• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMAHTANGGA MENERIMA GANTI RUGI PEMUKIMAN

7.1. Analisis Kesediaan Rumahtangga Menerima Ganti Rugi Pemukiman

Variabel terikat dalam analisis kesediaan rumahtangga menerima ganti rugi, yang digunakan adalah bersedia atau tidak bersedianya rumahtangga dalam menerima ganti rugi pemukiman. Jika rumahtangga bersedia menerima ganti rugi pemukiman maka diberi nilai satu, sedangkan jika rumahtangga tidak bersedia menerima ganti rugi pemukiman maka diberi nilai nol.

Variabel bebas yang digunakan terdiri dari lima variabel, yaitu luas lahan, jumlah anggota rumahtangga, jarak ke sumber bising, tingkat pendidikan dan status kepemilikan rumah. Variabel tingkat pendidikan dan status kepemilikan rumah adalah variabel dummy. Tingkat pendidikan bernilai nol untuk lama pendidikan kurang dari sama dengan pendidikan tingkat SMP atau 9 tahun dan nilai satu untuk lama pendidikan di atas SMP atau lebih dari 9 tahun. Jika status kepemilikan rumah milik maka diberi nilai satu dan jika tidak diberi nilai nol.

Hasil dari penelitian, 120 rumahtangga diminta pendapatnya mengenai kesediaan menerima ganti rugi pemukiman. Sebanyak 68 rumahtangga (56.67 persen) yang menyatakan bersedia menerima ganti rugi pemukiman dan sebanyak 52 rumahtangga (43.33 persen) menyatakan tidak bersedia menerima ganti rugi pemukiman, hal ini dapat dilihat pada Tabel 20. Alasan rumahtangga menolak ganti rugi pemukiman diantaranya adalah tanah yang mereka tempati adalah tanah warisan, selain itu beberapa rumahtangga lainnya menyatakan bahwa lokasi tempat tinggal mereka strategis dan kondisi yang telah nyaman membuat mereka enggan pindah dari lokasi ini. Hasil logit kesediaan rumahtangga bersedia menerima ganti rugi pemukiman dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 20. Hasil Penelitian Mengenai Kesediaan Rumahtangga Menerima Ganti Rugi Pemukiman

Model logit yang diperoleh dari hasil olahan data adalah:

Li Sedia = 1.74324 - 0.432836 JMLANG - 0.0057608 LUAS + 1.69352 PDDKN - 0.0111273 JRSB – 1.30951 SRMH

Tabel 21. Hasil Logit Kesediaan Rumahtangga Menerima Ganti Rugi Pemukiman

Prediktor Koefisien P-value Odds

Ratio Keterangan

Constant 1.7432400 0.096

JMLANG - 0.4328360 0.015 0.65 Berpengaruh nyata *

LUAS - 0.0057608 0.723 0.99 Tidak berpengaruh nyata

PDDKN 1.6935200 0.001 5.44 Berpengaruh nyata *

JRSB - 0.0111273 0.579 0.99 Tidak berpengaruh nyata

SRMH – 1.3095100 0.010 0.27 Berpengaruh nyata *

Nyata pada taraf (α) 0,05 Looklikelihood = -64.799

Test that all slopes are zero: G = 34.617, DF = 5, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Test

Method Chi-Square DF P Keterangan

Pearson 122.371 114 0.279 Model Baik

Deviance 129.598 114 0.151 Model Baik

Hosmer-

Lemeshow 4.357 8 0.824 Model Baik

Keterangan : * nyata pada taraf (α) 0.05

Hasil pengolahan data menunjukan hasil statistik G sebesar 34.617 dan P- value sebesar 0.000 yang berarti terdapat minimal satu slope model tidak sama dengan nol atau variabel-variabel secara serentak berpengaruh terhadap peluang rumahtangga menyatakan kesediaan menerima ganti rugi pemukiman pada taraf α = 0.05. Metode Pearson, Deviance,dan Hosmer-Lemeshow digunakan pada uji kebaikan model dan diperoleh nilai P-value yang lebih besar dari taraf α = 0.05, yang artinya tidak cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa model tidak cukup baik. Hasil keseluruhan pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 4.

