TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Kemiskinan
3) Angka Kemiskinan Berdasarkan Dua Pendekatan Penghitungan Garis Kemiskinan
Perkembangan angka kemiskinan antar-tahun berdasarkan dua jenis
GK dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum tahun 2012, angka
kemiskinan yang dihitung menggunakan GK nasional yang dirilis oleh
BPS lebih rendah daripada tingkat kemiskinan yang dihitung dengan
GK internasional ($1,9 PPP per hari). Kemudian, sejak tahun 2012
terlihat bahwa tingkat kemiskinan berdasarkan GK Nasional lebih
tinggi. Berdasarkan fakta ini, artinya GK nasional memiliki nilai yang
Ilustrasi distribusi pengeluaran per kapita secara spesifik pada
tahun 2019 dapat dilihat pada Gambar 2. Distribusi pengeluaran
konsumsi per kapita di Indonesia cenderung right-skewed. Data yang
digunakan adalah Susenas Maret 2019. Rata-rata pengeluaran konsumsi
per bulan secara nasional adalah Rp1.165.241 per kapita (BPS, 2019).
Melalui ilustrasi ini, maka dapat dilihat tingginya jumlah penduduk
dengan pengeluaran konsumsi per kapita yang berada di bawah rata-rata
GK nasional yang dihitung BPS lebih tinggi daripada GK
internasional $1.9 PPP per hari tahun dasar 2011. Angka kemiskinan
berdasarkan GK nasional tahun 2019 adalah 9,41 persen (BPS, 2019).
Dengan menggunakan acuan tingkat inflasi IHK dan GK internasional
$1,9 PPP per hari tahun dasar 2011, estimasi angka kemiskinan
menggunakan GK internasional $1,9 PPP per hari adalah 3,5 persen.
Besarnya nilai GK nasional BPS adalah Rp 425.250 per bulan per
kapita atau ekuivalen dengan GK Internasional $2,5 PPP per hari.
Standar GK yang dapat dipergunakan untuk mengukur angka
kemiskinan kerap dipertanyakan, mengingat keberadaan dua jenis GK
yang tersedia untuk Indonesia. Pertama, GK nasional yang dirilis oleh
BPS, kemudian yang kedua adalah GK internasional yang dikeluarkan
oleh Bank Dunia. Kedua jenis GK ini disusun menurut tujuan yang
berbeda. GK nasional merupakan acuan penghitungan angka
kemiskinan untuk memantau perkembangan pencapaian pembangunan
terkait indikator kemiskinan dengan batas biaya hidup minimum.
Tindak lanjut dari hasil estimasi angka ini kemudian diterjemahkan
dalam sejumlah program untuk penanggulangan kemiskinan. Sementara
itu, GK internasional disusun sebagai bagian dari perangkat analisis
kemiskinan antar- negara, dimana dibutuhkan keterbandingan pilihan
komoditi dan harga melalui penghitungan PPP.
AS.Namun, perlu menggunakan nilai tukar PPP yang merujuk pada
publikasi ICP sesuai tahun dasar yang ditetapkan dengan menerapkan
tingkat inflasi IHK, misalkan pada tahun 2011.
Wacana yang terus berkembang adalah pilihan GK nasional yang
dipakai untuk menghitung angka kemiskinan lebih rendah daripada GK
internasional. Faktanya, secara gradual tingkat kemiskinan yang
dihitung menurut GK internasional menurun lebih cepat dari tahun ke
tahun daripada angka kemiskinan yang menggunakan GK nasional.
Bahkan, mulai dari tahun 2012, angka kemiskinan berdasarkan GK
internasional lebih rendah apabila dibandingkan dengan angka
kemiskinan yang menggunakan GK nasional. Sehingga, besaran nilai
GK nasional Indonesia yang dihitung oleh BPS sejak tahun 2012 masih
lebih tinggi dibandingkan dengan GK internasional.
c. Jenis-jenis Kemiskinan
1) Kemiskinan Subjektif
Kemiskinan subjektif adalah kemiskinan yang terjadi karena setiap
orang mendasarkan pemikiranya sendiri dengan menyatakan bahwa
kebutuhannya tidak terpenuhi secara cukup walaupun sebenarnya
tidak terlalu miskin.
2) Kemiskinan Absolut
Kemiskinan Absolut adalah seseorang (keluarga) yang memiliki
untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan
pendidikan mereka.
3) Kemiskinan Relatif
Kemiskinan Relatif adalah bentuk kemiskinan yang terjadi karena
adanya pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan adanya
ketimpangan pendaptan atau ketimpangan standar kesejahteraan.
4) Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan Alamiah adalah kemiskinan yang terjadi karena keadaan
alam yang miskin atau langka sumber daya alam (SDA), sehingga
produktivitas masyarakat menjadi rendah.
5) Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena sikap dan
kebiasaan seseorang atau masyarakat yang umumnya berasal dari
budaya atau adat istiadat yang relatif tidak mau untuk memperbaiki
taraf hidup dengan tata cara modern.
6) Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang terjadi karena ketidak mampuan sistem atau
struktur sosial menghubungkan seseorang dengan sumber daya yang
d. Ukuran Kemiskinan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengukur
kemiskinan berdasarkan dua kriteria yaitu (Suryawati, 2005):
1. Kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga yang
tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama
dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari
satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih
dari 80% dan berobat ke Puskesmas bila sakit.
2. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1), yaitu keluarga yang tidak
berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik,
minimal satu kali per minggu makan daging/telur/ikan, membeli
pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 meter per
segi per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10
sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5
sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga
mempunyai penghasilan rutinatau tetap, dan tidak ada yang sakit
selama tiga bulan.
e. Penyebab Kemiskinan
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut
Hartomo dan Aziz (Dadan Hudyana, 2010) yaitu :
rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan
tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan
atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan
kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2. Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib)
menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah
untuk bekerja.
3. Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya
tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini
sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya
miskin.
4. Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan
bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan
lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil
kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan
keterampilan.
5. Keterbatasan Modal
penghasilan.
6. Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak
diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan akan menimbulkan
kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin
meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi, juga
mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh
kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran
ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya
(Suryadiningrat Dadan Hudayana, 2010) :
1. Keengganan bekerja dan berusaha,
2. Kebodohan,
3. Motivasi rendah,
4. Tidak memiliki rencana jangka panjang,
5. Budaya kemiskinan, dan
6. Pemahaman keliru terhadap kemiskinan
Penyebab kemiskinan adalah pemerataan pembangunan yang
belum menyebar secara merata terutama di daerah pedesaan. Penduduk
miskin di daerah pedesaan pada tahun 2006 diperkirakan lebih tinggi
dari penduduk miskin di daerah perkotaan (Rencana Kerja Pemerintah
berusaha di daerah pedesaan dan perkotaan belum dapat mendorong
penciptaan pendapatan bagi masyarakat terutama bagi rumah tangga
miskin. Penyebab yang lain adalah masyarakat miskin belum mampu
menjangkau pelayanan dan fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan,
air minum dan sanitasi, serta transportasi. Gizi buruk masih terjadi di
lapisan masyarakat miskin. Hal ini disebabkan terutama oleh cakupan
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang belum memadai.
Bantuan sosial kepada masyarakat miskin, pelayanan bantuan kepada
masyarakat rentan (seperti penyandang cacat, lanjut usia, dan
yatim-piatu), dan cakupan jaminan sosial bagi rumah tangga miskin masih