• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usahatani Padi Organik Dan Padi Non-Organik Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Usahatani Padi Organik Dan Padi Non-Organik Di Kabupaten Bogor"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI

NON-ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

AFIATI SYARIFAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani Padi Organik dan Padi Non-organik di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Afiati Syarifah

(4)

ABSTRAK

AFIATI SYARIFAH. Analisis Usahatani Padi Organik dan Padi Non-organik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI

Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan bahan-bahan kimia sintetis pada pertanian telah mendorong perkembangan pertanian organik. Namun perkembangan pertanian organik di Indonesia cenderung lambat. Salah satu daerah di Indonesia yang tengah mengembangkan pertanian organik ialah Kabupaten Bogor, dengan berfokus pada komoditi padi organik. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa mengapa petani tidak tertarik mengusahakan padi organik dan lebih memilih padi konvensional. Data diperoleh dari 12 petani padi organik dan 19 petani padi non-organik yang dipilih menggunakan teknik purposive

sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktur biaya dan penerimaan usahatani. Hasil menunjukkan bahwa usahatani padi organik lebih menguntungkan, namun memberikan return to labor yang lebih rendah. Usahatani padi organik juga memberikan risiko produksi dan risiko penerimaan lebih tinggi. Dapat diambil kesimpulan bahwa, dibandingkan dengan usahatani konvensional, usahatani padi organik memberikan insentif lebih kecil bagi petani selaku produsen.

Kata kunci: usahatani padi, padi organik, struktur biaya

ABSTRACT

AFIATI SYARIFAH. Analyze of Organic Rice Farming and Non Organic Rice Farming in Bogor Regency. Supervised by NUNUNG KUSNADI

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI

NON-ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

AFIATI SYARIFAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah usahatani padi organik, dengan judul Analisis Usahatani Padi Organik dan Padi Non-organik di Kabupaten Bogor

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing, kepada Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama serta Eva Yolynda Aviny, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BP3K Wilayah X Kabupaten Bogor yang telah membantu dan memberikan informasi selama pengumpulan data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat di keluarga besar Agribisnis 47 atas segala dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Penggunaan Input dan Tenaga Kerja pada Usahatani Metode Organik dan

Non-Organik 6

Produktivitas Output Usahatani Metode Organik dan Non-Organik 7 Biaya dan Penerimaan Usahatani Metode Organik dan Non-Organik 8 R/C dan Return to Labour Usahatani Sistem Organik dan Konvensional 9

KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Konsep usahatani padi organik 10

Konsep biaya usahatani 10

Konsep penerimaan usahatani 11

Konsep pendapatan usahatani dan R/C rasio 12

Kerangka Pemikiran Operasional 13

METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel 16

Metode Pengolahan dan Analisis Data 17

Analisis penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani 17

Analisis efisiensi biaya usahatani 19

(10)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21

Karakteristik Wilayah 21

Kondisi Geografi 21

Kependudukan 22

Karakteristik Petani Responden 25

Jenis kelamin 25

Usia 25

Tingkat pendidikan 27

Pengalaman usahatani padi 27

Jumlah tanggungan keluarga 28

Status usahatani padi 28

Luas penguasaan lahan padi 28

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI NON-ORGANIK 29 Keragaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Non-organik di Kabupaten

Bogor 29

Penggunaan input ushatani padi organik dan padi non-organik 29 Hasil output usahatani padi organik dan non-organik 32 Biaya Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non-organik di

Kabupaten Bogor 33

Penerimaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non-organik

di Kabupaten Bogor 35

Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi

Perlakuan Non-organik di Kabupaten Bogor 37

Analisis R/C 38

SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 43

(11)

DAFTAR TABEL

1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di

dunia tahun 2009 2

2 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di kecamatan cigudeg tahun

2008 dan di kecamatan jasinga tahun 2013 1

3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Cigudeg

tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013 23

4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013 23 5 Luas panen dan produktivitas per ha tanaman pangan dan hortikultura di

Kecamatan cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013 24 6 Karakteristik petani responden di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga

Kabupaten Bogor 2013 26

7 Pengalaman bertani padi secara organik petani responden di kecamatan

cigudeg dan jasinga tahun 2014 27

8 Asal informasi padi organik petani responden di kecamatan cigudeg dan

jasinga tahun 2014 28

9 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten

Bogor tahun 2013 30

10 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di

Kabupaten Bogor Tahun 2013 31

11 Produktivitas per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor Tahun

2013 32

12 Biaya per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor tahun 2013 34 13 Penerimaan usahatani per hektar lahan per musim tanam usahatani padi

perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor

tahun 2013 36

14 keuntungan dan pendapatan usahatani per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di

Kabupaten Bogor tahun 2013 37

15 R/C atas biaya total per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor

tahun 2013 39

DAFTAR GAMBAR

1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di

dunia tahun 2009 3

(12)

3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian 43

2 Luas lahan panen, produktivitas dan jumlah produksi padi di seluruh

Provinsi Indonesia tahun 2013 45

3 Luas lahan panen padi di Kota/Kabupaten di Jawa Barat tahun 2013 46 4 Bahan-bahan dan biaya pembuatan pupuk dan pestisida cair organik 47 5 Output SPSS uji t test terhadap penggunaan benih tenaga kerja total, dan

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian organik berkembang akibat kegagalan sistem pertanian konvensional dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Pertanian konvensional yang menitikberatkan pada input eksternal sintetis dalam jumlah banyak, atau dikenal juga dengan High External Input System Agriculture (HEISA), memang dapat meningkatkan hasil produski dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang telah menimbulkan dampak negatif bagi tanah, lingkungan ekosistem, juga manusia.

Dampak negatif pertanian konvensional bagi tanah yakni berkurangnya kesuburan tanah yang mengakibatkan berkurangnya produktivitas lahan (Sugito 1993). Adapun dampak negatif bagi lingkungan dan ekosistem antara lain, pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian, peningkatan daya tahan organisme pengganggu terhadap pestisida, serta penurunan keanekaragaman hayati (Schaller 1993 dalam Susilo 2005). Dampak negatif bagi manusia yakni munculnya risiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian. Hal ini karena petani yang menyemprotkan pestisida sintetis tanpa menggunakan masker, dalam jangka panjang berisiko mengalami gangguan pernapasan.

Pertanian konvensional tidak dapat menjawab isu kemanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran biologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Pasalnya, produk pertanian yang dirawat menggunakan pestisida kimia sintetis sebagian besar masih mengandung residu pestisida yang berisiko mengancam kesehatan manusia. Apabila residu pestisida tersebut dikonsumsi dalam jumlah besar, maka berpotensi menurunkan kecerdasan, mengganggu kerja syaraf, mengganggu metabolise tubuh, menimbulkan radikal bebas bahkan memicu kanker. (Manuhutu 2005).

Untuk mengatasi dampak negatif dari pertanian konvensional, para ahli pertanian memperkenalkan pertanian alternatif ramah lingkungan salah satunya ialah pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya bukanlah hal baru karena manusia telah mengenal pertanian alami sejak mengenal cara bercocok tanam. Pertanian organik modern didefinisikan sebagai budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Adapun definisi sistem pertanian organik sendiri berdasarkan IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements, 2002) dalam Kementan (2010) ialah “kegiatan usaha tani secara menyeluruh sejak proses produksi (prapanen) sampai proses pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi”

(14)

2

sifat fisika-kimia tanah, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah. Selain itu, bahan organik juga mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin yang dapat menstimulasikan pertumbuhan tanaman. Produk organik juga baik bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya karena menurut Susilo (2005) pada umumnya produk organik memliki kandungan nutrisi dalam jumlah yang cukup tinggi dengan kandungan polusi yang dapat diabaikan.

