• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Kajian Teori

2.3.1 Teori Analisis Wacana

Wacana merupakan salah satu cabang bidang linguistik yang relatif baru dan kurang mendapat perhatian para ahli bahasa pada umumnya. Karena itu, dapat dimaklumi kalau sampai sekarang pembahasan dan rujukan tentang wacana

masih jarang terutama dalam bahasa Indonesia (Darma, 2013:2). Di samping itu, dilihat dari awal kemunculannya istilah wacana bukan muncul dari ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh psikolog, antropolog, dan sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian bahasa, yaitu wacana (Darma, 2013:2)

Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Pemahaman ini menurut (Darma, 2013:2) pada wacana kohesi dan koheren. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif dan mengandung satu ide.

Ditinjau dari kelengkapan unsurnya, wacana merupakan unit bahasa yang paling lengkap unsurnya karena bahasa didukung oleh unsur-unsur nonsegmental dan suprasegmental. Hal ini ditegaskan oleh Kridalaksana (1993:231) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap; dalam hirarkis gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti buku, novel, dan seri ensiklopedia. Kemudian Alex (dalam Darma, 2013:3) menyatakan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkap suatu hal

(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam kesatuan yang koheren, dibentuk baik oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain (Darma, 2013:3).

Analisis wacana kritis merupakan teori yang memfokuskan kajian pada ketidakadilan dalam masyarakat ketika wacana digunakan untuk menentukan kekuasaan dan ideologi. Analisis wacana kritis tidak semata dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai dengan tujuan dan praktik tertentu seperti ideologi dan kekuasaan (Eriyanto, 2008:7).

Dalam analisis wacana kritis, analisis wacana dipakai untuk meneliti ideologi yang tersembunyi di dalam teks, bagaimana di dalam teks terdapat sebuah dominasi ideologi, kekuasaan, dan ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang berkuasa tersebut menggunakan media wacana yang ada dalam masyarakat untuk menghegemoni dan mempengaruhi kesadaran

mental masyarakat. Berikut beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan analisis wacana kritis.

Fowler (1996) menyatakan dengan analisis wacana kritis bahasa dapat dipahami sebagai representasi yang berperan untuk membentuk subjek, tema, dan strategi wacana tertentu. Karena itu, bahasa tidak hanya dikaji berdasarkan penggunaan bahasa melalui teks tertentu, tetapi wacana dapat juga dikaji berdasarkan konteksnya. Perpaduan kajian kedua kedua sudut pandang tersebut memberi peluang pada pembongkaran makna sebuah teks. Dalam hal ini wacana sebagai pembungkus teks. Setiap analisis bahasa dalam teks selalu dihubungkan dengan konteks penggunaannya seperti koneks budaya dan konteks situasi.

Van Dijk (1987) menyatakan sebuah wacana bisa dikaji atau dianalisis secara kritis. Analisis yang dimaksud adalah analisis yang menyangkut aspek-aspek sebuah wacana secara mendalam dan menyeluruh, baik aspek-aspek struktur maupun maknanya. Menurut van Dijk, penelitian wacana tidak cukup hanya analisis teks semata, tetapi juga meneliti mengapa wacana itu diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial (Eriyanto, 2008:221). Selanjutnya van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu.

Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan, yaitu: teks, kognisi sosial, dan analsis sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.

Dalam level dimensi teks yang diteliti adalah struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu, dalam level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks, sedangkan dalam level analisis sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis van Dijk (Eriyanto 2008:225).

Van Dijk membagi struktur wacana atas: (1) struktur makro, (2) superstruktur atau struktur alur, dan (3) struktur mikro. Struktur makro merupakan tema global sebuah wacana. Struktur makro ini memberikan informasi yang penting dari sebuah wacana dan memainkan peran penting sebagai pembentuk kesadaran sosial. Superstruktur atau struktur alur merupakan struktur skematik atau kerangka sebuah wacana. Kerangka yang dimaksud adalah penyusunan elemen-elemen wacana secara utuh dan menyeluruh dalam sebuah wacana. Kerangka wacana secara umum adalah pendahuluan, isi, dan penutup. Sedangkan struktur mikro merupakan struktur pemaknaan wacana terutama apabila dilihat melalui penganalisisan kata, frasa, kalimat, proposisi, paragraf, dan makna sebuah wacana.

Cara kerja analisis wacana kritis van Dijk merupakan analisis pemakaian bahasa, baik dalam tulisan maupun lisan. Karena itu, yang menjadi objek penganalisisan dalam penelitian ini adalah wacana lisan teks pidato meresmikan gelar penghulu yang ditulis kembali dan direstrukturisasi sedemikian rupa tanpa mengurangi kesahihan dan keaslian data yang

diperoleh. Dengan demikian, cara seperti ini sudah sejalan dengan pemikiran van Dijk. Penganalisisan suatu wacana secara kritis atas dasar pemakaian bahasa oleh sekelompok masyarakat erat kaitannya dengan suatu peristiwa komunikasi yang didasarkan pada praktik-praktik sosial etnografis. Pengembangan penganalisisan bahasa dalam penggunaannya lebih lanjut sangat bergantung pada konteks budaya dan situasi atau konteks di luar bahasa.

Van Dijk mengisyaratkan bahwa bahasa bukan semata-mata berfungsi sebagai alat komunikasi dan sebuah sistem kode, melainkan bahasa merupakan kegiatan sosial yang dikonstruksi secara khusus oleh latar sosial dan budaya. Oleh karena itu, sebagai wujud representasi latar dan hubungan sosial tersebut, bahasa yang direpresentasikan melalui wacana senantiasa digunakan untuk membentuk subjek-subjek, topik-topik, tema-tema, dan ideologi-ideologi tertentu.

Analisis wacana merupakan suatu upaya untuk mengungkapkan makna dan maksud yang tersembunyi dari komunikator (penutur) yang mengungkapkan suatu pernyataan. Dengan demikian, penyingkapan pengungkapan yang tersirat dalam sebuah wacana dapat dipahami. Pemahaman seperti ini juga mengiring pemahaman terhadap ideologi pencipta secara lebih baik.

Tanen (1989:6-8) menyatakan wacana adalah sesuatu yang agak susah untuk dikaji. Hal ini disebabkan oleh sebuah wacana tidak hanya bisa dikaji dari aspek bentuk, makna, dan proses mentalnya, tetapi wacana bisa juga dikaji dari aspek struktur dan hierarki interaksi yang kompleks dan sebagai praktik sosial yang berhubungan dengan konteks budaya dalam masyarakat. Pendapat Tanen ini

senada dengan pendapat Fowler yang menekakan pada aspek-aspek yang dikaji dari sebuah wacana secara mendalam.

Ahli lain yang memberikan pandangannya tentang analisis wacana kritis adalah Fairclough (1997). Fairclough (1997) menyatakan bahwa analisis wacana kritis merupakan analisis penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa menurut Fairclough bisa terjadi dalam wujud tuturan dan tulisan. Penggunaan bahasa tersebut merupakan bentuk praktik sosial.

Dari beberapa pendapat dan definisi tentang analisis wacana kritis yang telah dikemukan di atas, penulis menggunakan pendapat van Dijk (1987) untuk menganalisis teks pidato batagak pangulu karena pendapat van Dijk sangat sederhana dan tidak serumit pendapat yang lainnya. Ketiga dimensi analisis wacana yang mencakup teks, kognisi sosial, dan analisis sosial menjadi pertimbangan akademik dalam penelitian ini. Dengan demikian, analisis wacana kritis digunakan dalam penelitian ini untuk membongkar dan membedah struktur wacana teks pidato adat dan pasambahan tradisi batagak pangulu di Minangkabau. Ketika dimensi analisis wacana teks pidato adat danpasambahan tradisi bagagak pangulu atau malewakan gala pangulu telah dianalisis dengan lengkap berarti bentuk bahasa telah mampu menyigi bagaimana bahasa dipergunakan sebagai alat untuk mempengaruhi, menyebarkan ideologi, dan menanamkan norma dan nilai-nilai budaya.

2.3.2 Semiotika

Kata semiotika berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Dengan demikian semiotika adalah ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993:3). Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial dan fenomena kebudayaan merupakan tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang lain dalam kapasitas atau pandangan tertentu. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, atauran-aturan, konvensi-konsvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2001:71; Danesi, 2012:8).

Pierce menyatakan sesuatu itu dapat dikatakan sebagai tanda jika mewakili sesuatu yang lain. Tanda yang mewakilinya disebut dengan representamen (referent). Jika sebuah tanda mewakilinya, hal ini adalah fungsi utama tanda. Misalnya, gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan dan anggukan kepala mewakili persetujuan. Agar berfungsi tanda harus ditangkap dan dipahami dengan bantuan kode. Proses perwakilan tersebut disebut semiosis, yaitu suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandai.

Pierce membedakan tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu:

Pertama, ikon adalah tanda yang menjadi penghubung antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau hubungan antara tanda dan

objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Misalnya, foto, gambar, dan peta geografis.

Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Misalnya, asap menandakan adanya kebakaran dan wajah ceria menandakan hati yang senang.

Ketiga, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat atbitrer, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan prosedural antara tiga titik, yaitu representamen (R), objek (O), dan interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental yang merujuk pada sesuatu yang mewakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Karena itu, tanda bagi Pierce tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif (Christomy, 2010:117).

2.3.3 Fungsi

Teori fungsi yang digunakan sebagai acuan dalam mengkaji fungsi tradisi batagak pangulu adalah teori fungsi folklor yang dikembangkan oleh Bascom. Menurut Bascom (dalam Danandjaya, 1991:74-75) suatu tradisi lisan atau folklor diminati oleh para pemiliknya karena dianggap berguna untuk menunjang keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Beberapa fungsi folklor dalam tautan dengan konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi pemiliknya adalah

sebagai (1) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan pemiliknya; (2) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) alat pendidikan anak; dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Analisis fungsi tradisibatagak pangulu berusaha menggali fungsi tradisi batagak pangulu bagi masyarakat Minangkabau. Dengan menganalisis fungsi tardisi batagak pangulu di Minangkabau akan diungkap angan-angan masyarakat Minangkabau tentang penghulu, pranata-pranata dan lembaga-lembaga apa yang disahkan, nilai-nilai pendidikan apa yang ada di dalamnya, dan norma-norma apa yang harus dipatuhi oleh kaum yang penghulunya diresmikan.

Dokumen terkait