• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI NON-ORGANIK

Keragaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Non-organik di Kabupaten Bogor

Usahatani padi perlakuan organik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usahatani yang pada proses budidaya tidak menggunakan bahan-bahan sintetis melainkan bahan-bahan organik. Analisis keragaan usahatani dilakukan untuk melihat teknologi produksi padi perlakuan organik dan non-organik dari segi penggunaan input serta hasil produksi usahatani.

Penggunaan input ushatani padi organik dan padi non-organik

Pada bagian ini akan dibahas mengenai teknologi penggunaan input pada usahatani padi organik dan usahatani padi non-organik. Penggunaan input yang diteliti dan dijadikan perbandingan pada penelitian ini yaitu benih, pupuk, obat- obatan, dan tenaga kerja. Penggunaan input per hektar permusim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan non-organik dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa terdapat perbedaan jenis pupuk dan obat-obatan yang digunakan pada usahatani padi organik dan non-organik. Petani padi non-organik menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sintetis sementara petani padi organik menggunakan pupuk dan pestisida organik. Pupuk dan obat- obatan cair organik yang digunakan petani ada dua jenis yaitu pupuk dan obat- obatan yang dibuat sendiri oleh petani serta pupuk dan obat-obatan buatan pabrik.

Pupuk dan obat cair yang dibuat sendiri oleh tiap petani responden belum standar karena tidak menggunakan jumlah dan komposisi bahan yang sama. Petani membuat pupuk dan obat cair organik berdasarkan bahan-bahan yang mudah ditemui disekitar mereka serta berdasarkan pelatihan dan pengalaman pribadi. Komposisi serta biaya pembuatan pupuk dan pestisida cair organik responden dilampirkan pada lampiran 3. Pupuk kandang yang digunakan petani organik pun beragam jenis dan jumlahnya, petani menggunakan kombinasi pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing, ayam, ataupun kotoran burung dengan rata-rata pemakaian 2 ton per hektar. Belum adanya standardisasi budidaya padi perlakuan organik di Kabupaten Bogor mengakibatkan output yang dihasilkan baik kuantitas maupun kualitas tidak seragam

Pertanian organik mensaratkan pemakaian pupuk dan pestisida organik dengan menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Pada Tabel 9 diketahui bahwa pada musim tanam penelitian, petani padi perlakuan organik sama

30

sekali tidak menggunakan pupuk sintetis. Namun rupanya terdapat dua orang petani padi responden perlakuan organik yang masih mencampurkan pupuk sintetis dengan pupuk organik manakala melihat tanaman padi berdaun kekuningan. Hal ini menunjukkan tidak semua petani padi organik menerapkan prinsip pertanian organik dalam hal penggunaan pupuk. Dilihat dari pemakaian obat-obatan, semua petani responden sudah tidak lagi menggunakan obat-obatan sintetis dan menggantinya dengan obat-obatan organik. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden telah menerapkan sepenuhnya prinsip pertanian organik dalam hal penggunaan obat-obatan.

Berdasarkan hasil wawancara opini petani, terdapat 58.33% petani responden yang menyatakan bahwa pembuatan pupuk dan pestisida cair nabati dirasa rumit, sehingga responden memilih menggunakan pupuk dan pestisida pabrikan yang harganya lebih mahal atau menggunakan pupuk sintetis. Petani merasa pembuatan pupuk dan pestisida cair nabati membutuhkan waktu lama dan tidak praktis. Sementara sisanya sebesar 41.7% petani responden sudah terbiasa membuat pupuk dan pestisida nabati, sehingga menyatakan bahwa proses pembuatan pupuk dan pestisida nabati tidaklah rumit.