Produk pertanian organik mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat dunia, ditandai dengan meningkatnya permintaan produk organik dalam sepuluh tahun kebelakang. Meskipun pangsa pasar produk organik hanya berkisar 0.5%-2% dari keseluruhan produk pertanian, namun permintaan produk organik terus meningkat. Meningkatnya permintaan produk organik disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan meningkatnya tingkat pendidikan serta kesejahteraan mansyarakat. Total penjualan pertanian organik dunia mengalami peningkatan dari US$18 milyar pada 2000 menjadi US$33 milyar pada 2005, dan meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$38,6 milyar (Saragih, 2008). Pada tahun 2010, perdagangan produk organik dunia menembus US$59.1 milyar1.

Secara keseluruhan, permintaan produk organik dunia meningkat kurang lebih 10%-20% pertahun dalam sepuluh tahun kebelakang, dengan permintaan terbesar ada di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun supply yang ada belum mampu memenuhi pesatnya permintaan 2 . Inilah kemudian yang memicu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang. Melihat hal tersebut, usaha pertanian organik potensial untuk dikembangkan, termasuk di Indonesia. Bahkan menurut Organic Monitor, Indonesia memiliki potensi sebagai produsen utama dunia terutama untuk ekspor. Di Indonesia sendiri, permintaan produk pertanian organik tumbuh 600% pada tahun 2006 dibandingkan tahun sebelumnya. Permintaan ini setara dengan US$5-6 juta atau sekitar Rp 45-46 milyar (Saragih 2008, dalam Wiyanti 2013).

Namun rupanya peningkatan permintaan akan produk organik, hanya memotivasi sejumlah kecil petani di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia, untuk beralih ke sistem pertanian organik. Hal ini ditunjukan oleh kecilnya proporsi

1 Prabowo, E Hermas. 2012. Pasar Organik Dunia Tumbuh Pesat. http://health.kompas.com/read/ [diakses pada 20 Januari 2013 ]

2

Gunawan, A. 2007. Organic farm products in Demand but Not Available. The Jakarta Post, 30 Juni 2007

Tabel 1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di dunia tahun 2009a

Wilayah Luas lahan pertanian (ha) Lahan pertanian organik (%)

Afrika 1 026 632 0.1

(15)

3 luas lahan pertanian organik dibandingkan total luas lahan pertanian. Sebagaimana ditunjukan pada Tabel 1, luas lahan pertanian organik dunia hanya 0.9% dari total lahan pertanian. Di beberapa wilayah di dunia, luas lahan pertanian organik tidak melebihi jumlah 5% dari total lahan pertanian. Di Indonesia sendiri, luas lahan pertanian organik pada 2006 hanya sebesar 41 431 ha atau 0.09% dari total lahan pertanian (IFOAM 2008 dalam Mayrowani 2012).

Luas lahan pertanian organik dunia memang mengalami peningkatan dari tahun 1999 hingga tahun 2009. Pada tahun 1999 jumlah lahan pertanian organik hanya 11 juta hektar, lalu meningkat kurang lebih tiga kali lipat pada tahun 2009 menjadi 37 juta hektar (Willer 2010 dalam Maryowani 2012). Akan tetapi, peningkatan luas lahan pertanian organik seakan terhenti sampai pada tahun 2010. Beberapa data menunjukkan pada tahun 2010 luas lahan organik mengalami stagnansi bahkan penurunan. Hal ini dialami oleh beberapa Negara seperti Inggris, Scotlandia, New South Wales, Irlandia, India juga Indonesia. Irlandia dan New South Wales menunjukkan angka yang stagnan sejak 2010 hingga 2012, sedangkan Scotlandia dan Inggris menunjukkan penurunan luas lahan organik pada 2010 dan 2011, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 1. Di Asia, terjadi penurunan jumlah lahan organik sebesar 0.5 juta hektar pada 2012 dari tahun sebelumnya, dengan jumlah penurunan terbesar ada di India3.

Di Indonesia sendiri, Pertanian organik berkembang, ditunjukan dengan meningkatnya luas lahan pertanian organik (gambar 2). Luas lahan pertanian organik Indonesia meningkat pesat pada tahun 2007 ke tahun 2008, namun selanjutnya menunjukkan peningkatan yang kecil bahkan penurunan pada tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari 239 ribu hektar menjadi 225 ribu hektar.

Pertanian organik memang memberikan dampak positif bagi lingkungan dan kesehatan manusia, namun bagaimanapun juga keberlanjutan pertanian organik tidak dapat dipisahkan dari aspek ekonomi disamping aspek lingkungan dan sosial. Bahkan seringkali motivasi ekonomi menjadi kemudi yang menentukan arah

(16)

4

pengembangan pertanian organik. Dilihat dari aspek ekonomi, pertanian organik dapat berkelanjutan bila produksi pertaniannya mampu mencukupi kebutuhan dan memberikan pendapatan yang cukup bagi petani. Petani dalam mengkonversikan lahannya menjadi lahan organik tentu mengharapkan manfaat finansial disamping manfaat lingkungan dan kesehatan.

Perumusan Masalah

Di Indonesia, pemerintah mulai fokus mengembangkan pertanian organik

melalui program “Go Organic 2010”. Komoditi organik yang memiliki permintaan

paling tinggi ialah sayur-sayuran, buah-buahan serta padi-padian. Indonesia yang mayoritas makanan pokok penduduknya ialah beras, memiliki permintaan akan beras organik cukup tinggi. Pada tahun 2005 dengan pertumbuhan sebesar 22% pertahunnya, pasar beras organik Indonesia mencapai Rp 28 milyar4.

Jawa Barat merupakan sentra produksi padi terbesar kedua di Indonesia (Lampiran 2). Salah satu daerah yang berkontribusi cukup besar bagi produksi padi di Jawa Barat ialah Kabupaten Bogor. Luas panen padi dan jumlah produksi padi di Kabupaten Bogor cenderung meningkat dari tahun 2008 ke tahun 2012 (Lampiran 3). Pada tahun 2012, dengan luas panen padi sebesar 83 925 hektar, Kabupaten Bogor menghasilkan produksi padi sebesar 485 627 ton.

Pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bogor didukung oleh pemerintah daerah dengan mencanangkan program peningkatan ketahanan pangan melalui budidaya pertanian organik yang berfokus pada komoditi padi organik dalam rencana strategis pemerintah Kabupaten Bogor. BP5K Kabupaten Bogor pun telah melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai usahatani padi organik guna membimbing petani beralih kepada pertanian padi organik.

4

Biocert. 2006. Indonesia: Pasar Beras Organik Mencapai Rp 28 Milyar. www.biocert.co.id

[diakses pada 20 Januari 2014]

(17)

5 Namun perkembangan padi organik di Kabupaten Bogor tidak berjalan baik. Hal ini tercermin dari sedikitnya lahan pertanian organik dan pelaku pertanian organik di Kabupaten Bogor. Berdasarkan BP5K Kabupaten Bogor, luas lahan pertanian organik pada tahun 2013 hanya kurang lebih 0.9% dari total luas lahan pertanian.

Meskipun petani sudah pernah mendapatakan penyuluhan mengenai pertanian organik, namun hanya sedikit jumlah petani yang tertarik mengusahakan padi metode organik. Bahkan terdapat beberapa petani yang telah mengusahakan padi metode organik namun kembali beralih ke metode konvensional. Padahal dengan mengusahakan padi organik, petani berpotensi mendapatkan penerimaan lebih tinggi karena harga gabah organik dinilai lebih tinggi. Beberapa penelitian terdahulu pun telah menunjukkan bahwa keuntungan usahatani padi organik lebih tinggi dibanding keuntungan usahatani padi konvensional.

Penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor yang dilakukan oleh Poetryani (2011), Sari (2011), Azizah (2012), Kusumah (2004), dan Wulandari (2011) menunjukkan hasil yang sama yakni usahatani padi organik memberikan keuntungan lebih tinggi dibanding usahatani padi non-organik. Begitupun dengan penelitian Rohmani (2000) di Kabupaten Klaten Jawa Tengah yang menunjukkan bahwa keuntungan usahatani padi organik lebih besar dibandingkan keuntungan usahatani padi konvensional.

