• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batagak pangulu adalah upacara pengukuhan atau peresmian gelar kebesaran penghulu. Upacara ini bertujuan untuk memberitahumasyarakat ramai mengenai diri seseorang yang telah memakai gelar kebesaran kaumnya. Acara peresmian atau pengukuhan penghulu merupakan acara adat terbesar di Minangkabau karena dalam peresmian atau pengukuhan ini menyembelih kerbau dan bisa dilaksanakan sampai berhari-hari tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut.

Makna tersirat dari kerbau yang disembelih tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau (tanduk ditanam, daging dipotong-potong, kuah dikacau), yaitutanduak ditanampunya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat buruk yang mungkin melukai orang. Dagiang dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti bahwa dalam diri seseorang penghlu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatunya menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai

santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik

(tidak enak karena santan, tidak kuning karena kunyit), artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri (Attubani, 2012:118).

Acara batagak pangulumerupakan tradisi adat yang sangat sakral karena bersumber dari kearifan budaya lokal dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Seluruh masyarakat Minangkabau mengetahui bahwa tugas seorang penghulu tersebut sangat mulia yang dikenal dengan martabat yang enam, yaitu kusuik nan akan manyalasaikan, karuah nan akan manjaniahkan, manjunjuang tinggi undang–undang, mamaliharo anak kamakan, mamaliharo nagari, mamaliharo adaik (kusut yang akan manyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan, menjunjung tinggi undang–undang, memelihara anak kamenakan, memelihara nagari, memelihara adat).

Upacarabatagak panguludilaksanakan di rumah gadang atau di balai adat yang dihadiri oleh ninik mamak pucuk adat, ninik mamak empat suku, ninik mamak di lingkungan kegarian tersebut, manti, malin, bundo kanduang, dan undangan serta anak nagari tanpa pengeculian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di nagari tersebut karena setiap nagari mempunyai kesepakatan tersendiri dalam menyelenggarakan batagak pangulu seperti dikatakan adaik salingka nagari(adat selingkar negeri)16.

16

Adaik salingka nagari artinya aturan lahir dari hasil kesepakatan ninik mamak dalam suatu nagari yang menampung segala segala kebutuhan anak nagari sebagai aturan pelaksanaan dari adat yang diadatkan (Marajo, 2006:14).

Ada beberapa sebab diadakan upacara peresmian atau pengukuhan penghulu baru, yaitu:

Pertama, mati batungkek budi (mati bertongkat budi). Artinya, apabila seorang penghulu meninggal dunia pada hari itu juga dicarikan gantinya. Penyelenggaraan pengangkatan penghulu baru itu dilakasanakan di tanah tasirah

(perkuburan). Syarat pengangkatan penghulu di tanah tasirah ini adalah sepakat kaum dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.

Kedua, iduik bakarilaan (hidup berkerelaan). Artinya, penghulu yang akan digantikan mengundurkan diri. Ada beberapa sebab penghulu lama mengundurkan diri karena (1) sudah tua (uzur) sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya; (2) sakit; (3) yang menggantikan dapat didampingi, dibimbing, dan dibekali dengan ilmu pengetahuan sehingga kelak bisa mandiri apabila yang digantikan sudah menggal dunia; dan (4) agar lebih lancar karena ada karisma dan kewenangan penghulu menunjuk pengganti selagi masih hidup.

Ketiga, baju salai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua). Artinya, pengangkatan penghulu terjadi karena kesepakatan untuk membelah kaum satu menjadi dua. Hal ini terjadi karena warga kaum sudah berkembang sehingga satu penghulu tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya seperti kata pepatahlurah tak taturuni bukik tak tadaki (lurah tidak terturuni dan bukit tidak terdaki) sehingga dibutuhkan penghulu yang baru. Pembelahan penghulu satu menjadi dua diikuti dengan pembelahan kaum dan harta pusaka. Pembelahan harta pusaka berdasarkan ganggam bauntuak (genggam beruntuk) yang sudah berada dan melekat pada masing-masing anggota keluarga pembelahan kaum tersebut.

Sedangkan kalau ada tanah ulayat atau harta pusaka yang belum dibagi ditetapkan melalui musyawarah dan kesepakatan.

Keempat, mangambang nan talipek(mengembang yang terlipat). Artinya, ketika penghulu meninggal dunia belum ada kesepakatan kaum siapa penggantinya, pengangkatan penghulu tertunda sampai ada kesepakatan baru. Karena tidak ada kesepakatan kaum, gelar penghulu dilipek (dilipat) dahulu. Penghulu baru bisa diangkat apabila sudah ada kesepakatan kaum.