Kesediaan Jumlah (Rumahtangga) Presentase (%)

Bersedia 68 56.67

Variabel yang memiliki pengaruh nyata pada model tersebut adalah: 1. Jumlah Anggota Rumahtangga

Variabel jumlah anggota rumahtangga berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 persen. Variabel ini memiliki P-value 0.015, sedangkan nilai koefisien yang bernilai negatif (-) jika rumahtangga memiliki jumlah anggota rumahtangga semakin sedikit maka rumahtangga menyatakan bersedia menerima ganti rugi pemukiman. Rumahtangga yang memiliki jumlah anggota rumahtangga yang semakin banyak maka memiliki biaya yang besar yang harus dikeluarkan jika terjadi ganti rugi. Biaya-biaya yang dikeluarkan diantaranya biaya pindahan, biaya mengurus surat-surat untuk tempat tinggal baru dan biaya lainnya. Selain itu, jumlah anggota rumahtangga yang banyak akan merepotkan jika ganti rugi dilaksanakan. Nilai Odds ratio sebesar 0.65 berarti dari 100 orang yang tidak bersedia menerima ganti rugi, maka terdapat 65 orang yang bersedia menerima ganti rugi.

2. Tingkat Pendidikan

Variabel tingkat pendidikan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 persen. Variabel ini memiliki P-value 0.001, sedangkan nilai koefisien yang bernilai positif (+) jika rumahtangga memiliki tingkat pendidikan yang semakin tinggi maka rumahtangga menyatakan bersedia menerima ganti rugi pemukiman. Rumahtangga yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pola pikir lebih baik mengenai ganti rugi, sehingga tempat tinggal mereka yang dekat dengan jalur KRL memang lebih baik diganti rugi. Nilai Odds ratio sebesar 5.44 berarti dari 544 orang yang bersedia menerima ganti rugi, maka terdapat 100 orang yang tidak bersedia menerima ganti rugi.

3. Status Kepemilikan Rumah

Variabel status kepemilikan rumah berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 persen. Variabel ini memiliki P-value 0.010, sedangkan nilai koefisien yang bernilai negatif (-) jika rumahtangga status kepemilikan rumah mereka adalah milik sendiri maka menyatakan tidak bersedia menerima ganti rugi pemukiman. Hal ini dikarenakan rumahtangga yang telah memiliki rumah sendiri akan sulit untuk melepaskan rumah mereka yang telah mereka beli sebelumnya. Nilai Odds ratio sebesar 0.27 berarti dari 100 orang yang tidak bersedia menerima ganti rugi, maka terdapat 27 orang yang bersedia menerima ganti rugi pemukiman. Hasil pengolahan data yang menunjukkan variabel status kepemilikan rumah merupakan variabel yang signifikan, maka pengolahan data dapat lebih spesifik yaitu pengolahan data berdasarkan strata status kepemilikan rumah. Hasil pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.

Hasil analisis logit juga memperlihatkan nilai atau kondisi potensial dan

aktual dari jumlah rumahtangga yang menyatakan bersedia atau tidak bersedia menerima ganti rugi pemukiman. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Rumahtangga Menerima Ganti Rugi Pemukiman

Keterangan Grup Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nilai 1 Observasi Harapan 2.0 1.3 4.0 3.2 4.0 4.5 5.0 5.5 5.0 6.5 6.0 7.3 9.0 8.5 11.0 9.7 10.0 10.3 12.0 11.0 68.0 67.8 Nilai 0 Observasi Harapan 10.0 10.7 8.0 8.8 8.0 7.5 7.0 6.5 7.0 5.5 6.0 4.7 3.0 3.5 1.0 2.3 2.0 1.7 0.0 1.0 52.0 52.2 Kondisi potensial ditunjukan oleh nilai harapan dan kondisi aktual ditunjukan oleh nilai observasi. Perbedaan antara kondisi aktual dengan kondisi potensial jumlah rumahtangga yang bersedia atau tidak bersedia menerima ganti

rugi dapat dilihat pada tabel di atas. Seluruh rumahtangga dikelompokan menjadi 10 grup.