Meski berpotensi memberikan keuntungan lebih tinggi dengan mengusahakan padi organik, namun petani cenderung lebih memilih pertanian konvensional. Sehingga menjadi pertanyaan mengapa petani tidak tertarik mengusahakan padi organik dan lebih memilih mengusahakan padi menggunakan metode konvensional? Apakah keuntungan menjadi alasan petani dalam menentukan metode usahatani yang dijalankan ataukah ada faktor lain yang memengaruhi penerapan padi organik di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian ini, perlu dilihat keuntungan usahatani dan dilakukan analisis pendapatan petani padi organik dan petani padi non-organik. Perlu juga dilakukan analisis efisiensi biaya untuk melihat usahatani mana yang memberi manfaat lebih banyak bagi petani. sehingga tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis struktur biaya usahatani padi organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor

2. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor

3. Menganalisis efisiensi usahatani padi organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan R/C rasio

Manfaat Penelitian

(18)

6

1. Bagi petani di lokasi penelitian, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk mengetahui struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi biaya dari usahatani padi organik maupun padi non-organik, yang selanjutnya dapat membantu petani dalam mengelola usahataninya.

2. Bagi pelaku kegiatan agribisnis termasuk pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam membuat keputusan terkait usahatani padi organik dan padi non-organik.

3. Bagi kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi, penelitian ini dapat bermanfaaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan yang berguna sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.

4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan segala ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan, serta dapat melatih dan mengembangkan kemampuan dalam berpikir dan menganalisis permasalahan yang ada di lapangan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usahatani padi organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor, dilihat dari aspek penggunaan input, struktur biaya, pendapatan serta efisiensi usahatani. Usahatani padi organik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usahatani padi dimana dalam proses budidaya meminimalisasi penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Efisiensi usahatani hanya dilihat berdasarkan R/C rasio. Analisis usahatani yang digunakan merupakan analisis finansial dimana data biaya yang dipakai adalah data riil yang sebenarnya dikeluarkan petani. Penelitian ini dilakukan hanya pada satu musim tanam. Selain itu diberikannya batasan-batasan berupa asumsi dimaksudkan untuk memudahkan proses analisis dan diharapkan dengan batasan ini tidak merubah ataupun mengurangi esensi yang hendak disampaikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan Input dan Tenaga Kerja pada Usahatani Metode Organik dan Non-Organik

Sistem pertanian organik berbeda dengan sistem pertanian konvensional (non-organik) dalam hal penggunaan input. Pertanian konvensional menggunakan input kimia sintetis, sedangkan pertanian organik menghindari pemakaian input sintetis dan mengedepankan sistem pertanian ramah lingkungan.

(19)

7 masih menggunakan pupuk sintetis namun dengan jumlah 77% lebih rendah dan sama sekali tidak menggunakan pestisida sintetis.

Beberapa penelitian terdahulu mengukur energi penggunaan input pada usahatani metode organik dan non-organik. Penelitian Pimentel et al (2005) menunjukkan bahwa energi yang dikeluarkan dalam penggunaan input usahatani tanaman organik 32% lebih rendah dibanding non-organik. Penelitian Bilalis et al (2013) juga menghasilkan kesimpulan yang sama yakni dibandingkan dengan metode konvensional, energi penggunaan input untuk tanaman tomat organik 26% lebih rendah dan untuk jagung organik 29% lebih rendah. Adopsi teknologi organik dalam usahatani dapat mengurangi energi dalam penggunaan input.

Metode organik dalam usahatani juga berimplikasi terhadap perbedaan penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja pada penelitian terdahulu diukur berdasarkan HOK (Hari Orang Kerja) ataupun berdasarkan energy (MJ/ha) yang dikeluarkan. Berdasarkan penelitian Bilalis et al (2013), energi yang dikeluarkan pada usahatani tomat organik dan jagung organik 14.5% dan 24.8% lebih banyak dibandingkan metode non-organik. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Brumfield et al (2000) yang menunjukkan bahwa jumlah jam kerja per hektar pada usahatani tomat organik, labu organik, dan jagung manis organik 25%, 12% dan 5% lebih tinggi dibandingkan metode non-organik.

Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa petani organik di beberapa wilayah belum dapat sepenuhnya terlepas dari bahan-bahan kimia sintetis. Penerapan metode organik dalam usahatani dapat mengurangi energi yang dikeluarkan dalam penggunaan input pupuk, pestisida, benih dan peralatan. Namun penerapan metode organik juga akan membutuhkan kerja lebih banyak dibandingkan metode non-organik.

Produktivitas Output Usahatani Metode Organik dan Non-Organik

Penelitian Brumfield et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman tomat, labu dan jagung manis yang ditanam menggunakan metode organik memberikan hasil produksi yang lebih rendah antara 15%-19% dibandingkan metode konvensional. Hasil serupa juga didapat pada data Europan Commision (2013), yakni produktivitas per hektar tanaman yang ditanam menggunakan metode organik lebih rendah. Begitupun dengan hasil penelitian Pimentel et al (2005) yang menunjukkan bahwa produktivitas gandum organik kurang lebih 22% lebih rendah dibandingkan gandum biasa.

(20)

8

mengenai buncis organik di Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa produktivitas buncis organik 2.45 kali lebih rendah dibanding buncis konvensional. Penelitian Siregar (2008) mengenai cabai merah organik juga menunjukkan bahwa produktivitas cabai merah organik 1.5 kali (5 ton) lebih rendah dibanding produktivitas cabai merah nonorganik. Begitupun dengan penelitian Khairina (2006) yang menunjukkan bahwa produktivitas wortel organik di Kecamatan Cisarua Bogor sedikit lebih rendah dibandingkan wortel nonorganik.

Biaya dan Penerimaan Usahatani Metode Organik dan Non-Organik

Perbedaan input yang digunakan pada usahatani metode organik dengan non-organik tentunya akan berimplikasi terhadap perbedaan biaya produksi. Perbedaan penggunaan input juga akan berimplikasi terhadap perbedaan hasil output, sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan petani.

Penelitian Brumfield et al (2000) di New Jersey, menunjukkan bahwa biaya usahatani tomat, labu, dan jagung manis yang dikelola menggunakan metode organik jauh lebih tinggi dibandingkan biaya usahatani yang dikelola secara konvensional. Pada usahatani dengan metode organik, biaya untuk bahan-bahan yakni pupuk, obat-obatan dan benih rata-rata 27% lebih tinggi dibanding biaya bahan-bahan pada usahatani non-organik. Adapun biaya tenaga kerja pada usahatani organik lebih besar 30% dari biaya tenaga kerja non-organik.

Serupa dengan hasil penelitian Brumfield, penelitian Klonsky (2012) juga menunjukkan biaya produksi untuk tomat, jagung, brokoli, kenari, kismis dan almond organik lebih besar dibandingkan jika ditanam menggunakan metode non-organik. Perbedaan biaya terbesar terdapat pada kegiatan pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama penyakit yang menunjukkan perbedaan hingga 50% lebih tinggi pada usahatani tomat organik dan 21% lebih tinggi pada usahatani jagung organik.

Hasil berbeda diperoleh Klonsky (2012) pada komoditas stroberi dan salada air. Komoditas stroberi dan salada air justru akan membutuhkan biaya lebih besar jika ditanam secara konvensional karena membutuhkan biaya tambahan untuk fumigasi pada usahatani stroberi dan biaya untuk pestisida sintetis pada salada air.

Hasil berbeda juga diperoleh pada penelitian Takele et al (2007) dan Pimentel et al (2005). Takele et al (2007) menunjukkan bahwa biaya usahatani blueberry metode organik lebih tinggi namun tidak signifikan dibandingkan biaya usahatani metode konvensional karena hanya berbeda 3%. Tidak terdapat perbedaan biaya tenaga kerja yang signifikan antara kedua jenis usahatani. Pimentel et al (2005) bahkan menunjukkan bahwa biaya produksi usahatani organik lebih rendah dibandingkan usahatani metode konvensional. Penelitian Pimentel et al (2005) menunjukkan bahwa karena penggunaan energi untuk input pada usahatani organik lebih rendah, maka biaya yang dikeluarkan pada usahatani organik juga lebih rendah. Biaya untuk pupuk, pestisida dan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani organik lebih rendah, namun biaya untuk benih dan peralatan pada usahatani organik lebih tinggi.