Tabel 9 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor tahun 2013a

Jenis input Satuan Padi Perlakuan

Organik (n=12) Padi Perlakuan Non-organik (n=19) Benih kg/ha 15.58 34.71 Pupuk Urea kg/ha 0.00 141.78 SP-36 kg/ha 0.00 83.00 Phonska kg/ha 0.00 86.24 Kandang ton/ha 2.00 0.00

Cair Organik lt/ha 152.24 0.00

Obat - obatan

Cair sintetis lt / ha 0 2.95

Padat sintetis kg/ ha 0.00 1.00

Cair Organik lt/ha 3.10 0.00

Tenaga Kerja HOK/ha 124.79 109.17

aSumber: data primer (diolah)

Kebutuhan benih pada usahatani padi perlakuan organik ternyata lebih sedikit dibandingkan kebutuhan benih pada usahatani padi konvensional. Pada Tabel 9 diketahui bahwa usahatani padi perlakuan organik dapat menghemat penggunaan benih hingga 55%. Hal ini karena petani padi organik menggunakan penanaman dengan sistem tanam legowo 2:1, dan jumlah bibit yang ditanam perlubang hanya satu hingga dua rumpun padi. Adapun pada usahatani padi konvensional, sebesar 47.37% petani masih menggunakan sistem tanam acak dan sisanya sebesar 52.63% petani menggunakan sistem tanam legowo. Petani padi non-organik juga menanam bibit sebanyak tiga hingga lima rumpun padi perlubang tanam.

Kebutuhan benih padi organik yang lebih sedikit ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, diantaranya hasil penelitian Poetryani (2011) dan Fatullah

31 (2010) di Kabupaten Bogor serta Hadiwijaya (2011) di Tasikmalaya yang menunjukkan bahwa penggunaan benih pada usahatani padi organik lebih sedikit dibanding pada usahatani padi konvensional.

Penggunaan tenaga kerja manusia dihitung dengan menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja). Hari orang kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Hari Kerja Pria (HKP), dimana satu Hari Kerja Wanita sama dengan 0.55 HKP. Angka ini didapat berdasarkan upah yang berlaku bagi tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita di lokasi penelitian. Rata-rata upah yang diterima pria dalam satu hari kerja (5 jam) senilai Rp 55 000, sedangkan rata-rata upah yang diterima wanita dalam satu hari kerja (5 jam) senilai Rp 30 000. Rata-rata jumlah HOK per hektar permusim tanam pada kegiatan usahatani padi perlakuan organik dan non- organik dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor Tahun 2013a

Kegiatan

Usahatani Padi Organik (HOK/ha) (n=12)

Usahatani Padi non-organik (HOK/ha) (n=19) TKDK TKLK Total TKDK TKLK Total Pengolahan lahan 0.00 27.42 27.42 3.76 23.32 27.08 Pembuatan Kamalir 7.06 2.19 9.25 5.61 2.38 7.99 Penanaman 3.07 8.12 11.19 2.20 8.84 11.04 Penyiangan 3.27 18.16 21.43 2.97 15.70 18.67 Pemupukan 6.16 5.44 11.60 5.19 2.57 7.76 Pengendalian HPT* 14.48 0.36 14.84 6.68 0.34 7.02 Pemanenan 9.39 9.64 19.03 8.15 11.64 19.79 Penjemuran 9.19 0.84 10.03 8.92 0.90 9.82 Total Tenaga Kerja* 52.63 72.17 124.79 43.48 65.70 109.17

aSumber: Data primer (diolah)

Ket: *) Tenaga kerja total berbeda nyata taraf 10%

Kamalir adalah saluran untuk keluar masuknya air di lahan sawah

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi organik lebih intensif dibandingkan usahatani padi non-organik. Kegiatan pada usahatani padi perlakuan organik yang membutuhkan lebih banyak kerja dibanding usahatani padi konvensional ialah penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Namun kegiatan penyiangan dan pemupukan rupanya tidak berbeda nyata secara statistik hingga taraf nyata 10%, dan hanyalah kegiatan pengendalian hama dan penyakit yang berbeda nyata pada taraf 10%.

Kegiatan penyiangan tidak berbeda nyata secara statistik karena rata-rata jumlah hari penyiangan yang dilakukan pada usahatani padi organik dan non- organik hampir sama. Pada usahatani konvensional, penyiangan dilakukan satu hingga dua kali per musim tanam, sementara pada usahatani padi perlakuan organik kegiatan penyiangan dilakukan dua hingga empat kali per musim tanam. Kegiatan penyiangan umumnya dilakukan oleh buruh tani atau Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Petani padi perlakuan organik menggunakan kerja TKLK untuk penyiangan 28.85% lebih banyak dibanding petani padi konvensional.