Grup pertama dengan keadaan rumahtangga bersedia menerima ganti rugi pemukiman, terdapat dua rumahtangga secara aktual menyatakan bersedia dan terdapat 1.3 rumahtangga yang menyatakan bersedia secara potensial. Grup pertama pada keadaan rumahtangga tidak bersedia menerima ganti rugi pemukiman terdapat 10 rumahtangga secara aktual tidak bersedia dan terdapat 10.7 rumahtangga secara potensial tidak bersedia. Selisih dari kedua keadaan ini yaitu sebesar 0.7 menunjukan terdapat 0.7 rumahtangga yang diharapkan menyatakan tidak bersedia, namun pada kenyataannya (aktual) bersedia. Hal ini disebabkan karena rumahtangga menganggap ganti rugi ini adalah rencana pemerintah yang sulit untuk ditolak, selain itu ganti rugi yang sesuai membuat rumahtangga bersedia menerima ganti rugi.

Secara keseluruhan, dapat diperoleh bahwa rumahtangga yang menyatakan bersedia atau tidak bersedia secara potensial sama dengan jumlah rumahtangga secara aktual. Koreksi nilai potensial (harapan) dan aktual (observasi) dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Rumahtangga Menerima Ganti Rugi Pemukiman

Observasi Harapan Koreksi

(%)

Bersedia Tidak Total

Bersedia 67.80 0.20 68.00 99.70

Tidak 0.00 52.00 52.00 100.00

Total 68.00 52.00 120.00 100.00

Nilai Keseluruhan Observasi 99.85

Tabel 23 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan (bias) antara nilai observasi dan harapan yaitu sebesar 0.2. Adanya bias tersebut menyebabkan nilai

kebenaran rumahtangga 99.85 persen yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa model yang dihasilkan sudah baik.

7.2. Estimasi Willingness to Accept (WTA) Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru

Estimasi nilai WTA dengan jarak ke sumber bising dan status kepemilikan rumah dapat dilihat pada Tabel 24. Nilai rata-rata WTA rumahtangga dengan jarak ke sumber bising (dekat) lebih kecil dibandingkan nilai rata-rata WTA rumahtangga dengan jarak ke sumber bising (jauh). Nilai rata-rata WTA rumahtangga dengan status kepemilikan rumah milik lebih tinggi dibandingkan WTA rumahtangga dengan status kepemilikan rumah sewa.

Tabel 24. Estimasi Nilai WTA dan Jarak ke Sumber Bising dan Status Kepemilikan Rumah Kelurahan Kebon Baru

Variabel Jarak ke Sumber Bising Status Rumah

Dekat Jauh Milik Sewa

Rata-rata Nilai WTA

(Rp/ m2) 1 611 765 1 613 000 1 672 917 1 580 223

Pendekatan CVM pada penelitian ini digunakan untuk menghitung besarnya ganti rugi yang diingikan oleh rumahtangga. Hasil dari penerapan CVM dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Membangun Pasar Hipotesis

Setiap rumahtangga yang diwawancarai diberi informasi bahwa pemerintah kota DKI Jakarta akan memperbaiki penataan lingkungan di dekat jalur KRL Jakarta-Bogor. Penataan lingkungan ini dilakukan dengan cara membangun jalan di pinggir jalur KRL. Namun, dengan adanya rencana ini maka terdapat konsekuensi yang harus dilakukan yaitu dipindahkannya pemukiman penduduk. Pemerintah akan memberikan ganti rugi kepada penduduk atas tanah dan rumah yang digusur. Besarnya ganti rugi disesuaikan dengan Nilai