(21)

9 Sehingga meskipun memperoleh hasil produksi lebih rendah namun penerimaan usahatani organik tetap lebih tinggi berkat output organik dinilai dengan harga premium. Hasil berbeda didapat pada penelitian Brumfield et al (2000), yang menunjukkan bahwa meskipun harga jual produk organik lebih tinggi dibanding produk biasa, namun penerimaan bersih usahatani organik ternyata lebih rendah dengan selisih yang tidak berbeda jauh. Hal ini diakibatkan karena biaya yang dikeluarkan pada usahatani organik jauh lebih besar dibanding usahatani konvensional.

R/C dan Return to Labour Usahatani Sistem Organik dan Konvensional

R/C merupakan ukuran tepat untuk membandingkan biaya dan penerimaan antara beberapa jenis usahatani. Produsen cenderung memilih jenis usaha yang akan memberikan R/C lebih tinggi. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa R/C atas biaya total usahatani metode organik lebih rendah dibandingkan usahatani konvensional dengan selisih yang tidak berbeda jauh.

Brumfield et al (2000) menunjukkan usahatani tomat, labu dan jagung manis yang dikelola secara organik memiliki nilai R/C lebih rendah dibandingkan bila dikelola secara konvensional. Nilai R/C untuk usahatani tomat organik sebesar 2.39 sedangkan untuk usahatani tomat konvensional sebesar 2.89, nilai R/C untuk usahatani labu organik sebesar 2.02 sedangkan labu konvensional 2.27. Di Indonesia, penelitian mengenai efisiensi biaya dilakukan oleh Fatullah (2012) mengenai padi dan Wiyanti (2013) mengenai buncis. Kesimpulan serupa didapat dari kedua penelitian yakni R/C usahatani organik sedikit lebih rendah dibanding R/C usahatani konvensional, dengan nilai R/C usahatani padi organik sebesar 1.77 sedangkan R/C padi konvensional 1.80 dan nilai R/C usahatani buncis organik sebesar 1.11 sedangkan R/C buncis konvensional 1.35. Dilihat dari biaya total, petani akan cenderung memilih usahatani konvensional karena memberikan nilai R/C lebih tinggi.

Balas jasa terhadap penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dapat diukur berdasarkan Return to Family Labour pada masing-masing usahatani. Penelitian Fatullah (2012) dan Hadiwijaya (2013) menunjukkan bahwa usahatani padi organik memberikan nilai Return to Family Labour yang lebih besar dibandingkan usahatani padi konvensional. Pada Fatullah (2012) nilai Return To Family Labour

(22)

10

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep usahatani padi organik

Usahatani pada dasarnya adalah proses pengorganisasian alam, lahan, tenaga kerja dan modal untuk menghasilkan output pertanian. Menurut Soekartawi (1995) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan faktor produksi yang ada secara efektif (mengalokasikan sumberdaya dengan sebaik-baiknya) dan efisien (menghasilkan output yang melebihi input) untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Adapun faktor produksi dalam usahatani ialah faktor alam yakni iklim dan tanah/lahan, tenaga kerja, modal, serta pengelolaan.

Usahatani padi organik pada dasarnya sama dengan usahatani padi biasa, namun dalam pengelolaannya sebisa mungkin tidak menggunakan input kimia sintetis. Sehingga dalam praktiknya, usahatani padi organik menghindari pemakaian pupuk juga pestisida sintetis dan menggantinya dengan pupuk dan pestisida organik. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan tidak hanya secara kimiawi tetapi juga secara fisik dan secara teknik budidaya. Tujuan dari pertanian organik sendiri ialah untuk menghasilkan pangan yang berkualitas dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami.

Dilihat dari sisi teknologi, terdapat perbedaan penggunaan input antara usahatani padi organik dengan usahatani padi konvensional. Jika usahatani padi konvensional menggunakan pupuk dan pestisida kimia pabrikan, maka usahatani padi organik menggunakan pupuk dan pestisida organik yang umumnya dibuat sendiri oleh petani. Hal ini berimplikasi pada adanya kerja tambahan yang harus dikeluarkan petani organik untuk membuat pupuk dan pestisida cair nabati. Kerja tambahan juga dibutuhkan petani padi organik untuk membuat perangkap guna mengendalikan hama. Kegiatan kerja membuat pupuk dan pestisida nabati serta membuat perangkap ini umumnya dilaksanakan sendiri oleh petani ataupun keluarga petani selaku pengelola, sehingga kegiatan usahatani padi organik berimplikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak. Konsep biaya usahatani

Perbedaan penggunaan bahan-bahan input serta penggunaan tenaga kerja pada usahatani organik dan konvensional secara langsung mengakibatkan perbedaan biaya produksi. Biaya merupakan nilai semua pengorbanan atau faktor produksi yang dikeluarkan untuk menghasilkan output dalam waktu tertentu. Berdasarkan Tjakrawiralaksana (1983), hal yang termasuk dalam biaya usahatani ialah lahan, biaya sarana produksi yang habis terpakai, biaya alat-alat produksi tahan lama, biaya tenaga kerja, dan biaya lain-lain.

(23)

11 makanan ternak dan bahan bakar. Dalam usahatani kecil, tidak semua petani mendapatkan sarana produksi dengan cara membeli. Adapula sarana produksi yang dibuat sendiri misalnya pupuk organik. Pada kasus seperti ini, sarana produksi yang tidak diperoleh dengan cara membeli harus tetap dihitung nilainya sebagai biaya, sesuai dengan harga yang dibayarkan jika sarana produksi tersebut dibeli dari luar. Alat-alat produksi tahan lama ialah alat produksi yang tidak habis terpakai selama satu kali proses produksi, contohnya adalah gudang penyimpanan, gudang pengolahan hasil, lantai penjemuran, traktor, mesin perontok, cangkul, kored dan sebagainya. Alat-alat ini dipakai berkali-kali dan nilainya berkurang setiap tahunnya. Pengurangan nilai inilah yang menjadi biaya dalam usahatani, atau biasa disebut juga dengan biaya penyusutan.

Semua pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dalam usahatani termasuk biaya. Pada usahatani kecil, tenaga kerja tidak hanya berasal dari luar keluarga tetapi seringkali berasal juga dari dalam keluarga. Kerja yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) harus dihitung sebagai biaya dan dinilai atas dasar upah apabila pekerjaan tersebut dilakukan orang lain. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani biasa diukur berdasarkan hari orang kerja, dimana dalam satu hari biasanya petani bekerja selama tujuh jam.

Adapun biaya lain-lain, berdasarkan Tjakrawiralaksana (1983), diantaranya adalah: iuran untuk perkumpulan organisasi petani, iuran-iuran wajib sehubungan dengan fungsinya sebagai petani, dan biaya jasa orang ketiga misalnya dalam pengolahan tanah.

Biaya-biaya dalam usahatani seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ada yang dikeluarkan secara tunai ada pula yang tidak tunai atau biasa disebut biaya diperhitungkan. Pupuk serta pestisida nabati yang dibuat sendiri oleh petani termasuk dalam komponen biaya diperhitungkan, begitupun dengan Tenaga Kerja Dalam Keluarga. Usahatani organik yang lebih banyak menggunakan sumber daya milik sendiri, akan mengeluarkan biaya diperhitungkan lebih besar.