32

Kegiatan pemupukan tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini disebabkan usahatani padi organik hanya membutuhkan tambahan kerja untuk pembuatan pupuk nabati dan pengangkutan pupuk kandang yang memerlukan waktu satu hingga dua hari lebih banyak. Sementara kegiatan pemberian pupuk antara usahatani padi organik dan non-organik relatif sama, yakni dilakukan rata- rata tiga kali per musim tanam.

Kegiatan pengendalian hama dan penyakit berbeda nyata secara statistik, karena selain petani mengeluarkan kerja tambahan untuk membuat pestisida nabati, petani juga harus membuat perangkap untuk mengendalikan hama walang sangit dan tikus. Usahatani padi perlakuan organik memerlukan tenaga kerja dua kali (52%) lebih banyak untuk proses pengendalian hama penyakit. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani padi organik dilakukan lebih intensif. Berdasarkan hasil wawancara opini petani responden, diketahui bahwa perihal pengendalian hama dan penyakit merupakan masalah paling rumit yang dihdapai oleh petani organik maupun non-organik. Hal ini karena serangan hama dan penyakit sangat berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas hasil output.

Secara keseluruhan kerja yang dilakukan usahatani padi organik 1.3 kali lebih banyak dibanding usahatani padi non-organik. Berdasarkan uji statistik, total tenaga kerja yang dikeluarkan untuk usahatani padi organik berbeda nyata dengan usahatani padi non-organik dalam taraf nyata 10%. Namun jika dilihat per kegiatan, ternyata hanya kegiatan pengendalian hama dan penyakit yang berbeda nyata dalam taraf 10%. Artinya, pada usahatani padi organik hanya kegiatan pengendalian hama penyakit yang membutuhkan kerja lebih banyak.

Hasil output usahatani padi organik dan non-organik

Output yang dihasilkan pada usahatani padi perlakuan organik dan perlakuan non-organik di lokasi penelitian adalah Gabah Kering Panen (GKP). Produktivitas per hektar permusim tanam usahatani padi perlakuan organik dan non-organik dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa rata-rata produktivitas usahatani padi perlakuan organik 0.61 ton (1.1 kali) lebih tinggi dibanding usahatani padi non-organik. Angka ini ternyata tidak berbeda nyata secara statistik. Produksi tertinggi yang dapat dicapai pada usahatani padi organik hanya sebesar 7.68 ton per hektar sementara pada usahatani padi non- organik dapat mencapai 8 ton per hektar.

Tabel 11 Produktivitas per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor Tahun 2013a Produktivitas GKP

per hektar (ton/ha)

Padi Perlakuan Organik (n=12) Padi Perlakuan Non-organik (n=19) Rata-rata 5.29 4.68 Max 7.68 8.00 Min 2.16 2.60 St. Deviasi 1.65 1.29 Coef. Variance (%) 31 26

aSumber: data primer (diolah)

Rata-rata produktivitas padi perlakuan organik lebih tinggi diduga disebabkan karena pola tanam yang dilakukan oleh petani padi perlakuan organik

33 responden. Seluruh petani padi perlakuan organik responden menggunakan sistem tanam legowo 2:1 sementara hanya sebesar 52.63% petani padi non-organik responden yang menggunakan sistem tanam legowo. Dengan menggunakan sistem tanam legowo, penyerapan sinar matahari, pupuk, serta obat-obatan oleh tanaman padi menjadi lebih efisien. Petani padi organik menggunakan sistem tanam legowo karena karakteristik pertanian padi organik mensaratkan pengendalian hama dilakukan pula secara fisik dan lebih intensif. Pengendalian hama akan lebih mudah dilakukan jika sistem tanam yang digunakan adalah sistem tanam legowo karena menciptakan jarak yang cukup lebar untuk petani mengendalikan hama di lahan sawah.