Jual Objek Pajak (NJOP) tempat tinggal penduduk sehingga rumahtangga mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai dana ganti rugi. 2. Mendapatkan Besarnya Nilai WTA

Besarnya nilai WTA (obtaining bids) didapatkan dari hasil wawancara kepada rumahtangga. Nilai WTA yang diberikan rumahtangga bervariasi mulai dari Rp 1 300 000 hingga Rp 1 900 000 per m2. Hal ini disebabkan oleh perbedaan NJOP pada setiap lokasi tempat tinggal. Rumahtangga mau menerima ganti rugi jika ganti rugi yang diberikan sesuai dengan NJOP yang berlaku, rencana ini merupakan rencana pemerintah yang sulit untuk ditolak dan diharapkan akan dimanfaatkan secara baik.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA

Dugaan nilai rataan WTA (estimating mean WTA) rumahtangga dihitung berdasarkan distribusi WTA rumahtangga. Perhitungan WTA rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 25. Dugaan nilai rataan WTA rumahtangga dari perhitungan pada tabel di atas adalah sebesar Rp 1 535 295.10 per m2 yang masih dalam selang NJOP penduduk di dekat jalur KRL. NJOP penduduk di dekat jalur KRL bervariasi yaitu mulai dari Rp 1 200 000 hingga Rp 1 600 000 per m2.

Tabel 25. Distribusi WTA Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru No.

Kelas WTA (Rp/m2) Frekuensi Frekuensi Relatif Kelas Jumlah (Rp/m2) 1. 1 200 000 – 1 300 000 1 0.01 17 647.06 2. 1 300 001 – 1 400 000 6 0.09 114 705.97 3. 1 400 001 – 1 500 000 18 0.26 370 588.50 4. 1 500 001 – 1 600 000 9 0.13 198 529.54 5. 1 600 001 – 1 700 000 15 0.22 352 941.40 6. 1 700 001 – 1 800 000 15 0.22 375 000.22 7. 1 800 001 – 1 900 000 4 0.06 105 882.41 Total 68 1.00 1 535 295 .10

4. Menduga Bid Curve

Berdasarkan nilai WTA rumahtangga terhadap ganti rugi yang diajukan, maka akan dibentuk kurva WTA rumahtangga. Kurva WTA ini menggambarkan hubungan antara tingkat WTA yang diinginkan oleh

rumahtangga (dalam Rp/m2) dengan jumlah rumahtangga yang bersedia

menerima pada tingkat WTA tersebut. Berdasarkan hasil survei, maka nilai WTA dapat digolongkan menjadi 7 kelompok seperti dijelaskan pada Tabel 26 Sedangkan kurva penawaran WTA yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2 .

Tabel 26. Besaran Nilai Kelas dan Nilai Tengah WTA Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru

No.

Kelas WTA (Rp/m2) Nilai Tengah

WTA (Rp) Frekuensi Kumulatif

1 1 200 000 – 1 300 000 1 250 000 1 1 2 1 300 001 – 1 400 000 1 350 000 6 7 3 1 400 001 – 1 500 000 1 450 000 18 25 4 1 500 001 – 1 600 000 1 550 000 9 34 5 1 600 001 – 1 700 000 1 650 000 15 49 6 1 700 001 – 1 800 000 1 750 000 15 64 7 1 800 001 – 1 900 000 1 850 000 4 68 Total 68 68