Biaya usahatani juga biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan besarnya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. Biaya tetap akan tetap dikeluarkan meskipun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Contoh biaya tetap adalah sewa tanah, biaya pajak, biaya penyusutan alat dan bangunan pertanian, biaya pemeliharaan kerbau bajak dan alat pertanian, dan iuran irigasi. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh besarnya produksi. Contoh biaya variabel adalah biaya sarana prosuksi seperti pupuk, pestisida, obat pembasmi hama dan penyakit, benih atau bibit tanaman, dan tenaga kerja upahan. Perbedaan input yang digunakan dalam usahatani padi organik dan konvensional akan mengakibatkan perbedaan biaya variabel antara kedua jenis usahatani. Usahatani yang menggunakan input lebih intensif akan mengeluarkan biaya variabel lebih besar.

Konsep penerimaan usahatani

(24)

12

tertentu. Nilai output didapat dari hasil perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari proses produksi dengan harga output per satuan unit.

Disamping hasil produksi atau jumlah total output, penerimaan juga ditentukan oleh faktor harga. Produk organik umumnya mendapat harga premium, yakni harga diatas harga produk biasa. Sehingga perbedaan penerimaan antara usahatani organik dengan usahatani konvensional dipengaruhi oleh perbedaan jumlah hasil produksi atau produtivitas dan perbedaan harga jual produk tersebut. Hasil produksi dan harga output yang tinggi tentunya akan memberikan penerimaan yang tinggi bagi petani.

Pada usahatani kecil, tidak semua output yang dihasilkan dijual oleh petani. Ada pula produk yang digunakan untuk dikonsumsi rumahtangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau untuk makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, ataupun disimpan. Oleh karena itu, Soekartawi (1985) membagi penerimaan menjadi penerimaan tunai dan penerimaan tak tunai. Penerimaan tunai ialah uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan penerimaan tak tunai adalah nilai total produk yang tidak dijual. Produk yang tidak dijual harus tetap dihitung nilainya berdasarkan harga pasar.

Konsep pendapatan usahatani dan R/C rasio

Pendapatan bersih usahatani (net farm income) mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan kedalam usahatani. Pendapatan bersih usahatani merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dan pengeluaran total usahatani (total farm epenses). Pendapatan kotor yang dimaksud disini sama dengan penerimaan usahatani, yakni nilai output total baik yang dijual maupun tidak pada jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga.

Pendapatan bersih usahatani yang sudah dikurangi dengan bunga modal pinjaman disebut penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Apabila dalam praktik usahatani, petani tidak menggunakan modal pinjaman maka penghasilan bersih usahatani sekaligus merupakan pendapatan bersih usahatani. Ukuran ini menggambarkan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai di dalam usahatani (Soekartawi 1985).

(25)

13 Adapun imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dapat dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan. Ukuran ini dapat dinyatakan per HOK untuk menilai imbalan yang diperoleh per hari kerja dari kegiatan usahatani, dan dibandingkan dengan upah kerja buruh tani harian maupun upah kerja di luar usahatani. Petani sebagai pelaku utama sekaligus manajer dalam mengelola usahatani sudah tentu mengharapkan imbalan yang sekurang-kurangnya sama dengan upah jika ia bekerja pada petani lain.

Return to Cost Ratio atau biasa dikenal dengan R/C merupakan imbangan antara penerimaan dan biaya. Nilai R/C menggambarkan tingkat efisiensi biaya usahatani karena menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh petani setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C lebih dari satu menunjukkan bahwa usahatani menghasilkan nilai output yang lebih besar daripada nilai faktor produksi yang digunakan. Semakin besar nilai R/C yang didapatkan maka semakin besar efisiensi suatu usahatani.

Berdasarkan Soekartawi (1995), perhitungan R/C dapat dipisahkan berdasarkan biaya total ataupun biaya tunai. Perhitungan R/C atas biaya total didapat dengan membagi penerimaan total terhadap biaya total. Adapun perhitungan R/C atas biaya tunai didapatkan dengan membagi total penerimaan terhadap biaya tunai.

Kerangka Pemikiran Operasional

Pertanian organik berkembang akibat gagalnya sistem pertanian konvensional dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Pertanian konvensional dalam jangka panjang telah memberi dampak negatif bagi tanah, lingkungan juga bagi kesehatan manusia. Sebaliknya, pertanian organik terbukti telah membantu tingkat kesuburan tanah, menjaga kelestarian ekosistem dalam jangka panjang serta baik bagi kesehatan manusia.

Pertanian organik mendapat respon positif dari masyarakat dunia ditandai dengan meningkatnya permintaan produk organik dunia dalam sepuluh tahun kebelakang. Komoditi organik yang memiliki permintaan paling tinggi ialah sayur-sayuran, buah-buahan, serta padi-padian. Indonesia yang mayoritas makanan pokok penduduknya adalah beras memiliki permintaan beras organik cukup tinggi. Dengan pertumbuhan sebesar 22% pertahunnya, pasar beras organik Indonesia mencapai Rp 28 milyar.

Salah satu daerah penyumbang padi terbesar bagi Indonesia ialah provinsi Jawa Barat. Daerah di Jawa Barat yang menyumbang kontribusi cukup besar terhadap produksi padi ialah Kabupaten Bogor. Perkembangan pertanian padi organik di Kabupaten Bogor didukung oleh pemerintah daerah dengan dicantumkannya progam pengembangan pertanian organik dalam rencana strategis pemerintah Kabupaten Bogor. Namun perkembangan padi organik di Kabupaten Bogor belum berjalan baik. Hal ini ditandai dengan sedikitnya luas lahan dan pelaku pertanian organik di Kabupaten Bogor.

(26)

14

Bahkan beberapa petani yang telah mengusahakan padi organik, kembali beralih pada usahatani padi konvensional. Sehingga menjadi pertanyaan, mengapa petani tidak tertarik terhadap usahatani padi organik dan lebih memilih usahatani padi konvensional?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melihat permasalahan dari sisi finansial dengan menggunakan pendekatan struktur biaya usahatani dan pendapatan. Mula-mula dilakukan analisis penggunaan faktor produksi seperti bahan-bahan input dan tenaga kerja pada usahatani padi organik dan non-organik. Perbedaan penggunaan faktor produksi, akan mengakibatkan perbedaan biaya. Biaya yang dinilai adalah biaya tunai maupun biaya tak tunai. Setelah diketahui struktur biaya masing-masing usahatani, selanjutnya peneliti membandingkan penerimaan pada masing-masing usahatani. Penerimaan ditentukan oleh hasil produksi dan harga output. Penerimaan dinilai berdasarkan penerimaan tunai dan penerimaan nontunai.

Berdasarkan nilai biaya dan penerimaan usahatani yang telah didapatkan, Selanjutnya dapat dicari keuntungan usahatani dengan mengurangi biaya total dari nilai penerimaan total. Keuntungan bukanlah nilai imbalan sesungguhnya yang diperoleh petani, pendapatan bersih petani dapat dicari dengan mengurangi nilai penerimaan total dengan biaya total tetapi tidak termasuk biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga. Imbalan yang diperoleh petani terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga dapat diketahui dengan mencari return to family labour.

(27)

15

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani padi perlakuan organik dan non-organik di Kabupaten Bogor

Keragaan usahatani : -penggunaan input

-hasil dan harga output

Struktur biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani

Efisiensi biaya: - R/C rasio

Usahatani padi organik menarik untuk diusahakan atau tidak

Pertanian organik berkembang akibat kegagalan sistem pertanian konvensional dalam melestarikan lingkungan dalam jangka panjang.

Pertanian padi organik mulai dikembangkan di salah satu sentra produksi padi, yakni di Kabupaten Bogor. Namun hanya sedikit petani di Kabupaten Bogor yang mau mengusahakan padi organik. Mengapa petani tidak tertarik terhadap usahatani padi organik dan cenderung memilih usahatani padi konvensional?

(28)

16

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Jawa Barat merupakan sentra produksi padi terbesar kedua di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yakni Kabupaten Bogor. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive karena Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat dan tengah mengembangkan padi organik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013.