Jika dilihat berdasarkan keragaman dan koefesien variasi, maka usahatani padi organik menghasilkan jumlah produksi yang lebih beragam. Hal ini dapat dilihat dari standar deviasi dan koefesien variasi padi perlakuan organik yang menunjukkan angka lebih tinggi. Artinya, usahatani padi perlakuan organik mengandung risiko produksi yang lebih besar. Namun, pada keadaan terburuk sekalipun usahatani padi organik tetap memberikan hasil produksi yang lebih tinggi yakni sebesar 3.64 ton per hektar sedangkan usahatani padi non-organik sebesar 3.39 ton per hektar. Hasil produksi padi organik yang lebih beragam diduga disebabkan oleh penggunaan input, khususnya pupuk dan pestisida, pada padi organik yang belum standar.

Hasil produktivitas padi organik yang lebih tinggi dibanding padi non- organik ini sesuai dengan penelitian Wulandari di Kota Bogor (2011) yang menunjukkan bahwa produktivitas padi organik 0.3 ton lebih tinggi, dimana produktivitas padi organik sebesar 5.7 ton/ha sementara produktivitas padi non- organik sebesar 5.4 ton/ha. Penelitian Sari di Kabupaten Bogor (2011) juga menyimpulkan bahwa produktivitas padi semi organik 0.51 ton lebih tinggi, yakni sebesar 5.96 ton/ha sedangkan usahatani padi konvensional sebesar 5.45 ton/ha. Azizah (2012) menyimpulkan bahwa produktivitas padi dengan pupuk organik 3.1 kali lebih tinggi dibanding produktivitas padi tanpa pupuk organik. Penelitian Fatullah (2010) juga menunjukkan bahwa produktivitas padi sehat lebih tinggi yakni sebesar 5.86 ton/ha sedangkan produktivitas padi konvensional sebesar 5.46 ton/ha.

Biaya Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non-organik di Kabupaten Bogor

Penelitian ini akan membandingkan struktur biaya usahatani padi organik dan usahatani padi non-organik. Karena besarnya biaya sewa lahan, pajak lahan, biaya pengairan dan penyusutan alat pada kedua jenis usahatani adalah hampir sama, maka biaya-biaya tersebut tidak dimasukan dalam analisis. Jikalaupun biaya tersebut dimasukan, maka nilainya tidak akan mengubah proporsi perbandingan biaya antara usahatani padi organik dan nonorganik. Sehingga analisis ini hanya membandingkan biaya akibat perbedaan penggunaan input dan tenaga kerja pada kedua jenis usahatani.

Biaya dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya diperhitungkan ialah biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai oleh petani namun tetap diperhitungkan. Komponen yang termasuk kedalam

34

biaya diperhitungkan ialah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK), upah TKLK yang dibayar dengan gabah (sistem bawon), serta biaya pupuk dan obat-obatan yang dibuat sendiri oleh petani. Rincian biaya per hektar lahan usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Biaya per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan organik

dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor tahun 2013a Uraian

Padi Perlakuan Organik (n=12)

Padi Perlakuan Non-organik (n=19) Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Benih* 155 774 1.91 355 038 4.82 Pupuk 1 079 181 13.22 763 267 10.36 Obat-obatan 63 677 0.78 242 739 3.30 TKDK 2 894 495 35.46 2 512 616 32.46 TKLK 3 969 161 25.57 3 613291 21.60 Total 8 162 288 100.00 7 365 552 100.00 Biaya Diperhitungkan 3 637 280 44.56 2 391 216 32.46 Biaya Tunai 4 525 008 55.44 4 974 336 67.54

aSumber: Data primer (diolah) Ket: *) berbeda nyata taraf 10%

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa total biaya usahatani padi organik lebih tinggi dibanding usahatani padi non-organik, namun tidak berbeda nyata secara statistik dalam taraf nyata 10%. Artinya kegiatan usahatani padi organik tidak memerlukan biaya yang jauh lebih banyak dibanding usahatani padi konvensional. Berdasarkan Tabel 12 juga diketahui bahwa proporsi biaya diperhitungkan dalam usahatani padi organik lebih besar dibandingkan pada usahatani konvensional. Pada usahatani padi organik, proporsi biaya diperhitungkan 44.56% sementara pada usahatani padi non-organik hanya 32.46%. Hal ini karena usahatani padi organik membutuhkan lebih banyak Tenaga Kerja Dalam Keluarga, yakni pada kegiatan pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit. Usahatani padi organik juga lebih banyak menggunakan sumberdaya milik pribadi karena pupuk dan pestisida umumnya dibuat sendiri oleh petani.

Tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar bagi usahatani padi organik maupun non-organik. Pada usahatani padi perlakuan organik dapat dilihat bahwa biaya untuk TKLK dan TKDK lebih besar dibandingkan pada usahatani padi konvensional. Hal ini karena pada usahatani padi organik penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit dilakukan lebih intensif. Artinya, usahatani padi organik berimplikasi pada penggunaan tenaga kerja yang lebih intensif sehingga menuntut biaya tenaga kerja lebih besar. Biaya pupuk merupakan biaya terbesar setelah biaya tenaga kerja, biaya pupuk pada usahatani padi organik lebih tinggi dibandingkan pada usahatani padi non-organik. Biaya pupuk pada usahatani padi organik mencapai Rp 1 juta sementara pada usahatani padi non-organik sebesar Rp 760 ribu. Komponen biaya terbesar untuk pupuk organik ialah pupuk padat atau pupuk kandang yang penggunaannya mencapai 2 ton per hektar dengan biaya Rp 500 per kg. Adapun

35 rata-rata penggunaan pupuk sintetis oleh petani non-organik sebesar 314.31 kg per ha dengan rata-rata harga jual pupuk sebesar Rp 2 300. Artinya, usahatani padi organik berimplikasi pada penggunaan pupuk yang lebih banyak sehingga menuntut biaya pupuk lebih besar.

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan untuk benih pada usahatani padi organik 56% lebih sedikit dibanding pada usahatani padi non- organik. Hal ini karena kebutuhan bibit per hektar pada usahatani padi organik dua kali lebih sedikit. Kebutuhan bibit pada usahatani padi organik lebih sedikit karena bibit yang digunakan perlubang tanam hanya satu sampai dua rumpun padi, sementara pada usahatani padi non-organik bibit yang digunakan perlubang tanam sebesar tiga hingga lima rumpun padi. Artinya, usahatani padi organik berimplikasi pada penggunaan benih yang lebih sedikit sehingga menuntut biaya benih lebih kecil.

Biaya obat-obatan bukanlah biaya yang cukup besar dibandingkan input lainnya. Pada usahatani padi organik, biaya obat-obatan jauh lebih rendah yakni sebesar 63 ribu rupiah sedangkan pada usahatani padi non-organik mencapai 242 ribu rupiah. Hal ini karena pada usahatani padi non-organik petani hanya mengandalkan obat sintetis sebagai cara untuk mengendalikan hama dan penyakit, sedangkan pada usahatani organik petani tidak hanya menggunakan pestisida nabati melainkan menggunakan pula perangkap. Jika dilihat dari intensitas penyemprotan pestisida, petani konvensional hampir selalu melakukan penyemprotan pada setiap musim tanam, sedangkan petani organik melakukan penyemprotan hanya jika tanaman terserang hama dan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi non-organik sangat tergantung kepada obat-obatan sintetis. Usahatani padi organik memang memerlukan biaya obat yang lebih kecil dibanding usahatani non-organik, namun untuk mengendalikan hama dan penyakit, usahatani padi organik memerlukan biaya tenaga kerja lebih besar.

Usahatani padi organik memberikan konsekuensi biaya lebih besar, akibat penggunaan pupuk dan tenaga kerja yang lebih intensif. Di satu sisi, usahatani padi organik dapat menghemat biaya penggunaan benih hingga 56% dan biaya obat hingga 74%, namun di sisi lain juga menuntut biaya penggunaan pupuk dan biaya tenaga kerja yang lebih banyak sehingga mengakibatkan total biaya lebih besar. Sebesar 40.88% dari total biaya usahatani padi organik ialah biaya diperhitungkan, sehingga petani tidak peka terhadap biaya karena tidak mengeluarkannya secara tunai. Hal ini berbeda dengan petani padi non-organik yang akan lebih peka terhadap biaya karena sebagian besar biaya dikeluarkan secara tunai.

Penerimaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non- organik di Kabupaten Bogor

Penerimaan usahatani terbagi kedalam penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah nilai total gabah kering panen yang dijual sedangkan penerimaan diperhitungkan adalah nilai total gabah kering panen yang digunakan unuk konsumsi, untuk pembayaran bawon, pembayaran lahan dan pengairan. Hasil gabah kering panen di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga Kabupaten Bogor, hanya sedikit yang dijual dan lebih banyak digunakan untuk konsumsi.

36

Dari total hasil produksi, petani padi organik hanya menjual hasil panennya sebesar 33% dan lainnya digunakan untuk konsumsi sebesar 46.4%, digunakan untuk sewa lahan sebesar 14% dan sisanya digunakan untuk membayar tenaga kerja sistem bawon dan pengairan. Adapun petani padi non-organik, dari total hasil produksinya hanya sebesar 13.79% yang dijual, lainnya digunakan untuk konsumsi sebesar 63.6%, untuk sewa lahan sebesar 15% dan sisnya digunakan untuk membayar tenaga kerja sistem bawon dan pengairan.

Bila dilihat berdasarkan proporsi gabah kering panen yang dijual, maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi, baik organik maupun non-organik, di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga belum komersil dan masih bersifat subsisten. Hal ini juga didukung oleh karakteristik luas penguasaan lahan oleh petani responden yang masih sangat kecil yakni dibawah 0.5 ha. Rata-rata luas penguasaan lahan sawah oleh petani padi perlakuan organik sebesar 0.47 ha sementara oleh petani padi non-organik sebesar 0.40 ha.

Petani padi perlakuan organik memilih menjual GKP degan proporsi yang lebih besar dibanding petani padi non-organik. Rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) padi perlakuan organik dengan padi non-organik tidak berbeda jauh, yakni sebesar Rp 4250 per kg untuk padi organik dan sebesar RP 4000 untuk padi non- organik. Harga gabah tidak berbeda jauh karena gabah yang dihasilkan dari usahatani padi perlakuan organik belum bersertifikat. Dengan demikian, output yang dihasilkan tidak dihargai lebih tinggi atau tidak dinilai dengan harga premium. Tidak ada sertifikat terhadap produk organik tersebut juga menyebabkan petani padi organik hanya dapat menjual gabahnya kepada pedagang pengumpul desa yang sama dengan petani padi non-organik. Hal ini disebabkan masih minimnya fungsi lembaga yang dapat membantu petani memperoleh sertifikat organik dan menampung hasil panennya. Hal ini pula yang diduga menjadi alasan petani tidak memilih mengusahakan padi organik karena mendapatkan harga gabah yang tidak jauh berbeda dengan harga gabah konvensional. Penerimaan rata-rata usahatani padi organik dan padi non-organik dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Penerimaan usahatani per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor tahun 2013a

Uraian Satuan Usahatani padi

organik (n=12)

Usahatani padi non-organik (n=19)

Harga GKP (RP/kg) 4250.00 4000.00

Penerimaan Tunai (Rp/ha) 8 205 000 2 581 578.95

Penerimaan Tak Tunai (Rp/ha) 14 560 938 16 919 298.25

Total penerimaan* (Rp/ha) 22 765 938.67 19 500 877.19

St. Deviasi (Rp/ha) 8 344 040 5 874 851

Coef. Variasi (%) 36 31

aSumber: data primer (diolah)

Ket: *) tidak berbeda nyata taraf 10%

Total Penerimaan usahatani organik 18% lebih tinggi dibanding penerimaan usahatani padi non-organik. Hal ini disebabkan karena produktivitas dan harga jual gabah kering panen pada usahatani padi organik lebih tinggi. Baik pada usahatani padi organik maupun non-organik, peneimaan tak tunai bernilai lebih besar daripada penerimaan tunai, hal ini karena hanya sedikit proporsi gabah yang dijual.

37 Penerimaan tak tunai pada usahatani padi non-organik lebih besar dibanding pada usahatani organik, karena pada usahatani padi non-organik proporsi gabah yang

Dokumen terkait