Tabel 26 menunjukan jumlah kumulatif total rumahtangga yang bersedia menerima pada tingkat WTA tertentu. Nilai kumulatifnya semakin ke bawah semakin besar dilihat pada kolom kumulatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai WTA, maka semakin banyak rumahtangga yang bersedia menerima nilai WTA tertentu. Jumlah rumahtangga yang bersedia menerima ganti rugi pada tingkat WTA Rp 1 250 000 sebanyak satu orang. Jumlah rumahtangga yang bersedia menerima ganti rugi pada tingkat WTA Rp 1 350 000 sebanyak tujuh orang. Jumlah tujuh orang ini didapatkan dari jumlah rumahtangga yang jelas menerima ganti rugi pada tingkat WTA tersebut ditambah satu rumahtangga yang bersedia menerima ganti rugi pada tingkat WTA yang lebih rendah. Satu rumahtangga tersebut ditambahkan karena kesediaannya menerima ganti rugi pada tingkat WTA Rp 1 250 000, maka rumahtangga tersebut juga bersedia menerima ganti rugi pada tingkat WTA Rp 1 350 000.

5. Menentukan WTA Total (Agregating Data)

Hasil perhitungan total WTA rumahtangga Kelurahan Kebon Baru dapat dilihat pada Tabel 27 jumlah populasi yang diambil berdasarkan jumlah KK yang berada di dekat jalur KRL. Namun untuk rata-rata luas lahan didapatkan dari rata-rata luas lahan rumahtangga pada tingkat WTA tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA sebesar Rp 219 404 100 000. Nilai ini menunjukan nilai dugaan WTP dari total populasi.

6.

Evaluasi Pelaksanaan CVM

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 sebesar 42.2 persen. Nilai ini menunjukan keragaman WTA rumahtangga 42.2 persen dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model dan sisanya (57.8 persen)

dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai R2 yang rendah disebabkan karena pengambilan sampel yang kurang baik. Penelitian yang berkaitan dengan barang-barang lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15 persen (Hanley dan Spash, 1993 dalam Hanum, 2007). Oleh sebab itu, hasil pelaksanaan CVM pada penelitian ini masih dapat diyakini kebenarannya.

Tabel 27. Total WTA Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru

No Kelas WTA (Rp/m2) Nilai Tengah WTA (Rp) Frekuensi Populasi Rata- rata Luas Lahan (m2) Jumlah WTA (Rp) 1. 1 200 000 – 1 300 000 1 250 000 1 53 28 1 855 000 000 2. 1 300 001 – 1 400 000 1 350 000 6 318 35 15 097 050 000 3. 1 400 001 – 1 500 000 1 450 000 18 954 36 49 798 800 000 4. 1 500 001 – 1 600 000 1 550 000 9 477 38 28 259 600 000 5. 1 600 001 – 1 700 000 1 650 000 15 795 36 47 747 700 000 6. 1 700 001 – 1 800 000 1 750 000 15 795 41 57 134 000 000 7. 1 800 001 – 1 900 000 1 850 000 4 212 50 19 511 950 000 Total 68 3 604 219 404 100 000

7.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTA Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTA rumahtangga dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Variabel bebas terdiri dari luas lahan, lama tinggal, pengeluaran rumahtangga, tingkat pendidikan rumahtangga, status kepemilikan rumah dan jarak ke sumber bising. Sedangkan variabel terikat adalah nilai WTA rumahtangga. Hasil estimasi model WTA rumahtangga Kelurahan Kebon Baru dapat dilihat dari Tabel 28.

Model yang dihasilkan dari regresi linier berganda adalah :

WTA = 1 258 232 + 355 LUAS – 3 305 LMTG + 0.003285 PGLR + 134 063 PDDKN + 119 177 SRMH + 2 873 JRSB

Hasil lengkap dari pengolahan data di atas dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai R2 sebesar 42.2 persen. Nilai ini menunjukan keragaman WTA rumahtangga

Tabel 28. Hasil Estimasi Model WTA Rumahtangga Kelurahan Kebon Baru Variabel Koefisien T P C 1258232.000000 15.30 0.000 LUAS 355.000000 0.24 0.814 LMTG - 3305.000000 -1.71 0.092** PGLR 0.003285 3.04 0.003* PDDKN 134063.000000 3.53 0.014* SRMH 119177.000000 2.76 0.008* JRSB 2873.000000 1.95 0.055**