Kecamatan yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga. Adapun desa yang menjadi sampel penelitian ialah desa Cigudeg, Desa Argapura, Desa Bunar, Desa Jasinga, Desa Sipak, dan Desa Pamageur Sari. Pemilihan Kecamatan dan desa dilakukan secara purposive karena berdasarkan BP5K Kabupaten Bogor, Kecamatan dan Desa tersebut merupakan daerah yang petaninya masih aktif dan berkelanjutan mengusahakan padi secara organik.

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan pihak petani menggunakan susunan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran berbagai dokumen dari literatur-literatur yang relevan seperti buku majalah pertanian jurnal ilmiah, internet, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Penyuluh Pertanian Lapang dan Sawadaya Kabupaten Bogor, maupun dari beberapa penelitian terdahulu yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini.

Jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 31 orang dengan sebaran 12 orang petani padi organik dan 19 orang petani padi non-organik. Sampel untuk petani padi organik dan petani padi non-organik masing-masing berasal dari Kecamatan Cigudeg dan Jasinga dengan sebaran yang sama. Sampel petani organik berjumlah 12 orang karena menurut penyuluh BP3K wilayah setempat hanya terdapat 12 orang petani yang masih aktif dan berkelanjutan melakukan usahatani padi secara organik. Sampel petani non-organik berjumlah 19 orang untuk mengimbangi jumlah petani organik dan mencukupi kebutuhan minimal sampel bagi penelitian survey yakni ≥ 30. Hal ini disebabkan sampel sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang teliti.

Pemilihan sampel untuk petani padi organik dilakukan dengan teknik

(29)

17 dilakukan secara purposive dengan memilih petani yang sudah mengusahakan padi minimal 4 musim tanam, dan berada pada desa yang sama dengan petani padi organik dengan distribusi jumlah yang sama.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Sebelum data dianalisis, terlebih dahulu data diolah dengan melakukan pentabulasian data primer dari kuesioner agar data lebih mudah dipahami. Pada penelitian ini data diolah menggunakan bantuan kalkulator dan Software Microsoft Excel2007 dan SPSS 22. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik petani responden serta menganalisis perbandingan budidaya padi organik dengan padi non-organik yang dilakukan oleh petani responden. Analisis kualitatif juga digunakan untuk menggambarkan keadaan umum lokasi penelitian. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur biaya, struktur pendapatan serta efisiensi pada usahatani padi organik maupun non-organik.

Analisis penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani

Keuntungan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani. Jika hasil selisih menunjukan koefisien positif, maka kegiatan usahatani menguntungkan, dan sebaliknya bila hasil selisih menunjukan koefisien negatif, maka kegiatan usahatani mengalami kerugian. Pada penelitian ini akan dibandingkan bagaimana keuntungan per hektar usahatani padi organik dan padi non-organik yang diduga memiliki struktur biaya dan penerimaan yang berbeda. Sebelum menghitung keuntungan usahatani perlu diketahui terlebih dahulu penerimaan dan biaya usahatani.

a. Penerimaan usahatani yang dimaksud disini ialah penerimaan total atau sama dengan pendapatan kotor usahatani (gross farm income), yaitu nilai semua output yang diperoleh pada jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan tak tunai. Penerimaan tunai adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sementara penerimaan tak tunai atau penerimaan yang diperhitungkan adalah nilai produk yang tidak dijual dan digunakan baik untuk konsumsi rumahtangga petani, digunakan untuk pembayaran, ataupun digunakan untuk keperluan lain. Penjumlahan antara penerimaan tunai dan penerimaan non tunai disebut penerimaan total. Dengan kata lain, penerimaan usahatani ialah perkalian antara tiap-tiap jumlah produk yang dihasilkan dari usahatani dengan masing-masing harga produk tersebut (Hernanto 1989). Secara matematis, total penerimaan dituliskan dengan:

Total Penerimaan = Q × P Dimana, Q = jumlah produk yang dihasilkan (unit) P = harga produk (Rp/unit)

(30)

18

agar dapat dibandingkan produktivitas padi organik dan padi non-organik per hektar, serta dapat dibandingkan produktivitas padi tiap petani. Penerimaan usahatani juga akan dikonveriskan ke dalam satu hektar agar mudah dibandingkan antara tiap petani padi organik maupun padi non-organik. b. Biaya merupakan nilai semua pengorbanan atau faktor produksi yang

dikeluarkan untuk menghasilkan output dalam waktu tertentu. Biaya usahatani yang dihitung dan dijadikan perbandingan dalam penelitian ini adalah biaya bahan-bahan berupa benih, pupuk dan obat-obatan serta biaya tenaga kerja. Dalam penelitian ini tidak diikutsertakan biaya sewa dan pajak lahan, biaya penyusutan alat dan biaya pengairan. Hal ini karena biaya-biaya tersebut pada kedua jenis usahatani memiliki besaran nilai hampir sama dan tidak memengaruhi konversi usahatani padi menjadi padi organik. Agar fokus penelitian tidak menjadi rancu, maka biaya tersebut tidak dimasukan. Sama halnya dengan penerimaan, biaya usahatani pun ada yang dibayarkan secara tunai ada pula yang tak tunai. Biaya tak tunai atau biaya yang diperhitungkan adalah nilai faktor produksi yang digunakan dalam usahatani namun tidak dibayar secara tunai seperti tenaga kerja dalam keluarga, biaya pupuk dan pestisida nabati yang dibuat sendiri oleh petani, dan biaya yang dibayarkan dengan natura. Biaya tunai ditambah dengan biaya non tunai sama dengan biaya total usahatani Tjakrawiralaksana (1983).

Analisis pendapatan usahatani

Pendapatan usahatani merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan dan modal. Pada penerapan usahatani padi organik diduga terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja serta penggunaan input dibandingkan dengan usahatani padi non-organik. Oleh karena itu, pendapatan akan dinilai berdasarkan pengembalian hasil atau imbalan yang diperoleh atas tenaga kerja dan modal.

Untuk mengukur pengembalian hasil yang diperoleh atas penggunaan faktor produksi, harus diketahui terlebih dahulu pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dengan pengeluaran total usahatani (total farm expenses). Pengeluaran total usahatani merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi namun tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Kemudian dengan mengurangi bunga modal pinjaman dari pendapatan bersih usahatani akan diperoleh penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Apabila modal seluruhnya berasal dari modal milik petani sendiri, maka net farm earnings

sekaligus merupakan pendapatan bersih usahatani.

(31)

19 sendiri maka imbalan kepada modal milik petani sama dengan imbalan kepada seluruh modal.

Imbalan kepada modal digunakan untuk menilai keuntungan investasi. Pada penelitian ini akan dilihat apakah usahatani padi organik memberikan imbalan kepada modal yang lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non-organik, atau justru sebaliknya. Imbalan kepada modal juga akan dibandingkan dengan imbalan yang tersedia untuk investasi lain seperti nilai suku bunga dasar kredit bank. Hal ini untuk menilai apakah keputusan petani dalam menginvestasikan modal untuk usahatani padi lebih menguntungkan dibandingkan petani menginvestasikan modalnya di bank. Secara matematis, return to total capital dapat dituliskan sebagai berikut:

� � � = � � total modal− nilai tenaga kerja keluarga × %

Imbalan kepada tenaga kerja dapat dipisahkan menjadi dua, yakni imbalan kepada tenaga kerja keluarga dan imbalan kepada tenaga kerja total. Imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dihitung dengan cara membagi jumlah tenaga kerja keluarga dari total penerimaan dikurangi modal petani tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan imbalan kepada tenaga kerja dihitung dengan cara membagi total kerja dari penerimaan total setelah dikurangi modal. Hasil perhitungan ini akan menunjukan tingkat upah per HOK dan dibandingkan dengan tingkat upah rata-rata yang diberikan kepada buruh tani. Secara matematis return to family labour dan return to labour ditulis sebagai berikut:

� � � � � � =penerimaan total − modal petani − biaya TKDKTotal Tenaga Kerja Dalam Keluarga

Dimana, TKDK = Tenaga Kerja Dalam Keluarga

� � � � =penerimaan total − modal petaniTotal Tenaga Kerja

Analisis efisiensi biaya usahatani

Dalam penelitian ini analisis efisiensi usahatani diukur berdasarkan R/C rasio yang menunjukan efisiensi biaya. Analisis R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan atau dengan kata lain menunjukkan produktivitas biaya. Usahatani yang memberikan nilai R/C rasio lebih tinggi dapat dikatakan lebih efisien. Karena penerimaan yang besar belum tentu efisien bila diikuti dengan biaya yang besar pula. Perhitungan R/C ratio dilakukan dengan membagi total biaya dari total penerimaan yang dituliskan sebagai berikut:

R

C atas biaya total =

(32)

20

Analisis uji beda t-test

Pada penelitian ini uji beda t-test digunakan untuk menguji secara statistik besaran jumlah HOK tenaga kerja, besaran penerimaan, biaya, dan pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi organik dan padi non-organik. Nilai jumlah tenaga kerja yang digunakan, serta nilai penerimaan biaya dan pendapatan antara usahatani padi organik dan padi non-organik perlu diuji secara statistik untuk membandingkan rata-rata nilai tersebut, apakah berbeda signifikan secara statistik atau tidak.

Sebelum melakukan t-test haruslah memenuhi asumsi-asumsi berikut: Sampel (data) yang diambil dari kedua populasi mempunyai distribusi normal; kedua sampel diambil dari dua populasi yang mempunyai varians sama atau bisa dianggap sama; variabel (data) yang diuji haruslah data bertipe interval atau rasio, yang tingkatnya lebih tinggi dari data tipe nominal atau ordinal. Pada penelitian ini, oleh karena keterbatasan jumlah sampel maka asumsi distribusi normal belum tentu terpenuhi. Namun demikian, uji t-test tetap dapat dilakukan untuk melihat apakah kedua grup memiliki rata-rata yang sama atau tidak secara signifikan.

Uji t yang digunakan dalam penelitian ini adalah Independent-sample t-test.

Uji ini bertujuan untuk membandingkan rata-rata dari dua grup/populasi yang tidak berhubungan satu dengan yang lain, apakah kedua grup/populasi tersebut mempunyai rata-rata yang sama atau tidak secara signifikan. Pada penelitian ini dua populasi yang akan dibandingkan adalah petani padi organik dan petani padi non-organik, nilai rata-rata yang akan diuji adalah nilai penggunaan tenaga kerja, penerimaan, biaya dan pendapatan masing-masing populasi. Taraf nyata (α) yang digunakan untuk t-test adalah 10 persen (0.10). Adapun prosedur t-test untuk

Independent-sample t-test sebagai berikut (Saefuddin et al 2009): 1) Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H0 : Median Y di kedua populasi (petani organik dan non-organik) tidak bebeda

H1 : Median Y di kedua populasi (petani organik dan non-organik) berbeda

2) Statistik Uji – Uji T

x1 = Rata-rata penggunaan tenaga kerja, penerimaan/biaya/pendapatan pada petani organik

x2 = Rata-rata penerimaan/biaya/pendapatan pada petani non-organik n1 = Jumlah sampel pada petani organik

n2 = Jumlah sampel pada petani non-organik σ1 = Simpangan baku pada petani organik

σ2 = Simpangan baku pada petani non-organik

3) Kriteria Uji

(33)

21 t-hitung > t-Tabel, maka kedua populasi berbeda secara signifikan (H0 ditolak)

t-hitung < t-Tabel, maka kedua populasi tidak berbeda secara signifikan (H0

diterima)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian berlokasi di Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Gambaran umum lokasi penelitian yang dibahas pada penelitian ini terdiri dari karakteristik wilayah dan karakteristik petani responden. Karakteristik wilayah meliputi kondisi geografis, kependudukan dan pertanian. Sementara karakteristik petani responden yang dijelaskan meliputi usia, jenis kelamin, luas penguasaan lahan padi, pendidikan formal, pengalaman usahatani padi, status usahatani padi, serta jumlah tangggungan keluarga.

Karakteristik Wilayah

Kondisi Geografi

Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga bila ditinjau dari peta Kabupaten Bogor berada di bagian barat wilayah Kabupaten Bogor. Jarak Ibukota Kabupaten Bogor dengan pusat pemerintahan Kecamatan Cigudeg adalah 54 km dan dengan pemerintahan Kecamatan Jasingan adalah 64 km. Kecamatan Cigudeg memiliki luas 15 886.043 Ha yang terdiri dari 15 desa. Sedangkan Kecamatan Jasingan memiliki luas wilayah sebesar 19 026 Ha yang terdiri dari 16 desa. Tabel 2 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Cigudeg tahun

2008 dan di Kecamatan Jasinga tahun 2013a

Penggunaan tanah

(34)

22

Penggunaan tanah di Kecamatan Cigudeg sebagian besar adalah untuk persawahan (23.44%), tegalan atau kebun (13.89%), dan tanah perkebunan Negara (12.90). Sementara penggunaan tanah di Kecamatan Jasinga sebagian besar adalah untuk tanah hutan (34.1%), tegalan/kebun (31.898%), tanah perkebunan Negara dan swasta (13.06%,) dan untuk persawahan (10.35%). Melihat besarnya luas lahan yang digunakan untuk lahan persawahan padi, Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga memiliki potensi untuk mengembangkan padi sebagai komoditas unggulan daerah. Luas penggunaan tanah dan presentasenya di kedua kecamatan secara rinci dijabarkan dalam Tabel 2.

Kependudukan

Penduduk Kecamatan Cigudeg berdasarkan Profil Kecamatan Cigudeg 2008 berjumlah 115 243 jiwa dengan perbandingan laki-laki sebanyak 59 473 jiwa (51.61%) dan perempuan sebanyak 55 770 jiwa (48.39%) dengan tingkat kepadatan yaitu 137.85 jiwa/ha. Penduduk Kecamatan Jasinga berdasarkan data Monografi Kecamatan Jasinga 2013 berjumlah 101 378 jiwa dengan perbandingan laki-laki sebanyak 52 642 jiwa (51.9%) dan perempuan sebanyak 48 736 jiwa (48.1%). Bila dilihat berdasarkan usia kerja (20 tahun – 60 tahun), maka jumlah penduduk Kecamatan Cigudeg yang berada dalam rentang usia kerja berjumlah 64 686 jiwa atau sebesar 56.1%, dan Kecamatan Jasinga berjumlah 38 341 jiwa atau sebesar 37.82%. Banyaknya penduduk usia kerja tersebut menunjukkan bahwa Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan tenaga kerja, khususnya di bidang pertanian yang merupakan sektor unggulan wilayah serta membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun berdasarkan hasil wawancara 31 responden dalam penelitian, sebanyak 14 orang responden atau sebesar 45,2 % responden mengaku kurangnya ketersediaan tenaga kerja untuk usahatani padi akibat generasi muda tidak tertarik lagi bekerja di bidang pertanian. Sebanyak 11 responden atau 35.5% responden mengaku cukup dalam ketersediaan tenaga kerja dan sisanya menjawab sedang.

Berdasarkan jenis pekerjaannya, bidang pertanian masih menjadi bidang utama sumber mata pencaharian penduduk Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Jasinga. Penduduk Kecamatan Jasinga yang bekerja sebagai petani berjumlah 13 028 orang atau 76.325% dari total penduduk yang bekerja, dengan rincian petani pemilik tanah sejumlah 235 orang, petani penggarap tanah sejumlah 9 677 orang dan buruh tani sejumlah 3 116 orang. Sebagian besar petani padi di Kecamatan Jasinga dan Cigudeg tidak memiliki tanah atau berstatus petani penggarap. Sistem sewa lahan garapan yang berlaku di kedua kecamatan adalah sistem bagi hasil dan gadai. Adapun di Kecamatan Cigudeg, jumlah rumahtangga yang bekerja di bidang pertanian sebanyak 12 008 rumahtangga atau sebesar 47.63%. Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaaan di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga digambarkan dalam Tabel 3

(35)

23 sebesar 14 570 jiwa atau sebesar 14%. Sementara di Kecamatan Jasinga, lebih dari lima puluh persen penduduknya pada tahun 2013 hanya tamatan SD yakni sebesar 55.25%.

Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013a

Jenis Pekerjaan Kecamatan Cigudeg Kecamatan Jasinga

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

Petani 12 008 47.64 13 028 76.33

aSumber: Profil Kecamatan Cigudeg (2008) dan Data Monografi Kecamatan Jasinga (2013)

Hanya sedikit penduduk Kecamatan Cigudeg dan Jasinga yang menamatkan pendidikan hingga diploma/sederajat maupun sarjana/sederajat. Jumlah penduduk Kecamatan Cigudeg yang tamat akademi sebesar 0.076% dan Kecamatan Jasinga sebesar 1.2%. Adapun jumlah penduduk Kecamatan Cigudeg dan Jasinga yang menyelesaikan pendidikan sampai tingkat sarjana, berturut-turut hanya sebesar 0.02% dan 0.85% dari total penduduk yang terdata. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga lebih rinci dijelaskan pada Tabel 4. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Cigudeg dan Jasinga memengaruhi sikap masyarakat dalam mengadopsi teknologi terutama dalam bidang pertanian yang merupakan mata pencaharian terbesar penduduk di kedua kecamatan.

Tabel 4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013

Tingkat Pendidikan Kecamatan Cigudeg Kecamatan Jasinga

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

Belum sekolah 77 086 74.06 13 983 14.5

Tamat Perguruan Tinggi/sederajat 22 0.02 820 0.85

Jumlah 104 081 100 96 428 100

(36)

24

Pertanian

Bidang pertanian di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga meliputi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Komoditi tanaman pangan yang dibudidayakan di kedua kecamatan adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kacang tanah. Adapun komoditi hortikultura yang dibudidayakan di kedua kecamatan adalah sayuran yang terdiri dari: kacang panjang, cabe, tomat, terong, buncis, dan mentimun, juga buah-buahan yang terdiri dari: durian, dukuh, rambutan, nenas, dan pisang.

Padi merupakan tanaman yang memiliki luas panen terbesar di kedua kecamatan dibandingkan dengan tanaman pangan maupun tanaman hortikultura lainnya. Luas panen padi di Kecamatan Cigudeg adalah 4 705 ha atau sebesar 84.62% dari total lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman pangan maupun hortikultura. Luas panen padi di Kecamatan Jasinga adalah 2 472 ha atau sebesar 73.2% dari lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman pangan maupun hortikultura. Luas panen dan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura di kedua kecamatan disajikan pada Tabel 5

Tabel 5 Luas panen dan produktivitas per ha tanaman pangan dan hortikultura di Kecamatan cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013a

Jenis tanaman

aSumber: Profil Kecamatan Cigudeg tahun (2008) Data Monografi Kecamatan Jasinga (2013)

(37)

25 Karakteristik Petani Responden

Petani responden dalam penelitian ini merupakan petani padi perlakuan organik dan non-organik yang telah mengusahakan padi selama minimal dua musim tanam. Petani responden berjumlah 31 orang dengan rincian 12 petani padi perlakuan organik dan 19 petani padi perlakuan non-organik. Karakteristik dari masing-masing petani berbeda – beda. Karakteristik petani dapat memengaruhi sikap petani dalam melaksanakan budidaya tanaman padi serta dalam menentukan jenis usahatani padi yang akan diusahakan.

Beberapa variabel yang dianggap penting dalam melihat karakteristik petani responden yaitu usia, jenis kelamin, luas penguasaan lahan padi, pendidikan formal, pengalaman usahatani padi, status usahatani padi, serta jumlah tangggungan keluarga. Bagi petani padi perlakuan organik terdapat variabel tambahan yakni pengalaman usahatani padi organik dan asal informasi usahatani padi organik. Karakteristik petani responden dapat dilihat pada Tabel 6

Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat memengaruhi petani dalam proses pengambilan keputusan. Wanita umumnya lebih menghindari adaptasi teknologi yang berpotensi memberi risiko tinggi dibanding pria. Jenis kelamin akan memengaruhi teknik budidaya yang dilakukan oleh petani. Petani pria memiliki fisik lebih kuat dibanding petani wanita sehingga lebih cepat dalam melakukan pekerjaan bertani. Meski begitu hal ini tidak dapat dijadikan perbandingan mutlak karena untuk beberapa pekerjaan tertentu, petani menggunakan buruh tani. Seluruh petani responden padi perlakuan organik berjenis kelamin pria. Sementara petani responden padi perlakuan non-organik terdiri dari 78.95% pria (15 orang) dan 21.05% persen wanita (4 orang). Umumnya profesi petani di Kecamatan Cigudeg dan jasinga dijalankan oleh laki-laki, sedangkan petani perempuan hanya mengerjakan kegiatan tertentu seperti penanaman, penyulaman, penyiangan dan pemanenan.

Usia

Usia dapat memengaruhi fungsi biologis dan psikologis petani dalam menjalankan usahatani. Semakin tua usia petani berimplikasi pada semakin menurunnya kemampuan fisik petani untuk mengelola usahatani. Semakin tua usia petani juga berimplikasi pada semakin rendahnya kemampuan dan kemauan dalam mengadopsi teknologi. Usia petani responden di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga pada tahun 2014 bervariasi dari yang termuda 37 tahun hingga yang tertua 69 tahun. Petani padi perlakuan organik didominasi oleh petani usia tua yakni 50-59 tahun dan 60-69 tahun. Sedangkan petani padi perlakuan non-organik didominasi sebesar 42.11% oleh petani golongan usia 40-49 tahun dan sebesar 42.11% oleh petani golongan usia 60-69 tahun.

(38)

26

mengancam keberlanjutan usahatani padi di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga karena pemuda mulai meninggalkan bekerja sebagai petani. Hanya terdapat dua orang responden yan berusia dibawah 40 tahun.

Tabel 6 Karakteristik petani responden di Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan

7 Luas Penguasaan Lahan Padi

Gambar

Gambar 2 Perkembangan luas lahan pertanian organik Indonesia tahun 2007-2011
Gambar 3  Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani padi perlakuan organik dan non-organik di  Kabupaten Bogor
Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Cigudeg tahun  2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013 a
Tabel  6    Karakteristik  petani  responden  di  Kecamatan  Cigudeg  dan  Kecamatan  Jasinga Kabupaten Bogor 2013 a
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pra siklus Siklus I Siklus II 1. Siswa antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa dapat memahami materi dengan lancar. Siswa dapat menjawab pertanyaan dengan lancar.

Terdapat faktor-faktor yang Evaluasi kebijakan pemberdayaan Desa/Kelurahan Mandiri Gotong Royong oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Dalam mewujudkan

Jenis data yang dikumpulkan yang berhubungan dengan variable/focus yang telah diamati dalam penelitian ini (yakni kebijakan pemungutan pajak restoran dan dampak

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat design antarmuka , pembentukan elemen, penggabungan

Therefore, the Open Geospatial Consortium (OGC) passes in a consensus process open standards for geospatial content and services that are intended to address the needs of

Pada bagian peneliti memaparkan bahwa teknik analisis data yang digunakan meliputi teknik analisis deskriptif kualitatif dan dapat pula dilengkapi dengan teknik analisis

Analisis data SP yang dilakukan dengan analisis regresi menghasilkan formulasi model yang berupa fungsi utilitas yang berbentuk linier dimana variabelnya adalah atribut sosio

tua anak. 3) faktor pendukung penyuluh agama lslam dalam meningkatkan mutu pendidikan keberagamaan anak di Desa Lassa-Lassa adalah adanya kerja sama yang baik antara tokoh