 %, hal tersebut berarti variable OCB dapat dijelaskan oleh variabel independennya yaitu Kepuasan Kerja Karyawan,