Keterangan : * nyata pada taraf (α) 0.05 ** nyata pada taraf (α) 0.10

42.2 persen dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model dan sisanya (57.8 persen) dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai R2 yang rendah disebabkan karena pengambilan sampel yang kurang baik. Penelitian yang berkaitan dengan barang-barang lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15 persen (Hanley dan Spash, 1993) . Uji F dengan P 0.000 menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh terhadap perubahan nilai WTA. Multikolinearitas tidak terjadi dalam estimasi model WTA karena keseluruhan nilai VIF < 10. Hasil estimasi model WTA bersifat homoskedastisitas karena galat konstan di setiap sebaran dan uji normalitas menunjukkan sebaran data normal. Uji Heteroskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 7 (Gambar 1) dan uji kenormalan dapat dilihat pada Lampiran 7 (Gambar 2).

Variabel independen yang berpengaruh pada selang kepercayaan 95% adalah :

1. Pengeluaran rumahtangga dengan P-value sebesar 0.003 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α 0.05. Nilai koefisien bertanda positif (+) berarti jika rumahtangga memiliki pengeluaran rumahtangga yang semakin besar, maka nilai WTA

pendapatan rumahtangga yang nilainya lebih akurat dibandingkan pendapatan, pengeluaran rumahtangga merupakan salah satu faktor yang menunjukan tingkat perekonomian suatu rumahtangga, sehingga semakin besar pengeluaran rumahtangga, maka rumahtangga tersebut menginginkan nilai WTA yang lebih besar.

2. Tingkat pendidikan dengan P-value sebesar 0 014 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α = 0.05. Nilai koefisien bertanda positif (+) berarti jika rumahtangga memiliki tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka nilai WTA akan semakin besar. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pola pikir seseorang dalam menentukan besarnya nilai WTA .

3. Status kepemilikan rumah dengan P-value sebesar 0.008 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α = 0.05. Nilai koefisien bertanda positif (+) berarti jika rumahtangga memiliki rumah dengan status milik sendiri, maka nilai WTA akan semakin besar. Rumahtangga yang telah memiliki rumah dengan status kepemilikan rumah milik memiliki nilai WTA semakin tinggi karena banyaknya biaya yang telah dikeluarkan untuk memiliki rumah tersebut. Hasil pengolahan data yang menunjukkan variabel status kepemilikan rumah merupakan variabel yang signifikan, maka pengolahan data dapat lebih spesifik yaitu pengolahan data berdasarkan strata status kepemilikan rumah. Hasil pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.

Variabel independen yang berpengaruh pada selang kepercayaan 90% adalah:

1. Lama tinggal dengan P-Value sebesar 0.092 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α = 0.10. Nilai koefisien bertanda negatif (-) berarti jika rumahtangga yang memiliki lama tinggal yang lebih lama, maka nilai WTA akan semakin kecil. Rumahtangga yang telah lama tinggal di pemukiman ini kurang mengetahui perkembangan nilai NJOP sehingga nilai WTA semakin kecil.

2. Jarak ke sumber bising dengan P-value sebesar 0.055 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α = 0.10. Nilai koefisien bertanda positif (+) berarti jika rumahtangga tinggal semakin jauh ke sumber bising, maka nilai WTA akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak rumah ke sumber bising, maka tingkat risiko semakin kecil sehingga nilai WTA yang diberikan lebih besar dibandingkan rumahtangga yang memiliki rumah lebih dekat dengan sumber bising. Hasil pengolahan data yang menunjukkan variabel jarak ke sumber bising merupakan variabel yang signifikan, maka pengolahan data dapat lebih spesifik yaitu pengolahan data berdasarkan strata jarak ke sumber bising. Hasil pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9.