Kelima, gadang menyimpang (besar menyimpang). Artinya, sebagian anggota kaum memisahkan diri dari kaum yang sudah ada dan meminta kepenghuluan yang baru. Hal ini terjadi karena jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Di samping itu, bisa juga terjadi karena kaum hidup di pememukiman baru. Gelar penghulu yang diberikan bisa gelar penghulu yang asli dan bisa juga gelar penghulu yang baru sesuai dengan kesepakatan menurut adat yang berlaku.

Keenam, mangguntiang siba baju (menggunting sebar baju). Artinya, pengangkatan penghulu baru berawal dari tidak ada kesepakatan dan bahkan menjurus kepada sengketa yang tidak bisa didamaikan antara dua atau lebih kubu yang bersangkutan. Gelar penghulu yang lama masih tetap berjalan menurut jalurnya, sedangkan gelar penghulu yang baru masih tetap dalam rumpun gelar yang asli. Penghulu yang baru mendapat pengikut para kemenakan yang melekat menurut tali darah sesuai dengan asas kekerabatan dan harta pusaka yang telah menjadiganggam bauntuak(genggam beruntuk).

Tujuh, manurunkan nan tagantuang (menurunkan yang tergantung). Artinya, pengangkatan penghulu yang tertunda sudah cukup lama walaupun calonnya sudah ada. Penundaan terjadi karena kaum belum siap untuk meyelenggarakan upacarabatagak pangulu karena dana belum ada atau bisa juga terjadi karena calon penghulu yang diangkat berhalangan.

Delapan, mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam). Artinya, pengangkatan penghulu yang sudah puluhan tahun terendam atau tersimpan. Tersimpanya gelar penghulu disebabkan oleh (1) calon pengganti penghulu yang meninggal tidak ada (belum ada kemenakan laki-laki bertali darah yang ada hanya kemenakan perempuan). Penggantinya ditunggu lahir kemenakan laki-laki yang memenuhi syarat menurut adat dan (2) Gelar penghulu terlipat sejak lama karena pihak-pihak yang bersengketa tidak mau damai dan tidak ada kesepakatan mencari jalan keluarnya. Kesepakatan muncul setelah ada generasi baru dan bentuk kesepakan itu bisa berupa baju salai babagi duo (baju sehelai dibagi dua) dan kembali ke jalur semula.

Kesembilan, baju basasah (baju disasah/dicuci). Artinya, pengangkatan penghulu baru menggantikan penghulu yang lama karena penghulu yang lama membuat maksiat seperti mencuri, menipu, mabuk-mabukan, dan kejahatan lainnya. Perangai penghulu yang seperti ini sudah merusak martabat dan kebesaran penghulu itu sendiri serta kaum. Bagi kaum yang arif akan segera mengganti penghulunya dengan penghulu yang baru.

Kesepuluh, rabuak bagantiak (debu dijentik). Artinya, pengangkatan penghulu yang baru karena penghulu yang lama sudah melanggar

larangan-larangan adat yang sangat berat sehingga diputuskan untuk diganti berdasarkan Peradilan Adat Nagari. Hukuman yang diberikan kepada penghulu yang melanggar larangan-larangan adat oleh peradilan adat berupa (1) memperbaiki atau membetulkan kembali apa yang dilanggar itu disertai dengan mengadakan perjamuan dengan memotong ternak berkaki empat seperti kambing, sapi, atau kerbau sesuai dengan ketentuan adat nagari yang berlaku dan (2) mengganti penghulu tersebut kalau pelanggarannya sudah sangat berat.

Kesebelas, bungo bakarang (bunga dikarang). Artinya, pengangkatan penghulu baru karena berkembangnya anggota kaum dan penyebaran pemukiman sehingga dimungkinkan untuk menata kembali kepenghuluan. Dalam kepenghuluan nan saindu (yang seinduk), misalnya, dua kepenghuluan ditata menjadi tiga kepenghuluan atau tiga kepenghuluan ditata menjadi empat kepenghuluan. Penataan tersebut disertai dengan perpindahaan kepenghuluan kemenakan dari satu penghulu (datuk) ke penghulu (datuk) yang lain. Hal ini memungkin karena kondisi alam dan letak pemukiman. Sebelum pengangkatan pangulu bungo bakarang ini, calon penghulu sudah disepakati kaum dan persetujuan lembaga kerapatan adat di tingkat nagari (Dirajo, 2009:183-188; lihat juga Toeah, 1985:66-67; Piliang dan Sungut, 2014: 217-222).

Dokumen terkait