7.4. Kebijakan Ekonomi Sosial Lingkungan Pemukiman di Dekat Jalur KRL

Pengelolaan lingkungan di Indonesia khususnya di Jakarta memang belum berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemukiman yang padat baik di lahan milik penduduk sendiri atau lahan milik pemerintah. Pemukiman padat ini sebagian terletak pada wilayah yang kurang baik untuk dijadikan pemukiman, yaitu salah satunya pemukiman di dekat jalur KRL. Kenyataannya memang pemukiman lebih dulu dibangun dibandingkan jalur KRL yaitu sebelum

peresmian jalur KRL. Peresmian elektrifikasi jalur KRL ini bersamaan dengan hari ulang tahun ke 50 Staats Spoorwegen (perusahaan kereta api milik Belanda), sekaligus juga peresmian stasiun Tanjung Priuk yang baru yaitu pada 6 April 1925. Elektrifikasi jalur KRL yang mengelilingi kota Batavia (Jakarta) selesai pada 1 Mei 1927 . Elektrifikasi tahap selanjutnya dilakukan pada jalur KRL rute Batavia (Jakarta Kota)-Buitenzorg (Bogor) dan mulai dioperasionalkan pada tahun 1930. Jalur kereta listrik di Batavia ini menandai dibukanya sistem angkutan umum massal yang ramah lingkungan, yang merupakan salah satu sistem transportasi paling maju di Asia pada zamannya. Kereta listrik pada masa itu telah menjadi andalan para penglaju (commuter) untuk bepergian, terutama bagi para penglaju yang bertempat tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta

Kondisi pemukiman yang telah lama berdiri ini, memang sulit untuk dilaksanakan ganti rugi. Hal ini dikarenakan lamanya jarak waktu dari adanya jalur KRL hingga saat ini. Rencana pemerintah untuk mengganti rugi yang sudah lama terdengar namun masih ditutup-tutupi dan terkesan mengulur-ulur waktu membuat masyarakat terkadang resah dan merasa dipermainkan. Sebagian dari masyarakat bersedia menerima jika ada rencana ganti rugi dengan syarat pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan rencana ini dan bersedia memberikan ganti rugi yang sesuai sehingga kedua belah pihak yaitu masyarakat dan pemerintah masing-masing merasa diuntungkan. Namun, sebagian masyarakat lainnya mengharapkan ganti rugi tidak dilaksanakan, mereka hanya ingin adanya perbaikan kondisi perbatasan jalur KRL dengan pemukiman diantarannya, adanya tembok atau tanaman seperti pohon-pohon sebagai pengurang risiko kecelakaan dan kebisingan. Hal ini dikarenakan pembatas yang terbuat dari besi telah banyak yang rusak sehingga terkadang terjadi kecelakaan karena masyarakat yang

menyeberang tidak pada tempatnya. Selain itu, kebersihan juga menjadi permasalahan penting yang terjadi, para penumpang KRL sering membuang sampah sembarangan yaitu, dengan membuangnya saat kereta sedang berjalan melalui jendela atau pintu kereta sehingga membuat perbatasan jalur KRL dan pemukiman menjadi kotor. Kriminalitas juga terkadang terjadi salah satunya adalah penumpang kereta yang sebagian besar pelajar kerap kali melempar batu ke arah pemukiman penduduk, sehingga membuat masyarakat geram. Oleh sebab itu, kebijakan ganti rugi sebaiknya secepatnya dilaksanakan oleh pemerintah dengan cara yang tidak merugikan salah satu pihak dan berjalan dengan damai karena pada kenyataannya banyak rencana ganti rugi yang berjalan dengan kekerasan dan tindak kriminal. Hal ini tentunya tidak pernah diharapkan terjadi baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Rencana ini tidak hanya diterapkan pada wilayah pemukiman dekat jalur KRL tetapi juga wilayah yang tidak baik untuk dijadikan pemukiman sehingga akan tercipta tata lingkungan yang baik yang tidak membahayakan dan memberikan kenyamanan bagi kehidupan masyarakat.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait